Friday, March 27, 2009

Aku Guyur Api Neraka, Aku Bakar Surga!

Surga putih, dan neraka hitam?

Soteriologi dalam semua agama menawarkan selain keselamatan di dunia ini juga dan terutama keselamatan di akhirat: barangsiapa memercayai suatu dogma atau suatu figur insani yang suci sebagai juruselamat, orang itu akan masuk surga dan terluput dari neraka. Begitu juga, dengan memegang soteriologi salib, gereja menjanjikan: Barangsiapa percaya kepada Yesus Kristus yang telah mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia, orang itu akan pasti masuk surga dan terhindar dari neraka. Nah, dalam bab ini, saya mau mengargumentasikan bahwa surga dan neraka itu tidak ada, sehingga soteriologi salib atau soteriologi apapun sebetulnya menjanjikan sesuatu yang kosong bagi akhir kehidupan manusia.

Masalahnya, ajaran tentang adanya surga dan neraka sudah begitu dalam tertanam dalam kesadaran setiap orang beragama. Orang beragama apapun senantiasa diajarkan, sejak kecil, untuk percaya pada adanya surga dan neraka. Mereka sejak kanak-kanak sudah diiming-imingi surga dan ditakut-takuti neraka. Jadi, sangat susah atau bahkan mustahil untuk melepaskan orang beragama dari kepercayaan mereka pada adanya surga dan neraka.

Kata orangtua atau guru agama kita, kalau kita berbuat banyak kebajikan, lebih banyak dari kejahatan kita, dalam dunia sekarang ini, maka nanti dalam kehidupan di akhirat kita akan masuk surga, hidup dalam kebahagiaan abadi. Tetapi, mereka juga wanti-wanti mengingatkan, kalau kita berbuat kejahatan lebih banyak dalam dunia ini ketimbang kebajikan, kita nantinya akan masuk neraka, hidup dalam penderitaan abadi, dibakar api dan belerang sangat panas yang tak pernah padam.

Orang Kristen, seperti baru dikatakan, sejak di sekolah minggu juga diindoktrinasi dengan ajaran bahwa hanya orang yang percaya pada Yesus Kristus akan masuk surga sesudah kematian, dan orang yang tidak percaya pada Yesus nantinya akan masuk neraka. Bagi mereka, Yesus adalah tiket eksklusif satu-satunya untuk orang masuk surga.

Orang beragama yang memegang orientasi waktu siklikal pun percaya pada hal yang sama: setelah perbuatan bajik mencukupi, mereka akan terlepas dari siklus kematian dan kelahiran kembali dan masuk ke dalam nirvana, keadaan bahagia yang kekal abadi, dan hidup sebagai dewa-dewi. Jika dharma dan kebajikan belum mencukupi, mereka terlempar kembali, masuk ke dalam siklus kematian dan kelahiran kembali ke dalam dunia yang maya dan fana.

Kalangan Muslim ekstrimis bahkan percaya bahwa jika mereka mati di jalan Allah, mati sebagai syahid ketika berjihad dengan melakukan terorisme, mereka, setelah kematian, akan langsung dihadiahi kehidupan surgawi yang sangat menyenangkan, dengan dilayani puluhan bidadari yang cantik tak terbayangkan.

Tetapi, saya bertanya kepada mereka semua yang percaya pada adanya surga dan neraka: Bukankah untuk bisa merasakan sesuatu yang sangat menyenangkan (= surga) perlu ada tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan sel-sel otak? Bukankah untuk bisa merasakan sesuatu yang sangat menyiksa (= neraka) juga diperlukan tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan sel-sel otak? Tanpa tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan otak, tidak akan ada perasaan dan pengalaman positif atau negatif apapun.

Jika kehidupan sesudah kematian adalah suatu kehidupan tanpa tubuh, tanpa raga, tanpa organ, tanpa indra, tanpa syaraf, tanpa otak, maka kehidupan rohani yang transparan dan tanpa bentuk, yang bak angin atau asap belaka ini, adalah kehidupan yang tidak bisa merasakan apapun dan tidak bisa masuk ke dalam pengalaman apapun. Perasaan dan pengalaman, jika kedua hal ini ingin nyata dirasakan dan dialami, memerlukan media jasmaniah: tubuh, anggota tubuh, organ tubuh, indra, syaraf dan otak. Dengan demikian, kehidupan rohani setelah kematian, jika kehidupan semacam ini ada, adalah kehidupan tanpa rasa dan tanpa pengalaman apapun. Kehidupan yang tanpa rasa dan tanpa pengalaman apapun tidak akan bisa merasakan dan mengalami surga, juga tidak akan bisa merasakan dan mengalami neraka. Dengan kata lain, kehidupan rohaniah sesudah kematian ragawi tidak memungkinkan orang yang sudah mati mengalami baik surga maupun neraka. Surga atau neraka tidak bisa dirasakan dan dialami oleh orang yang sudah mati. Surga dan neraka hanya ada dalam ajaran agama, tetapi tidak bisa sungguh-sungguh dialami dan dirasakan orang yang sudah mati tetapi hidup lagi dengan tidak memakai raga apapun lagi.

Begitu juga, dalam suatu kehidupan rohaniah sesudah kematian, api yang terus bernyala dalam neraka pastilah bukan api sungguhan seperti api dalam oven pembakar dan pelumer baja yang kita kenal dalam dunia ini. Api rohaniah, api yang bukan api riil sungguhan, jika ada, tidak bisa menimbulkan rasa sakit, rasa panas, dan rasa tersiksa apapun. Neraka rohaniah, dengan demikian, tidak akan menyiksa apapun, dan neraka yang tidak bisa menyiksa adalah neraka yang tidak pernah ada. Neraka panas di alam baka hanya ada dalam khayalan orang yang masih hidup di bumi dengan memakai pengalaman di bumi. Jelas, neraka adalah suatu pelipatgandaan pengalaman buruk dan penderitaan manusia di bumi yang diproyeksikan ke alam keabadian.

Demikian juga, surga sesudah kematian, surga dalam kehidupan rohaniah sepenuhnya di alam baka, pastilah juga bukan rasa nikmat tertinggi jasmaniah sungguhan seperti orang rasakan dengan indra, syaraf dan otak ketika, misalnya, mencapai orgasme atau ejakulasi dalam suatu hubungan seksual badaniah yang dialami dalam dunia material sekarang ini. Surga rohaniah, dengan demikian, jika ada, adalah surga yang tidak bisa menimbulkan rasa nikmat apapun; dan rasa nikmat yang tidak bisa dirasakan secara jasmaniah, melalui organ, indra, syaraf dan otak, adalah rasa nikmat yang tidak pernah ada. Dengan begitu, surga rohaniah juga tidak pernah ada. Surga di alam baka hanya ada dalam khayalan manusia yang masih hidup di bumi dengan memakai pengalaman di bumi. Jelas jadinya, surga di alam baka adalah suatu pelipatgandaaan pengalaman bahagia yang dialami di muka bumi yang diproyeksikan ke alam keabadian.

Surga rohaniah dan neraka rohaniah dengan demikian tidak pernah akan menjadi tempat kenikmatan abadi dan tempat siksaan abadi. Dengan kata lain, keduanya tidak ada. Orang beragama yang memandang surga dan neraka di alam baka sebagai kenyataan-kenyataan material dan jasmaniah adalah orang yang gagal mengakui dan melihat adanya diskontinuitas antara alam fana jasmaniah dan alam baka rohaniah, antara tubuh manusia yang hidup dan mayat orang yang sudah mati yang harus dikuburkan atau dibakar dan yang, sesudah beberapa waktu lamanya, akhirnya lenyap menyatu dengan bumi. Tidak ada raga yang dilanjutkan keberadaannya sebagai raga di alam baka.

Kalaupun jiwa dipahami sebagai “energi” yang kekal, dan sebagai energi akan terus ada kendatipun orangnya sudah mati, energi ini, jika tidak terintegrasi dalam suatu media jasmaniah material, yakni tubuh, tidak akan menjadi suatu makhluk hidup yang dapat mencerap dan merasakan hal apapun. Orang beragama percaya, orang mati yang masuk ke dalam surga atau dibuang ke neraka akan terus hidup sebagai pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran personal dan jati diri. Nah, kalau jiwa hidup lagi setelah kematian ragawi sebagai suatu energi kekal, energi selamanya adalah sesuatu yang a-personal atau non-personal, sesuatu yang tidak memiliki kesadaran personal dan jati diri. Jadi, dari sudut perspektif fisika molekuler material, keberadaan surga dan neraka tidak bisa dihipotesiskan, kendatipun jiwa dapat dipandang berubah menjadi atau bertahan sebagai energi.

Tetapi, orang beragama bisa membantah dengan menyatakan bahwa kehidupan sesudah kematian adalah juga kehidupan ragawi, sehingga bisa tetap merasakan dan mengalami sesuatu seperti ketika orang masih hidup di dunia. Orang Kristen adalah kalangan yang bisa diantisipasi akan berargumen semacam ini, dengan mereka menunjuk pada tubuh kebangkitan Yesus yang diklaim bersifat ragawi.

Tetapi kontra-argumennya juga ada: Jika Yesus yang bangkit dari kematian adalah Yesus yang sungguh-sungguh masih memiliki raga sungguhan, maka dia, sesudah kebangkitannya, akan harus tunduk pada keterbatasan-keterbatasan ragawi, bahwa dia akan, misalnya, lapar, sakit dan terkurung, terikat pada tempat, tidak bebas, termasuk juga bahwa dia akan tetap menjadi semakin tua, lisut lalu mati lagi. Raga yang hidup abadi dan tidak pernah akan binasa hanya ada dalam mitos, dalam dongeng, dalam fiksi, tidak ada dalam kenyataan, di dunia ini maupun di akhirat. Jika setelah kematian dan kebangkitannya Yesus masuk surga, di surga, karena dia masih memiliki raga, umurnya akan tetap bertambah lalu dia pasti menua dan akan mati lagi. Surga macam apakah yang di dalamnya orang mati yang dibangkitkan bisa mati lagi?

Jika demikian halnya, kehidupan Yesus sesudah kebangkitannya tidaklah berbeda dari kehidupannya sebelum kematian dan kebangkitannya. Dengan kata lain, Yesus yang semacam ini adalah Yesus yang belum pernah terbebas dari kehidupan ragawi, dan tidak pernah mengalami kehidupan lain sesudah kematiannya. Sungguh malang Yesus jika keadaannya semacam ini! Doktrin tentang kebangkitan ragawi Yesus yang tujuan semulanya mau mengunggulkan dia di atas semua orang suci lainnya akhirnya malah memenjarakannya dalam serba kedagingannya dan menjadikannya makhluk paling malang di dunia ini dan di akhirat!

Di samping itu, kehidupan setelah kematian yang masih terkurung oleh raga dan semua sifat fananya, bukanlah kehidupan setelah kematian, melainkan masih sebatas kehidupan ragawi dalam dunia ini, kehidupan yang masih belum terbebaskan. Kehidupan setelah kematian yang semacam ini tidaklah pernah ada di akhirat.

Nah, dengan penasaran Anda mungkin akan bertanya: Kalau surga dan neraka tidak bisa dirasakan dan dialami oleh orang yang sudah mati, atau kalau surga dan neraka tidak pernah ada di alam baka, lalu apa yang akan dialami orang yang sudah mati? Orang yang sudah mati, jika masih harus hidup lagi di alam baka, tidak akan mengalami hal apapun: mereka berada dalam kekosongan; tanpa surga dan tanpa neraka, tanpa upah dan tanpa ganjaran, tanpa rupa dan tanpa bentuk, tanpa pekerjaan dan tanpa rehat.

Jika demikian, apakah masih perlu mengajarkan orang beragama tentang surga dan neraka?

Dalam tradisi Yahudi-Kristen, ajaran tentang surga dan neraka lahir dari dalam suatu pandangan dunia apokaliptik yang menuntut semua musuh umat dan musuh Allah dalam dunia fana ini, yang telah menyengsarakan umat Allah, dibalas dan dihukum habis-habisan dalam api neraka setelah kematian mereka; sedang umat yang disengsarakan, sebagai pahala untuk ketaatan dan kesetiaan mereka pada Allah dan agama Allah, dihadiahi surga selamanya. Jadi, dapat dikatakan, ajaran tentang ancaman api neraka sesudah kematian sebenarnya menunjukkan kebencian umat pada musuh-musuh Allah, kebencian yang terus dirawat, dipertahankan, dihidupkan dan dipelihara sampai pada kematian dan sesudahnya. Ajaran tentang api neraka, dengan demikian, mengajarkan kebencian kekal pada musuh-musuh umat. Jelas, ajaran yang terus menebar kebencian sudah seharusnya ditolak.

Rabiah Al-Adawiyah menyatakan akan mengguyur api neraka dengan air sampai padam, dan membakar surga dengan suluh sampai lenyap terbakar, supaya orang mau beragama bukan karena iming-iming surga atau karena ketakutan akan api neraka, melainkan karena cinta saja. Ya, ajaran yang menebar kebencian sudah seharusnya diganti dengan ajaran tentang cinta, cinta kepada sesama bahkan cinta kepada musuh! Yesus Kristus sangat menekankan keharusan para pengikutnya untuk mengasihi musuh mereka sekalipun! Para Boddhisatva yang seharusnya sudah lepas dari siklus kematian dan kelahiran kembali, lalu masuk ke dalam nirvana, bersumpah tidak akan mau masuk ke dalam nirvana sampai seluruh rumput di padang mendapat penerangan budi melalui dharma yang mereka terus-menerus sebarkan! Artinya, mereka memilih untuk selamanya berada dalam dunia ini untuk menebar cinta. Mereka melakukan pengurbanan diri yang begitu besar karena cinta mereka kepada semua makhluk dalam dunia ini.

Cinta juga akan membuat kita merasa lebih bertanggungjawab untuk memadamkan api neraka kemiskinan dan penderitaan riil dalam dunia ini sekarang ini ketimbang membiarkan diri dilanda ketakutan pada neraka yang tidak pernah ada dalam dunia baka! Cinta juga akan mendorong kita untuk terus-menerus memperjuangkan tegaknya surga dalam dunia ini sekarang ini di antara orang yang miskin dan sengsara, ketimbang membiarkan diri terpincut oleh iming-iming surga yang tidak pernah ada dalam dunia baka!

Monday, March 23, 2009

Mitos "Sola Scriptura"


Mitos “Sola Scriptura”

(Tulisan ini, dalam versi yang sedikit lebih pendek, telah terbit sebelumnya di Koran Tempo, 22 Maret 2009, hlm. A21)

“Sola Scriptura” artinya “hanya Kitab Suci”. Ini adalah sebuah prinsip gerakan Reformasi yang ditetapkan pada abad XVI di Eropa sebagai reaksi terhadap praktik Gereja Roma Katolik waktu itu yang menempatkan tradisi gereja setingkat dengan, bahkan di atas, Alkitab dalam pencarian kebenaran dan pengetahuan. Dalam rangka menempatkan Alkitab di atas tradisi gereja dan dogma, dan menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya norma utama bagi semua norma lainnya, para pembaru gereja waktu itu menetapkan prinsip itu. Bagi mereka waktu itu, semua dogma tradisional gereja harus ditundukkan pada Alkitab, bukan sebaliknya.


Sekarang, di abad XXI, gereja Reformatoris tidak lagi hanya satu aliran, melainkan beratus-ratus. Semua aliran ini sama-sama mempertahankan prinsip “Sola Scriptura”, meskipun doktrin dan etika mereka berbeda-beda satu sama lain. Bagi gereja-gereja Reformatoris masa kini, prinsip “Sola Scriptura” tetap relevan dan harus dipegang kuat, dan harus menjadi pengarah dalam mencari kebenaran dan pengetahuan. Bagi mereka, di tengah sangat banyak sumber rujukan yang dapat dipakai manusia modern dalam menemukan kebenaran dan pengetahuan, prinsip “Sola Scriptura” yang teguh dipertahankan seolah sudah menyelesaikan semua persoalan epistemologis.


Bagi saya, prinsip “Sola Scriptura” adalah sebuah prinsip yang sangat problematis dan yang, dalam kenyataannya, tidak bisa dijalankan atau dipraktikkan. Gereja-gereja yang mempertahankan prinsip ini mati-matian, hanyalah hidup dalam ketidakjujuran, berpuas hidup dalam suatu slogan kosong yang tidak fungsional, terbuai dalam mimpi-mimpi yang tidak berpijak pada kenyataan kehidupan. Pendek kata, prinsip “Sola Scriptura” adalah sebuah mitos, karena enam alasan berikut.


Pertama, prinsip “Sola Scriptura” tidak bisa dijalankan karena problem hermeneutis. Katakanlah, kanon Alkitab yang dipakai sama. Tetapi ketika Alkitab yang sama ini mau dipahami, orang yang mau memahaminya, atau si penafsir Kitab Suci, bukanlah orang yang netral dengan benak yang kosong. Setiap penafsiran Kitab Suci selalu melibatkan kebudayaan dan pengalaman hidup si penafsir, yang terekam dalam benak si penafsir. Tidak ada penafsiran yang bisa mengangkat pesan atau makna murni teks Kitab Suci. Makna ditemukan setelah terjadi interaksi dan saling pengaruh antara si penulis teks zaman dulu dan si penafsir masa kini, antara konteks teks zaman dulu dan konteks si penafsir zaman sekarang, antara kebudayaan zaman dulu dan kebudayaan si penafsir masa kini. Pendek kata, selalu ada faktor plus yang ditambahkan ke dalam teks kuno ketika teks ini mau dipahami. Tidak akan berhasilnya si penafsir teks suci mendapatkan makna murni teks suci, dan adanya faktor plus yang berasal dari kebudayaan si penafsir, menyebabkan prinsip Sola Scriptura tidak fungsional. Selalu ada pengetahuan lain non-skriptural yang diikutsertakan ketika orang mau memahami Kitab Suci apapun.


Kedua, prinsip “Sola Scriptura” tidak bisa diterapkan karena ada kesenjangan sejarah dan kesenjangan budaya antara teks kuno Kitab Suci dan dunia masa kini si penafsir. “Kesenjangan sejarah” adalah kesenjangan waktu, dari ratusan tahun sampai ribuan tahun, yang memisahkan dunia teks Kitab Suci dari dunia si penafsir teks suci pada masa kini. Kesenjangan sejarah yang lebar ini menyebabkan cara berpikir, cara hidup dan pandangan dunia zaman kuno terlihat sangat asing dan tidak relevan dalam pandangan si penafsir dan masyarakatnya pada masa kini. Jadi, kesenjangan sejarah melahirkan kesenjangan budaya. Adanya dua kesenjangan ini menyebabkan mustahilnya memindahkan teks Kitab Suci begitu saja ke zaman sekarang.

Meskipun tidak semua hal bisa dijembatani, perlu dibuat “jembatan-jembatan” yang dapat menghubungkan dunia zaman dulu dan dunia zaman sekarang ketika orang mau memahami teks suci pada zaman sekarang. Penerjemahan dinamis teks kuno Kitab Suci ke dalam bahasa si penafsir dan masyarakatnya pada masa kini adalah salah satu jembatan yang harus dibangun supaya teks suci kuno bisa dipahami manusia modern. Setiap usaha menerjemahkan memerlukan keterlibatan kebudayaan masa kini si pemakai Kitab Suci. Jembatan lain dibangun dengan melibatkan ilmu-ilmu pengetahuan lain dari zaman modern, misalnya arkeologi, linguistik, antropologi lintas-budaya, sosiologi agama dan sosiologi pengetahuan, supaya orang zaman sekarang bisa mengerti cara hidup, cara berpikir, cara berbudaya, dan pandangan dunia manusia zaman kuno. Dengan demikian, selalu diperlukan faktor eksternal, yakni hal-hal yang tidak terdapat dalam Kitab Suci, ketika orang mau menerjemahkan dan memahami teks kuno Kitab Suci. Jelas jadinya, mempraktikkan prinsip Sola Scriptura dengan begitu saja memindahkan teks kuno dan menerapkannya secara harfiah ke zaman sekarang tidak akan bisa membantu manusia zaman sekarang untuk hidup tanggap pada panggilan zamannya. Jadi, prinsip Sola Scriptura tidak fungsional ketika diperhadapkan pada dua kesenjangan yang membentang antara dunia Kitab Suci dan dunia zaman sekarang.


Ketiga, prinsip “Sola Scriptura” dalam kenyataannya tidak diterapkan dengan konsisten untuk semua bagian Kitab Suci. Gereja yang memakai Alkitab ternyata mempraktikkan apa yang disebut “kanon di dalam kanon”. Maksudnya: gereja memilih-milih bagian-bagian mana saja dalam kanon Kitab Suci yang jelas masih bisa dipakai untuk zaman sekarang atau yang sejalan dengan posisi dogmatisnya; bagian-bagian lain yang jelas sudah tidak relevan dan sudah tidak bisa dipakai untuk zaman sekarang, atau yang tidak mendukung pendirian dogmatisnya, tidak dipakai. Dengan mempraktikkan “kanon di dalam kanon” ini gereja sebetulnya sudah menolak prinsip Sola Scriptura dan dengan diam-diam mengakui bahwa orang zaman sekarang tidak akan bisa hidup sama sekali jika seluruh Kitab Suci diikuti dan diterapkan dengan konsisten.


Keempat, memperlakukan Kitab Suci sebagai satu-satunya sumber kewibawaan (Sola Scriptura) bagi semua segi kehidupan manusia akan membuat gereja menolak banyak sains modern, khususnya sains modern yang berbicara mengenai hal-hal yang juga dibicarakan Kitab Suci, misalnya tentang penciptaan dunia dan asal-usul manusia dan semua spesies lain yang ada di bumi ini. Pseudosains kreasionisme dan teologi Intelligent Design (ID) disodorkan dan dibela mati-matian oleh kalangan sola-skripturalis untuk melawan dan menolak kosmologi, geologi, fisika, astronomi, astrofisika dan biologi modern khususnya teori evolusi Darwinian. Kalangan yang mempertahankan prinsip Sola Scriptura mengalami keterbelahan jiwa ketika mereka membiarkan, tanpa daya, ilmu-ilmu modern ini diajarkan di Indonesia, sementara mereka dalam iman dan keyakinan mempertahankan dan membela kreasionisme dan teologi ID yang di Indonesia tidak akan pernah diizinkan untuk diajarkan di sekolah-sekolah formal manapun. Siapakah orang di dalam zaman modern ini yang bisa hidup kalau mereka, atas nama prinsip Sola Scriptura, menolak ilmu-ilmu pengetahuan modern? Dengan kata lain, berhadapan dengan sains modern, prinsip Sola Scriptura lumpuh dan tidak fungsional.


Kelima, prinsip Sola Scriptura lumpuh total di dalam suatu dunia terbuka yang secara religius plural. Ada banyak Kitab Suci dalam dunia ini, yang, faktanya, telah dan sedang menginspirasi dan menuntun kehidupan banyak umat beragama yang berbeda-beda. Perspektif pluralisme mendorong umat beragama yang berbeda-beda untuk juga membaca Kitab-kitab Suci lain dengan kritis, bahkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang memerdekakan di dalam Kitab-kitab Suci lain itu. Dalam dunia yang secara keagamaan majemuk, banyak orang dari agama-agama lain diperkaya dengan luar biasa oleh kitab-kitab suci lain. Nah, dalam dunia yang plural dan terbuka semacam ini, mempertahankan prinsip Sola Scriptura hanyalah akan menghasilkan suatu umat beragama yang terisolasi dari umat-umat beragama lainnya.


Keenam, prinsip Sola Scriptura, ketika diterapkan dalam suatu kehidupan politik suatu masyarakat dan bangsa, mengharuskan gereja (atau umat beragama monoteistik manapun) menegakkan teokrasi (pemerintahan oleh Allah melalui wakil-Nya, sang Mesias, dalam dunia) dan nomokrasi (pemerintahan berdasarkan hukum-hukum ilahi), karena inilah dua bentuk pemerintahan yang diwariskan umat Yahudi kepada gereja melalui Kitab Suci mereka. Jika orang Kristen di Indonesia penjunjung prinsip Sola Scriptura konsekwen dengan pendiriannya ini, mereka harus menegakkan teokrasi dan nomokrasi di Indonesia. Jika demikian halnya, apakah gereja dengan prinsip Sola Scriptura-nya bisa hidup di Indonesia? Jawabannya sudah jelas: mereka tidak bisa hidup di Indonesia dengan prinsip mereka ini. Demokrasi, yang sedang diperjuangkan bangsa Indonesia, jelas tidak memiliki landasan skripturalnya dalam Alkitab gereja, dan harus dicari dasar-dasar pembenarannya di luar Kitab Suci gereja.

Tuesday, March 17, 2009

Tritunggalisme Kristen: Bermain dengan Angka!

Setiap angka bisa dikeramatkan, atau dipandang penting, sakti dan bertuah. Nah, pada kesempatan ini marilah kita perhatikan angka 1 sampai angka 3.

Satu adalah angka teramat keramat. Angka ini membuat orang gemetar. Karena angka ini dipakai untuk menyebut kemahaesaan Allah: Allah itu Esa, Allah itu Satu. Jangan ada ilah lain di hadapan-Nya! Angka satu adalah bilangan pertama yang harus disebutkan, jika orang mau menyebut suatu urutan. Tanpa menyebut angka satu, urutan tidak bisa dibangun. Sebelum dua, harus ada satu. Satu adalah awal segalanya. Pada mulanya adalah Satu, dan Satulah yang menciptakan awal.

Angka dua, bilangan genap pertama, dipakai untuk menunjukkan kelengkapan. Seorang yang masih membujang atau menjomblo, hidup masih sendiri, dikatakan tidak bagus. “Tidak bagus kalau Adam sendirian!” Itu kata Allah dalam permulaan Kitab Kejadian. “Segeralah kamu menjadi berdua!” Itulah permintaan seorang ibu kepada anaknya yang sudah lama tidak kawin-kawin juga. “Berbahagialah, Ibu, karena Anda kini telah berbadan dua,” kata seorang ginekolog kepada seorang ibu muda yang baru hamil. Angka dua juga dipakai untuk menyatakan kesempatan baru dan harapan baru, setelah kesempatan pertama dan harapan pertama kandas, tidak berhasil diraih. “OK, aku beri engkau kesempatan kedua!” Itu kata seorang boss kepada seorang bawahannya. Angka dua juga menunjukkan pertemanan, keberanian dan kekuatan. “Kita sekarang berdua, tidak sendiri; karena itu marilah kita hadapi masalah ini dengan berani!” Itulah kata-kata sang isteri kepada sang suami ketika mereka sedang menghadapi masalah yang mengancam kehidupan mereka.

Angka tiga juga adalah angka yang luar biasa. Angka ini kerap dipakai untuk menyatakan batas maksimal sesuatu, kelengkapan sesuatu. Orang umumnya menyatakan bahwa dia mau memaafkan sampai tiga kali saja. Atau orang mau memberi waktu hanya sampai pada hitungan yang ketiga. Seorang dosen atau seorang nabi kerap mengulang sampai tiga kali hal sangat penting yang diucapkannya.

Pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika Indonesia belum merdeka, para pemuda yang mewakili penduduk Nusantara Indonesia menyatakan sebuah sumpah sakti mereka bahwa ada tiga hal yang mempersatukan mereka semua, yakni tanah air atau tumpah darah yang satu, yakni tanah air atau tumpah darah Indonesia; bangsa yang satu, yakni banga Indonesia; dan bahasa yang mempersatukan, yakni bahasa Indonesia.

Para filsuf Yunani klasik membayangkan ada tiga ide abadi dalam jagat raya, yakni Kebaikan (
agathotēs atau aretē), Kebenaran (dikaiosunē), dan Keindahan (kallos). Ketiga ide abadi ini adalah tiga segi dari Hal Besar yang terdapat dalam kosmos.

Filsuf Plato membagi jiwa manusia dalam tiga bagian korelatif: bagian vegetatif, bagian hewani, dan bagian intelektual.

Dalam pemikiran filosofis John Locke, suatu pemerintahan politis perlu didistribusi ke dalam tiga lembaga yang memiliki kedaulatan masing-masing di wilayah masing-masing, yakni lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.

Bagi orang beragama, angka tiga juga adalah angka yang teramat keramat. Ada Kitab Suci yang dinamakan Tripitaka. Ada tiga Dewa Hindu yang dinamakan Trimurti: Brahma, Wisnu, Siwa. Ada Trikaya (atau tiga sifat Buddha) dalam Buddhisme: Dharmakaya, Nirmanakaya, dan Sambhogakaya. Para teolog perbandingan agama menyatakan ada tiga agama Abrahamik, yakni agama Yahudi, agama Kristen, dan agama Islam, yang masing-masing memiliki tiga benda suci, yakni tanah suci, bait suci dan kitab suci.

Dalam kepercayaan kosmologis orang Yunani-Romawi kuno, alam semesta dipandang bertingkat tiga: tingkat pertama di atas, tingkat kedua di tengah, dan tingkat ketiga di bawah bumi. Pada masing-masing tingkat ini, ada satu dewa yang berkuasa dan memerintah: pada tingkat pertama di kosmos, berkuasa Zeus yang bertakhta di Gunung Olympus; pada tingkat kedua bertakhta Poseidon yang menguasai lautan di muka bumi; dan pada tingkat ketiga di bawah bumi, di dunia orang mati, berkuasa Hades.

Angka tiga sangat keramat tentu saja bagi kalangan Kristen. Orang Kristen ortodoks percaya dan gemetar terhadap Allah tritunggal: Satu Allah, ada dalam tiga persona (Latin:
tres Personae; Yunani: treis Hypostases); atau satu Allah mengambil tiga cara berada.; atau tiga persona dalam “satu hakikat” (Latin: una Substantia; Yunani: Homoousios). “Three-in-one” dan “one-in-three”. Tiga persona atau tiga cara berada ini adalah: Allah Bapa, Allah Anak (=Yesus Kristus), dan Allah Roh Kudus.

Tapi, kalau angka memang bisa menjadi begitu penting dalam suatu konstruksi numerik pemikiran teologis, mengapa tidak mengambil angka yang posisinya paling penting dari semua angka lainnya: yakni angka Nol (=0) dan angka Tidak Berhingga (=~)? Maksudnya: Mengapa tidak berdiam diri total, bersikap Nol, di hadapan Misteri Agung yang tak terkatakan? Untuk memahami hal ini, hai orang Kristen, belajarlah dari Siddharta Gautama sang Buddha! Mengapa begitu yakin menyebut Allah itu tiga-dalam-satu dan satu-dalam-tiga? Atau mengapa tidak menyatakan bahwa Allah itu tidak terbatas, tidak berhingga, dalam penyataan persona diri-Nya atau dalam cara berada-Nya? Untuk memahami hal ini, wahai orang Kristen, belajarlah dari para sufi!

Monday, March 9, 2009

Mitos Iman Ortodoks

ada jalan lurus, ada jalan menyimpang,
keduanya berfungsi


Di kalangan setiap umat beragama, selalu ada kelompok yang dengan bangga dan takabur menyebut diri ortodoks. Kata “ortodoks” berarti ajaran atau pandangan (doksa) yang benar atau lurus (orthos). Kelompok ortodoks ini memandang setiap kelompok keagamaan lain yang menganut ajaran atau pandangan berbeda atau bertentangan dengan ajaran atau pandangan mereka sebagai bidaah atau kelompok sesat dan menyesatkan yang sudah menyimpang dari ortodoksi. Bagi kelompok ortodoks, kelompok heterodoks atau kelompok yang menganut ajaran atau pandangan lain (heteros) atau kelompok non-ortodoks tidak bisa berdiam bersama mereka dalam satu masyarakat. Bagi mereka, bagaimana mungkin yang sesat atau yang bengkok atau yang salah bisa bersanding bersama dengan yang benar dan yang lurus; bagaimana mungkin gelap bisa hidup bersama dengan terang. Memakai kosmologi dualistik, kelompok ortodoks memandang diri mereka berada di pihak Allah, dan sedang melawan kelompok non-ortodoks yang mereka pandang berada di pihak setan. Kehidupan dilihat oleh kelompok ortodoks sebagai suatu arena peperangan abadi melawan kelompok yang tidak ortodoks, peperangan antara Allah melawan setan, antara kami yang benar dan kalian yang salah.

Setiap agama memiliki sejarah panjang pertikaian antara kelompok ortodoks dan kelompok heterodoks atau kelompok non-ortodoks. Pertikaian ini semula bertitik-tolak dari pertikaian di bidang ajaran, ketika kelompok heterodoks atau non-ortodoks juga berpengaruh di dalam masyarakat yang dengan serakah ingin dikuasai secara sepihak oleh kelompok ortodoks. Tetapi, pertikaian atau polemik di bidang ajaran dilihat oleh kelompok ortodoks tidak bisa mereka menangkan dengan mudah, khususnya ketika masyarakat di mana mereka hidup sangat plural dan toleransi atas keanekaragaman pandangan menjadi gaya hidup bersama. Karena itu, untuk dengan telak memenangkan pertikaian doktrinal, mereka melihat perlu memakai kekuatan politik dan kekuatan militer sebagai kekuatan-kekuatan ampuh untuk membinasakan lawan-lawan ideologis mereka. Mereka pun dengan segala cara yang lihai berusaha keras untuk dapat dirangkul oleh, atau merangkul, kekuatan politik dan kekuatan militer yang sedang berkuasa dalam masyarakat sebagai kekuatan-kekuatan penentu, pengendali dan perancang kehidupan masyarakat dan negara.

Tidak cukup hanya dengan merangkul kekuatan politik dan kekuatan militer, mereka, kelompok ortodoks, berupaya juga untuk merangkul atau dirangkul oleh kekuatan ekonomi dalam masyarakat yang diyakini akan dapat mematikan gerak dan nafas kehidupan kelompok heterodoks atau non-ortodoks. Maka, ketika terbentuk aliansi kuat yang tidak suci antara kekuatan agama ortodoks, kekuatan politik, kekuatan militer dan kekuatan ekonomi, kelompok ortodoks dengan mudah menggilas dan melumat kelompok-kelompok heterodoks atau non-ortodoks dalam masyarakat. Inilah yang sesungguhnya terjadi ketika kekristenan perdana pada abad keempat merangkul sekaligus dirangkul oleh kekaisaran Romawi yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar Konstantinus Agung. Keberhasilan politis kelompok ortodoks ini, ketika mereka berhadapan dengan kelompok-kelompok yang mereka pandang sebagai bidaah, nyata dengan sangat jelas ketika Kaisar Theodosius pada tahun 381 secara resmi menyatakan bahwa bidaah (dalam hal ini: Arianisme, Manikheisme, gnostisisme, Ebionisme dan paganisme) adalah suatu tindak kejahatan melawan negara! Pada waktu itu, beragama berbeda dari agama mayoritas yang didukung kekaisaran adalah suatu tindakan subversif! Pasukan Inkwisisi yang dibentuk gereja Roma Katolik pada Abad Pertengahan yang bertugas mengejar, menangkap, mengadili dan melumatkan para bidaah hanyalah melanjutkan kebijakan negara dan gereja yang sudah dibangun pada abad keempat ini.

Hal penting yang patut ditanyakan adalah apa tolok ukur yang dipakai kelompok ortodoks untuk menentukan bahwa merekalah pemilik satu-satunya ajaran atau akidah atau ideologi religius yang lurus dan benar, sementara yang berbeda atau bertentangan dari yang mereka pegang dicap tidak lurus, sesat dan tidak benar. Ortodoksi, di manapun dan kapanpun juga, sama sekali tidak mendasarkan kebenaran atau kelurusan pandangan dan doktrin mereka pada ilmu pengetahuan. Mereka melandaskan klaim kebenaran dan kelurusan doktrinal mereka pada sejumlah otoritas yang diklaim tidak bisa digugat: otoritas insani, otoritas Kitab Suci, otoritas dogma keagamaan yang diterima dan diabadikan, dan otoritas iman. Otoritas insani di sini adalah orang-orang suci atau para pemimpin suci zaman lampau yang dipercaya telah menyampaikan dan merawat ajaran yang lurus dan benar, yang telah dicatat dan direkam dan diabadikan tanpa kesalahan apapun di dalam Kitab Suci sebagai sabda dan wahyu ilahi sepenuhnya yang tidak bisa bercacat, dan yang dipelihara dan dilestarikan dalam dogma keagamaan yang sudah ditetapkan sekali untuk selamanya pada awal-awal kelahiran suatu agama. Otoritas insani di sini tentu saja juga mencakup otoritas pemegang kekuasaan politik, militer dan ekonomi dalam masyarakat yang melindungi dan memelihara kelompok ortodoks. Otoritas insani dan otoritas Kitab Suci yang melindungi kelompok ortodoks, dan otoritas dogma yang menopang kelompok ini, diklaim dan dipertahankan oleh kelompok ini sebagai otoritas yang tidak bisa salah dalam hal apapun dan kapanpun.

Hal “tidak bisa bercacat” dan “tidak bisa salah” ini bukan ditemukan dan dipertahankan dengan berlandaskan pada suatu penyelidikan dan pengujian secara ilmiah menurut kaidah-kaidah mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan sebagai hal-hal yang diimani begitu saja. Iman tidak dihasilkan dari suatu penyelidikan saintifik untuk mendapatkan secara objektif kebenaran sesuatu, melainkan sebagai sesuatu yang diimpi-impikan, diharap-harapkan, diangan-angankan, dibayang-bayangkan dan diyakini begitu saja. Iman berdasar pada keyakinan subjektif; sedang ilmu pengetahuan didapatkan berdasarkan penyelidikan objektif atas sesuatu. Iman dan sains adalah dua hal yang bertentangan secara epistemologis: pengetahuan imaniah didapat dari keyakinan dan harapan subjektif partikular pada suatu Tuhan sebagai objek di luar sejarah dan di luar pengalaman riil dan empiris manusia; sedangkan ilmu pengetahuan diperoleh dari penalaran logis, pengujian dan pembuktian menurut prosedur dan metodologi yang objektif, ketat, repeatable, dapat diulang, baku dan universal. “Demi Allah, mudah-mudahan esok tidak hujan”, adalah ungkapan iman; sedangkan ungkapan ilmu pengetahuan berbunyi lain: “Menurut data objektif yang berhasil diperoleh dan dikumpulkan serta dianalisis oleh Badan Meteorologi dan Geofisika, dipastikan besok Jakarta akan diterpa hujan lebat yang berlangsung lama.” Iman berada dalam wilayah mitos; sedangkan sains berada dalam wilayah logos. Logos menentang mitos, dan mengunggulinya dalam pencapaian kebenaran. Sebagai mitos, iman berbicara mengenai mimpi-mimpi, angan-angan, harapan-harapan, yang tidak berpijak pada nalar dan fakta empiris; sedangkan sains sebagai logos berpijak pada landasan penalaran logis yang ditopang bukti empiris objektif.

Nah, di Jakarta, saya perhatikan, belakangan ini kelompok Kristen ortodoks dilanda histeria keagamaan untuk mempertahankan, membela dan melindungi ketuhanan Yesus Kristus, dari pandangan-pandangan kalangan sejarawan kritis yang menyelidiki Yesus dari sudut pandang ilmu sejarah, ilmu kajian kritis teks Kitab Suci, ilmu arkeologi dan ilmu antropologi lintas budaya. Kalangan Kristen ortodoks Jakarta yang minder, histeris dan kelabakan ini membangun suatu aliansi dengan kekuatan ekonomi di Jakarta untuk mendapatkan sumber-sumber dana untuk menyelenggarakan seminar-seminar yang membela dan mempertahankan serta memenjarakan ketuhanan Yesus, dengan mengundang apologet-apologet gnostik Kristen mancanegara yang harus dibiayai dan dibayar mahal hanya untuk melontarkan pandangan-pandangan gnostik mereka yang tidak menerima fakta keberdagingan dan kebersejarahan Yesus dari Nazaret. Proyek seminar-seminar ortodoks ini adalah proyek iman, bukan proyek ilmu pengetahuan, sementara kebenaran objektif tentang Yesus dari Nazaret bisa diperoleh hanya dengan jalur penyelidikan ilmiah seperti yang sudah dan sedang digelar baik oleh the Jesus Seminar serta the Jesus Project, dan banyak pakar kritis lainnya di dunia ini, maupun yang juga saya lakukan di Indonesia. Ilmu pengetahuan tentang Yesus tidak didapat dari otoritas insani, otoritas Kitab Suci, otoritas dogma, atau otoritas iman, melainkan hanya dari penyelidikan ilmiah, yang memakai nalar, sains dan bukti untuk mendapatkannya. Kitab Suci, dalam hal ini, adalah suatu sumber, bukan sumber satu-satunya, bagi penemuan siapa Yesus dari Nazaret itu.




Thursday, March 5, 2009

Hidup Inklusif dalam Bertetangga

Untuk kedua kalinya saya tampil di layar kaca TVRI, pada tanggal 2 Maret 2009, pukul 08.00-8.30 WIB, dalam suatu acara dialog antaragama yang dipandu oleh Wisnu Prayuda dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Seperti tepat seminggu sebelumnya, mitra dialog saya adalah orang-orang yang sama, yang mewakili umat Islam, umat Kong Hu Cu, dan umat Hindu. Kali ini dialog diadakan di sekitar tema Hidup Inklusif dalam Bertetangga.



Semua peserta dialog sepakat bahwa kalau kehidupan beriman kita sehat dan benar, maka iman kita akan membuahkan keamana
n bagi lingkungan kita, mulai dari yang terdekat, yakni kehidupan berumahtangga dan bertetangga, sampai ke yang terjauh, yaitu kehidupan dalam dunia luas ini. Kata seorang peserta dialog, Prof. Bambang Pranowo dari UIN Jakarta, iman itu aman! Seorang yang beriman akan memberi rasa aman buat dunia ini, buat semua orang. Ini tolok ukurnya, tandasnya!

Agama dan orang beragama bisa mendatangkan rasa tidak aman kepada manusia, kepada tetangganya dan lingkungan sekitarnya, minimal karena tiga hal. Pertama, seperti dikatakan seorang mitra dialog dari agama Hindu, rasa tidak aman dan konflik timbul karena umat beragama tidak melaksanakan the golden rule, yang menyatakan: Berbuatlah apa yang engkau inginkan orang lain berbuat kepadamu, dan janganlah berbuat hal yang engkau tidak ingin orang lain berbuat kepadamu. Dengan kata lain, kedua, seperti saya tegaskan, ketidakamanan atau gangguan terjadi karena orang beragama tidak bisa berempati, tidak bisa menempatkan diri di posisi orang lain yang berbeda keyakinan keagamaannya. Ini banyak terjadi dalam usaha membangun rumah peribadahan suatu umat beragama tertentu atau melangsungkan peribadahan umat beragama tertentu di suatu lingkungan umat keagamaan yang berbeda, yang di kawasan itu merupakan umat mayoritas. Ketidakamanan dan gangguan ini sebenarnya bisa dihindari kalau sebelumnya sudah dilakukan empati dan pendekatan-pendekatan pribadi dan komunal terhadap umat beragama mayoritas itu. Sebagai penyebab ketiga, karena agama sudah dipolitisir oleh oknum atau kelompok keagamaan tertentu, yang berusaha mencapai target politik tertentu yang hanya akan diperoleh kalau hubungan antarumat beragama di suatu kawasan berhasil dikacaukan dan dibuat penuh konflik.

Semua peserta dialog sepakat, bahwa bangsa Indonesia sebetulnya sejak dulu memiliki dan menghayati nilai-nilai sosio-budaya yang luhur dan local wisdom yang berakar dalam, yang sebetulnya telah memperlihatkan keampuhannya dalam menimbulkan, menumbuhkan dan mempertahankan serta merawat kesetiakawanan dan kohesi sosial, gaya hidup berbagi dan demokratis dalam masyarakat Indonesia, seperti tampak dalam kehidupan tradisional komunal pedesaan di seluruh nusantara. Jadi, dilihat dari sudut pandang kebudayaan, seharusnya konflik-konflik keagamaan tidak perlu terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Individualisme yang menjadi ciri masyarakat modern sebetulnya, seperti ditekankan pemandu acara, tidak akan berhasil menjadikan orang Indonesia hanya mementingkan ego mereka saja, dengan membuang tanggungjawab sosial bersama, sehingga membuat kesatuan masyarakat tidak kokoh dan terancam hancur. Gaya hidup komunal masyarakat kita, kebijaksanaan lokal, serta pandangan-pandangan agama-agama tentang kehidupan bertetangga dan bersesama, sebetulnya dapat memberi sumbangan penting bagi upaya orang Indonesia untuk membangun suatu kehidupan bertetangga yang inklusif. Seperti dikatakan seorang peserta dialog, tetangga seringkali malah lebih dekat kepada kita, lebih siap menolong, ketimbang saudara-saudara kandung kita sendiri!