Thursday, June 18, 2009

Tritunggal Ilahi dalam Pembaptisan Yesus (Matius 3:13-17)??

Seperti sudah disinggung dalam tulisan terdahulu, teks Perjanjian Baru yang juga kerap dijadikan suatu landasan skriptural bagi doktrin Kristen ortodoks tentang tritunggal ilahi adalah teks Matius 3:13-17 (//Markus 1:9-11; Lukas 3:21-22). Teks ini berisi kisah pendek tentang pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan. Dituturkan, pada waktu Yesus sudah dibaptis dan keluar dari air, langit terbuka dan dia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atasnya, lalu terdengar suara dari langit yang mengatakan, “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.”

Barangkali tafsiran trinitarian pertama terhadap teks Matius 3:13-17 ini adalah tafsiran yang diajukan Santo Augustinus dari Hippo (354-430). Dalam tulisannya yang berjudul Tentang Trinitas (De Trinitate), khususnya Khotbah II, pada bagian yang menguraikan kata-kata dalam Matius 3:13, Augustinus melihat tritunggal ilahi menyatakan diri dalam peristiwa pembaptisan Yesus: Sang Bapa dalam suara dari langit, sang Anak dalam diri sang Manusia (Yesus), dan Roh Kudus dalam wujud burung merpati. Tulis Augustinus, “Allah Trinitas dinyatakan kepada kita di Sungai Yordan… di sini kita mendapatkan sang Trinitas, dalam arti tertentu, dibedakan.” Bahkan Augustinus sampai menyatakan sesuatu yang bisa jadi tidak ortodoks mengenai doktrin tritunggal, katanya, “Jika kita meninjau tempat-tempatnya, Aku dengan yakin menyatakan … bahwa Trinitas dalam suatu cara tertentu dapat dipisahkan.” Dalam doktrin ortodoks tentang trinitas ilahi, seperti diformulasikan oleh Tertullianus (c. 160-c.220), trinitas ilahi memang terdiri dari “tiga persona” (Latin: tres Personae; Yunani: treis Hypostases) yang dapat dibedakan, namun ketiganya tidak terpisah, ketiganya “satu hakikat” (Latin: una Substantia; Yunani: Homoousios).

Mengenai perikop Matius ini, Martin Luther, dalam khotbahnya yang diberi judul Epifani Tuhan Kita (yang disampaikan 6 Januari 1534), sejalan dengan formulasi Kristen ortodoks, menyatakan bahwa “Allah menyatakan diri-Nya dalam tiga bentuk—Roh Kudus, sang “Aku” (dari sang Bapa), dan sang Anak—tetapi dalam satu hakikat ilahi.” Sedangkan Yohanes Kalvin, ketika membuat eksposisi atas perikop Matius ini, tidak menafsir teks Matius ini dari sudut pandang trinitarian. Kalvin hanya memberi makna simbolis pada kata-kata atau ungkapan tertentu yang dipakai dalam perikop Matius ini. Ungkapan “langit terbuka”, bagi Kalvin, menunjuk pada “kehadiran ilahi” yang dialami Yesus, yang ditafsir Yesus sebagai suatu “panggilan surgawi” yang didengarnya ketika dia, seperti dituturkan Lukas (3:21), “sedang berdoa”. Dan “burung merpati”, menurut Kalvin, adalah simbol kelembutan dan kasih karunia yang diberikan Roh Allah untuk berdiam pada diri Yesus.

Pertanyaan kita adalah: Apakah dapat dibenarkan jika perikop Matius 3:13-17 ini ditafsir sebagai suatu kesaksian skriptural terhadap tritunggal ilahi yang dipercaya oleh kekristenan ortodoks? Seperti sudah diperlihatkan sebelumnya (klik di sini), dalam Injil Matius pemakaian kata-kata “Bapa” untuk Allah, “Anak” untuk Yesus Kristus, dan “Roh Kudus”, sama sekali tidak memiliki pengertian yang sama dengan yang terdapat dalam doktrin tentang tritunggal ilahi. Teks Matius ini tidak boleh dipaksa untuk mendukung doktrin tritunggal Kristen. Kalau dipaksakan, seperti dilakukan Augustinus, teks Matius ini malah menunjuk pada tiga figur yang terpisah satu sama lain, yang kalau masing-masing figur ini diilahikan akan melahirkan triteisme, bukan trinitarianisme. Kalau demikian, bagaimana seharusnya teks Matius ini dipahami?

Para pakar umumnya sependapat bahwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis adalah suatu peristiwa sejarah yang tidak dapat diragukan. Nah, ketika kitab-kitab Injil mulai ditulis, mula-mula oleh Markus, setiap penulisnya mengajukan pemahaman masing-masing mengenai peristiwa pembaptisan Yesus ini dan menuangkannya ke dalam narasi pendek tentang pembaptisan ini. Dalam tuturan Matius, bukanlah kehendak Yohanes Pembaptis untuk Yesus dibaptis olehnya, melainkan karena Yesus sendiri mau “menggenapkan seluruh kehendak Allah” (Matius 3:15). Dengan menuturkan demikian, Matius berhasil menempatkan Yesus tidak lebih rendah dari Yohanes Pembaptis meskipun Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Bahwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis adalah kehendak Allah, dinyatakan selanjutnya oleh Matius dalam gambarannya mengenai apa yang terjadi ketika Yesus sudah dibaptis: “langit terbuka”, dan “Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas” Yesus, lalu “terdengar suara dari surga”. Sudah tentu, tiga kejadian ini bukanlah kejadian historis faktual yang dapat dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga. Di tangan Matius, ketiganya diberi makna simbolis.


Dalam kepercayaan Israel, bisa terjadi firman Allah tidak terdengar karena Allah tidak membuka komunikasi (lihat 1 Samuel 3:1). Nah, “langit terbuka” adalah suatu ungkapan teologis simbolis yang dipakai lebih dari satu kali dalam Alkitab (Yehezkiel 1:1; Wahyu 19:11; bdk. Injil Orang Ebion 4) untuk menyatakan bahwa Allah sedang membuka komunikasi dengan dunia, menyampaikan wahyu, firman dan kehendak-Nya kepada manusia di bumi, dan hadir kembali di dunia sehingga surga dan bumi dipersatukan kembali. Hal ini oleh Markus digambarkan sebagai “langit terkoyak” (Markus 1:10; bdk. Yesaya 64:1), paralel dengan tuturannya mengenai “tirai Bait Suci” yang koyak terbelah dua dari atas sampai ke bawah (Markus 15:38), sehingga “pemandangan seluruh surga” yang digambar pada tirai besar ini (tentang ini, lihat tuturan Flavius Yosefus, Perang Yahudi 5.5.4. 212-14) terkoyak: surga dan bumi dipersatukan kembali melalui kematian Yesus di kayu salib.

Nah, di dalam dan melalui peristiwa pembaptisan Yesus, Allah berkehendak membuka kembali komunikasi dengan dunia ini, dengan umat Israel, berfirman dan menyatakan kehadiran-Nya di tengah mereka sehingga Allah berada di tengah-tengah umat. Memakai kata-kata dalam Surat Ibrani, “pada zaman akhir ini Allah telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibrani 1:2). Komunikasi verbal dan kehadiran Allah di tengah umat ini disimbolkan dengan turunnya “Roh Allah seperti burung merpati ke atas Yesus” yang langsung disusul dengan “suara dari surga” yang menyatakan bahwa Yesus adalah Anak yang Allah kasihi dan yang kepadanya Dia berkenan (Matius 3:16-17).

Dalam tradisi Yudaisme Rabinik, burung merpati adalah suatu simbol kehadiran Roh Allah; dalam sebuah teks Rabinik dinyatakan, “Dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (Kejadian 1:2) seperti seekor burung merpati yang terbang berputar-putar di atas anak-anaknya tanpa menyentuh mereka” (B.Hag 15a). Dengan Roh Allah hinggap dan berdiam pada Yesus, Allah, seperti pada permulaan penciptaan dunia, sedang mencipta kembali, kali ini sedang mencipta suatu umat yang di dalamnya Allah senantiasa hadir sebagai Imanuel (Matius 1:23; 18:20; 28:20b).

Dalam Odes Salomo 24, dikatakan “Burung merpati terbang berputar di atas kepala sang Mesias.” Ketika Roh Allah hinggap pada Yesus, suara Allah, “suara dari surga” (lihat juga Yohanes 12:28), menyatakan dan mengukuhkan bahwa Yesus adalah Anak Allah, Anak yang diurapi oleh Roh Allah, sang Mesias. Bandingkan juga dengan tuturan dalam bTa’anit 24b/25a tentang “suatu suara dari surga” yang mengukuhkan Khanina ben Dosa (hidup di Palestina pada pertengahan abad pertama M, seorang sahabat Yohanan ben Zakkai, pendiri Akademi Yavneh/Jamnia) sebagai Anak Allah. Anak Allah adalah sebuah gelar untuk Yesus sebagai sang Mesias, orang yang diurapi oleh Roh Allah, bukan Oknum Kedua dari tritunggal Kristen.

Turunnya Roh Kudus ke atas Yesus bukan saja menandakan bahwa dia diurapi oleh Roh Allah, menjadi sang Mesias, tetapi juga suatu peristiwa pelantikan Yesus sebagai Anak Allah, sebagai sang Mesias pilihan Allah yang Allah kasihi dan yang kepadanya Allah berkenan, yang ditugaskan untuk “menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa” (Yesaya 42:1; bdk. Mazmur 2:1), yakni Taurat yang baru, yaitu seluruh ajaran dan amanat Yesus yang ditulis dalam Injil Matius, yang disarikan sebagai Hukum Kasih (Matius 22:37-39). Komunitas Kristen Ebion menafsirkan pembaptisan Yesus sebagai saat Allah mengadopsi atau mengangkat Yesus menjadi Anak Allah dengan membuat Allah mengutarakan kata-kata ini kepada Yesus: “Hari ini Aku menjadi Bapamu” (Injil Orang Ebion 4:4).

Nah, terlihat sudah bahwa Matius 3:13-17 sama sekali tidak memuat rujukan kepada tritunggal ilahi yang dipercaya kekristenan ortodoks beberapa abad sesudah penulisan Injil Matius (80-85 M). Jadi, adalah suatu kesalahan eksegetis yang besar jika orang Kristen memperlakukan perikop Matius ini sebagai suatu landasan skriptural untuk membenarkan atau mendukung doktrin trinitarian Kristen.

Sunday, June 14, 2009

Tritunggal Kristen dalam Matius 28:19??

Dalam tulisan kelima tentang tritunggalisme Kristen ini, baiklah fokus kita arahkan pada teks Matius 28:19. Nas ini memuat ucapan Yesus yang sudah dibangkitkan kepada sebelas muridnya, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Para sistimatikus Kristen berkeras bahwa teks dalam Injil Matius ini adalah sebuah teks yang paling eksplisit berbicara tentang Allah tritunggal yang menjadi tulang punggung bangunan kekristenan ortodoks. Benarkah demikian?

Dalam doktrin kekristenan ortodoks tentang trinitas (kata Latin untuk tritunggal), dikenal tiga nama, yakni Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dalam doktrin tentang trinitas, ketiganya dipandang sudah ada sebelum dunia dijadikan dan akan terus berada secara demikian, kekal selamanya. Dengan demikian, Yesus Kristus dipandang memiliki pra-eksistensi, sudah ada sebelum dunia diciptakan. Selain itu, dalam doktrin ini Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus dipandang sebagai tiga persona (hupostasis), masing-masing berbeda satu sama lain, masing-masing memiliki individualitas sendiri-sendiri, namun ketiganya tidak terpisah dan ketiganya memiliki satu hakikat (ousia). Satu hakikat, tiga persona. Tiga persona, satu hakikat.

Sudah jelas, teks Matius 28:19 ini menyebut tiga nama, yakni Bapa, Anak dan Roh Kudus. Tetapi, apakah penyebutan tiga nama ini lantas berarti bahwa teks ini berbicara tentang tritunggal Kristen sebagaimana dirumuskan dalam kekristenan Barat beberapa abad setelah masa kehidupan Yesus? Untuk memahami hubungan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus dalam teks Matius 28 ini tidak ada jalan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan selain memeriksa seluruh Injil Matius sendiri.

Berbeda dari doktrin tentang tritunggal ilahi, dalam Injil Matius sama sekali tidak dijumpai gagasan bahwa Yesus Kristus memiliki pra-eksistensi. Lain halnya dengan Injil Yohanes yang dibuka dengan suatu pernyataan tentang pra-eksistensi sang Firman (ho logos) (Yohanes 1:1-3), yang masuk ke dalam sejarah insani dengan “menjadi daging” (kai ho logos sarks egeneto) (Yohanes 1:14). Orang Kristen sering dengan semberono menyamakan gagasan tentang pra-eksistensi Yesus Kristus dalam prolog Injil Yohanes dengan doktrin tentang kelahiran Yesus dari perawan Maria. Sesungguhnya, gagasan tentang perawan Maria yang “mengandung dari Roh Kudus” dalam Matius 1:18, 20 sama sekali bukan sebuah gagasan yang mau menyatakan bahwa Yesus Kristus memiliki pra-eksistensi, melainkan bahwa di dalam dan melalui bayi Yesus yang dikandung Maria, Roh Allah kembali berprakarsa mencipta, sama seperti ketika Roh Allah ini dulu, “pada mulanya”, “melayang-layang di atas permukaan air” ketika Roh ini memulai penciptaan langit dan bumi (Kejadian 1:1-2). Dulu Allah mencipta langit dan bumi; dan sekarang, dalam pandangan Matius, Allah mencipta Yesus Kristus. Bagi Matius, di dalam dan melalui Yesus Kristus, Allah sedang menciptakan suatu umat yang baru, yang di dalamnya Allah senantiasa hadir dan menyertai sebagai Imanuel (Matius 1:23; 18:23; 28:20).

Dalam Injil Matius, sama sekali tidak ditemukan istilah “hakikat” (ousia) dan istilah “persona” (hupostasis) untuk menggambarkan kesatuan, pembedaan dan hubungan antara Allah, Yesus Kristus dan Roh Kudus, seperti yang dipakai dalam formulasi doktrin Kristen ortodoks tentang tritunggal ilahi.

Roh Kudus yang membuat Maria mengandung, dalam pandangan Matius, tentu saja bukan Oknum atau Persona Ketiga dalam doktrin tritunggal ilahi, melainkan Roh Allah dalam pengertian yang umum, bahwa Allah itu roh adanya. Untuk menyatakan hal yang sama, penulis Injil Lukas menulis bahwa ke atas perawan Maria “Roh Kudus akan turun” sehingga anak yang akan dilahirkannya akan menjadi Anak Allah, yakni anak yang kudus (Lukas 1:35). Roh Kudus yang turun ke atas perawan Maria ini sama dengan Roh Allah yang “seperti burung merpati turun” ke atas Yesus pada waktu dia sudah dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Matius 3:16). Turunnya Roh Allah ke atas Yesus menjadikannya Anak yang dikasihi dan diperkenan Allah, sebagaimana dinyatakan oleh suara Allah sendiri dari langit (Matius 3:17; bdk 17:5; 12:18). Pada peristiwa pembaptisan Yesus ini, sama sekali tidak ada tiga Persona ilahi dalam tritunggal ilahi yang terlibat, tidak seperti biasanya ditafsir dengan paksa
oleh para dogmatikus Kristen untuk teks ini berbicara demikian: Allah Bapa berbicara dari langit, Allah Anak dibaptis, Allah Roh Kudus mengambil wujud seekor burung merpati!

Roh Allah ini jugalah yang membawa Yesus ke padang gurun untuk dicobai Iblis (Matius 4:1). Roh ini jugalah yang memberinya kuasa untuk mengusir setan (Matius 12:28). Seperti dipersaksikan Yohanes Pembaptis, Roh ini jugalah yang akan tersalur lewat Yesus kepada orang yang menerima baptisan darinya (Matius 3:11). Roh Allah ini jugalah yang berbicara di dalam dan melalui murid-murid Yesus yang juga memanggil Allah sebagai Bapa mereka (Matius 10:20; bdk. Matius 6:9). Bahkan dalam pandangan Matius, Roh Kudus ini lebih besar dan lebih tinggi peringkatnya dari Yesus sehingga dosa terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni, sedangkan dosa terhadap Yesus Kristus akan diampuni (12:31). Jadi, Roh Kudus dalam pandangan penulis Injil Matius sama sekali bukan Persona Ketiga dalam doktrin tritunggal ilahi.

Begitu juga, bagi penulis Injil Matius, Yesus bukanlah Persona Kedua, yakni Allah Anak, dalam doktrin tritunggal ilahi, tetapi dia dilantik (atau diadopsi) oleh Allah menjadi Anak Allah pada waktu dia dibaptis oleh Yohanes Pembaptis melalui “turunnya” Roh Allah ke atas Yesus (Matius 3:16). Tentu saja, Allah yang melantik lebih tinggi kedudukannya dari Yesus yang dilantik. Meskipun dinyatakan ada pengenalan timbal balik yang mendalam antara Yesus sebagai Anak Allah dan Allah sebagai Bapanya, namun juga dinyatakan bahwa Allah sebagai Bapa Yesus Kristus adalah Allah yang menyerahkan segala sesuatu (“semua”) kepada Yesus (Matius 11:27). Pernyataan Matius ini mau menegaskan bahwa pemilik semula segala sesuatunya, atau “segala kuasa” (Matius 28:18), adalah Allah, Bapa Yesus Kristus, bukan Yesus sebagai Anak-Nya. Maksud penulis Injil Matius di sini sangat jelas: Allah sebagai sang Bapa lebih tinggi kedudukan-Nya dari Yesus, dan Yesus memiliki kuasa ilahi atau
segala kuasa karena Allah memberikannya kepadanya. Yang memberi kuasa tentu saja lebih tinggi kedudukannya dari yang diberi kuasa. Jauh dari benak Matius, seorang penulis Yahudi yang menganut monoteisme, untuk berpikir bahwa Allah dan Yesus sehakikat. Yesus dalam Injil Matius bukanlah Allah Anak, tetapi Anak Allah yang memanggil Allah yang ada di surga bukan sebagai “Allah Bapa”, tetapi sebagai Bapanya atau “Bapaku” (Matius 7:21; 10:32, 33; 12:50; 15:13; 16:17; 18:10, 19, 35; 25:34; 26:39, 42). Sudah ditulis di atas, bagi Yesus, Allah sebagai Bapanya adalah juga Bapa bagi murid-muridnya, dan mereka juga dimintanya untuk memanggil Allah sebagai Bapa mereka (Matius 6:6, 9, 14, 26).

Ada keterpisahan antara Allah sang Bapa dan Yesus Kristus sendiri sebagai Anak Allah: pada waktu Yesus menanggung azab dan kesengsaraan di kayu salib, dia berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46). Bukankah Allah bisa meninggalkan Yesus kalau ada keterpisahan di antara keduanya? Ada banyak apologet Kristen menyatakan bahwa ucapan Yesus ketika dia ditelantarkan Allah ini tidak menyatakan keterpisahan keduanya, melainkan ucapan yang mau menonjolkan sisi lemah kemanusiaan Yesus, bukan sisi kuat keilahiannya. Para apologet Kristen ini sama sekali salah, sebab dalam Injil Matius sama sekali tidak ada doktrin tentang dua tabiat/kodrat Yesus, bahwa Yesus Kristus itu “sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya insani” di mana kemanusiaan dan keilahiannya bekerja bergantian, suatu doktrin yang juga diformulasikan beberapa abad setelah kehidupan Yesus!

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan penulis Injil Matius, Allah sebagai sang Bapa Yesus Kristus lebih tinggi kedudukan-Nya dibanding Yesus sendiri, dan antara keduanya ada keterpisahan meskipun hubungan antara keduanya begitu mendalam dan intim. Allah dalam pandangan penulis Injil Matius bukanlah Oknum atau Persona Pertama dalam tritunggal ilahi, melainkan sebagai Allah Yang Maha Esa (lihat Matius 19:17; bdk. Markus 10:18) yang melantik dan mengadopsi Yesus sebagai Anak-Nya. Begitu juga, dalam Injil Matius, Roh Kudus adalah Roh Allah dalam pengertian umum, dan Roh ini sebagai Roh Allah berkedudukan lebih tinggi dari Yesus Kristus, konsisten dengan status dan kedudukannya yang tidak sederajat dengan Allah sebagai Bapanya. Dengan demikian, teks Matius 28:19 sama sekali tidak berbicara tentang Allah, Yesus Kristus dan Roh Kudus dalam pengertian yang terdapat dalam doktrin tritunggal Kristen ortodoks.

Lebih jauh, kalau kita perhatikan konteks naratifnya, Matius 28:18-20 adalah ucapan Yesus Kristus yang sudah dibangkitkan, bukan ucapan Yesus yang masih dalam tubuh insaninya, Yesus dari Nazaret. Yesus yang sudah dibangkitkan hanya bisa berbicara melalui mulut gerejanya sebagai ilham. Dengan demikian, ucapan dalam perikop Matius ini adalah ucapan komunitas gerejawi Matius sendiri yang ditempatkan pada mulut Yesus. Yesus dari Nazaret tidak pernah meminta gerejanya membaptis dalam tiga nama: Bapa, Anak dan Roh Kudus. Pendapat Matius (yang menulis injilnya pada tahun 85) bahwa Yesus yang sudah bangkit dapat disentuh bahkan kakinya dapat dirangkul (Matius 28:9b) dipandang tidak tepat oleh penulis Injil Yohanes (tahun 100) dan karena itu dia memperbaikinya dengan melukiskan Yesus yang sudah bangkit tidak tersentuh atau tidak dapat disentuh sekalipun oleh Maria Magdalena (lihat Yohanes 17:20).

Sunday, June 7, 2009

Tiga TUHAN yang Kudus???


Para sistimatikus Kristen kerap juga memakai teks Yesaya 6:3 (bdk. Wahyu 4:8) untuk mendukung doktrin tritunggal Kristen. Teks ini memuat pujian para serafim (makhluk surgawi yang bersayap tiga pasang [lihat gambar di atas]; bdk. kerubim dalam Yehezkiel 1 dan Wahyu 4:7) kepada TUHAN, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” Menurut tafsiran imajinatif mereka, seruan “kudus” sebanyak tiga kali ini ditujukan kepada Allah tritunggal. Dengan begitu, bagi mereka, ada tiga oknum di surga yang masing-masing patut mendapatkan satu kali pujian “kudus” dari para serafim. Apakah tafsiran triteistik ini benar?

Teks Yesaya 6:3 ini adalah bagian dari suatu visi atau penglihatan yang dialami Nabi Yesaya di Bait Allah Yerusalem pada “tahun matinya Raja Uzia” (6:1), yakni pada tahun 742 SM. Teks dari abad kedelapan SM ini oleh para sistimatikus Kristen itu dipakai untuk mendukung trinitarianisme Kristen yang baru dirumuskan sekian abad setelah masa kehidupan Yesus Kristus. Tentu saja ini adalah suatu penafsiran yang anakronistis.

Bagi Nabi Yesaya, TUHAN semesta alam (Yahweh tsebaot) adalah TUHAN yang tunggal, bukan TUHAN yang tritunggal, dan juga bukan tiga Tuhan. Ini nyata dengan jelas dalam penyebutan TUHAN sebagai TUHAN yang tunggal dalam teks Yesaya 6:1-13. Dalam perikop ini, selain penyebutan nama TUHAN dalam bentuk tunggal, juga dipakai kata ganti orang ketiga tunggal untuk-Nya. Lalu, mengapa seruan kudus itu sampai tiga kali diucapkan para serafim?

Harus diperhatikan, seruan kudus sebanyak tiga kali itu diucapkan para serafim “seorang kepada seorang” (6:3), dan sama sekali tidak ditujukan kepada tiga TUHAN. Hampir dalam semua kebudayaan, seruan sampai tiga kali atas sesuatu hal adalah sebuah ekspresi gaya bahasa yang mau memberi tekanan khusus terhadap kepentingan sesuatu yang diucapkan. Angka tiga juga mau menyatakan kelengkapan, yang selengkap-lengkapnya, dalam para serafim memuji TUHAN semesta alam sebagai TUHAN yang kudus. Kekudusan TUHAN tidak tertandingi. Tiga kali pujian kudus terhadap TUHAN mau menyatakan keadaan kudus yang tidak tertandingi ini.

Selain dalam Yesaya 6:3, pengulangan sampai tiga kali sebagai suatu ekspresi gaya bahasa semacam ini juga ditemukan antara lain dalam Yeremia 7:4 (“Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN”) dan Yeremia 22:29 (“Hai negeri, negeri, negeri!”). Begitu juga, seruan “kudus” sampai tiga kali dalam Wahyu 4:8 harus dipahami dari sudut pandang yang sama, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk memuji Allah tritunggal: Wahyu 4:2 dengan jelas menyatakan bahwa yang duduk di takhta surgawi adalah “Seorang” (RSV: “one”).

Kesimpulannya: memakai teks Yesaya 6:3 (atau teks Wahyu 4:8) untuk mendukung tritunggalisme Kristen adalah suatu anakronisme dan suatu penafsiran yang dipaksakan dan dikendalikan oleh suatu dogma Kristen. Cara penafsiran semacam ini jelas salah dan harus dihindari. Yesaya 6:3 sama sekali tidak berbicara tentang tritunggalisme Kristen.

Friday, June 5, 2009

Emperor Hadrian and the Philosopher Secundus

The Roman Emperor Hadrian

The Life of Secundus may be taken as an example of Roman martyrology.[1] A translation of this work can be found in the article “Greco-Roman Biography” by David E. Aune.[2] In the first section of this work, it is related that Secundus’ mother hanged herself because of some words of Secundus which she found very shameful and unbearable. In reaction to this action of his mother, Secundus vows not to speak again during the remainder of his life.

The second section of this work centers on the efforts of the Roman Emperor Hadrian (117-138 CE) to force Secundus to break his vow of lifelong silence by threatening to have him executed; the Emperor is said to have commanded Secundus: “Speak out, present your address advocating virtue!” But Secundus is not moved by these words. Secundus remains adamant, even when one of the Emperor’s Greek bodyguards, in the absence of the Emperor, shows him an unsheated sword and says, “O Secundus, buy off death with your voice!” To this, Secundus says nothing, simply stretching out his neck for the sword. The Emperor previously has secretly ordered his bodyguard to save Secundus if he remains silent, but kills him if he speaks. When Secundus indeed remains silent, he is brought back to the Emperor. Hadrian, amazed at the philosopher’s self-control, stands up and says: “Secundus, you have imposed the maintenance of silence upon yourself as a law, and I was unable to break your law. Take this writing-tablet, write on it and converse with me using your hand.” Aune concludes that, in terms of literary form, this section is historical martyrology, even though it does not conclude with Secundus’ death.[3]

In what follows is the full text of the second section of the Life of Secundus which has been translated by
Ben Edwin Perry and is copied here from this site:

About that time the Emperor Hadrian, having arrived in Athens, heard about Secundus and summoned him into his presence; for no good thing escaped this emperor’s notice. When Secundus entered, Hadrian, wishing to test him in order to see whether he was really committed to silence or not, rose up first and greeted him. Secundus, however, maintained his customary silence.

Then Hadrian said to him, “Speak, philosopher, so we may come to know you. It is not possible to observe the wisdom in you when you say nothing.”

But in spite of this, Secundus kept still. And Hadrian said, “Secundus, before I came to you it was a good thing for you to maintain silence, since you had no listener more distinguished than yourself, nor one who could converse with you on equal terms. But now I am here before you, and I demand it of you; speak out, bring forth your eloquence to the top level of its quality.”

Still Secundus was not abashed, nor afraid of the emperor. Then Hadrian, losing all patience, said to one of his followers, a tribune, “Make the philosopher say a word to us.” The tribune answered according to the truth by saying, “It is possible to persuade lions and leopards and other wild beasts to speak with human voices, but not a philosopher against his will.” Then he summoned an executioner, who was a Greek, and said to him, “I do not want any man to live who refuses to speak to the emperor Hadrian. Take him away and punish him.” Hadrian, however, called the executioner aside privately and said to him, “When you are leading the philosopher away, talk to him along the road and encourage him to speak. If you persuade him to make an answer, cut off his head; but if he does not answer, bring him back here unharmed.”

Secundus was led away in silence, and the executioner taking him in charge proceeded down to the Piraeus, for that was the place where men customarily were punished. And the executioner said to him, “Secundus, why do you die by persisting in silence? Speak, and you shall live. Grant yourself the gift of life by a word. Behold, the swan sings near the end of his life, and all the other winged creatures give forth sound with the voice that nature has given them. There is no living thing that does not have a voice. So reconsider, and change your purpose. The time that you will have gained thereby will be ample for your silence.” With these and many other words he sought to encourage Secundus and to lure him into the trap. But Secundus despised life itself and silently waited for death, unmoved by what had been said to him. After bringing him to the customary place the executioner said, “Secundus, hold out your neck and receive the sword through it.” Secundus held out his neck and took leave of life in silence. Then the executioner showed him the naked sword and said, “Secundus, buy off your death with speech.” But Secundus did not speak.

Thereupon the executioner took him and went back to Hadrian and said, “My lord Caesar, I have brought back Secundus to you the same as he was when you handed him over to me, silent unto death.” Hadrian marveled at the philosopher’s strength of purpose and rising up said, “Secundus, in observing silence you have imposed upon yourself a kind of law, and that law of yours I was unable to break down. Now, therefore, take this tablet, write on it, and converse with me by means of your hands.” Secundus took the tablet and wrote as follows:

“For my part, Hadrian, I shall not stand in fear of you on account of death. You have the power of putting me to death, because you are the ruler of today. But that is all. Over my utterance and the words I choose to speak you have no power.”

Hadrian read this and said, “Your stand in self-defense is good; but come, answer me on a number of other matters. I have twenty questions to put before you and the first of them is this:

What is the universe?”

Again Secundus wrote down his reply.

“The universe, Hadrian, is the system of the heavens and the earth and all things in them, and of this I shall speak a little later on, if you pay heed to what is now being said. You, too, Hadrian, are a human being like all the rest of us, subject to every kind of accident, mere dust and corruption. The life of brute beasts is even such. Some are clothed with scales, others with shaggy hair; some are blind, some are adorned with beauty; all have the clothing and the means of protection with which they were born and which nature has given them.

But you, Hadrian, as it happens, are full of fears and apprehensions. In the bellowing wind of winter you are disturbed too much by cold and shivering, and in the summer time you are too much oppressed by the heat. You are puffed up and full of holes, like a sponge. For you have termites in your body and herds of lice, that draw furrows through your entrails; and grooves have been burned into you, as it were, like the lines made by the fire of encaustic painters. Being a short-lived creature and full of infirmities, you foresee yourself being cut and torn apart, roasted by the sun and chilled by the wintry wind. Your laughter is only the preface to grief, for it turns about and passes into tears.

What about the necessity that controls our lives? Is it destiny decreed by Heaven or the whimsy of personal luck? We know not whence it comes. Today is already passing us by, and what the morrow will be we do not know. Think not lightly, therefore, O Hadrian, of what I am saying. Boast not that you alone have encircled the world in your travels, for it is only the sun and the moon and the stars that really make the journey around it.

Moreover, do not think of yourself as being beautiful and great and rich and the ruler of the inhabited world. Know you not that, being a man, you were born to be Life’s plaything, helpless in the hands of Fortune and Destiny, sometimes exalted, sometimes humbled lower than the grave? Will you not be able to learn what life is, Hadrian, in the light of many examples? Consider how rich with his golden nails was the king of the Lydians.

Great as a commander of armies was the king of the Danaans, Agamemnon; daring and hardy was Alexander, king of the Macedonians. Heracles was fearless, the Cyclops wild and untamed, Odysseus shrewd and subtle, and Achilles beautiful to look upon. If Fortune took away from these men the distinctions that were peculiarly their own, how much more likely is she to take them away from you? For you are not beautiful like Achilles, nor shrewd as was Odysseus, nor untamed like the Cyclops, nor fearless like Heracles, nor hardy and daring like Alexander, nor such a commander of armies as Agamemnon, nor yet rich like Gyges, the king of the Lydians.

These things, Hadrian, I have written by way of a preface. Now let us proceed according to your questions:

What is the Universe?

A circumference beyond our reach,
a theoretic structure,
an eminence not easily perceived in its entirety,
a self-generated object of contemplation,
a conformation with many aspects,
an eternal establishment,
nourishing ether,
a globe that does not wander from its place,
the light of the sun,
day, stars, darkness, night,
earth, air, water.

What is the Ocean?

The thing that embraces the world,
the frontier by which the world is crowned,
the girdle of brine, the Atlantic bond,
a circuit embracing all nature,
a mirror to reflect the sun’s light,
the holder of the inhabited world.

What is God?

A self-formed good,
an image of many shapes,
an eminence too lofty to be seen,
a conformation with many aspects,
a problem hard to understand,
immortal intelligence,
an all-pervading spirit,
an eye that never closes in sleep,
a power known by many names,
light that prevails over all.

What is the Day?

A stadium of toil, a twelve-hour course,
the daily beginning, a reminder to get one’s living,
prolongation unto evening, lively contact with people,
an everlasting reckoning on the calendar,
Nature’s mirror, back-running reminiscence.

What is the Sun?

The eye of the heavens,
the adversary of night,
a globe in the ether,
the indicator of the cosmos,
unsullied flame,
unceasing light,
a torch freely supplied,
a traveler through the sky,
the ornament of the day.

What is the Moon?

The crimson of the heavens,
night-time consolation,
an all-night vigil for sailors,
encouragement for travelers,
alternate to the sun,
the enemy of evil-doers,
the heralder of festivals,
the cycle of the months.

What is the Earth?

The base of the sky,
the middle of the universe,
a stage-scene without a foundation,
a thing rooted in midair,
an immeasurable circumference,
the arena of life’s struggle,
a system established by God,
the object of the moon’s nightlong vigil,
a spectacle that cannot be seen all at once,
the nurse of the rains,
the protection of the crops and their mother,
the covering of Hades,
a region occupied by many inhabitants,
the origin of all things and their final repository.

What is Man?

Mind clothed in flesh,
a vessel containing spirit,
a receptacle for sense-perception,
a toil-ridden spirit,
a temporary dwelling-place,
a phantom in the mirror of time,
an organism fitted with bones,
a scout on the trail of life,
Fortune’s plaything,
a good thing that does not last,
one of life’s expenditures,
an exile from life,
a deserter of the light,
something that earth will reclaim,
a corpse forever.

What is Beauty?

A picture drawn by Nature,
a self-made blessing,
a short-lived piece of good fortune,
a possession that does not stay with us,
the pious man's ruin,
an accident of the flesh,
the minister to pleasures,
a flower that withers,
an uncompounded product,
the desire of men.

What is Woman?

A man’s desire,
a wild beast that shares one’s board,
the worry with which one rises in the morning,
intertwining lustfulness,
a lioness sharing one’s bed,
a viper in clothes,
a battle voluntarily chosen,
incontinence in the form of bed-partner,
a daily loss,
a storm in the house,
a hindrance to serenity,
the wreck of an incontinent man,
the stock-in-trade of adulterers,
the sacking of one’s estate,
an expensive war,
an evil creature,
too much of a burden,
a nine-wind tempest,
a venomous asp,
a service rendered in the procreation of men,
a necessary evil.

What is a Friend?

A sought-after name,
a man nowhere evident,
a possession hard to find,
an encouragement in time of distress,
the refuge of misfortune,
an arm for misery to lean upon,
an observer of life,
a man beyond reach,
a substantial and valuable possession,
unattainable good fortune.

What is a Farmer?

A servant to the crops,
a judge of rains,
the companion of solitude,
a merchant having no business on the sea,
an adversary to the woodland,
a tender of the food supply,
an improver of the fields,
physician to the earth,
a planter of trees,
trainer of the mountain lands,
one habituated to toil and hardship.

What is a Gladiator?

Death on sale,
a sacrificial offering made by the master of the show,
gluttonous appetite,
doom according to instructions,
a bloody art,
Fortune’s mistake,
speedy death,
doom heralded by the trumpet,
death ever at hand,
a bad victory.

What is a Boat?

A sea-tossed affair,
a house without a foundation,
a ready-made tomb,
a three-dimensional timber,
transportation by the winds,
a prison in winged flight,
fate bound up in a package,
the plaything of the winds,
a floating death,
a bird made of wood,
a seagoing horse,
an open weasel-trap,
uncertain safety,
death in prospect,
a traveler amid the waves.

What is a Sailor?

One who travels through the waves,
a courier on the sea,
one who follows on the track of the winds,
a fellow traveler with the winds,
a stranger to the inhabited world,
a deserter of the land,
the opponent of the storm,
a marine gladiator,
one who is unsure of his safety,
a neighbor to death,
a lover of the sea.

What is Wealth?

A burden of gold,
the minister to pleasures,
fear mingled with hope,
a senseless reaping of profits,
envy sharing one’s board,
a source of daily bother,
an unstable thing,
a beloved piece of misfortune,
a thing full of insidious snares,
desire that can never be sated,
a much-longed for hardship,
a high place to fall from,
a value conveniently reckoned in terms of money,
transitory good luck.

What is Poverty?

A good thing that is hated,
the mother of health,
a hindrance to pleasures,
a way of life free of worry,
a possession hard to cast off,
the teacher of inventions,
the finder of wisdom,
a business that nobody envies,
property unassessed,
merchandise not subject to tariff,
profit not to be reckoned in terms of cash,
a possession not interfered with by informers,
non-evident in good fortune,
good fortune free of care.

What is Old Age?

An evil easy to acquire,
a living death,
a healthy disease,
fate in prospect,
a timeworn object of laughter,
unstrung judgment,
a breathing corpse,
a stranger to love,
the prospect of death,
a corpse in movement.

What is Sleep?

Rest from toil the success of physicians,
the release of those who are bound,
the wisdom of the wakeful,
what sick men pray for,
an image of death,
the desire of those who toil in hardship,
the rest of all the spirit,
a principal occupation of the rich,
the idle chatter of poor men,
a daily object of concern.

What is Death?

Everlasting sleep,
the dissolution of the body,
the desire of those who suffer,
the departure of the spirit,
the fear of rich men,
the desire of paupers,
the undoing of the limbs,
flight from life and the loss of its possession,
the father of sleep,
an appointed day sure to be met,
the breakup of all things.

Thereupon Hadrian, after reading these things, and after learning the reason why he had made silence a philosophical practice, gave orders that his books should be deposited in the sacred library under the name of Secundus the Philosopher.

Notes

[1] The full study of the silent philosopher Secundus is that of Ben Edwin Perry,
Secundus the Silent Philosopher (APA Monographs, 22; Ithaca: The American Philological Association and Cornell University Press, 1964).

[2] David E. Aune, “Greco-Roman Biography,” in
Greco-Roman Literature and the New Testament: Selected Forms and Genres, edited by David E. Aune (SBL Sources for Biblical Studies 21. Atlanta, Georgia: Scholars Press) 114-121 [107-126].

[3] David E. Aune, “Greco-Roman Biography,” 112, 125.