Sunday, May 31, 2009

Abraham Dikunjungi Tritunggal Kristen??


Teks Perjanjian Lama lainnya yang kerap dipakai kalangan sistimatikus Kristen untuk menopang tritunggalisme Kristen adalah Kejadian 18:1-33. Dalam perikop Kitab Suci ini dikisahkan bahwa Abraham mendapatkan kunjungan tiga orang tamu ketika dia sedang duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik (18:2). Abraham menerima dan menjamu mereka dengan sebaik-baiknya (18:3-8), sebagaimana adat-istiadat semitik mengharuskan orang untuk bersikap baik dan ramah kepada tetamu atau orang-orang asing yang datang berkunjung tanpa direncanakan. Dalam perikop ini, ketiga orang itu disebut silih berganti sebagai satu orang (“TUHAN”, “dia”, “-Nya”, “Aku”) dan sebagai lebih dari satu orang, yakni tiga orang (“mereka”, “orang-orang itu”). Penyebutan tiga orang ini secara bergantian sebagai satu orang dan sebagai tiga orang ditafsir kalangan sistimatikus Kristen ini sebagai rujukan kepada tritunggal ilahi yang merupakan salah satu pilar bangunan doktrinal kekristenan Barat. Dalam doktrin tritunggal Kristen, ketigaan ilahi ada dalam kesatuan ilahi, dan kesatuan ilahi ada dalam ketigaan ilahi. Tetapi, apakah penafsiran semacam ini tidak sangat dipaksakan terhadap teks Perjanjian Lama yang ditulis berabad-abad sebelum kelahiran doktrin kekristenan Barat ini di dalam suatu dunia yang sama sekali berbeda ?

Hal pertama yang harus dicatat adalah bahwa doktrin tritunggal kekristenan Barat ketika dikonstruksi oleh para pemimpin gereja beberapa abad setelah masa kehidupan Yesus tidaklah dimaksudkan sebagai triteisme, kepercayaan pada tiga Allah yang terpisah satu sama lain. Kalau “tiga orang” yang berkunjung kepada Abraham ditafsir sebagai perkunjungan tiga oknum ilahi, yang berkunjung ini adalah tiga sosok ilahi yang terpisah satu sama lain, yang masing-masing dari mereka berjalan sendiri-sendiri dan memakan makanan sendiri-sendiri yang telah disediakan Abraham. Pemakaian sebutan numerik “tiga orang” di sini melahirkan triteisme, bukan monoteisme Yahudi atau tritunggalisme Kristen. Tritunggalisme Kristen adalah doktrin tentang adanya tiga oknum ilahi yang satu sama lain tidak terpisah meskipun masing-masing memiliki individualitas sendiri-sendiri. Jadi, angka tiga dalam perikop tentang Abraham yang dikunjungi tiga orang tamu ini tidak bisa ditafsir atau dipahami dalam bingkai doktrin tritunggal Kristen. Selain itu, dalam kisah alkitabiah mengenai Taman Eden (Kejadian 3:1-24), ketika Allah digambarkan berada di bumi, di taman itu, tidak digambarkan ada tiga sosok ilahi yang berjalan-jalan di taman itu pada hari-hari yang sejuk, melainkan hanya satu sosok ilahi (3:8).

Jika sebutan tiga orang dalam perikop tentang hospitalitas Abraham itu jelas tidak mengacu kepada Allah tritunggal, bagaimana angka tiga ini harus dipahami? Ini bukanlah masalah berat. Penulis surat Ibrani dalam kanon Perjanjian Baru menafsirkan orang-orang yang berkunjung ke Abraham sebagai malaikat-malaikat (Ibrani 13:2). Teks Kejadian 19:1 menyebut bahwa dari antara tiga orang yang berkunjung ke Abraham itu, dua adalah malaikat. Mereka bertiga, dalam Kejadian 18:22, digambarkan sedang berjalan ke Sodom. Nah, kalau dua di antara mereka adalah malaikat, maka tentu saja yang seorang lagi adalah TUHAN atau Yahweh sendiri, yang dalam perikop tentang Abraham yang didatangi tamu ini tampil banyak kali berbicara langsung kepada Abraham (dan juga sekali kepada Sara). Jadi, Yahweh di sini, bersama dua malaikatnya, digambarkan berkunjung kepada Abraham, dan Yahweh sendiri berbicara kepada Abraham, meskipun tentu saja malaikat TUHAN pun dapat menjadi jurubicara Yahweh seperti terjadi misalnya dengan Hagar (Kejadian 16:7).

Nah, dalam doktrin tritunggal Kristen Yesus Kristus tentu saja tidak dipahami sebagai salah seorang malaikat Tuhan. Jadi, Kejadian 18 sama sekali tidak bisa dijadikan sebuah teks skriptural pendukung dogma tritunggal, dan sama sekali tidak boleh dipaksa demikian. Tetapi, angelologi (=ajaran tentang malaikat) Yahudi bisa jadi juga melatarbelakangi keyakinan orang Kristen perdana ketika mereka menjelaskan hubungan Yesus dengan Allah YME dalam bingkai kristologi inkarnasi. Pokok tentang ini akan diulas pada saatnya nanti.

Friday, May 29, 2009

Sang Perawan Bunga Bakung


Adolphe William Bouguereau (1825-1905) adalah seorang pelukis akademik Perancis. Dia memenangkan Prix de Rome pada 1850 dan menjadi sangat populer selama tahun 1860-an dan 1870-an. Sebagai seorang pelukis, Bouguereau termasyur dengan lukisan-lukisan telanjangnya dan juga dengan lukisan-lukisan historis dan keagamaan. Lukisannya yang diberi judul La Jeunesse et l'Amour disimpan di Louvre.

Lukisan
Bouguereau di atas, yang diberi judul Sang Perawan Bunga Bakung (The Virgin of the Lilies), menampilkan Bunda Maria bersama bayi Yesus. Keduanya penuh dengan kemuliaan yang memancar dari mahkota emas di atas kepala masing-masing. Bunga warna-warni di latar belakang mengesankan keindahan dan keceriaan. Bunga-bunga bakung yang mekar di kedua sisi Bunda Maria melambangkan kesucian, kemurnian, keharuman dan keindahan sang Bunda. Jubah dan kerudung hitam yang dipakai Bunda Maria tentu bukan lambang kedukaan, tapi lambang kecerdasan, kewibawaan dan komitmen.

Dalam gambar, tampak Sang Bunda menggendong bayi Yesus. Tapi, menurut Anda, siapa menggendong siapa? Apakah bukan bayi Yesus yang menggendong dan menopang Bunda Maria, sementara bayi Yesus ini seolah mengambang di udara tak terjatuh, seolah dalam dirinya ada suatu kekuatan ilahi yang bekerja dengan sangat luar biasa?

Tampak sang Bunda duduk di sebuah takhta indah dengan kedua tangannya terjulur memegang Yesus. Tapi coba perhatikan, siapa yang sebenarnya sedang memimpin dengan kekuasaannya? Bunda Mariakah atau bayi Yesus? Bagi Bouguereau, yang sedang memimpin bukanlah Bunda Maria yang kedua matanya agak terkatup, tetapi sang bayi yang kedua matanya terbuka lebar dan tajam menatap lurus ke depan, ke dunia dan ke Anda. Sang bayi seolah serba tahu dan serba melihat. Perhatikan, tangan kanan bayi Yesus sedang terangkat dan memberkati dunia dan Anda dengan kedamaian dan kemenangan, seperti kelihatan pada bentuk huruf V yang dibentuk oleh telunjuk dan jari tengahnya.

Kedua kaki kecil bayi Yesus terlipat, dengan kaki kanan menumpang lengket pada kaki kiri seolah sang bayi sudah melihat ke depan bahwa kedua kakinya nanti akan bersama-sama dipaku pada kayu salib. Sang bayi sama sekali telanjang, menandakan kesucian, keilahian dan kemurniannya.

Yang saya belum tangkap adalah apa pesan yang mau disampaikan Bouguereau melalui jari tengah dan jari manis sang Bunda yang terekat satu sama lain pada kedua belah tangannya? Apakah ini menandakan cintanya yang kuat pada sang bayi? Atau, barangkali Anda punya gagasan dan kesan yang lain?

Thursday, May 28, 2009

Panteon Kristen

Tritunggalisme kekristenan Barat dibangun dengan memakai kerangka pemikiran filosofis Yunani-Romawi beberapa abad setelah masa kehidupan Yesus. Anehnya, para sistimatikus Kristen mengklaim bahwa doktrin ini berpijak kuat pada Perjanjian Lama. Dalam penilaian saya, mereka yang mengklaim demikian sebetulnya membaca dan memahami teks Perjanjian Lama dari kaca mata doktrin ini. Di tangan mereka, Alkitab bagaimanapun juga harus mendukung dogma gereja, dan dogma gereja harus mengendalikan dan mengarahkan penafsiran Alkitab. Karena mereka memaksa Perjanjian Lama untuk mendukung tritunggalisme Kristen, maka yang dihasilkan adalah sesuatu yang sama sekali lain dari doktrin ini.

Mereka biasa memakai teks Kejadian 1:26 untuk mendukung tritunggalisme Kristen. Teks ini memuat ucapan Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan ....” Nah, kata ganti orang pertama jamak “kita” dalam teks ini ditafsir oleh mereka sebagai kata ganti yang menunjuk pada Allah yang terdiri atas tiga oknum. Penafsiran semacam jelas sangat dipaksakan. Pertama, kata ganti orang pertama jamak “kita” tidak harus menunjuk pada tiga oknum, tetapi bisa juga menunjuk pada dua oknum, empat oknum, seratus oknum, seribu oknum, sepuluh ribu oknum, dan seterusnya.

Kedua, pada ayat selanjutnya (ayat 27) ditulis, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah Dia menciptakannya;....” Pada ayat ini, Allah disebut dengan kata ganti kepunyaan orang ketiga tunggal “-Nya”, tidak dalam kata ganti kepunyaan orang ketiga jamak “mereka”, dan dengan kata ganti orang ketiga tunggal “dia”, tidak dalam kata ganti orang ketiga jamak “mereka”. Jelas, ayat 27 ini menyatakan Allah itu tunggal, tidak jamak. Jadi, karena ayat 27 harus dikaitkan dengan ayat 26, maka kata “kita” dalam ayat 26 bukan mau menyatakan kemajemukan atau pluralitas bahwa ada lebih dari satu Allah atau bahwa Allah terdiri atas tiga oknum. Allah tetap satu, tidak terdiri atas tiga oknum. Jika demikian, mengapa pada ayat 26 dipakai kata ganti orang pertama jamak “kita”? Mengapa tidak dipakai saja kata ganti orang pertama tunggal “aku”? Ada beberapa jawaban lain yang bisa dipertimbangkan.

Seorang penguasa yang dihormati bisa memakai gaya bahasa pluralis mayestatis dengan menyebut dirinya “kami” ketika sedang berbicara di hadapan banyak orang untuk menyatakan kewibawaan dan kehormatannya. Tetapi penjelasan seperti ini tidak cocok untuk teks Kejadian 1:26. Pada teks ini, Allah sedang mengajak pihak-pihak lain untuk melakukan suatu tindakan, “Baiklah Kita menjadikan manusia....” atau “Marilah Kita menjadikan manusia....” Pada teks ini Allah tidak sedang menyatakan kewibawaan atau kehormatan-Nya di hadapan pihak-pihak lain, melainkan Allah mengajak pihak-pihak lain untuk bersama-sama melakukan suatu tindakan penciptaan manusia. Tidak ada gaya bahasa pluralis mayestatis pada teks Kejadian 1:26. Kesimpulan ini diperkuat oleh teks-teks skriptural lain yang juga menampilkan Allah memakai kata ganti orang pertama jamak “kita” ketika Dia berbicara (Kejadian 3:22; 11:7; Yesaya 6:8) kepada/bersama atau atas nama pihak-pihak lain atau mengajak pihak-pihak lain ini untuk melakukan suatu tindakan bersama, bukan untuk menonjolkan kekuasaan dan kehormatan-Nya.

Penjelasan lainnya menyatakan bahwa pemakaian kata “kita” oleh Allah dalam teks-teks skriptural di atas adalah sisa-sisa dari agama politeistik Kanaan yang melatarbelakangi agama Yahwisme yang dianut bangsa Israel sebelum mereka akhirnya menganut monoteisme seperti diekspresikan dengan kuat pada abad keenam SM oleh Deutero Yesaya (Yesaya 40:12-31; 44:1-8; 44:24-25; 45:22-25; 46:8-9). Kata Ibrani untuk Allah adalah elohim, dengan akhiran “im” sebagai akhiran untuk kata benda jamak—ini bisa dilihat sebagai suatu peninggalan dari politeisme yang memercayai banyak allah. Penjelasan seperti ini tentu harus diperhitungkan dengan serius, mengingat agama Israel kuno juga memiliki karakter-karakter seperti yang dijumpai dalam agama-agama politeistik, misalnya menetapkan satu ilah untuk satu kawasan tertentu sebagai penguasanya. Tetapi, dalam teks skriptural di atas, ketika Allah menyebut kata “kita”, Allah ini tidak sedang bersaing dengan allah-allah lain yang setingkat atau setara dengan-Nya. Yang terbaca dalam teks adalah bahwa Allah mengambil inisiatif untuk mengajak pihak-pihak lain di luar diri-Nya untuk ikut serta dalam suatu tindakan yang akan dilakukan-Nya. Allah tetap memegang kendali atau otoritas, dan pihak-pihak lainnya diajak-Nya untuk melakukan suatu tindakan. Konsep religius semacam ini tidak ada dalam politeisme yang umumnya menempatkan semua allah sama tinggi dan sama berkuasa dan semuanya harus disembah manusia dengan sama rata.

Penjelasan yang bisa jadi paling pas didapat jika kita memperhatikan beberapa teks Perjanjian Lama lainnya. Allah memakai kata ganti orang pertama jamak “kita” karena Dia sedang berbicara dalam apa yang dalam Alkitab Terjemahan Baru LAI disebut sebagai “dewan musyawarah TUHAN” (Yeremia 23:18, “Sebab siapakah yang hadir dalam dewan musyawarah TUHAN, sehingga dia memperhatikan dan mendengar firman-Nya?”). Dalam terminologi yang lebih umum, dewan musyawarah TUHAN ini (teks RSV memakai sebutan “council of the LORD”) disebut sebagai panteon. Ayub 1:6-12 dan 2:1-6; 1 Raja-raja 22:19-23; dan Yesaya 6:1-6 menggambarkan bagaimana panteon itu dijalankan. Allah memimpin suatu sidang surgawi yang dihadiri para serafim, anak-anak allah, juga iblis, dan bala tentara surgawi. Allah memegang kendali atas jalannya persidangan; Allah mengajukan beberapa hal untuk diperbincangkan dan dibahas bersama; semua yang hadir ambil bagian dalam rapat. Masing-masing pihak di luar diri Allah boleh mengajukan pendapat atau saran sendiri. Jika Allah menyetujui saran itu, maka si pengusul boleh melaksanakannya. Tentu saja, untuk menunjukkan bahwa semua yang hadir ambil bagian penuh dalam permusyawarahan untuk mengambil keputusan bersama, Allah memakai kata ganti orang pertama jamak “kita”, sehingga semua yang hadir terlibat di dalamnya.

Nah, dalam konteks panteon inilah kata “kita” yang dipakai Allah harus diletakkan. Jadi, kata ganti orang pertama jamak “kita” yang diucapkan Allah dalam sekian teks Perjanjian Lama di atas sama sekali tidak boleh ditafsir untuk mendukung tritunggalisme Kristen yang sama sekali berbeda dari panteon. Jika para sistimatikus Kristen tetap ingin menafsirkan kata “kita” itu untuk memberi landasan skriptural pada dogma tritunggalisme Kristen, hemat saya lebih baik nama doktrinnya diganti menjadi doktrin panteon Kristen, sehingga Yesus Kristus, di samping iblis, menjadi salah seorang peserta rapat surgawi yang dihadiri lebih dari tiga oknum. Nah loh!

Saturday, May 16, 2009

Apakah Yesus Tidak Mati Disalibkan?

Bagi umat Islam, soteriologi salib bermasalah dalam banyak segi. Yang merupakan masalah terberat, bagi mereka, adalah Yesus, dalam pandangan mereka, tidak disalibkan. Bagi mereka, pada waktu penyaliban dulu bukan Yesus dari Nazaret yang disalibkan, tetapi seorang lain telah diserupakanatau dipalsukan untuk menggantikan atau menyubstitusi Yesus. Pandangan ini disebut teori substitusi. Jadi, bagi mereka, kalau Yesus sendiri tidak disalibkan, bagaimana soteriologi salib bisa dibangun.

Untuk menunjukkan bahwa mereka benar, umat Islam menunjuk pada Surat an-Nisa 4:156-157 dari Alquran. Teks Alquran ini mengkritik orang Yahudi, sebab mereka
berkata, Kami telah membunuh Isa Al Masih, putera Maryam, rasul Allah, sedangkan mereka sebenarnya tidak membunuh atau menyalibkannya; tetapi dia diserupakan [atau: digantikan orang lain yang serupa dengannya] di hadapan mata mereka .... Dan sudah pasti mereka tidak membunuhnya. Seorang lain yang telah disalibkan menggantikan Yesus itu, dalam pandangan para penafsir Islam, bisa seorang murid Yesus, atau Sergius yang sudah dikenal, atau seorang lain, yakni Yudas, yang parasnya telah diubah sehingga serupa dengan paras Yesus. Selain karena alasan skriptural, umat Islam tidak bisa menerima penyaliban Yesus juga karena mereka memandang seorang nabi atau hamba Allah yang benar tidak mungkin mati dibunuh dengan kejam. Tetapi alasan moral ini, to the point saja, tidak bisa diterima, karena faktanya banyak nabi atau hamba Allah dalam berbagai agama juga mati karena dibunuh. Yohanes Pembaptis, misalnya, seorang nabi Yahudi yang suci dan benar dan mungkin juga menjadi mentor Yesus, mati dengan kepalanya dipenggal oleh Raja Herodes Antipas (Markus 6:14-29).

Nah, dalam tulisan ini, tulisan kesembilan dari rangkaian tulisan tentang masalah-masalah dalam soteriologi salib, akan diperlihatkan tentunya bukan bahwa soteriologi salib benar atau valid (pembaca tahu, saya, berdasarkan sejumlah argumen lain, sudah tegas menolak validitas soteriologi ini!), melainkan bahwa umat Islam salah kalau mereka memandang Yesus tidak mati disalibkan, sebab ada sekian dokumen kuno independen, yang satu tidak bergantung pada yang lainnya, namun satu suara menyatakan bahwa Yesus mati disalibkan. Akan juga diperlihatkan, bahwa mendahului Alquran (yang ditulis pada abad ketujuh) sudah ada beberapa teks keagamaan Kristen gnostik dari abad-abad kedua dan ketiga yang memuat pandangan yang sejalan dengan pandangan Alquran. Semua teks ini tidak melaporkan sejarah, tetapi mengetengahkan pandangan teologis Kristen gnostik.

Kalaupun ada yang dapat diragukan kesejarahannya di sekitar kematian Yesus, yang patut diragukan ini bukanlah penyaliban Yesus, tetapi jalan sengsara (
via dolorosa) Yesus, mulai dari gedung pengadilan sampai di bukit Golgota. Apakah mungkin Yesus, sambil tertatih-tatih kepayahan memikul salibnya sendirian, bisa digiring dan disiksa di sepanjang perjalanannya, sementara ada sangat banyak orang Yahudi dari seluruh wilayah Palestina maupun dari banyak negeri lain di luar tanah Israel berkumpul di Yerusalem pada masa perayaan Paskah tahunan? Kalau kita bisa mempercayai sejarawan Yahudi, Flavius Yosefus, bisa ada sampai 3 juta orang terhimpun di Yerusalem pada perayaan Paskah (Jewish War, 6.420-427; 2.280). Menurut sejumlah pakar, angka yang diajukan Yosefus ini terlalu fantastis; sebagai gantinya, mereka mengajukan angka yang lebih bisa dipercaya, yakni sekitar 300 ribu sampai 400 ribu orang. Dengan ratusan ribu orang Yahudi terhimpun di Yerusalem, dan dari antara mereka adalah orang-orang yang menjadi pengikut fanatis Yesus, baik yang berasal dari Galilea maupun dari Yudea, apakah tindakan pasukan Romawi menggiring dan menyiksa Yesus, yang sebelumnya sudah diklaim orang banyak sebagai sang Mesias Yahudi yang akan menegakkan kembali kerajaan Daud, tidak malah menyulut kerusuhan dan gerakan perlawanan bangsa Yahudi terhadap cengkeraman kolonial Roma? Harus kita ingat, perayaan Paskah Yahudi diadakan untuk memperingati kemerdekaan nenek moyang mereka dari penjajahan dan perbudakan di Mesir dulu. Perayaan ini jelas selalu membangkitkan nasionalisme dan patriotisme mereka, suatu perayaan yang berbahaya bagi keamanan, ketertiban dan stabilitas masyarakat yang harus dijaga dan dipertahankan Roma. Flavius Yosefus melaporkan sedikitnya sudah pernah terjadi dua kerusuhan massal yang besar pada masa perayaan Paskah Yahudi, yakni pada tahun 4 SM (Jewish War 2.10-13; Jewish Antiquities 17.204) dan pada masa Ventidius Cumanus memerintah wilayah Palestina (48-52 M) (Jewish War 2.224; Jewish Antiquities 20.106-112). Apakah Yesus digiring dan disiksa dengan pengawalan ekstra ketat oleh tentara Roma dalam jumlah yang sangat besar, demi mengimbangi kekuatan orang Yahudi yang sedang berhimpun di Yerusalem, yang sewaktu-waktu bisa merusak keamanan dan ketertiban kota Yerusalem? Ataukah Yesus dilarikan dengan cepat oleh pasukan berkuda Romawi ke bukit Kalvari? Ataukah kita harus beranggapan bahwa, karena kelihaian Pilatus dalam mengendalikan massa, orang banyak yang mengenal Yesus tiba-tiba saja berbalik pro-Roma dan melawan Yesus ketika dia sedang diadili, lalu dijatuhi hukuman mati, kemudian diseret dan didorong-dorong paksa sementara dia terus memikul kayu salibnya? Sekarang saya biarkan pertanyaan-pertanyaan ini tetap terbuka.

Berikut ini fokus kita alihkan ke soal apakah penyaliban Yesus tidak pernah ada dalam sejarah, seperti diyakini umat Islam.

Penyaliban Yesus, apakah suatu tragedi ilahi ataukah suatu komedi ilahi?
Dont take it to be serious. It is only a children play!

Dalam pandangan saya, penyaliban Yesus adalah suatu peristiwa sejarah yang tidak dapat disangkal, karena, sudah dikatakan di atas, ada beragam bukti literer (dokumen) kuno yang independen yang memberitakan peristiwa ini. Dalam hal ini, suatu kriterion autentisitas penting dalam mengevaluasi Yesus diterapkan: bahwa bahan-bahan bukti literer autentik (authentic literary evidence) tentang Yesus harus ditemukan di lebih dari satu sumber, dan sumber-sumber yang multiple ini harus independen, yang satu tidak bergantung pada yang lainnya; ini adalah kriterion yang diberi nama criterion of multiple independent attestation (yang juga dipakai dalam kasus-kasus pembuktian fakta-fakta di dalam suatu pengadilan negara atas perkara-perkara pidana dan perdata).

Bukti literer pertama (tertua) adalah dokumen-dokumen Kristen Perjanjian Baru yang seluruhnya dengan satu suara memberitakan penyaliban Yesus. Jika penyaliban Yesus hanya diberitakan oleh penulis-penulis Kristen, kita bisa menyatakan bahwa peristiwa penyaliban Yesus itu bisa saja ciptaan para penulis Kristen sendiri untuk menunjang suatu teologi Kristen tentang penebusan melalui salib Yesus. Tetapi, masalahnya adalah: Apa perlunya para penulis Kristen perdana merekayasa tulisan-tulisan yang menyaksikan penyaliban Yesus, sementara penyaliban Yesus itu sendiri merupakan suatu peristiwa yang memalukan kekristenan perdana, memalukan karena sang pemimpin mereka dihukum mati dengan cara yang (dalam pandangan Yahudi) sangat aib dan terkutuk, yakni dihukum dengan penyaliban sebagai seorang kriminal menurut hukum Romawi. Jadi, penyaliban Yesus sebagai suatu peristiwa sejarah memenuhi suatu kriterion autentisitas lainnya:
criterion of embarrassment: jika suatu peristiwa dalam kehidupan Yesus memalukan atau menjatuhkan pamor kekristenan perdana, maka pengisahan atau pelaporan peristiwa ini pastilah bukan dibuat-buat, melainkan pelaporan suatu peristiwa sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi. Jadi, tidak ada alasan lain, selain alasan sejarah, kalau para penulis Kristen perdana sampai melaporkan penyaliban Yesus.

Selain itu, hukuman penyaliban adalah sesuatu yang sudah umum dan sering dilakukan oleh para penguasa asing terhadap para revolusioner Yahudi, dengan tatacara yang sudah dibakukan. Penangkapan Yesus juga sudah diatur dengan sangat profesional, sehingga mustahil terjadi salah tangkap. Jadi, masuk akal, jika Yesus dari Nazaret akhirnya dihukum mati melalui penyaliban mengingat dia memang telah menimbulkan gangguan baik terhadap otoritas Yahudi mau pun terhadap otoritas Roma. Dia dihukum mati karena suatu tuduhan bahwa dia mengklaim takhta Daud dan dengan demikian menjadikan dirinya raja Yahudi di suatu kawasan yang dijajah Roma. Tuduhan ini dituliskan pada
titulus yang dipancang pada balok/kayu salibnya.

Bukti-bukti literer lainnya berasal dari dokumen-dokumen non-Kristen, yakni dokumen-dokumen Yahudi dan non-Yahudi, serta dokumen-dokumen Romawi. Karena para penulis dokumen-dokumen ini adalah orang-orang non-Kristen, maka tidak ada kepentingan atau alasan apa pun dalam diri mereka, selain alasan melaporkan suatu peristiwa sejarah, ketika mereka memberitakan Yesus telah mati disalibkan.

Dokumen Yahudi yang pertama adalah tulisan seorang sejarawan Yahudi yang bernama Flavius Yosefus (atau Yosef ben Matthias), yang hidup 37/38-setelah tahun 100. Di dalam suatu karya besarnya,
Antiquitates Judaicae (Jewish Antiquities), pada bagian 18.63-64 (bagian ini, biasa disebut sebagaiTestimonium Flavianum = kesaksian atau testimoni Flavius Yosefus tentang Yesus; lebih jauh tentang testimoni ini, klik di sini) kita baca kesaksian berikut (kata-kata yang ditempatkan dalam tanda kurung adalah tambahan belakangan dari seorang editor Kristen):
Kira-kira pada waktu ini, hiduplah Yesus, seorang yang bijaksana, (jika memang orang harus menyebutnya seorang manusia). Sebab dia adalah seorang yang telah melakukan tindakan-tindakan luar biasa, dan seorang guru bagi orang-orang yang telah dengan senang menerima kebenaran darinya. Ia telah memenangkan banyak orang Yahudi dan banyak orang Yunani. (Ia adalah sang Messias). Setelah mendengar dia dituduh oleh orang orang-orang terkemuka dari antara kita, maka Pilatus menjatuhkan hukuman penyaliban atas dirinya. Tetapi orang-orang yang mula-mula telah mengasihinya itu tidak melepaskan kasih mereka kepadanya. (Pada hari ketiga dia menampakkan diri kepada mereka dan membuktikan dirinya hidup. Nabi-nabi Allah telah menubuatkan hal ini dan hal-hal ajaib lainnya tentang dirinya yang tidak terhitung banyaknya). Dan bangsa Kristen ini, disebut demikian dengan mengikuti namanya, sampai pada hari ini tidak lenyap.
Berbeda dari Flavius Yosefus yang memberi catatan simpatik tentang Yesus, sumber-sumber rabinik Yahudi (yang ditulis dalam periode Tannaitik, sampai dengan tahun 220) tentang Yesus berisi catatan-catatan penolakan sebagai reaksi Yahudi terhadap provokasi-provokasi yang dibuat orang-orang Kristen perdana terhadap Yudaisme. Sejumlah pakar menilai ada tradisi-tradisi tua dan dapat dipercaya sebagai sumber sejarah tentang Yesus dalam Talmud Babilonia, di antaranya bSanhedrin 43a, yang bunyinya demikian: Pada Sabat perayaan Paskah, Yeshu orang Nazareth digantung. Sebab selama empat puluh hari sebelum eksekusi dijalankan, muncul seorang pemberita yang mengatakan: Inilah Yesus orang Nazareth, yang akan dirajam dengan batu sebab dia telah mempraktikkan sihir dan mejik [bdk. Markus 3:22] dan memengaruhi orang Israel untuk murtad. Barangsiapa yang dapat mengatakan sesuatu untuk membelanya, hendaklah tampil dan membelanya. Tetapi karena tidak ada sesuatu pun yang tampil untuk membelanya, dia pun digantung pada sore Paskah [ini sejalan dengan kronologi dalam Injil Yohanes]....

Seorang filsuf stoik kebangsaan Syria, yang berasal dari Samosata, bernama Mara bar Sarapion, menulis surat kepada anaknya, Sarapion, dari tempatnya di sebuah penjara Roma, mungkin segera setelah tahun 73. Di dalamnya dia menegaskan bahwa satu-satunya yang paling berharga untuk dimiliki dan diperjuangkan adalah kebijaksanaan, dan bahwa kendati pun orang bijak itu dapat dianiaya, kebijaksanaan itu tetap kekal. Sebagai model orang-orang bijak, dia mengutip Sokrates dan Phytagoras, dan juga Yesus meskipun nama Yesus tidak disebutnya:
Perbuatan baik apa yang dilakukan orang-orang Atena ketika mereka membunuh Sokrates, yang mengakibatkan mereka dihukum dengan bahaya kelaparan dan penyakit menular? Manfaat apa yang diperoleh orang-orang Samian ketika mereka membakar Phytagoras, karena kemudian negeri mereka seluruhnya dikubur pasir dalam sekejap saja? Atau apa keuntungannya ketika orang-orang Yahudi membunuh raja mereka yang arif, karena kerajaan mereka setelah itu direnggut dari mereka [mengacu ke Perang Yahudi I tahun 66-73/74]? Allah telah dengan adil membalas perbuatan-perbuatan jahat yang telah dilakukan kepada tiga orang bijaksana ini. Orang-orang Atena mati kelaparan; bangsa Samian dilanda banjir dari laut; orang-orang Yahudi dibunuh dan diusir dari kerajaan mereka, lalu tinggal di tempat-tempat lain dalam perserakan. Sokrates itu tidak mati; tetapi tetap hidup melalui Plato; begitu juga Phytagoras, karena patung Hera. Demikian juga raja yang bijak itu tidak mati, karena setelah dia tidak ada muncul hukum baru yang dia telah berikan.

Seorang satiris yang bernama Lucian dari Samosata (sekitar tahun 115-200), dalam tulisannya
The Passing of Peregrinus mengisahkan tentang orang-orang Kristen yang sangat terpikat pada Peregrinus sehingga mereka menyembahnya sebagai suatu allah; selanjutnya Lucian menulis: ... sesungguhnya, selain dia, juga orang yang disalibkan di Palestina karena memperkenalkan kultus baru ini ke dalam dunia, kini masih mereka sembah.Lucian juga menggambarkan orang-orang Kristen sebagai orang-orang yang menyembah sofis yang disalibkan itu sendiri dan hidup di bawah hukum-hukumnya.

Cornelius Tacitus (55/56-sekitar 120) adalah seorang senator dan sejarawan Roma yang termasyur karena dua karya sejarahnya,
Histories (sekitar 105-110) dan Annals (sekitar 116/117). Seperti dilaporkan Tacitus dalam Annals 15.38-44, untuk membelokkan kecurigaan dan dakwaan terhadap dirinya sendiri atas terbakarnya kota Roma selama sembilan hari dalam tahun 64, Kaisar Nero (54-68) menjadikan orang-orang Kristen di sana sebagai kambing hitam. Dalam konteks inilah Tacitus menyebut nama Kristussebagai pendiri gerakan Kristen yang dihukum mati: Karena itu, untuk menepis kabar angin itu, Nero menciptakan kambing hitam dan menganiaya orang-orang yang disebut orang-orang Kristen [Chrestianos], yaitu sekelompok orang yang dibenci karena tindakan-tindakan kriminal mereka yang memuakkan. Kristus, dari mana nama itu berasal, telah dihukum mati (supplicio adfectus) dalam masa pemerintahan Tiberius [14-37] di tangan salah seorang prokurator kita, Pontius Pilatus [26-36], dan takhayul yang paling merusak itu karenanya untuk sementara dapat dikendalikan, tetapi kembali pecah bukan saja di Yudea, sumber pertama dari kejahatan ini, tetapi juga di Roma, di mana segala sesuatu yang buruk, menjengkelkan dan yang menimbukkan kebencian dari segala tempat di dunia ini bertemu dan menjadi populer. (Annals 15.44).

Nah, beragam sumber independen yang telah dikutip di atas (sumber Kristen, dan sumber Yahudi maupun non-Yahudi) dengan bulat menyatakan bahwa Yesus dari Nazaret telah mati disalibkan oleh otoritas Roma, dengan juga melibatkan otoritas Yahudi. Tidak ada alasan lain yang masuk akal, selain alasan sejarah, kalau para penulis dokumen-dokumen di atas itu, secara independen, sampai melaporkan peristiwa penyaliban Yesus.

Tetapi ada satu pertanyaan penting yang masih harus dijawab: Dari mana datangnya tradisi yang melaporkan bahwa Yesus dari Nazaret tidak mati disalibkan, atau bahwa bukan Yesus, tetapi orang lain yang diserupakan dengannya, yang mati disalibkan? Dokumen tertua yang memuat tradisi semacam ini, sudah dikatakan di atas, bukan Alquran, melainkan beberapa dokumen kuno lain, yang jauh lebih tua dari Alquran.

Mendahului Alquran, gagasan tentang ada dua orang yang terlibat dalam penyaliban, dengan yang satu menggantikan atau menyubstitusi yang lain, dijumpai dalam dua dokumen Kristen gnostik dari abad kedua dan abad ketiga.

Sebuah dokumen Nag Hammadi yang berjudul
Apokalipsis Petrus (NHC VII,3; dari abad ketiga), menyatakan bahwa Rasul Petrus melihat ada dua sosok yang terlibat dalam penyaliban: sosok yang satu sedang dipaku oleh para algojo pada tangan dan kakinya, sedangkan yang satunya lagi sedang berada di atas sebuah pohon, bergembira sambil menertawakan apa yang sedang berlangsung. Selanjutnya ditulis, Sang Penyelamat berkata kepadaku, Dia yang engkau lihat ada di atas sebuah pohon, bergembira dan tertawa, adalah Yesus yang hidup. Tetapi yang satunya lagi, yang kaki dan tangannya dipantek paku adalah bagian ragawi dari dirinya. Sosok yang ragawi ini, sosok yang lahir dengan memakai parasnya, sedang dipermalukan menggantikannya (81.7-25).

Dalam sebuah dokumen Nag Hammadi lainnya, yang berjudul
Traktat Kedua Seth Agung (NHC VII,2; dari abad kedua), Yesus menyatakan bagaimana dia bisa ada di dalam dunia: Aku mengunjungi suatu tempat kediaman ragawi. Aku menyingkirkan penghuni pertama yang ada di dalamnya, lalu aku masuk.... Dan Akulah yang sekarang berada di dalamnya, dan aku tidak sama dengan penghuni pertama yang ada di dalamnya. Sebab penghuni pertamanya adalah seorang manusia bumi, sedangkan Aku, Aku datang dari atas, dari surga (51.20-52.3). Dengan demikian, bagi kalangan gnostik aliran Basilides yang menyusun traktat ini, ada dua Yesus, yakni Yesus yang ragawi, yang jasmaniah, dan Yesus surgawi atau Yesus rohani. Bahkan dalam dokumen ini dikatakan bahwa Yesus terus-menerus mengubah rupanya, berubah dari satu rupa ke rupa lainnya (56.20-24). Keadaan jati diri ganda Yesus yang semacam ini menimbulkan kebingungan pada diri orang yang berada di luar komunitas gnostik ini khususnya ketika mereka mau memahami kesengsaraan dan penyaliban Yesus.

Pada bagian 56.5-20 dari
Traktat Kedua Seth Agung, Yesus berkata, Mereka melihat aku; mereka menghukum aku. Namun orang lainlah, yakni bapak mereka, yang meminum anggur yang dicampur empedu; bukanlah aku... melainkan seorang lain, Simon, yang memikul salib di pundaknya. Orang lainlah yang mengenakan mahkota duri. Sedangkan aku berada di tempat yang maha tinggi, dan menertawakan semua hal berlebihan yang telah dilakukan para penguasa dan buah kekeliruan dan tipu daya mereka. Aku menertawakan kebodohan mereka. Ketika seorang pemimpin gereja dari abad kedua yang bernama Irenaeus menulis (Adv. haer. 1.24.4) tentang seorang pemimpin Kristen gnostik yang bernama Basilides, dia menyatakan bahwa Basilides memandang bukan Yesus yang disengsarakan, melainkan seorang yang bernama Simon dari Kirene dipaksa untuk memikul salib Yesus menggantikannya... dan karena ketidaktahuan dan kesalahan, yang disalibkan bukan Yesus tetapi Simon ini. Jelas, Irenaeus di sini sedang mengacu secara tidak langsung pada dokumen Traktat Kedua Seth Agung. Jika tradisi tentang penyaliban Simon dari Kirene ini sudah beredar pada abad pertama, bisa jadi inilah alasannya mengapa penulis Injil Yohanes meniadakan Simon dari Kirene dalam tuturan injilnya dan Yesus digambarkan memikul salibnya sendiri (Yohanes 19:17), berbeda dari tuturan dalam injil-injil sinoptik bahwa Simonlah yang menggantikan Yesus memikul salibnya (Markus 15:21 dan par.).

Pertanyaan terakhir yang muncul adalah dari mana asal tradisi yang menyatakan bahwa Yesus memiliki
kembaran, yang parasnya serupa dengan paras Yesus, sehingga terjadi kekeliruan dalam penyaliban Yesus: bukan Yesus yang disalibkan tetapi orang lain kembarannya itu.

Tradisi tentang
kembaran Yesus ini muncul dari orang Kristen Syria, khususnya dari wilayah Edessa. Mereka keliru menyamakan Rasul Tomas, yang disebut tiga kali dalam Injil Yohanes sebagai Kembaran (Didimus) (Yohanes 11:16; 20:24; 21:2), dengan Yudas yang dalam Markus 6:3 dan Matius 13:55 disebut sebagai salah seorang dari empat saudara pria Yesus. Dari sinilah tercipta sosok Yudas Tomas, kembaran Yesus, sebuah potret yang populer di kalangan gnostik; lihat Kitab Tomas Si Petarung (NHC II,7; 138.2,4); Injil Tomas (NHC II,2; 32.11) dan Kisah Tomas 1. Potret ini jelas salah; sebab faktual historisnya Yesus tidak memiliki saudara kembar. Bunda Maria tidak pernah mengandung anak kembar; ketika dia melahirkan bayi Yesus, hanya satu bayi yang keluar dari rahimnya.

Gagasan kekristenan Tomas ini bahwa Yesus memiliki seorang kembaran adalah salah satu faktor penyebab munculnya kepercayaan bahwa seorang lain yang separas dengan Yesus telah disalibkan menggantikan dirinya. Dalam lingkungan Kristen gnostik, gagasan tentang kembaran Yesus ini melahirkan sebuah pemikiran teologis bahwa yang disalibkan itu adalah Yesus yang ragawi atau Yesus bumi, sedangkan Yesus yang sesungguhnya (Yesus yang sepenuhnya rohani, atau Yesus surgawi), junjungan kaum Kristen gnostik, tidak bisa disalibkan. Kepercayaan ini muncul karena bagi kalangan gnostik, Yesus yang sejati adalah Yesus yang rohani, Yesus surgawi, sehingga dia tidak bisa disalibkan. Tetapi, karena penyaliban sudah faktual terjadi, orang Kristen gnostik harus menyimpulkan bahwa yang telah disalibkan itu pastilah orang lain, orang yang parasnya serupa dengan paras Yesus, bukan Yesus junjungan mereka, Yesus surgawi.

Jadi, gagasan bahwa yang mati disalibkan bukan Yesus, tetapi kembarannya, adalah gagasan teologis yang dibuat untuk, pada satu pihak, menerima fakta penyaliban Yesus, sementara pada pihak lain untuk mempertahankan ketidakmungkinan Yesus gnostik, Yesus surgawi, mati disalibkan. Karena orang gnostik memandang rendah pada daging/raga (mentalitas sarkofobik), maka Yesus yang mereka sembah bukanlah Yesus ragawi, tetapi Yesus surgawi, Yesus rohani, yang tidak bisa disalibkan dan tidak bisa mati.

Kesimpulannya sudah jelas: pandangan Alquran bahwa bukan Yesus yang mati disalibkan, tetapi orang lain yang
serupa (atau diserupakan) dengan dirinya, adalah kelanjutan dari tradisi Kristen gnostik abad kedua dan abad ketiga yang memegang pandangan yang sama, yang masuk ke dalam Alquran pada waktu Kitab Suci ini ditulis dan disusun oleh Nabi Muhammad (abad ketujuh). Pandangan Kristen gnostik ini bukan mau menyatakan bahwa secara historis Yesus dari Nazaret tidak mati disalibkan; tetapi justru karena Yesus benar-benar mati disalibkan, mereka perlu mencari seorang korban pengganti demi menyelamatkan dan mempertahankan keyakinan mereka bahwa Yesus yang mereka sembah adalah Yesus surgawi, Yesus rohani, yang tidak bisa mati disalibkan. Jika umat Islam mengubah sebuah pandangan teologis menjadi sebuah laporan sejarah, tentu saja pengubahan semacam ini adalah suatu kesalahan. Dengan demikian, harus ditegaskan kembali bahwa Yesus dari Nazaret sungguh-sungguh telah mati melalui penyaliban. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa soteriologi salib valid, sebab berdasarkan sejumlah argumen lainnya telah diperlihatkan bahwa soteriologi ini tidak valid.


Wednesday, May 13, 2009

Apakah "Dosa Warisan" Itu Ada?

The courageous Eve and the forbidden fruit

Soteriologi salib untuk bisa fungsional memerlukan doktrin Kristen tentang “dosa asal” atau “dosa warisan”. Apakah dosa warisan memang ada sehingga harus dibersihkan dan dihapus oleh “darah Yesus” yang tercurah di kayu salib? Inilah pertanyaan yang jawabannya dicari dalam tulisan ini, tulisan kedelapan dari rangkaian tulisan yang menyoroti masalah-masalah dalam soteriologi salib. Jika dapat diargumentasikan bahwa dosa asal tidak ada, maka rontok jugalah validitas soteriologi ini.

Menurut Rasul Paulus, dosa asal itu ada, yakni bermula dari pelanggaran dan ketidaktaatan Adam terhadap ketetapan dan larangan Allah. Dosa Adam dan kematian sebagai hukumannya, tulis Paulus, “telah menjalar kepada semua orang” (Roma 5:12-19). Di perikop surat Roma ini, Paulus hanya menyebut Adam sebagai sumber dosa asal. Dia tidak menyebut Hawa, yang menurut tuturan Kejadian 3:1-24 (yang pasti dikenal Paulus) adalah orang pertama yang mengambil buah dari pohon terlarang (Kejadian 2:17; 3:3), lalu memakannya dan memberikannya kepada suaminya, Adam, yang lalu juga ikut memakannya (Kejadian 3:6). Bisa jadi, para pendukung teologi feminis dalam zaman kita sekarang ini sangat senang, sebab Rasul Paulus tidak menunjuk kepada Hawa sebagai sumber dosa asal. Tetapi nanti dulu!

Dalam surat pastoral 1 Timotius yang ditulis pada akhir abad pertama atau permulaan abad kedua Masehi, yang bukan buah tangan Rasul Paulus, kita baca sesuatu yang pasti menusuk hati kaum feminis: “Seharusnya perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa” (2:11-14; bdk. 1 Petrus 3:1-7). Tentu saja kaum feminis modern, dengan hermeneutik resistensi mereka, akan satu suara menyatakan bahwa teks yang menyudutkan dan merendahkan kaum perempuan ini bukan firman Allah, tetapi firman seorang manusia laki-laki dalam suatu masyarakat patriarkal yang merendahkan dan menindas kaum perempuan. Mereka juga pasti akan sangat berang terhadap, antara lain, seorang pemimpin gereja dari abad kedua, Tertullianus, yang dengan memakai Kejadian 3 sebagai titik pijaknya menegur kaum perempuan Kristen zamannya dengan sangat keras, demikian, “Kalian adalah pintu gerbang masuknya setan ke dalam dunia ... kalian adalah dia [Hawa] yang membujuknya [Adam], yang setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap jenis kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada” (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12). Tentu kaum feminis akan langsung menangkap ada misogini (= kebencian terhadap kaum perempuan) yang sangat kuat dalam kedua teks ini, yang satu teks skriptural dan yang lainnya bukan.

Di dalam sebuah dokumen yang dibeli British Museum pada tahun 1785, yang berjudul Pistis Sofia (ditulis tahun 250 M), misogini bahkan dikatakan juga ada pada Rasul Petrus, yang menurut Gereja Katolik Roma adalah bapak moyang semua Paus. Teks Pistis Sofia 72 memuat ucapan Maria Magdalena tentang Rasul Petrus kepada Yesus dan para rasul lainnya, demikian, “Guruku, aku memahami dalam pikiranku bahwa aku dapat maju ke muka kapan saja untuk menafsirkan apa yang Pistis Sofia telah katakan, tetapi aku takut kepada Petrus, karena dia telah mengancam aku dan membenci jenis kami.” Teks Pistis Sofia yang semacam ini tentu dilatarbelakangi oleh adanya suatu persaingan tajam antara rasul-rasul perempuan dan rasul-rasul pria ketika para rasul pria belum menguasai seluruh jenjang kepemimpinan dalam gereja awal dulu (lebih jauh tentang Pistis Sofia, klik di sini).

Nah, untuk membela dan merehabilitasi Hawa serta melawan misogini, banyak pendukung feminisme pada masa kini berpaling ke teks-teks ekstrakanonik yang ditulis kalangan gnostik pada abad kedua dan ketiga, yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir, pada tahun 1945. Di antara 52 traktat yang ditemukan di Nag Hammadi ini, dokumen Hipostasis Para Arkhon dan dokumen Guntur: Pikiran Sempurna khususnya patut diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh mereka.

Dalam kedua dokumen gnostik ini, Hawa digambarkan bukan sebagai asal-muasal “dosa asal” (original sin), tetapi sebagai asal-muasal dari apa yang saya dapat sebut sebagai “karunia asal” (original grace). Karena apa? Karena, di dalam dokumen-dokumen gnostik ini, Hawa (atau Kuasa Spiritual Feminin yang ada dalam dirinya) dipandang sebagai hero yang dengan sangat berani telah melakukan langkah yang betul dan signifikan, yakni melawan Allah untuk mendapatkan “pengetahuan” (Yunani: gnosis) yang begitu penting dalam pandangan kalangan gnostik sebagai jalan menuju pencerahan dan pembebasan, buat Hawa sendiri, buat suaminya, dan buat seluruh umat manusia setelah mereka. Perspektif khas gnostik ini dapat menjadi suatu landasan untuk mengangkat refleksi liberal berikut ini dan menerapkan hermeneutik resistensi.

Keberanian Hawa melanggar larangan Allah (lihat Kejadian 2:17), dengan dia memetik “buah terlarang” (yang kita sering bayangkan sebagai buah apel) lalu memakannya dan memberikannya kepada suaminya, Adam, telah membuat mata keduanya “terbuka.” Dengan tindakan heroik Hawa itu, mereka mendapatkan pencerahan dan pengertian serta pengetahuan. Mereka, seperti dikatakan sang ular, berhasil menjadi “seperti Allah, tahu tentang hal yang baik dan hal yang jahat” (Kejadian 3:5), pengetahuan yang sebenarnya semula Allah ingin kuasai sendirian. Tetapi, bukankah, menurut Kejadian 1, “menjadi seperti Allah” adalah suatu kodrat yang diberikan kepada Adam dan Hawa ketika Allah menciptakan mereka sebagai “gambar dan rupa Allah” (Kejadian 1:26-27)? Jadi, kalau Adam dan Hawa bertindak memakan buah terlarang itu, buah “pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat”, bukankah tindakan mereka ini sejalan dengan kodrat mereka yang mulia? Di mana kesalahan mereka, di mana dosa asal dari mereka? Apa perlu ada larangan itu?

Apakah dengan tindakan pelanggaran ini, Hawa, dan suaminya, Adam, langsung mati, seperti diingatkan dan diancamkan Allah sebelumnya, bahwa “pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kejadian 2:17; 3:3)? Seperti dikatakan sang ular bahwa “Sekali-kali kamu tidak akan mati” (Kejadian 3:4), Adam dan Hawa ternyata memang tidak mati, malah keduanya masih hidup beberapa ratus tahun ke depan (lihat Kejadian 5:5) dan melahirkan keturunan. Ancaman dan peringatan dari Allah ternyata tidak terjadi; hal ini bisa disebabkan Allah berdusta, tidak konsisten, atau karena hal lain. Bahwa mereka berdua tidak mati membuktikan bahwa larangan Allah itu sebetulnya tidak diperlukan, salah tempat, dan tidak memiliki kekuatan. Bagaimanapun juga, “pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat”, yang diperoleh Adam dan Hawa melalui perlawanan mereka kepada Allah, sangat penting untuk mengawal perjalanan peradaban manusia, dari tahap primitif primordial di Taman Eden sampai ke tahap modern dalam zaman sekarang. Bukankah sebagai “gambar dan rupa Allah” manusia diperintahkan untuk “menguasai” dan “menaklukkan” seluruh alam dan segenap isinya (Kejadian 1:26-28)? Bukankah untuk bisa menguasai dan menaklukkan seluruh alam dengan bijaksana diperlukan pengetahuan tentang moralitas, tentang hal yang baik dan hal yang jahat? Dengan demikian, harus ditegaskan, yang “menjalar” dari Adam dan Hawa bukanlah dosa asal dan kematian sebagai hukumannya, seperti dibayangkan Rasul Paulus, melainkan karunia atau rakhmat asal dan kehidupan, seperti dibayangkan kalangan gnostik. Karunia asal dan kehidupan ini dapat mengalir dari Taman Eden kepada semua umat manusia karena keberanian Hawa untuk mendapatkan pengetahuan kendatipun untuk itu Hawa harus melawan Allah yang memang tampil membingungkan.

Jelas, perspektif gnostik di atas berhasil merehabilitasi Hawa; dan kalangan pembela feminisme patut bersorak-sorai karenanya. Tetapi, apa kata penulis Kejadian 3 tentang akibat yang ditimbulkan “mata yang terbuka”, “pengetahuan” dan “pengertian” yang berhasil dicapai Hawa dan dibagi kepada Adam? Penulis Kejadian 2:4b-3:24, yang mewakili kalangan sastrawan Yahwis “ortodoks” istana dalam zaman pemerintahan Raja Daud (abad X SM), ternyata tidak memihak kepada Adam dan Hawa yang sebetulnya sudah tercerahkan.

Dalam kesimpulan si penulis Kejadian 3, buah pohon terlarang yang dimakan Hawa dan diberikan kepada suaminya, Adam, membuat “mata mereka terbuka” sehingga mereka bisa melihat “bahwa mereka telanjang” dan untuk menutupi ketelanjangan mereka itu, mereka “menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” (Kejadian 3:7). Jelas, di sini si penulis ini memaknai kata “telanjang” sebagai sesuatu yang memalukan, sesuatu yang menimbulkan aib, sesuatu yang tidak pantas, sesuatu yang tidak sopan, sesuatu yang tidak baik, sesuatu yang buruk, sesuatu yang tidak bermoral, karena itu harus ditutupi. Dengan demikian, baginya, ketika Adam dan Hawa, dan juga seluruh umat manusia keturunan mereka, mau “menjadi seperti Allah” dan bertindak ke arah itu dengan melanggar larangan Allah, yang akhirnya mereka dapatkan hanyalah rasa malu, aib, dan keadaan tidak bermoral. Posisi etis teologis si penulis Kejadian 3 ini jelas: manusia tidak boleh melanggar perintah Allah yang sudah ditetapkan atau dituliskan, apapun isi perintah itu, kalau mereka tidak ingin akhirnya menemukan diri mereka aib dan memalukan! Dilihat dari sudut posisi etika, jelas dia adalah seorang yang legalistik skripturalis. Bisa jadi, tuturannya dalam Kejadian 3 memang dimaksudkannya sebagai sebuah pesan kepada Raja Daud dan rakyatnya bahwa untuk negara dan bangsa bisa maju dan mengalami kejayaan, bukan kejatuhan, mereka semua harus setia kepada firman Allah, kepada Taurat Musa, dan menaatinya secara harfiah. Tentu saja, dengan berpijak pada hermeneutik resistensi, kita bisa melawan dan menolak kesimpulan si penulis Kejadian 3 ini, dan mempersoalkan posisinya dengan rasional.

Pertama, dalam kisah sebelumnya, si penulis Kejadian 2:4b-3:24 menuturkan bahwa Tuhan “mengambil Adam dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kejadian 2:15). Jadi, di Taman Eden Tuhan Allah tidak begitu saja memberikan segala sesuatunya dengan serba lengkap kepada Adam untuk dia dapat hidup. Sejak awal, Taman Eden bukanlah sesuatu yang sudah jadi, tetapi sesuatu yang masih harus diolah, sesuatu yang masih belum sempurna. Adam tetap harus berpikir, bekerja keras, bersusah payah, berkeringat, berlelah-lelah, dalam mengusahakan dan memelihara taman itu. Adam tetap harus melakukan tindakan budaya. Tindakan naluriah saja sangat tidak memadai. Dengan demikian, untuk melaksanakan perintah kultural “mengusahakan dan memelihara” taman, Adam memerlukan bukan naluri, bukan hanya tubuh dan tenaga, tetapi pengetahuan dan teknologi, mulai dari yang sederhana sampai yang lebih kompleks! Yakni pengetahuan tentang pengelolaan tanah atau tempat kehidupan manusia, pengetahuan tentang bagaimana mengelola tanah dengan sebaik-baiknya dan pengetahuan tentang bagaimana menghindari kesalahan-kesalahan dalam mengelola, supaya dihasilkan banyak kebaikan, keuntungan dan manfaat buat Adam. Bukankah sudah seharusnya Allah, sebagai sang Pencipta Adam dan tempat kehidupannya, memberinya pengetahuan itu?

Jadi, kalau di tengah Taman Eden tumbuh “pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat”, biarkanlah Adam memetik buahnya dan memakannya. Bukankah pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat memungkinkan Adam memikirkan perihal bagaimana membangun kehidupan yang menghasilkan kebaikan dan menghindari kehidupan yang menimbulkan kejahatan? Bukankah pengetahuan tentang moralitas, pengetahuan tentang nilai-nilai, pada saatnya mendorong orang untuk juga menciptakan pengetahuan material yang bisa membantunya hidup dengan baik dan terhindar dari hal yang jahat dan hal yang buruk? Bukankah pengetahuan tentang moralitas mendorong orang untuk juga menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan ilmiah, sains? Moralitas atau etika, sebagai suatu pengetahuan, mendorong penemuan dan pengembangan sains, tidak menghambat dan menghalanginya. Jadi, supaya manusia bisa terus maju, seharusnya Allah mendorong Adam memetik dan memakan buah pohon tentang hal yang baik dan hal yang jahat yang ada di tengah Taman Eden, bukan melarangnya.

Dengan demikian, kalau dituturkan bahwa Tuhan Allah memberi perintah dan larangan kepada Adam untuk tidak memakan buah “pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat” (Kejadian 2:17), si penulis kisah ini membuat Tuhan Allah menjadi suatu figur yang tidak konsisten, yang tidak mengetahui hal-hal yang dibutuhkan Adam dalam mengusahakan dan memelihara atau mengelola taman tempat dia hidup. Tuhan Allah yang semacam ini adalah Tuhan Allah yang, boleh dikatakan, bodoh, tidak maha tahu, penghambat, dan tidak bertanggungjawab. Tentu saja, hemat saya, orang tidak perlu menaati dan tunduk pada Allah yang semacam ini. Dengan demikian, tindakan Hawa mengikuti petunjuk dan pengarahan sang ular adalah suatu tindakan yang benar, yang memang diperlukan untuk manusia bisa mengelola lingkungan tempat kehidupannya, untuk berbudaya. Dengan demikian, yang dibuat di Taman Eden bukanlah dosa asal, tetapi suatu tindakan berani Hawa untuk memungkinkan manusia melakukan tindak budaya primordial, yang akan terus dikembangkan manusia keturunan Adam dan Hawa di mana-mana dan di segala zaman. Adam dan Hawa bukanlah tipe manusia pembangkang, tetapi tipe manusia yang dengan bertanggungjawab memakai “kehendak bebas” mereka (bdk Kejadian 2:16; 3:2) untuk membangun suatu bentuk primitif kebudayaan. Allah tidak boleh menghalangi kehendak bebas yang ada pada manusia, jika kehendak bebas ini dipakai manusia untuk mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya yang diperlukan untuk dengan penuh tanggungjawab mengelola tempat kehidupannya dan dunia luas ciptaan Allah. Dan sampai sekarang, dari sebagai bayi sampai rambut memutih, manusia manapun tidak kehilangan kehendak bebas mereka. Tidak ada dosa asal yang merenggut kehendak bebas manusia.

Kedua, menurut si penulis Kejadian 2:4a-3:24, Adam adalah suami dari Hawa (Kejadian 3:6), dan Hawa adalah istri Adam (Kejadian 2:24). Sebagai suami dan istri mereka berdua “telanjang, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kejadian 2:25). Nah, bagaimana mungkin sebagai pasangan suami dan istri, Adam dan Hawa saling tidak mengetahui bahwa keduanya telanjang? Mereka, sebelum memakan buah terlarang, sudah mengetahui bahwa mereka berdua telanjang, meskipun demikian keduanya tidak merasa malu. Jadi, si penulis bagian kitab Kejadian ini melupakan apa yang dia telah tulis sebelumnya ketika dia menarik kesimpulan yang sudah disebut di atas. Atau, dengan kata lain, kesimpulannya itu adalah kesimpulan yang tidak perlu, yang tidak pada tempatnya, kesimpulan yang keliru. Walaupun demikian, dilihat dari sisi lain, bukankah sesuatu yang baik jika Adam dan Hawa, sebagai akibat memakan buah terlarang itu, mendapatkan pengetahuan bahwa mereka harus menutupi alat-alat vital mereka, aurat mereka, yang satu dengan cawat (Adam), dan yang lainnya dengan daun pohon ara (Hawa)? Bukankah tindakan mereka ini menandakan mereka mengalami peningkatan pemahaman moralitas tentang merawat tubuh dan tentang menjalani kehidupan sosial yang sopan dan beradab? Hemat saya ini adalah suatu akibat yang baik dilihat dari sudut moralitas. Dengan demikian, bukan dosa asal yang dibuat mereka, tetapi suatu peningkatan kesadaran tentang bagaimana menjalani suatu kehidupan sosial yang beradab.

Tetapi pandangan si penulis Kejadian 3 tidak demikian: baginya hasil dari memakan buah terlarang, dari tindakan untuk menjadi sama dengan Allah, adalah sangat buruk dan menimbulkan aib, karena melanggar ketetapan Allah. Karena itu, pantaslah kalau si penulis ini selanjutnya menuturkan bahwa Allah, setelah mengetahui pelanggaran Adam dan Hawa, menjatuhkan hukuman berat kepada mereka berdua, kepada sang ular yang sebetulnya baik hati, dan kepada tanah (Kejadian 3:14-19). Nah, sekarang saatnya kita meninjau sekian hukuman yang dijatuhkan Tuhan Allah kepada Adam dan Hawa, ular dan bumi, untuk kita menemukan apakah semua keadaan yang ditimbulkan oleh hukuman ini memang timbul karena dosa asal atau merupakan hal-hal yang memang kodrati dalam diri dan kehidupan manusia.

Yang pertama-tama ingin saya tekankan adalah bahwa Kejadian 3 bukanlah sebuah deskripsi naratif historis tentang Taman Eden dan tiga makhluk hidup penghuninya (Adam, Hawa dan ular) serta apa yang mereka perbuat, tetapi sebuah etiologi mitologis, sebuah kisah fiktif, sebuah metafora, yang disusun ketika si penulisnya bertanya dan bergumul mengenai asal-usul dan sebab-musabab hal-hal eksistensial yang dilihat dan dialaminya setiap hari, lalu dia sendiri dengan imajinatif dan spekulatif mengupayakan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Bahwa kisah alkitabiah tentang Adam dan Hawa dalam Kejadian 2:4b-3:24 bukanlah sebuah kisah sejarah, melainkan sebuah mitologi, sebuah dongeng, sebuah metafora, ditunjukkan oleh hal-hal yang dikisahkannya. Antara lain, hanya dalam dongeng saja ada pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat, yang kalau buahnya dimakan si pemakan akan langsung menjadi cerdas dan berpengetahuan, menjadi seperti Allah. Hanya dalam kisah fiktif saja ada ular yang bisa berbicara. Hanya dalam mitologi saja, Allah digambarkan bertubuh, berkaki dan bermulut, yang biasa berjalan-jalan di Taman Eden di hari-hari yang sejuk, lalu menyidik Adam dan Hawa ketika keduanya kedapatan bersembunyi dari hadapan Allah. Hanya dalam dongeng saja ada dua orang manusia yang tidak berpusar, Adam dan Hawa, karena mereka tidak dikandung dalam rahim ibu mereka, tetapi langsung jadi sebagai manusia dewasa. Cuma dalam dongeng saja ada orang (yakni Adam) yang usianya sampai 930 tahun (Kejadian 5:5).

Saya juga ingin tegaskan bahwa si penulis etiologi Kejadian 3, dalam membuat tuturannya, tidak memulainya dari apa yang dulu sekali terjadi di Taman Eden, tetapi dia memulainya dari apa yang dilihat dan dialaminya setiap hari dalam kehidupannya. Si penulis kisah fiktif ini tidak bergerak dari Taman Eden zaman dulu ke depan, melainkan dari zamannya dan lingkungannya (di abad X SM) mundur ke belakang dengan sangat jauh, ke permulaan kehidupan manusia di muka bumi. Rasul Paulus dan beberapa penulis Perjanjian Baru lainnya, dan beberapa pemimpin gereja di abad kedua dan ketiga, telah menjadikan tuturan Kejadian 3 sebagai tuturan tentang apa yang dulu terjadi di Taman Eden dan akibat-akibatnya ke depan, yang dialami oleh umat manusia setelah kehidupan Adam dan Hawa di Taman Eden.

Jadi, karena kisah tentang Adam dan Hawa ini fiktif, konsep tentang dosa asal juga konsep yang fiktif, bukan konsep yang berpijak pada sejarah. Bagaimanapun juga, untuk mengkritik dogma tentang dosa warisan, kita harus mengikuti alur kisah fiktif ini dan penalaran yang dikembangkan di dalamnya.

Si penulis Kejadian 3, dari apa yang dilihatnya, bertanya, apa sebabnya ular menjalar dengan perutnya dan tinggal dalam liang di dalam tanah dan dimusuhi dan menyerang manusia (kejadian 3:14-15). Tentu saja dia tidak bisa memanfaatkan sains evolusi Darwinian yang baru muncul beberapa puluh abad sesudah zamannya untuk menerangkan apa sebabnya (hampir) semua ular tidak berkaki, bergerak menjalar dengan perut, dan berdiam di dalam tanah. Dia tidak mempersoalkan ular air, ular sungai atau ular laut atau ular pohon atau ular-ularan. Jawabannya teologis etiologis dan sederhana: ular menjadi binatang semacam itu karena dulu sekali nenek moyang hewan ini sudah dikutuk Allah berhubung binatang melata ini sudah menyesatkan Hawa dulu di Taman Eden dengan membujuk dan memperdayanya untuk memakan buah terlarang. Jawaban teologisnya ini merugikan hewan yang dinamakan ular. Binatang ini umumnya dibenci dan ditakuti kebanyakan manusia. Setiap kita bertemu ular tanah, apalagi kalau ular ini masuk ke rumah kita, berbisa ataupun tidak, kita cenderung mau membunuhnya, karena kita geli dan jijik pada bentuk tubuh dan lendirnya dan takut pada bisanya yang mematikan, ditambah lagi karena kita, celakanya, dengan bodoh menganggap hewan ini sudah dikutuk Allah!

Syukurlah, sekarang ini sudah ada banyak gerakan pencinta ular yang mau melindungi hewan ini. Seharusnya memang demikian, karena ular telah menjadi pandu yang baik bagi Hawa untuk mendapatkan pengetahuan, dan karena itu sudah pada tempatnya hewan ini menerima pujian, berkat, cinta dan perlindungan, bukan kutuk dan permusuhan. Jadi, sudah seharusnya kita menolak jawaban teologis si penulis Kejadian 3 ini, dan mencari jawab atas pertanyaannya mengenai asal-usul bentuk fisik ular bukan pada teologi, pada dosa asal, tetapi pada sains evolusi. Kalaupun kita harus juga memberi suatu jawaban teologis, bukankah seharusnya kita katakan bahwa sudah seharusnya Allah menyayangi ular sebagai salah satu ciptaannya, dan malah harus lebih memberkati hewan menjalar ini karena hewan ini dulu telah membantu Hawa memperoleh pengetahuan. Selain itu, hendaknya kita tahu bahwa banyak manusia dalam kebudayaan dan agama yang berbeda-beda memuja ular dan memandangnya sebagai hewan suci, bahkan hewan ini seringkali, dalam beberapa kebudayaan, diyakini sebagai penjelmaan para dewa dalam dunia manusia. Jadi, jawaban si penulis Kejadian 3 bukanlah satu-satunya jawaban, malah merupakan sebuah jawaban yang buruk!

Selanjutnya, si penulis Kejadian 3 bertanya, apa sebabnya kaum perempuan di muka bumi mengalami kesusahan waktu mengandung bayi selama 9 bulan, dan apa sebabnya mereka merasa sakit ketika bersalin, dan apa sebabnya perempuan berahi kepada suaminya dan ditaklukkan kaum lelaki (Kejadian 3:16). Jawabannya kembali teologis etiologis dan sederhana: kaum perempuan mengalami semua keburukan dan keadaan berat itu karena dulu nenek moyang mereka, Hawa, telah berbuat dosa melanggar larangan Allah, dan mereka kini harus menanggung akibat dosa yang diwariskan Hawa ini. Betulkah demikian? Hemat saya sama sekali tidak betul!

Setiap perempuan yang mengandung tentu saja secara alamiah biologis mengalami hal-hal yang biasanya, ketika tidak sedang mengandung, mereka tidak alami. Perubahan-perubahan hormonal dalam tubuh dapat menyebabkan rasa mual dan menimbulkan bercak-bercak kecil pada tubuh. Ngidam mangga asam, misalnya, bisa timbul karena dia menginginkan lebih banyak perhatian dan pemanjaan dari suami, tetapi bisa juga karena pengaruh hormonal, bukan hanya gejala psikologis. Lagi pula, faktanya adalah bahwa kebanyakan perempuan merasa berbahagia jika mereka sedang mengandung, bukan sebaliknya merasa disusahkan oleh kandungannya, pun seandainya dia mengandung bayi yang ihwal siapa ayahnya tidak jelas atau mengandung karena korban perkosaan atau karena kealpaan menjaga kesucian.

Semua orang tahu bahwa seorang ibu yang sedang bersalin menderita rasa sakit bukan karena sedang menanggung hukuman atas dosa asal Hawa dulu, melainkan karena saluran leher rahim menuju vagina memang sangat kecil dan sempit. Sudah seharusnya fakta anatomis fisikal ini tidak disangkal oleh penjelasan teologis apapun! Bukankah Allah juga yang menciptakan saluran leher rahim yang berukuran sangat sempit jika dibandingkan dengan ukuran kepala dan tubuh bayi yang sedang memberojol keluar dari rahim ibunya?

Lebih lanjut, bukankah manusia yang normal, suami maupun istri, memiliki nafsu berahi yang perlu disalurkan melalui hubungan badaniah dengan pasangannya, baik untuk tujuan prokreasi ataupun untuk tujuan tunggal mencapai kenikmatan? Jadi, keduanya haruslah saling berahi terhadap mitranya jika mereka mau mempunyai anak yang akan dikandung sang istri. Jika sang istri berahi lebih dulu terhadap suaminya, apa salahnya? Bukankah untuk bersetubuh harus ada yang berahi lebih dulu, entah sang istri dulu atau sang suami dulu, lalu disusul dengan yang satu merangsang yang lainnya? Mengapa eros atau dorongan seksual dipandang negatif dalam hubungan suami dan istri, sementara Allah sudah memerintahkan manusia di bumi ini untuk “beranak cucu”? Di samping itu, bukankah faktanya adalah bahwa kaum prialah yang umumnya memiliki libido, atau nafsu berahi, lebih besar dan lebih agresif ketimbang kaum perempuan?

Masyarakat si penulis Kejadian 3 yang memang masyarakat patriarkal menyebabkan kaum lelaki berkuasa atas kaum wanita; ini adalah fakta sosio-kultural, bukan fakta teologis yang penyebabnya harus dicari sampai pada pemberontakan pasangan manusia pertama di Taman Eden terhadap Allah dan tindakan Hawa memberi Adam buah terlarang. Di dunia ini masih ada banyak kebudayaan matriarkal yang menempatkan kaum perempuan dalam kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kaum lelaki. Patriarki dan matriarki ada bukan dikarenakan dosa Adam atau dosa Hawa dulu, tetapi dibentuk dengan sadar oleh masyarakat dan kebudayaan manusia melalui konsensus-konsensus sosio-politis dan kultural. Tetapi, masyarakat modern dewasa ini umumnya bersifat demokratis, egaliter dan emansipatoris, tidak lagi memperlakukan kaum wanita sebagai warga kelas rendahan; hal ini juga hasil konsensus nilai-nilai yang ditetapkan anggota masyarakat masa kini.

Nah, kesalahan si penulis Kejadian 3 adalah dia memberi alasan teologis yang tidak tepat terhadap hal-hal yang sebenarnya hormonal, psikologis, sosiologis dan kultural. Ini terjadi jelas karena dia tidak dilatih untuk berpikir dan menganalisis secara interdisipliner; dia hanya bisa mengasalkan segala hal buruk yang ada di sekitarnya pada dosa asal yang sebenarnya tidak ada. Bagi dia, teologi harus bisa menjelaskan segala sesuatu, suatu posisi yang kebablasan!

Si penulis Kejadian 3 akhirnya bertanya, apa sebabnya tanah di muka bumi tidak subur, hanya menumbuhkan “semak duri dan rumput duri” , dan padang hanya menumbuhkan ilalang; dan apa sebabnya manusia harus “bersusah-payah” dan “berpeluh” dalam mencari nafkah, rejeki dan makanan; lalu mengapa akhirnya, setelah mengalami semua penderitaan ini, manusia harus mati, “kembali lagi menjadi tanah” atau “kembali lagi menjadi debu” (Kejadian 3:17-19). Dia memberi jawaban teologis etiologis yang juga bersahaja: karena tanah sudah dikutuk Tuhan Allah; dan akibatnya, tanah tidak lagi subur sehingga manusia harus bekerja keras membanting tulang untuk mengusahakannya sampai manusia mati. Kalau ditanyakan kepadanya, mengapa tanah dikutuk dan manusia harus menderita dalam kehidupan dan pekerjaannya sampai dia mati, si penulis menjawab: ini semua terjadi karena “Adam telah mendengarkan perkataan istrinya dan memakan buah pohon terlarang” (Kejadian 3:17). Ringkas kata, sumber semua penderitaan manusia dan ketidaksuburan bumi, bagi si penulis Kejadian 3, adalah dosa asal Adam dan Hawa. Betulkah demikian, kita harus bertanya.

Andaikan dosa asal itu ada, yang melakukan dosa asal ini bukanlah tanah, tetapi manusia. Jadi mengapa tanah yang harus menanggung kutuk? Ada orang yang barangkali mau berargumentasi demikian: Ya, jelas, tanah juga harus dikutuk, sebab asal-usul manusia (adam) adalah tanah (adamah), sehingga kesalahan manusia juga harus ditanggung tanah. Tetapi, bukankah ketika manusia sudah menjadi makhluk yang hidup dan memiliki kesadaran nurani dan kehendak bebas, dia sendirilah, bukan benda lain, yang harus menanggung akibat dari perbuatannya? Jadi, sangat tidak bermoral kalau tanah yang harus disalahkan dan dikutuk, sementara yang bersalah adalah manusia, dan tanah, sebagai benda mati, tidak bisa diminta pertanggungjawaban moral. Jadi jelaslah, Tuhan Allah salah mengalamatkan kutukannya.

Tetapi, karena dosa asal tidak ada, maka kalau tanah tidak subur, ketidaksuburan ini bukan dikarenakan dosa asal, tetapi oleh sebab-sebab lain, misalnya iklim kering yang keras, lokasi geografis dan topografis yang tidak menguntungkan, kesalahan manusia dalam memanfaatkan tanah, jenis tanah yang buruk, irigasi yang jelek, ketiadaan teknologi yang bisa menyuburkan tanah gersang, dan kemiskinan penghuni tanah. Sebab-sebab yang lain ini adalah kenyataan masa kini yang harus diatasi. Mengasalkan ketidaksuburan tanah pada pelanggaran Adam dan Hawa dulu sama sekali tidak menyelesaikan masalah; malah ini akan membuat penduduk tanah kering menyerah total pada kekerasan alam karena beranggapan tanah mereka sudah dikutuk sehingga tidak akan bisa diubah menjadi tanah yang subur. Jangan dilupakan, di muka bumi ini dulu maupun sekarang ada banyak tanah yang subur, sangat banyak dan sangat luas, yang di atasnya dibangun peradaban yang tinggi dan penghuninya hidup makmur. Saya jadi bertanya-tanya, mengapa si penulis Kejadian 3 memusatkan perhatiannya hanya pada tanah yang tidak subur, yang hanya menumbuhkan “rumput duri dan semak duri”, sementara tanah Palestina zaman Raja Daud adalah tanah yang subur dan kerajaan yang dipimpinnya sedang jaya dan rakyatnya banyak yang makmur? Kalau tuturannya mengenai tanah yang tidak subur dalam Kejadian 3 dimaksudkannya untuk menarik perhatian Raja Daud pada bagian-bagian dari kerajaannya yang memang tidak subur, jawabannya mengenai penyebab ketidaksuburan ini jelas mematikan niat dan prakarsa siapapun yang berdiam dalam kerajaan yang semua penduduknya religius dan taat kepada hukum Allah, yang mau mengupayakan perbaikan kehidupan rakyat.

Selanjutnya, apakah ada yang salah kalau manusia harus “berpeluh” dan “bersusah payah” dalam mencari rejeki dan makanannya setiap hari? Si penulis Kejadian 3 memandang keringat dan kerja keras sebagai hal-hal yang buruk, sebagai hukuman atas dosa asal Adam dan Hawa. Baginya, keringat dan kerja keras hanya menimbulkan penderitaan dalam diri manusia. Benarkah demikian? Bukankah dalam realitas kehidupan sehari-hari, kerja keras dan keringat yang bercucuran seringkali membahagiakan banyak orang yang berkarya, karena mereka memandang kerja keras mereka dengan positif sebagai tugas dan panggilan mulia bagi mereka sebagai makhluk pekerja? Bukankah Tuhan Allah menempatkan Adam di Taman Eden yang masih harus “diusahakan” dan “dipelihara” olehnya? Seperti sudah dikatakan di atas, Taman Eden bukanlah tempat kehidupan yang sudah serba lengkap dan sempurna. Adam masih harus mengusahakan dan memeliharanya, yakni melakukan aktivitas kultural demi kelangsungan kehidupannya sendiri. Dengan demikian, bekerja keras dan berkeringat adalah hal-hal yang memang Tuhan Allah kehendaki untuk Adam lakukan. Bekerja dan berpeluh bukanlah hukuman, dan juga bukan penderitaan, tetapi amanat yang Tuhan Allah sudah berikan pada awal kehidupan manusia di muka bumi. Jadi, kita harus tidak sepakat dengan si penulis Kejadian 3 yang memandang kerja keras dan keringat sebagai penderitaan yang harus ditanggung manusia sebagai hukuman atas dosa asal Adam dan Hawa. Manusia akan mati bukan karena dia mendapatkan dan memakan buah pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat sehingga dia tercerahkan, melainkan kalau dia tidak bekerja!

Tentu kita tidak boleh menutup mata terhadap ketimpangan sosio-ekonomi dalam masyarakat yang menyebabkan ada orang yang harus bekerja sangat keras dalam sehari, melebihi kemampuan dan tenaganya sendiri dengan hasil yang sangat sedikit, sementara ada orang yang bekerja sangat ringan dan hanya sebentar dalam sehari dengan hasil berlimpah ruah, jauh melebihi apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak. Dalam menghadapi keadaan yang memang buruk dan menimbulkan penderitaan ini, kita harus dengan tegas menyatakan bahwa ketimpangan semacam ini bukan timbul dari dosa asal Adam dan Hawa, melainkan karena masyarakat masa kini belum dikelola dengan sepenuhnya berlandaskan pada azas keadilan sosio-ekonomi dan hukum, masih maraknya praktik-praktik monopoli sosio-ekonomi, belum memihaknya kebijakan politik pembangunan kepada rakyat miskin, tidak meratanya tingkat pendidikan yang diterima rakyat, tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih baik, dan KKN yang merajalela di mana-mana yang makin menyudutkan rakyat miskin dan melemahkan kekuatan pemerintah.

Tibalah pertanyaan puncak si penulis Kejadian 3: Mengapa manusia akhirnya harus mati, “kembali lagi menjadi tanah/debu”? Sudah ditulis di atas, Rasul Paulus sependapat dengan si penulis Kejadian 3, bahwa manusia mati sebagai akibat dosa asal yang dibuat Adam dulu di Taman Eden. Betulkah manusia mati karena akibat dosa asal? Bukankah dosa asal tidak ada; dan yang ada adalah karunia asal? Jika demikian, mengapa manusia akhirnya mati?

Dari uraian di atas, kita sudah tahu bahwa meskipun Adam dan Hawa sudah melanggar larangan keras Tuhan Allah, mereka tidak langsung mati, malah masih terus hidup beberapa abad ke depan dan melahirkan banyak keturunan. Jadi, “pelanggaran” mereka, atau “dosa asal” mereka, tidak langsung menimbulkan kematian, tidak sebagaimana diperingatkan dan diancamkan Allah: “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati!” (Kejadian 2:17). Menurut catatan mitologis dalam Kejadian 5:5, Adam mencapai umur sembilan ratus tiga puluh tahun, “lalu ia mati”. Kematian Adam dalam usia sangat tua ini terjadi di luar Taman Eden (lihat Kejadian 3:23-24), jauh sesudah Adam dan Hawa memakan buah pohon terlarang. Jadi, Adam mati karena usianya yang sudah sangat tua, bukan karena pelanggaran yang dia dan Hawa buat di Taman Eden beberapa ratus tahun sebelumnya. Karena itu harus kita katakan, Adam mati oleh suatu penyebab lain, bukan karena hukuman Allah atas pelanggaran yang dibuatnya bersama Hawa. Dia mati, sekali lagi harus dikatakan, karena usianya yang sudah tua, karena tubuhnya yang sudah renta dan uzur. Dia mati karena penyebab alamiah.

Kita sudah catat di atas, bahwa ketika Adam sudah diciptakan, dia diperintahkan Tuhan Allah untuk melakukan tindak kultural “mengusahakan dan memelihara” Taman Eden. Begitu juga, pekerjaan yang sama harus dia lakukan ketika dia sudah diusir dari Taman Eden (Kejadian 3:23). Jadi, Adam memang harus terus bekerja, dan bekerja adalah perintah dan kehendak Allah. Tubuh yang terus dipakai untuk bekerja suatu saat, ketika waktunya tiba, akan melemah dan terus akan melemah, sampai akhirnya tidak bisa difungsikan lagi. Ini adalah hukum alamiah, hukum kodrat, yang juga berlaku pada semua benda yang tidak bernyawa, yang secara fisik lebih kuat dari daging, otot dan tulang manusia. Sebuah mobil Merzedes baru yang setiap hari dipakai, dan juga dirawat dengan baik, ketika umurnya tiba, katakanlah sampai 10 tahun, akhirnya tidak berfungsi lagi, dan kebanyakan (di negara-negara maju) akhirnya dijadikan besi tua, dipress lalu dionggokkan dan ditimbun begitu saja setelah mesin-mesinnya dipreteli dan diubah fungsi dan bentuknya dengan meleburnya.

Jadi, manusia mati karena sudah kodratnya demikian, bukan karena hukuman atas dosa asal yang Adam dulu buat. Tetapi kita boleh bertanya: Bisakah manusia, dengan tubuh insaninya yang dia miliki, hidup kekal, tidak mati-mati? Jawabnya: Tidak bisa, dan tidak perlu demikian!

Tidak bisa, karena tubuh alamiah semua manusia akan semakin hari semakin menua dan akhirnya uzur dan tidak bisa difungsikan dengan normal lagi. Degenerasi ini terjadi bukan karena akibat dosa asal, melainkan karena gen manusia sudah memetakan dan mengarahkannya demikian. Gen bukanlah ciptaan setan, juga bukan ciptaan dosa, tetapi ciptaan Allah yang sudah ada dalam diri manusia ketika manusia diciptakan Allah. Namun, kita bisa berimajinasi bahwa dengan ilmu biologi molekuler yang makin berkembang dan teknologi rekayasa genetika yang makin canggih, bisa saja suatu saat gen manusia “diutak-atik” dan unsur genetik di dalamnya yang menyebabkan manusia menua “diubah” lalu “diganti” dengan unsur genetik anti-penuaan, anti-degenerasi. Kalau rekayasa genetik semacam ini bisa dilakukan, dan etika mendukungnya, maka manusia tidak akan pernah tua, tidak akan pernah mati secara biologis lagi, dan juga, aha, tidak perlu meminum atau menghisap darah manusia seperti dilakukan makhluk Drakula mitologis untuk bisa hidup kekal.

Tetapi, apakah rekayasa genetik semacam ini diperlukan? Tidak diperlukan, sebab “kekekalan” manusia juga bisa dicapai dengan mempertahankan spesiesnya di planet bumi melalui keturunan yang mereka hasilkan, melalui tindakan prokreasi “beranak-cucu”, dan dengan memberikan anak-cucu mereka pendidikan setinggi-tingginya dan tubuh yang semakin kuat untuk bekal mereka bertahan ketika harus menghadapi berbagai ancaman dan bencana alamiah dan kultural yang mendatangi mereka. Orang-orang yang sudah tua umurnya, yang sudah mengecap banyak pengalaman selama kehidupannya, dan yang sudah mewariskan sains dan teknologi modern, harus dengan rela memberi giliran kepada generasi muda yang lebih cerdas untuk menjaga dan merawat planet bumi ini dan semua bentuk kehidupan di dalamnya, selama tidak ada bencana kosmik yang bisa melenyapkan planet biru ini dari tata surya.

Dengan alih generasi yang direncanakan dengan baik, spesies manusia tidak akan punah dari planet bumi ini, melainkan akan bertahan kekal. Jadi, saya perlu mengatakan kepada Tuhan Allah versi Kejadian 3, bahwa Dia tidak perlu kuatir kalau manusia akan “mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya” (Kejadian 3:22). Jadi, Tuhan Allah bisa menarik kembali pasukan malaikat yang memegang “pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar” yang ditempatkan-Nya di sebelah timur Taman Eden untuk menjaga jalan masuk ke pohon kehidupan (Kejadian 3:24). Kekekalan spesies manusia dicapai bukan dengan “perlawanan kedua” di Taman Eden, tetapi melalui sains dan teknologi yang dimungkinkan dikembangkan terus berkat kepahlawanan Hawa dulu ketika dia memetik dan memakan buah pohon pengetahuan dan membaginya kepada Adam.

Nah, menjelang akhir tulisan ini, sebuah pertanyaan penting masih harus dijawab: Mengapa manusia menderita dalam dunia ini? Mengapa ada penderitaan riil yang dialami manusia dalam kehidupannya? Hemat saya, penderitaan timbul juga bukan karena dosa asal. Bukankah sudah dinyatakan berkali-kali: yang ada bukanlah dosa asal, original sin, tetapi karunia atau rakhmat asal, original grace. Kalau bukan karena dosa asal (tidak seperti dibayangkan si penulis Kejadian 3 dan Rasul Paulus), lantas dari mana datangnya penderitaan manusia? Jawabnya bisa bermacam-macam, bergantung pada bentuk penderitaannya.

Pada kesempatan ini, saya batasi saja pada satu jawaban: penderitaan terjadi dan dialami manusia karena watak agresif manusia. Ketika seorang manusia merasa terancam oleh agresivitas seorang manusia lainnya, orang yang terancam ini mendahului berbuat agresif kepada orang yang mengancamnya. Agresivitas manusia inilah yang menimbulkan perang di mana-mana di dunia ini. Perang antar manusia dan antar makhluk, dalam skala kecil dan dalam skala besar, menimbulkan penderitaan di mana-mana. Kita bertanya, dari mana agresivitas ini muncul? Apakah karena manusia memiliki pengetahuan, maka dia menjadi agresif, seperti dengan sinis dituturkan si penulis Kejadian 3 bahwa ketika Allah menyidik Adam, dengan agresif Adam menyerang dan menyalahkan Hawa, dan ketika Hawa disidik Tuhan Allah, Hawa dengan agresif menyerang dan menyalahkan si ular (Kejadian 3:9-13)? Jelas bukan, sebab pengetahuan yang diperlukan dan akhirnya diperoleh Adam dan Hawa adalah pengetahuan yang membuat mereka bisa membedakan mana hal yang jahat dan mana hal yang baik, bukan yang akan membuat mereka melakukan hal yang buruk: menyerang pihak lain.

Jadi darimana persisnya watak agresif manusia itu? Jawaban teologis terhadap pertanyaan ini telah banyak diberikan oleh agama-agama yang berbeda-beda. Pada kesempatan ini, saya ingin berpaling pada sosiobiologi. Menurut ilmu sosiobiologi, gen bukan saja menurunkan ciri fisik manusia (individual maupun kelompok), tetapi juga watak dan perilaku manusia, sementara para ilmuwan sosial mempertahankan bahwa watak dan perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan kehidupan, pergaulan dan pendidikan manusia. Jadi, para sosiobiolog mempertahankan peran nature
, sedangkan para sosiolog mempertahankan peran nurture dalam pembentukan watak dan perilaku manusia. Memang harus kita terima sebagai fakta bahwa lingkungan pergaulan dan kehidupan manusia kerap mendorong manusia bersikap agresif terhadap sesamanya. Tetapi bahwa sifat agresif juga diturunkan dari nenek moyang manusia lewat gen yang diwariskan, juga adalah suatu fakta yang harus kita terima (meskipun kontroversial!). Nah, kalau nenek moyang paling awal dari manusia berasal dari hewan (menurut pandangan sains evolusi), dan hewan memang memiliki naluri agresif yang sangat kuat demi survival mereka, maka tidaklah mengejutkan jika homo sapiens sapiens, makhluk cerdas yang kita namakan manusia, juga memiliki watak agresif. Dengan demikian kita dapat katakan bahwa penderitaan manusia, yang ditimbulkan oleh sifat agresif manusia, adalah sesuatu yang memang harus manusia tanggung sebagai akibat kodrati genetiknya, bukan karena dosa asal! Inilah jawaban saya terhadap pertanyaan dari mana asal-usul penderitaan.

Sebagai kesimpulan tulisan ini harus dikatakan bahwa dosa asal, original sin, tidak ada; yang ada adalah karunia atau rakhmat asal, original grace. Dengan demikian, semua bentuk kesusahan dan penderitaan manusia, termasuk kematian manusia, tidak dapat diasalkan pada dosa asal Adam dan Hawa, melainkan pada kodrat alamiah manusia sebagai makhluk pekerja yang muncul melalui seleksi alamiah, sebagai suatu hasil proses evolusi yang panjang, yang berpangkal dari makhluk yang kita namakan hewan yang memiliki karakter agresif. Karena dosa asal tidak ada, maka soteriologi salib tidak diperlukan untuk memberi jalan pembebasan bagi manusia. Dengan bekal pengetahuan yang sudah diperoleh sang Hawa pemberani, kita, manusia, bisa terus maju untuk mempertahankan eksistensi kita, dengan terus mengembangkan sains dan teknologi dan menyelenggarakan pendidikan moral untuk generasi sekarang dan generasi yang mendatang, terus tanpa rehat.

Thursday, May 7, 2009

Apakah Yesus Mati untuk Menebus Adam dan Hawa?

Gerak sejarah, gerak siklus abadi?

Soteriologi salib berpijak pada suatu keyakinan dasariah bahwa kematian Yesus di kayu salib yang terjadi satu kali untuk selamanya adalah jalan tunggal yang dikehendaki Allah untuk mendamaikan diri-Nya dengan manusia yang berdosa; jalan ini berlaku universal dan abadi untuk seluruh umat manusia dari zaman ke zaman, bahkan, menurut ajaran gereja, berlaku surut sejak zaman Adam dan Hawa, dan maju terus sampai dunia ini kiamat. Soteriologi salib, dengan demikian, mengabstraksi peristiwa kematian Yesus dan menjadikannya suatu peristiwa supernatural ilahi yang memiliki signifikansi universal, global dan abadi, lepas dari pijakan historisnya yang sebetulnya temporal, terbatas, lokal, kongkrit, riil dan insani.

Abstraksi dan universalisasi makna dan efek peristiwa kematian Yesus ini menyebabkan hampir semua orang Kristen yang menjadi warga gereja biasa tidak lagi mengetahui sebab-musabab faktual dan historis dari kematian Yesus. Paling banter mereka hanya tahu bahwa kematian Yesus ini terjadi pada masa pemerintahan Pontius Pilatus sebagai gubernur Romawi untuk provinsi Yudea, sebagaimana mereka ucapkan setiap kali mereka mengikrarkan Syahadat Iman Rasuli dalam suatu kebaktian gereja.

Karena itu, dalam rangka mendekonstruksi soteriologi salib, hal-hal historis yang menjadi penyebab kematian Yesus perlu dibeberkan, supaya kita semua menyadari bahwa kematian Yesus adalah suatu peristiwa natural yang biasa, yang terjadi
dalam suatu ruang dan waktu terbatas, sebagai suatu konsekwensi politis wajar, insani dan tak terhindar dari ajaran-ajaran dan kiprah-kiprah Yesus dari Nazaret sendiri yang melawan baik otoritas Yahudi maupun otoritas Romawi sebagai otoritas yang secara de jure dan de facto menguasai Palestina zaman Yesus (tentang ini, sudah dibeberkan sebelumnya, klik di sini). Gereja perdana, karena ingin keluar dari krisis kejiwaan (tentang ini, klik di sini), telah mengubah peristiwa politis kematian Yesus yang wajar, insani, terbatas dan (dari kaca mata Yahudi) memalukan dalam suatu ruang dan waktu ini menjadi suatu peristiwa ilahi akbar yang bersignifikansi universal dan abadi bagi umat manusia sepanjang kehidupan manusia di planet bumi ini, sejak zaman Adam dan Hawa sampai dunia kiamat di masa depan. Bagi gereja, Yesus Kristus itu adalah hakim baik bagi orang yang masih hidup maupun bagi orang yang sudah mati (1 Petrus 4:5).

Harus diakui, di dalam dunia ini memang ada sejumlah besar peristiwa sejarah di masa lampau yang dampak dan signifikansi historik-nya dapat dirasakan dan dialami terus jauh sampai ke zaman-zaman sesudahnya. Sejumlah penemuan yang disengaja maupun yang tidak disengaja di masa lampau oleh orang-orang yang jenius dalam bidang sains dan teknologi, kita tahu, dapat terus berdampak pada pengembangan sains dan teknologi modern di masa kini dan seterusnya. Begitu juga, suatu peristiwa sejarah tertentu, misalnya proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, serta penetapan resmi (berdasarkan suatu konsensus nasional) Pancasila sebagai suatu fondasi filosofis dan ideologi bangsa dan UUD 45 sebagai konstitusi negara RI pada awal berdirinya RI, terus berdampak dan memberi signifikansi bagi negara RI sekarang ini dan akan terus berlanjut demikian ke masa depan sejauh konsensus nasional di bidang-bidang ini masih dipertahankan. Begitu juga, pengalaman sangat buruk dan mematikan yang ditimbulkan oleh dua perang dunia di masa lampau menimbulkan kesadaran dan membangkitkan tekad pada pemerintah-pemerintah negara-negara penting di dunia ini untuk beberapa dasawarsa lalu mendirikan organisasi terbesar dunia yang diberi nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang logisnya akan terus dipertahankan eksistensinya oleh mereka.

Tetapi, dalam kawasan sejarah sekular yang dipandang bergerak linier ke depan, tidak ada suatu peristiwa sejarah apapun dapat diklaim bersignifikansi
dan berdampak mundur kepada umat manusia dan dunia di zaman-zaman sebelum peristiwa sejarah ini terjadi. Menurut pandangan (Barat) modern, sejarah manusia bergerak linier, maju terus ke depan membentuk garis lurus, ada awal dan ada akhir, tanpa pengulangan, dan tanpa gerak balik, tanpa siklus.

Nah, dalam dogma gereja secara luar biasa dinyatakan bahwa kematian Yesus dari Nazaret yang terjadi pada akhir pertigaan pertama abad pertama Masehi juga membawa dampak, efek dan signifikansi soteriologis bagi orang-orang yang telah mati sebelum peristiwa salib Yesus terjadi, bahkan bagi Adam dan Hawa yang dalam tradisi keagamaan Yahudi-Kristen (dan juga Islam) dipercaya sebagai titik permulaan kehidupan manusia di muka bumi (ihwal kapan kehidupan makhluk cerdas yang dinamakan homo
sapiens sapiens dimulai, sains evolusi tentu saja akan mengklaim hal yang berbeda!). Dogma ini, tentu saja, bermasalah; dan karenanya, dalam tulisan ketujuh mengenai masalah-masalah dalam soteriologi salib ini, sedang digugat.

Pertama, kekristenan menganut pandangan sejarah linier. Menurut pandangan ini, ada titik awal dan ada titik akhir perjalanan sejarah kehidupan dunia ini, sehingga tidak ada titik balik ke masa lalu. Kekristenan, sebaliknya, tidak menganut pandangan sejarah siklikal yang melihat sejarah dunia ini berlangsung dalam suatu siklus (gerak melingkar) sehingga tidak ada titik akhir dan tidak ada titik awal; setiap titik akhir menjadi titik awal baru untuk memulai kembali alur sejarah siklikal, seperti seekor ular naga yang sedang melingkar dengan mulutnya menggigit buntutnya sendiri: tidak ada pangkal, tidak ada ujung, yang ada hanyalah gerak melingkar abadi.

Dengan pandangan sejarah siklikal, dimungkinkan untuk kita berimajinasi bahwa peristiwa kematian Yesus di abad pertama Masehi dapat memberi efek pada peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi jauh sebelum Tarikh Masehi, bahkan yang sudah terjadi pada permulaan kehidupan manusia, yang menurut mitologi Perjanjian Lama dimulai di Taman Eden dengan pasangan Adam dan Hawa (yang keduanya tidak memiliki pusar) tinggal di dalamnya dan kerap dikunjungi Allah yang berkaki dan bermulut. Namun, imajinasi ini tidak bisa timbul dalam pandangan sejarah linier. Dengan mempercayai bahwa kematian Yesus di abad pertama memberi efek penyelamatan bagi orang-orang yang hidup sebelumnya, bahkan bagi Adam dan Hawa, gereja tanpa disadari menganut pandangan sejarah siklikal, yang sebetulnya ditolaknya. Jadi, pandangan sejarah linier yang dipegang gereja sudah seharusnya membuatnya menolak doktrin tentang penyelamatan Adam dan Hawa oleh kematian Yesus; jika tidak, gereja pun harus bersedia menerima suatu akibat logisnya bahwa Yesus pun lahir berkali-kali dan mati juga berkali-kali mengikuti siklus sejarah dunia. Akibat logis yang berat ini tentu saja bertentangan dengan kepercayaan gereja bahwa Yesus lahir, hidup dan mati secara jasmaniah sebagai kurban untuk Allah hanya "satu kali untuk selama-lamanya" (Ibrani 7:27; Roma 6:9-10).

Kedua, pertanyaan bagaimana Yesus, melalui kematiannya, bisa menyelamatkan orang yang hidup dan sudah mati sebelumnya, dijawab gereja (dalam Syahadat Iman Rasuli) dengan doktrin tentang Yesus yang (dalam roh) turun ke dalam "kerajaan maut" ketika dia dikuburkan selama "tiga hari". Untuk apa Yesus masuk ke dalam "kerajaan maut"? Menurut beberapa teks kuno Kristen, untuk memberitakan kabar keselamatan kepada jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal yang berdiam di Sheol (Hades) atau di dunia orang mati, atau di kerajaan maut, atau di "bagian bumi yang paling bawah" (lihat 1 Petrus 4:6; Efesus 4:9; Injil Petrus 10:41-42). Apa persoalan dengan ajaran ini?

Persoalannya adalah doktrin ini dibuat dalam suatu kebudayaan kuno yang memandang jagat atau kosmos ini terdiri atas tiga lapis atau tiga tingkat. Lapis atas adalah surga, tempat Allah dan para malaikat hidup; lapis tengah adalah dunia orang hidup, bagian permukaan bumi; dan lapis bawah adalah dunia bawah, tempat jiwa-jiwa orang yang sudah mati berdiam, di bagian bawah bumi, di dalam tanah. Nah, kosmologi sangat kuno yang semacam ini sudah sangat ketinggalan zaman dan sudah tidak bermakna lagi buat orang yang hidup dalam zaman modern sekarang ini yang memegang kosmologi modern. Menurut kosmologi modern, jagat raya terdiri atas banyak alam semesta (multiverses) dengan tanpa batas apapun, yang "sekarang" ini terus memuai dan mengembang, dan diisi dengan galaksi yang tak terhitung banyaknya dan terbuka probabilitas juga dihuni oleh makhluk-makhluk ET yang cerdas.

Pernyataan bahwa Yesus "turun ke dunia orang mati" atau "turun ke dalam kerajaan maut", bagi orang dalam zaman modern adalah pernyataan yang tidak bermakna; atau, jika dipahami secara metaforis, mereka memahaminya sebagai pernyataan bahwa Yesus mati dan dikuburkan dalam tanah, lalu membusuk. Tidak lebih dari itu. Dan orang mati yang sudah dikubur dalam tanah (atau dibakar dalam oven panas berapi), dalam pemahaman orang modern, sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tetapi bagaimana dengan kehidupan jiwa di alam baka?

Sebagaimana saya sudah dengan serius argumentasikan sebelumnya (klik di sini), kalaupun sesudah kematian fisik jiwa orang masih hidup di alam baka, dalam kehidupan di alam baka ini jiwa tidak bisa lagi melakukan, mengalami, mencerap, memikirkan dan merasakan hal apapun, termasuk tidak bisa lagi berkata-kata lisan atau lewat pikiran, mendengar, menyesal atau bertobat. Jadi, keyakinan Kristen bahwa selama Yesus di dalam kubur, di Hades, dia menginjili jiwa orang yang sudah mati, adalah keyakinan yang kosong. Imajinatif memang, tapi tidak bermakna apapun. Orang yang sudah mati, yang jiwanya tinggal di alam baka, sudah tidak bisa lagi merasakan surga ataupun neraka, karena tubuh, indra perasa dan neuron-neuron serebral mereka sudah tidak ada lagi.
Kalau pun jiwa dipahami sebagai "energi" (yang kekal), energi tanpa terintegrasi dalam suatu media fisik (tubuh) tidak akan bisa menjadi makhluk yang hidup yang bisa berpikir, merasakan, melakukan atau mengatakan apa-apa. Doktrin tentang Yesus turun ke dalam kerajaan maut untuk menginjili jiwa-jiwa, tentu termasuk jiwa Adam dan Hawa, dengan demikian, adalah doktrin yang salah.

Jadi, harus disimpulkan bahwa kematian Yesus bukan saja tidak manjur untuk manusia yang hidup sesudah kematiannya (ulasan tentang hal ini, klik di sini), tetapi juga sama sekali tidak memberi efek penyelamatan apapun kepada Adam dan Hawa dan semua keturunan mereka yang hidup dan sudah mati sebelum kematian Yesus. Dengan doktrinnya tentang penyelamatan melalui salib Yesus, gereja perdana dengan sangat ekspansif dan membesar-besarkan telah menguniversalisasi makna dan signifikansi kematian Yesus, surut jauh ke belakang maupun maju ke depan. Padahal dalam kenyataannya kematian Yesus sebetulnya hanyalah suatu peristiwa kecil lokal di awal tahun tigapuluhan abad pertama Masehi di negeri kecil Palestina yang sedang dijajah Roma (ulasan tentang ini, klik di sini dan di sini). Dogma dalam agama apapun memang cenderung membesar-besarkan sesuatu, karena dogma memang menyangkut jati diri dan harga diri komunitas keagamaan yang membuat dan merawatnya. Karena berisi hal-hal yang dibesar-besarkan, dogma agama apapun pantas untuk tidak serta-merta dipercaya dan untuk dibedah secara dingin dan rasional.