Tuesday, July 28, 2009

Rasionalisme Versus Skripturalisme


Di kalangan umat beragama konservatif fundamentalis, Kitab Suci diberi tempat pertama dan utama, berada di atas segala hal lain yang memengaruhi dan mengatur kehidupan mereka. Saya menyebut mereka kalangan biblisistis atau skripturalis. Kalangan skripturalis dapat dibagi minimal ke dalam dua kelompok, yakni kalangan literalis dan kalangan esensialis.

Kalangan skripturalis literalis mempertahankan bahwa apa pun yang ditulis dalam Kitab Suci, katakanlah Alkitab, bahkan sampai ke penempatan titik koma di dalamnya, secara harfiah selalu tidak bisa salah dan selalu relevan dan fungsional untuk segala tempat dan segala zaman sampai dunia ini kiamat, sehingga harus dengan taat dan setia dipertahankan, diberlakukan dan diamalkan sepenuhnya dan diikuti seluruhnya oleh setiap orang beragama kapan pun dan di mana pun. Bagi mereka, mustahil ada pesan Alkitab yang tidak relevan untuk zaman dan tempat mereka. Kalangan ini mengharuskan jemaah mereka untuk mengikuti secara harfiah, literally, dan dengan membuta, blindly, apa kata Alkitab.

Mereka tidak peduli bahwa ketaatan membuta dan tidak cerdas terhadap Kitab Suci menjadikan mereka kelompok umat beragama yang terisolasi dari kehidupan dan pandangan dunia serta ilmu pengetahuan modern. Situasi hidup berbeda dan bertentangan dengan kehidupan dan sains modern ini bahkan menjadikan mereka bangga terhadap diri mereka sendiri, yang mereka pandang sebagai suatu umat pilihan ilahi yang berbeda dari bagian terbesar umat manusia. Dengan pemahaman identitas “in-group” eksklusif dan superior semacam ini, mereka memandang diri sedang memikul tugas ilahi untuk mempertobatkan dunia, “out-group” mereka, yang mereka pandang sedang tersesat dan sudah menyimpang dari jalan Allah dan ajaran Kitab Suci.

Dalam kekristenan, literalisme skripturalis semacam itu ditemukan dalam kelompok kekristenan fundamentalis injili. Dalam berhadapan dengan kosmologi, astronomi, astrofisika dan biologi modern serta teori evolusi Darwinian, mereka mempertahankan dan membela pseudosains kreasionisme (yang dibangun berdasarkan tafsiran harfiah atas Kejadian 1-2, sehingga mereka memandang bahwa jagat raya ini, minimal tata surya, diciptakan Allah secara kilat dalam 6x24 jam waktu manusia) dan teologi Intelligent Design (bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di dunia ini, termasuk tentunya kehadiran makhluk yang dinamakan manusia, bukanlah hasil proses evolusi alamiah jangka sangat panjang, melainkan masing-masing ada dengan utuh dan seketika karena merupakan hasil rancangan cerdas Sang Khalik) yang sama sekali menolak “natural selection” yang dipertahankan dalam Darwinisme dan telah dibuktikan secara empiris. Dalam kehidupan sosio-politik, ketimbang mendukung dan menjalankan demokrasi modern dalam suatu negara yang sekular, mereka berjuang keras untuk membangun suatu masyarakat Kristen yang didirikan di atas dasar Alkitab dan hukum-hukum penataan masyarakat yang digariskan Nabi Musa seperti antara lain ditemukan dalam Sepuluh Hukum Musa. Demokrasi mereka lawan dengan teokrasi; sekularisme yang memisahkan agama dari negara dan negara dari agama mereka lawan dengan nomokrasi (= pemerintahan berdasarkan hukum-hukum ilahi) dan integralisme yang memolitisasi agama dan mengagamisasi politik dan menyatukan keduanya. Dalam kehidupan modern yang diwarnai toleransi dan pluralitas keagamaan, mereka, berdasarkan Kitab Suci, menolak pluralisme dan toleransi teologis, dan, sebaliknya, mempertahankan monisme eksklusif (bahwa agama sendirilah satu-satunya agama yang benar dalam dunia ini) dan menolak kebebasan memilih dan pindah agama. Bisa dibayangkan, dalam ketaatan membuta dan harfiah terhadap amanat Ulangan 13, misalnya, mereka akan memerintahkan orang yang menyebabkan orang lain pindah agama, menjadi murtad, harus dibunuh. Bagi saya, kalangan skripturalis literalis adalah kalangan yang tidak rasional dan tidak cerdas beragama. Fundamentalisme religius yang mereka anut menyebabkan mereka menolak rasionalisme, membuat mereka beragama dengan bodoh dan tidak cerdas. Kepercayaan mereka terhadap Kitab Suci telah membutakan dan membodohkan mereka.

Kalangan skripturalis esensialis sama dengan kalangan skripturalis literalis dalam hal bahwa keduanya menempatkan Kitab Suci di atas segalanya, sebagai satu-satunya sumber berwibawa, berotoritas, yang patut dan harus mengatur dan mengarahkan kehidupan mereka sepenuhnya. Sama dengan kalangan literalis, kalangan esensialis tidak bisa menerima pandangan rasionalis bahwa ada pesan-pesan Alkitab yang sudah tidak relevan lagi bagi suatu zaman dan tempat tertentu yang berbeda dari zaman dan tempat di mana teks-teks Kitab Suci dulu ditulis, sehingga harus tidak diikuti. Berbeda dari kalangan literalis, kalangan esensialis tidak mau mengikuti secara harfiah teks-teks Alkitab yang oleh akal sehat mereka dinilai akan menimbulkan masalah etis dan kontekstual kalau diikuti dengan membuta dan secara letterlijk. Tetapi mereka, seperti baru dikatakan, tidak mau menerima kalau teks-teks Alkitab bisa tidak relevan untuk zaman dan tempat mereka. Bagi mereka, firman Allah selalu relevan kapan saja dan di mana saja dan untuk siapa saja.

Karena mau mempertahankan pandangan bahwa semua pesan Alkitab itu selalu relevan, tetapi tidak mau mengikuti pesan-pesan Alkitab secara harfiah membuta, maka kalangan esensialis membedakan dua hal dalam setiap teks Kitab Suci: yakni esensi atau jiwa teks Kitab Suci dan prosedur atau pengamalan atau penerapan teks Kitab Suci. Mereka mempertahankan, bahwa esensi atau jiwa teks Kitab Suci, khususnya teks-teks legal dalam Kitab Suci, selalu relevan, sedangkan prosedurnya atau penerapannya bisa tidak relevan. Prosedur atau pengamalan dipengaruhi dan ditentukan serta dibentuk oleh kebudayaan, culturally conditioned, sehingga bernilai relatif, tidak mutlak mengikat, bisa ditolak dan diganti dengan prosedur atau pengamalan yang berbeda, bergantung pada konteks kebudayaan. Sedangkan esensi atau jiwa teks-teks Kitab Suci selalu relevan, selalu mengikat, eternally binding, karena berasal dari wahyu Allah, dibuat, ditetapkan dan didiktekan Allah, divinely inspired and dictated, tanpa dipengaruhi oleh kebudayaan manusia, sehingga tidak bisa salah dan tidak bisa usang dimakan zaman.

Contoh yang sering dipakai untuk menjelaskan posisi esensialis ini adalah perintah untuk “mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri” (Imamat 19:18b; Markus 12:31 dan par.). Bagi mereka, perintah ini kekal dan senantiasa mengikat, karena dikatakan dan diperintahkan Tuhan sendiri. “Mengasihi manusia” adalah firman Allah; perintah ini esensial, berasal dari Tuhan, dan harus senantiasa dipegang dan selalu relevan, kapan saja, di mana saja, dan bagi siapa saja. Tuhan tidak pernah berubah. Tetapi, ketika perintah esensial untuk mengasihi ini mau diterapkan, maka penerapannya atau pengamalannya atau prosedurnya tidaklah selalu sama, bergantung pada konteks budaya di mana esensi perintah ini mau dijalankan. Jadi, menurut perspektif mereka, dari satu perintah esensial mengasihi sesama manusia akan muncul banyak penerapan dan pengamalan yang satu sama lain berbeda, bergantung pada situasi, kondisi dan konteks kebudayaan orang beragama.

Tetapi, kalangan rasionalis melihat ada persoalan dalam posisi kalangan esensialis ini. Di suatu kebudayaan, mengasihi anak dapat berarti mendidik anak dengan keras, dengan rotan dan pentung, dan satu arah, agar anak mengikuti penuh apa yang diajarkan dan diperintahkan orangtua atau guru demi masa depan mereka sendiri dalam suatu masyarakat yang statis. Tetapi, di suatu kebudayaan lain, mengasihi anak dapat berarti mendidik anak secara dialogis, tanpa rotan, dua arah, terbuka, demokratis, demi masa depan sang anak yang diharapkan akan berhasil menjadi individu yang sehat dan bertanggungjawab dalam suatu masyarakat yang dinamis. Pertanyaannya: Mengapa dari satu pesan esensial mengasihi sesama bisa melahirkan dua prosedur atau dua penerapan yang bertentangan satu sama lain: yang satu, prosedurnya kekerasan; yang lainnya dialog? Kalau esensinya sama dan satu dan kekal, yakni esensi mengasihi, penerapan atau prosedurnya, meskipun berbeda, haruslah tidak bertentangan. Kesimpulannya sederhana: karena prosedur atau penerapan menghasilkan dua tindakan dan pendekatan yang berbenturan satu sama lain, maka esensinya atau jiwanya haruslah tidak hanya satu, melainkan ada lebih dari satu esensi, ada lebih dari satu jiwa, yang juga ditentukan dan dibentuk oleh kebudayaan. Tidak ada satu kasih yang universial dan esensial mutlak, melainkan esensi mengasihi juga ditentukan oleh kebudayaan dan diterapkan juga dengan dipengaruhi kebudayaan. Wahyu ilahi bukan saja esensial, tetapi juga selalu eksistensial dan kontekstual! Penemuan esensi sebuah teks suci juga ditentukan oleh sudut pandang kebudayaan si penemu!

Atau, ambil contoh perintah legal dalam Ulangan 13 yang telah disebut di atas. Amanat hukum Allah dalam Ulangan 13 adalah larangan untuk pindah agama atau larangan untuk orang lain mengajak orang lain yang berbeda keyakinan untuk pindah agama atau mengenal agama lain. Menurut Ulangan 13 ini, jika ada orang mengajak orang Israel pindah agama atau mengenal dan berbakti dalam agama lain, maka orang yang mengajak itu harus dibunuh dengan perajaman, bahkan penduduk kota yang di dalamnya orang itu berdiam juga seluruhnya harus dibunuh (Ulangan 13:15). Nah, bagi kalangan esensialis skripturalis esensi atau jiwa hukum ini adalah orang Israel harus mengikat kesetiaan mutlak selamanya pada Tuhan Yahudi; mereka tidak boleh pindah agama, tidak boleh mengenal agama lain, dan orang yang mengajak mereka pindah agama atau mengenal agama lain harus dihukum. Bagi mereka, ini adalah hukum yang kekal, selalu mengikat, di mana saja, kapan saja, dan bagi setiap orang Israel, dan bagi setiap orang yang mengajak orang Israel murtad. Ini adalah esensinya, perintah ilahi.

Jika perintah legal Ulangan 13 ini esensial dan berlaku kekal, dan harus diberlakukan gereja juga yang bertuhankan Yesus dan Allah bangsa Yahudi, maka gereja juga harus menolak perpindahan agama, dari orang beragama Kristen menjadi pemeluk agama lain; dan orang yang menyebabkan warga gereja pindah agama atau mengenal agama lain melalui studi ilmu agama-agama di sekolah-sekolah teologi atau melalui dialog antaragama yang marak dilakukan sekarang ini harus dihukum mati juga oleh gereja. Ini adalah perintah esensial bagi gereja. Prosedurnya, hemat saya, juga tidak bisa lain, yakni sama dengan esensinya. Prosedur atau penerapan dan esensinya menyatu: orang Kristen harus mutlak setia pada Yesus dan Allah bangsa Yahudi seumur hidup mereka; dilarang pindah agama sepanjang kehidupan mereka; dilarang ikut kegiatan dialog antaragama seumur-umur hidup mereka; dilarang mengenal agama lain selamanya; dilarang memasuki dan mengenal rumah-rumah suci umat beragama lain kapan pun juga; dan orang yang menyebabkan seorang Kristen pindah agama harus dihukum mati oleh gereja.

Nah, pertanyaan penting saya adalah: Apakah esensi dan prosedur amanat Ulangan 13 ini relevan untuk zaman sekarang di dalam suatu dunia yang terbuka dan pluralistik, di suatu negara yang namanya Indonesia yang di dalamnya UUD menjamin setiap orang bebas untuk memilih dan pindah agama? Sebagai seorang rasionalis, saya berpendapat, adalah perlu bagi gereja untuk merawat warganya agar tetap setiap kepada Yesus, tidak pindah agama; tetapi, jika pindah agama adalah pilihan sadar seorang warga gereja, gereja tetap harus menghargainya dan menerima perpindahan agama ini dengan ikhlas, dan orang yang menyebabkan warga gereja itu pindah agama (bisa istrinya, bisa suaminya, bisa kekasihnya, ataupun bisa juga temannya, atau dosennya, atau orang lain manapun) tidak diperbolehkan oleh hukum RI untuk dibunuh. Jika gereja membunuh orang penyebab kemurtadan itu, gereja akan dituntut oleh hukum dan dijatuhi hukuman karena tindakan kriminalnya! Ringkas kata, bagi saya, firman Tuhan dalam Ulangan 13 itu pada esensinya sudah tidak relevan lagi! Harus dinyatakan bahwa Ulangan 13 tidak berlaku mutlak bagi gereja dan bagi orang Yahudi sekalipun yang hidup dalam zaman modern ini.

Nah, telah kita lihat, posisi kalangan skripturalis esensialis juga lemah, khususnya ketika berhadapan dengan teks-teks Kitab Suci yang esensi dan prosedurnya tidak dapat dipisahkan, menyatu bak tulang, otot, daging dan kulit. Dalam Alkitab ada sangat banyak firman Tuhan yang esensi atau jiwanya dan prosedur atau bentuk pengamalannya menyatu; dan, ketika dilihat dari sudut pandang kehidupan modern sekarang ini harus dikatakan dan diterima dengan ikhlas sebagai teks-teks suci yang sudah tidak relevan lagi.

Kalangan skripturalis esensialis lumayan sudah mau memakai akal sehat mereka ketika berhadapan dengan teks Kitab Suci, sehingga mereka mau membedakan mana esensi teks suci dan mana prosedur atau pengamalannya; tetapi mereka sama sekali belum beragama dengan cerdas, mereka masih terbungkus dalam kenaifan dan kebodohan, karena tidak berani, tidak mau, dan tidak ikhlas menerima kenyataan bahwa ada sekian banyak teks Kitab Suci yang sejujurnya harus dinyatakan, secara rasional, sudah secara esensial dan prosedural tidak relevan dengan kehidupan zaman sekarang. Kitab Suci memang memiliki kewibawaan, tetapi bukan satu-satunya kewibawaan dalam dunia ini, dan juga tidak berwibawa untuk segala bidang kehidupan. Untuk menjadi cerdas dalam beragama, rasionalisme harus menjadi pandangan hidup setiap orang beragama. Sekarang adalah zaman di mana rasionalisme versus skripturalisme adalah kenyataan yang sedang berlangsung di sekitar kita.

Saturday, July 18, 2009

Presiden SBY Bersumpah Berantas Terorisme di Indonesia


Sahabat saya yang tentu Anda semua kenal, namanya George Junus Aditjondro, meng-SMS saya pada 17 Juli 2009, pukul 7.29 PM, meminta saya untuk menyaksikan wawancara TV Aljazeera terhadap dirinya yang akan berlangsung pukul 20.00 WIB, di sekitar soal peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton yang berlokasi di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Indonesia, yang terjadi di pagi hari pada tanggal yang sama. Ketika menerima SMS ini, saya sedang berceramah di Gereja Kemah Abraham, Permata Hijau, yang baru selesai pukul 21.00 WIB. Saya jadinya tidak bisa mengikuti wawancara itu, yang bisa jadi telah berlangsung dengan menarik.

Tapi, sesampainya saya di rumah, saya mengirim sebuah SMS kepada George, menanyakan
apa dia sudah mengetahui siapa pelaku peledakan bom itu, siapa aktor intelektualnya dan siapa penggeraknya, sementara polisi dan penyidik lainnya (sampai malam tanggal 17 Juli 2009) belum berhasil mengetahuinya. Sejak peledakan bom ini diberitakan banyak saluran TV di pagi hari, saya pada hari yang sama terus mengikuti laporan-laporan perkembangan yang disampaikan beberapa saluran TV. Saya bahkan sengaja memberi waktu untuk di rumah mendengarkan langsung (live) pidato atau pernyataan SBY selaku Presiden RI berkaitan dengan peristiwa peledakan bom di dua hotel bertaraf internasional itu. Persis pukul 14.00 SBY tampil di layar TV hampir semua saluran TV Indonesia, dan menyampaikan pandangan dan sikapnya selama 25 menit. Saya mendengarkannya dengan sangat berminat dan penuh rasa ingin tahu lewat Metro TV. Ketika mendengarkan pidato SBY ini, saya mau tidak mau menjadi tegang juga karena isi pidatonya ini yang di luar dugaan saya (dan mungkin juga di luar dugaan semua orang Indonesia). Karena pidato atau pernyataan SBY ini penting dan mungkin juga akan menjadi sebuah pernyataan historic, naskah lengkap pidato atau pernyataan Presiden SBY ini saya muat di bawah ini seutuhnya, dalam blog pribadi saya ini.

Kembali ke SMS saya itu. George menjawabnya dengan sebuah pertanyaan, “Siapa yang paling diuntungkan kalau polisi menyidik Wiranto dan Prabowo?” Jawabannya ini menyiratkan pandangan (atau lebih tepat “judgement”) George bahwa aksi peledakan bom itu didalangi SBY sendiri untuk sang Presiden ini meraup keuntungan politik darinya. Saya jawab George dengan sebuah SMS yang bunyinya demikian, “Teori Anda ttg SBY lempar batu sembunyi tangan apa berlaku mengingat dia dan Boed sudah unggul di pilpres [2009] 1 putaran? Anda selalu government-phobic.” Lalu terjadilah serbuan SMS George ke HP saya, yang saya tidak mau tanggapi semuanya.

Pada akhirnya, karena saya mau tidur (hari sudah lewat tengah malam, pukul 01.05 AM) saya sepihak menutup lalu-lintas SMS itu dengan sebuah SMS yang bunyinya demikian, “Yang Pak George sebut2 itu sudah klise, sdh sering diulang-ulang, sudah diketahui umum. Saya tidak bisa berharap pd Mega, pd JK, pd Prabowo, pd Wiranto, apalagi pd diri saya sendiri, untuk membereskan semuanya itu.Tapi seburuk-buruknya SBY saya bisa sedikit berharap pdnya, dan pd Pak Boed. Itu saja. Saya perlu seorang presiden untuk memimpin negeri ini. Pak George apa mau jadi seorang presiden RI menggantikan SBY? Sudah ya, saya mau bobo.” SMS yang “tanpa tedeng aling-aling” ini tidak berjawab, hingga sekarang ketika saya post tulisan ini di blog saya. Mudah-mudahan sahabat saya, George, tidak murka kepada saya lalu memutuskan tali persahabatan yang telah kami bangun selama ini. Seorang seperti George memang bangsa Indonesia perlukan, kendatipun dia sering kali terlalu keras “menerjang” bak air bah!
Katanya, dia mau menjadi sekaligus pemikir kritis dan nabi di dunia ini.

Hemat saya, pidato/pernyataan SBY itu sangat penting dan perlu dicermati. Saya merasa (mudah-mudahan naluri insani saya ini benar!) SBY berkata jujur dan tidak sedang melakukan manuver politik melalui pidatonya itu untuk meraup keuntungan politik pribadi. Lagi pula, menurut akal sehat saya, jika SBY melakukan suatu politik “lempar batu sembunyi tangan” melalui pernyataannya itu, politiknya ini bodoh, karena akan mengakibatkan “batunya” itu berbalik dengan kekuatan jauh lebih besar menghantam dan membinasakan dirinya sendiri. Jika SBY memang tulus, jujur dan berbicara dari nuraninya sendiri ketika menyampaikan pidatonya itu, dan jika karena ketulusan dan kejujurannya ini dia dalam waktu dekat ke depan menghadapi makin banyak persoalan, sudah seharusnya rakyat Indonesia langsung atau tidak langsung menyatakan pembelaan mereka kepada SBY. Barangsiapa menduga bahwa pernyataan SBY itu suatu manuver politik “lempar batu sembunyi tangan”, orang itu, seperti George Junus Aditjondro, sahabat saya itu, harus bisa membuktikan bahwa semua pernyataan SBY itu salah, dengan mengajukan bukti-bukti.


Lampiran:


Pidato/Pernyataan Presiden SBY tentang Aksi Bom di Kawasan Mega Kuningan (Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton), disampaikan Jumat, 17 Juli 2009, pukul 14.00-14.25, lewat saluran-saluran TV Indonesia


Assalamualaikum,

Salam Sejahtera bagi kita semua,

Bismillahirrahmanir rahim alhamdulillahirabil alamin,


Saudara-saudara, rakyat Indonesia yang saya cintai dimanapun saudara berada. Hari ini [17 Juli 2009] adalah titik hitam dalam sejarah kita, terjadi lagi serangan atau pemboman yang dilakukan oleh kaum teroris di Jakarta. Aksi teror ini diperkirakan dilakukan oleh kelompok teroris meskipun belum tentu jaringan terorisme yang kita kenal selama ini terjadi di bumi Indonesia, yang menimbulkan derita dan kesulitan yang dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia.
Aksi yang tidak berperi kemanusiaan ini, juga menimbulkan korban jiwa dan luka-luka bagi mereka yang tidak berdosa. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini atas nama negara dan pemerintahan dan selaku pribadi, maka bagi para keluarga yang ditinggalkan saya mengucapkan turut berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya. Semoga saudara-saudara kita yang menjadi korban, hidup tenang di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Saudara-saudara, aksi pemboman yang keji dan tidak berperikemanusiaan ini serta tidak bertanggungjawab ini, terjadi ketika baru saja bangsa Indonesia melakukan pemungutan suara dalam rangka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan ketika KPU sedang menghitung hasil pemungutan suara itu.

Kejadian ini yang sangat merusak keamanan dan kedamaian di negeri ini, juga terjadi ketika rakyat sungguh menginginkan suasana yang tepat, aman, tenang dan damai, dan justru rakyat ingin agar selesainya pemilu 2009 ini kita semua segera bersatu, membangun kembali negara kita, untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Terus terang juga, aksi pemboman ini terjadi ketika rakyat merasa prihatin atas kegaduhan politik di tingkat elit disertai, sebagaimana yang saya ikuti setiap hari, ucapan-ucapan yang bernada menghasut dan terus memelihara suhu yang panas dan penuh dengan permusuhan yang sesungguhnya bukan menjadi harapan rakyat setelah mereka semua melaksanakan kewajiban demokrasinya beberapa saat yang lalu.

Saudara-saudara, saya yakin, hampir semua diantara kita merasa prihatin, berduka, prihatin, dan menangis dalam hati, seperti yang saya rasakan. Memang ada segelintir orang di negeri ini yang sekarang tertawa puas, bersorak dalam hati, disertai nafsu amarah dan keangkaramurkaan. Mereka segelintir orang itu tidak memilki rasa kemanusiaan dan tidak perduli dengan kehancuran negara kita, akibat aksi teror ini yang dampaknya luas bagi ekonomi kita, iklim usaha kita, kepariwisataan kita, citra kita di mata dunia dan lain-lain lagi.


Saat ini, Saudara-saudara, disamping kita pemerintah menjalankan kegiatan tanggap darurat untuk merawat saudara-saudara kita yang menjadi korban dalam aksi pemboman ini, investigasi juga tengah dilakukan. Saya telah menerima laporan awal dari investigasi yang sedang berlangsung ini. Setelah saya menerima laporan awal, saya telah menginstruksikan kepada Polri, Badan Intelejen Negara, dan badan lembaga-lembaga lain terkait untuk melakukan investigasi secara cepat dan menyeluruh serta mengadili pelaku-pelakunya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Saya yakin, sebagaimana yang dapat kita ungkapkan di waktu yang lalu, para pelaku dan mereka-mereka yang menggerakkan aksi terorisme ini akan dapat kita tangkap dan akan kita adili secara hukum. Saya juga menginstruksikan kepada para penegak hukum untuk juga mengadili siapa saja yang terlibat dalam aksi terorisme ini, siapapun dia, apapun status dan latar belakang politiknya. Pagi ini, saya mendapat banyak sekali pertanyaan, atau saudara-saudara yang mengingatkan kepada saya, yang berteori, paling tidak mencemaskan, kalau aksi teror ini berkaitan dengan hasil pemilihan Presiden sekarang ini. Saya meresponnya sebagai berikut, bahwa kita tidak boleh main tuding dan main duga begitu saja. Semua teori dan spekulasi harus bisa dibuktikan secara hukum. Negara kita adalah negara hukum dan negara demokrasi. Oleh karena itu norma hukum dan norma demokrasi harus betul-betul kita tegakkan. Bila seseorang bisa dibuktikan bersalah secara hukum, baru kita bisa mengatakan yang bersangkutan salah.

Saya harus mengatakan untuk yang pertama kalinya kepada rakyat Indonesia, bahwa dalam rangkaian pemilu legislatif dan pemilihan Presiden dan pemillihan Wakil Presiden tahun 2009 ini, memang ada sejumlah [data] intelejen yang dapat dikumpulkan oleh pihak yang berwenang. Sekali lagi ini memang tidak pernah kita buka kepada umum, kepada publik, meskipun kita pantau dan kita ikuti. Intelejen yang saya maksud adalah adanya kegiatan kelompok teroris yang berlatih menembak, dengan foto saya, foto SBY, dijadikan sasaran tembak.
Saya tunjukkan, ada rekaman videonya. Ini mereka yang berlatih menembak [sambil menunjukkan foto-foto yang didapat dari badan intelejen]. Dua orang menembak pistol. Ini sasarannya, dan ini foto saya dengan tembakan di wilayah muka saya, dan banyak lagi. Ini intelejen, ada rekaman videonya, ada rekaman gambarnya, bukan fitnah bukan isu. Saya mendapatkan laporan ini beberapa saat yang lalu.

Masih berkaitan dengan intelejen, diketahui ada rencana untuk melakukan kekerasan dan tindakan melawan hukum berkaitan dengan hasil Pemilu. Adapula rencana untuk pendudukan paksa KPU pada saat nanti hasil pemungutan suara diumumkan. Ada pernyataan akan ada revolusi jika SBY menang. Ini intelejen, bukan rumor, bukan isu, bukan gosip. Ada pernyataan “kita bikin Indonesia seperti Iran.” Dan yang terakhir, ada pernyataan, bagaimanapun juga SBY tidak boleh dan tidak bisa dilantik. Saudara bisa menafsirkan apa arti ancaman seperti itu.
Dan puluhan intelejen lain yang sekarang berada di pihak yang berwenang.

Tadi pagi, terus terang, sebagaimana kebiasaan saya, saya ingin langsung datang ke lokasi. Tapi, Kapolri dan semua pihak menyarankan jangan dulu, karena memang belum steril, masih dibersihkan, masih disisir dan ancaman setiap saat bisa datang, apalagi dengan contoh yang saya sampaikan tadi, ancaman fisik. Tetapi, tentu hidup dan mati tentu di tangan Allah SWT, tidak boleh terhalang untuk menjalankan tugas saya, untuk rakyat untuk negara ini. Dan karena pengaman Presiden itu berada di pundak TNI, saya yakin TNI telah mengambil langkah-langkah seperlunya.


Terhadap semua intelejen itu, Saudara-saudara, apakah terkait dengan aksi pemboman hari ini atau tidak terkait, saya menginstruksikan kepada semua jajaran penegak hukum untuk menjalankan tugasnya dengan benar, objektif, tegas dan dapat dipertanggungjawabkan, dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Andaikata tidak terkait dengan ancaman-ancaman yang tadi itu, dengan aksi pemboman hari ini, tetaplah harus dicegah, harus dihentikan, karena anarki, tindakan kekerasan, pengrusakan, tindakan melawan hokum, bukan karakter demokrasi, bukan karakter negara hukum. Sangat jelas, atas semuanya ini, saya selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, mengutuk keras aksi teror yang keji ini; saya juga sangat-sangat prihatin dengan kejadian ini.
Barangkali atau biasanya dalam keadaan seperti ini, banyak di antara kita yang kurang berani menyampaikan kecaman dan kutukannya, barangkali karena pertimbangan politik. Saya dengan bahasa terang harus menyampaikan seperti itu, karena demikian amanah saya sebagai Kepala Negara.

Mengapa saya sangat-sangat prihatin? Pertama, Saudara tahu, lima tahun terakhir ini ekonomi kita tumbuh dengan baik. Dunia usaha, kepariwisataan, swasembada pangan, investasi, perdagangan, sektor riil semua bergerak, meskipun kita menghadapi krisis-krisis global yang datang silih berganti. Yang kedua, satu minggu terakhir ini saja, nilai saham kita menguat tajam, nilai tukar rupiah juga menguat. Dengan ekonomi yang terus tumbuh, kesejahteraan rakyat kita sesungguhnya secara bertahap terus juga meningkat, termasuk dapat dilaksanakannya program-program penanggulangan kemiskinan, program-program pengurangan pengangguran atau yang sering saya sebut dengan program pro rakyat.
Semua itu terjadi, Saudara-saudara, karena tahun-tahun terakhir ini negara kita benar-benar aman dan damai. Sehingga di samping ekonomi tumbuh, rakyat kita diseluruh pelosok tanah air, bisa bekerja, bisa menjalani kehidupan sehari-harinya dengan tenang, bebas dari rasa ketakutan. Sementara itu citra kita di mata dunia tahun-tahun terakhir ini juga makin meningkat, karena dunia menilai negara kita makin aman, tertib dan damai. Negara kita memiliki kehidupan demokrasi yang makin mekar, serta penghormatan kepada Hak Azasi Manusia yang makin baik, negara yang ekonominya juga tumbuh, dan negara yang berperan dalam percaturan global. Bahkan, ini yang sangat memilukan, sebenarnya kalau tidak ada kejadian ini, klub sepak bola terkenal di dunia, Manchaster United, berencana untuk bermain di Jakarta.

(SBY kemudian terdiam lama)

Saudara-saudara, dengan aksi-aksi teror yang keji dan tidak bertanggungjawab ini, apa yang kita bangun hampir lima tahun terakhir ini, oleh kerja keras dan tetesan keringat seluruh rakyat Indonesia, lagi-lagi harus mengalami goncangan dan kemunduran. Lagi-lagi dampak buruknya harus dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia, minus mereka-mereka yang melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab itu. Oleh karena itu, kebenaran dan keadilan, serta tegaknya hukum, harus diwujudkan.

Saya bersumpah, demi rakyat Indonesia yang sangat saya cintai, negara dan pemerintah akan melaksanakan tindakan yang tegas, tepat, dan benar terhadap pelaku pemboman ini, berikut otak dan penggeraknya ataupun kejahatan-kejahatan lain yang mungkin atau dapat terjadi di negeri kita sekarang ini.
Kepada Polri, TNI, BIN, termasuk para Gubernur, Bupati dan Walikota, saya minta untuk terus meningkatkan kewaspadaan, terus berusaha keras mencegah aksi-aksi teror. Dan kemudian yang lebih penting lagi, para penegak hukum harus betul-betul mencari, menangkap dan mengadili para pelaku, para penggerak, dan otak dibelakang kekerasan ini.

Barangkali ada di antara kita, yang diwaktu yang lalu melakukan kejahatan, membunuh, menghilangkan orang barangkali, dan para pelaku itu barangkali masih lolos dari jeratan hokum; kali ini negara tidak boleh membiarkan mereka menjadi drakula dan penyebar maut di negeri kita.

Saya tahu selama lima tahun ini pihak kepolisian telah berkali-kali mencegah dan menggagalkan aksi terorisme. Telah bisa menyita bahan peledak yang siap diledakkan, sudah bisa membongkar beberapa jaringan, meskipun lolos hari ini, sehingga terjadilah musibah yang sangat merobek keamanan dan nama baik bangsa dan negara kita.
Agar tugas untuk mencegah dan memberantas terorisme ini serta kejahatan-kejahatan yang lain dapat dilaksanakan dengan baik, intelejen harus benar-benar tajam. Pencegahan harus benar-benar efektif. Polri, BIN, TNI harus benar-benar bersinergi; sikap lengah dan menganggap ringan sesuatu harus dibuang jauh-jauh. Ini amanah kita kepada rakyat, kepada negara.

Kepada rakyat Indonesia, seraya juga meningkatkan kewaspadaan, tetaplah menjalankan profesi dan kehidupan Saudara secara normal. Jika ada keganjilan, segera beritahu Polri. Jangan biarkan kaum teroris beserta otaknya berkeliaran di sekeliling Saudara. Saudara pun bisa menjadi korban setiap saat manakala kaum teroris itu dibiarkan merancang lagi aksi-aksi terornya di negeri kita ini. Selanjutnya ke depan, saya mengajak seluruh rakyat Indonesia, seluruh komponen bangsa, untuk marilah kita lebih bersatu dan menjaga keamanan dan perdamaian di negeri ini.


Bangsa manapun, agama apapun, kita semua, tidak membenarkan terorisme, apapun motif dan alasannya. Jangan ragu-ragu, jangan setengah hati, dan jangan takut, untuk mencegah dan memberantas terorisme. Sementara itu aksi teror yang terjadi hari ini jangan pula menghalangi semangat dan upaya kita untuk membangun dan memajukan negara kita ini. Kita terus berjuang dan membikin lebih baik, demokrasi dan penghormatan HAM lebih baik, penegakan hukum, pembangunan daerah, peningkatan kesejahteraan rakyat dan sebagainya.
Memang ada kerusakan akibat aksi terorisme hari ini. Mari bersama-sama kita perbaiki dan kemudian mari kita terus bangkit dan maju kembali. Kita bangsa, negara, rakyat tidak boleh kalah dan menyerah kepada terorisme. Tidak boleh membiarkan kekerasan, ekstrimitas dan kejahatan-kejahatan lain, terus tumbuh di negeri ini. Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, akan melindungi kehidupan bangsa Indonesia.

Dan dengan memohon ridha Allah SWT saya sampaikan kepada rakyat Indonesia, saya akan terus berada di depan, untuk menghadapi ancaman dan tantangan ini, serta untuk mengemban tugas yang berat namun mulia ini.


Demikian pernyataan saya, terimakasih.

Wassalamualaikum Wr Wb.

Wednesday, July 8, 2009

SBY-Boediono Menang Mutlak! Proficiaaaat!

Hari ini, Rabu, 8 Juli 2009, Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden (pilpres), dengan tiga pasang calon presiden-wakil presiden bersaing memperebutkan posisi RI-1 dan RI-2 untuk masa pemerintahan lima tahun ke depan, sampai 2014. Saya, istri dan putra saya telah ambil bagian dalam pilpres ini, tadi pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, di sebuah TPS di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Indonesia. Kami bertiga ternyata sama-sama memilih pasangan SBY-Boediono.

Pada foto di sudut kiri atas, tergambar saya sedang menyedot kopi susu panas Starbucks di gerai Starbucks Coffee di Mal Artha Gading, Jakarta Utara. Bersama istri dan putri saya, kurang lebih pada pukul 2 siang tadi kami minum kopi susu gratis yang disediakan gerai kopi terkenal ini, suatu pelayanan kepada publik yang juga sudah dilakukan sebelumnya oleh Starbucks pada waktu usai pemilu legislatif 9 April 2009. Seperti terlihat pada foto, pengunjung mengantri untuk mendapatkan segelas kopi susu panas gratis. Dengan menunjukkan tanda tinta biru tua pilpres pada ujung kelingking, seorang pengunjung gerai kopi ini akan mendapatkan satu gelas kopi susu gratis. Pelayanan serupa, yang tentu saja juga merupakan sebuah kegiatan promosi, diadakan juga oleh beberapa perusahaan makanan dan minuman lain, yang memberi diskon khusus di hari istimewa ini.


Ya, hari ini adalah hari istimewa khususnya bagi pasangan SBY-Boediono, karena pasangan ini yang bernomor urut 2, menurut Quick Count independen hasil pilpres yang diadakan oleh Metro TV yang hasilnya diumumkan beberapa jam setelah pilpres 2009 ini usai, mendapatkan perolehan suara 58,88 %
(menurut data yang ditayangkan Metro TV pada pukul 17.00 WIB). Pasangan presiden dan wakil presiden dengan nomor urut 1, yakni pasangan Megawati dan Prabowo, menurut Quick Count ini, memperoleh 26,14 % suara; sedangkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang bernomor urut 3 mendapatkan 14,99 % suara. Yang juga luar biasa dari pasangan SBY-Boediono adalah mereka, seperti dilaporkan di Live Event Presiden Terpilih Metro TV sore ini, memperoleh suara lebih besar dari 20 persen di 24 propinsi Indonesia dari keseluruhan 33 propinsi. Dengan angka-angka luar biasa ini, berdasarkan Quick Count, pasangan SBY-Boediono dalam pilpres 2009 ini menang mutlak, sebuah kemenangan landslide. Ini juga berarti tidak akan ada pilpres putaran kedua.

Ketika pada acara Live Event yang sama Jusuf Kalla (JK) diwawancarai via TV dan diperhadapkan pada hasil Quick Count, beliau tampak berusaha tenang dan menyatakan menghargai hasil Quick Count, sementara juga menunggu hasil resmi perhitungan suara (real count) oleh KPU. Namun, JK juga menyatakan, berdasarkan laporan-laporan dari daerah-daerah, khususnya dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan, perolehan suara untuk pasangan JK-Wiranto sebetulnya lebih tinggi dari yang dihasilkan Quick Count. JK memang berupaya tampak tenang dan tetap bisa tersenyum lebar; tetapi dari tayangan di Metro TV yang saya lihat, terlihat juga guratan-guratan rasa kecewa dan sedih pada wajahnya yang sedang tersenyum. Apakah JK akan masih bisa positif bersanding bersama SBY sampai 20 Oktober 2009 sebagai Wakil Presiden yang masih menjabat, kita lihat saja nanti. JK, JK, anda tidak Kalah!


Sebelum pilpres 8 Juli 2009 ini digelar, saya dan beberapa teman cukup intens mendiskusikan, apakah layak memilih pasangan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014? Dalam suatu acara pembinaan warga gereja menjelang pilpres 2009 yang saya moderatori, pembicara George Junus Aditjondro, Ph.D., menganjurkan warga gereja untuk menjadi golput, dan dia mempertanyakan mengapa partai SBY, Partai Demokrat, sampai bisa merebut angka 22 persen perolehan suara dalam pemilu legislatif 2009. Begitu juga, saya menangkap kekhawatiran banyak orang Kristen Indonesia bahwa koalisi Partai Demokrat SBY dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berideologi Ikhwanul Muslimun (dari Mesir) akan makin membuka pintu lebih lebar lagi bagi upaya Islamisasi Indonesia! Saya berpikir-pikir apakah saya bersikap naif jika menyatakan bahwa akan sangat sulit untuk partai Islam manapun mengislamkan Indonesia. Jalan mengislamkan Indonesia sudah terganjal di sana-sini dan sulit berliku-liku; jadi akan sangat sulit, kalau bukan mustahil, jika PKS ingin mengislamkan ideologi negara. SBY boleh dikata adalah seorang mantan militer yang punya cukup pengalaman dalam mengamankan ideologi Pancasila.

Lebih jauh lagi, banyak orang menuduh Prof. Dr. Boediono, pasangan SBY, sebagai seorang antek kapitalisme Barat yang akan membawa Indonesia ke suatu sistem ekonomi neoliberal yang akan makin menyengsarakan mayoritas bangsa Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan dan akan membuat ekonomi dan kekayaan Indonesia makin banyak dikuasai dan dikuras bangsa-bangsa asing.

Boediono telah menulis sebuah buku kecil dan tipis tentang ekonomi Indonesia, dengan bahasa yang mudah dimengerti orang banyak, berjudul Ekonomi Indonesia, Mau Ke Mana? Kumpulan Esai Ekonomi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Freedom Institute, 2009). Saya hadir pada waktu buku ini diluncurkan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, beberapa minggu lalu. Hemat saya, seliberal apapun sistem ekonomi suatu negara, campur tangan pemerintah tidak mungkin tidak ada sama sekali, minimal campur tangan untuk menciptakan suatu tatanan sosial politis yang stabil dan aman bagi berjalannya suatu mekanisme pasar. Jadi, bagi saya (atau dalam harapan saya), Boediono bisa dipastikan akan memajukan dan menjalankan suatu sistem perekonomian Indonesia yang di dalamnya mekanisme pasar bebas akan berjalan seimbang dengan intervensi pemerintah kalau intervensi ini diperlukan. Tidak masuk akal saya, kalau Boediono seorang diri atau bersama kelompoknya akan bisa menjual Indonesia “habis-habisan” ke tangan bangsa-bangsa asing neo-imperialis!

Tadi siang, sehabis mencontreng, saya juga, via telpon, sudah mengajukan suatu protes keras kepada suatu radio bisnis yang berstasiun di Jakarta yang terus-menerus mengudarakan pandangan-pandangan Kwik Kian Gie yang anti-neoliberalisme dan anti-demokrasi. Kwik mengampanyekan dan menghendaki Indonesia kembali ke UUD 45 murni yang belum diamandemen dan diperintah oleh pemerintahan tangan besi a la pemerintahan Soeharto dulu! Saya khawatir, khalayak ramai Indonesia akan menilai semua keturunan China di Indonesia mendukung visi-visi miring anti-demokrasi Kwik Kian Gie!
Saya menyatakan diri sebagai seorang anti-Kwik!

Bagaimanapun juga, saya sementara ini dengan gembira mau mengucapkan selamat kepada pasangan SBY-Boediono yang, berdasarkan data Quick Count Metro TV yang diklaim independen, kredibel dan akurat oleh pihak Metro TV, telah tampil sebagai pasangan presiden dan wakil presiden yang menang besar dalam pilpres 8 Juli 2009! Ingat rakyat kecil, Pak SBY-Boed! Terus berantas korupsi tanpa pandang bulu, Pak SBY-Boed! Bangun ekonomi pasar bebas dan ekonomi kerakyatan sekaligus, Pak SBY-Boed! Jangan ragu bertindak, Pak SBY, sebab Anda tidak perlu lagi berupaya keras mengamankan posisi Anda, sebab Anda segera menjadi kembali seorang presiden yang tidak dapat dipilih lagi untuk periode ketiga! Gunakan kebebasan Anda untuk menyejahterakan rakyat, memajukan supremasi hukum di segala bidang dan mendemokrasikan negara dan bangsa Indonesia! Proficiaaaaaattt!

Thursday, July 2, 2009

God Without Religion (Sankara Saranam)

Tinjauan buku:
Sankara Saranam,
God Without Religion: Mempertanyakan Kebenaran yang Telah Diterima Selama Berabad-abad (penerjemah: Ioanes Rakhmat; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009)

Saranam mengkritik agama-agama terorganisir (
organized religions) sebagai pranata-pranata yang tidak membawa orang ke dalam perjumpaan dengan Allah yang ekspansif, yang meluas dan memenuhi dan meresapi segala sesuatu: mulai dari diri manusia perorangan, kemanusiaan, kehidupan semua makhluk, alam raya dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, sampai ke seantero jagat raya yang bernapas dan mendenyutkan kehidupan Allah. Sebaliknya, agama-agama terorganisir, menurut Saranam, dengan wartanya tentang suatu Allah yang terbatas dan memisah-misah dan memecah-belah umat manusia dan dunia, hanya menimbulkan perpecahan dan silang-sengketa di antara manusia. Agama yang semacam ini hanya mempersempit diri manusia, dan menjadikan manusia peduli hanya pada dirinya sendiri saja, sedangkan yang diperlukan dunia pada masa kini adalah penghayatan diri yang ekspansif dalam diri setiap orang.

Pandangan Saranam yang negatif terhadap agama-agama terorganisir disebabkan oleh berbagai faktor yang dipertahankan dan diyakini agama-agama, yang dinilainya tidak dapat mendatangkan kebaikan buat manusia dan dunia ini, yakni:

1) Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada wahyu yang diklaim telah ditulis dan dituangkan ke dalam Kitab-kitab Suci agama-agama. Wahyu yang otoritatif ini mematikan dan memblokir pemikiran kritis dan kreatif dan upaya-upaya pembaruan kemanusiaan dan keagamaan pada masa kini. Bagi Saranam, akal-budi atau nalar harus berada di atas wahyu dan Kitab Suci keagamaan, karena itu harus diutamakan dalam orang mencari kebenaran dan bimbingan untuk hidup.

2) Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada dogma-dogma dan ritus-ritus keagamaan. Menurut Saranam, dogma keagamaan telah disusun kebanyakan hanya untuk melayani kepentingan politis dan ekonomis para pemuka keagamaan, dan dogma-dogma keagamaan inilah yang telah menciptakan Tuhan, dan bukan sebaliknya. Dogma keagamaan, dengan demikian, lebih banyak menghambat, ketimbang membantu orang untuk berjumpa dan mengalami Allah yang ekspansif. Saranam mengajak orang untuk bisa mengalami kenyataan Allah bukan lewat dogma-dogma dan ritus-ritus keagamaan, melainkan lewat pengalaman langsung (lebih jauh tentang ini, lihat di bawah).

3) Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada mukjizat yang diberitakan Kitab Suci dan orang-orang suci zaman lampau dan pada masa kini. Menurut Saranam, kepercayaan pada mukjizat membuat orang beragama tidak dapat menemukan kehendak Allah yang sebetulnya sudah ditanam ke dalam hukum alam (
natural laws atau the laws of nature) dan karenanya tidak dapat diubah, dan paling langsung dapat diketahui. Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada mukjizat jelas juga mematikan pemikiran kritis, yang sebetulnya merupakan satu-satunya pembimbing yang dapat dipercaya dalam orang mencari kebenaran dan bimbingan untuk kehidupan.

4) Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada otoritas para pemimpin keagamaan. Keadaan ini membuat orang yang memeluk agama terorganisir tidak pernah dapat mandiri dalam berpikir dan dalam mengambil keputusan untuk bertindak. Pada pihak lain, para pemimpin keagamaan ingin terus menciptakan situasi kebergantungan umat mereka pada diri mereka. Beragama dalam situasi struktural kebergantungan yang asimetis semacam ini tidak memungkinkan orang mengalami perjumpaan langsung dengan Alllah yang ekspansif. Paling banter mereka akan bertemu hanya dengan Allah yang sudah dikonsep para pemuka keagamaan, dan, dengan demikian, dengan Allah yang akan membela kepentingan para pemuka keagamaan ini.

5) Kepercayaan orang beragama pada pahala surga dan ancaman hukuman neraka. Kepercayaan semacam ini membuat kehidupan masa kini dalam dunia ini kurang atau tidak berharga di mata orang beragama, dan juga membuat orang beragama tidak pernah dewasa, melainkan tetap terus sebagai kanak-kanak yang perlu diimingi-imingi sesuatu atau diancamkan sesuatu untuk mendorong mereka bertindak. Di samping itu, kata Saranam, ajaran dan kepercayaan pada surga dan neraka ini mendorong setiap agama mengajukan dan mengunggulkan tokoh-tokoh suci sendiri-sendiri yang diklaim sebagai juruselamat dunia (atau posisi sejajar lainnya); dan dengan demikian menjadikan tokoh-tokoh suci ini sebagai para pemecah belah umat manusia, ketimbang sebagai para pemersatu umat manusia yang membawa pesan-pesan persaudaraan universal. Berhadapan dengan tokoh-tokoh suci zaman lampau yang memecah-belah umat manusia ini, setiap orang pada masa kini hendaklah, demikian tegas Saranam, menjadi para nabi yang menempatkan nalar di atas otoritas tokoh-tokoh suci zaman lampau ini. Dengan kata lain, setiap orang pada masa kini harus bisa, dengan kemampuan nalar dan intuitifnya, melebihi Ibrahim, Musa, Krisna, Gautama Buddha, Yesus Kristus, Muhammad, dll.

6) Agama-agama terorganisir sebagai sumber fundamentalisme religio-politis dan terorisme yang dilakukan atas nama Tuhan, yang telah terbukti terus-menerus menimbulkan penderitaan orang yang tak bersalah dan perpecahan antarumat manusia dan mengancam kelestarian bumi dan segenap ciptaan. Fundamentalisme religio-politis mempertahankan sebuah perspektif keagamaan tertentu sebagai “kebenaran suci” satu-satunya yang berlaku global dan untuk seluruh kemanusiaan, yang tidak boleh digugat oleh siapapun; sementara, kata Saranam, setiap kebenaran suci apapun harus dapat diperiksa dengan kritis dan diragukan kebenarannya dengan cara mempertanyakan keabsahannya.

7) Agama-agama terorganisir senantiasa menjaga umat mereka untuk tetap mempertahankan ortodoksi, dan mencegah dan melumatkan heterodoksi atau non-ortodoksi. Agama semacam ini tidak membuka diri pada pembaruan pemikiran keagamaan; bahkan setiap pemikiran kritis yang melawan dan mempertanyakan ortodoksi akan segera diberangus dan ditindas. Dalam situasi yang serba kaku dan monolitis semacam ini, orang yang mau mengalami Allah secara langsung sebagai Allah yang ekspansif harus berani menjadi bidah, dan, kata Saranam, harus berani merayakan apostasi, merayakan kemurtadan atau pengingkaran terhadap agama lama yang semula dianut.

Seperti sudah dikatakan di atas, Saranam ingin mengajak orang mengalami Allah secara langsung tanpa lewat dogma dan Kitab Suci (meskipun, baginya, gambar-gambar ttg Allah dalam Kitab Suci masih bisa berfungsi sebagai titik-tolak masuk ke dalam pengalaman akan Allah secara langsung!). Tetapi, pada poin ini saya dapat mengajukan sebuah kritik pada Saranam. Ketimbang Saranam membuang atau sama sekali tidak memiliki dogma keagamaan, dia sebetulnya juga memiliki dan membela perspektif-perspektif teologis, antropologis dan etis tertentu:

1) Allah yang diberitakan Saranam adalah Allah yang
panteistik: Allah yang berada di dalam dan meresapi serta merangkumi segala sesuatu yang ada di jagat raya ini (dalam diri manusia, dalam kemanusiaan, dalam diri semua makhluk hidup, dan dalam jagat raya ini). Allah ini dipandangnya sebagai zat Allah, dan setiap manusia memiliki zat diri yang sama dengan zat Allah; begitu juga, alam dan jagat raya adalah juga zat-zat Allah. Bahkan, seperti sudah dikatakan di atas, dalam pandangan Saranam, hukum-hukum alam (natural laws) adalah hukum-hukum yang diatur dan dikehendaki zat Allah, sebagai kehendak zat Allah yang paling jelas dan paling dikenal, sebagai satu-satunya Kitab Suci. Zat Allah ini bersifat ekspansif: meluas, memenuhi dan meresapi segala sesuatu.

2) Manusia, dalam pandangan Saranam, adalah pengejawantahan atau penubuhan zat Allah, sehingga zat diri=zat Allah. Sebagaimana zat Allah itu ekspansif, demikian juga zat diri manusia: zat diri manusia harus makin ekspansif, makin meluas, makin menyatu dan dimiliki oleh semua manusia lainnya, oleh kemanusiaan, sehingga melalui zat diri setiap orang seluruh umat manusia dipersatukan, bukan dipecah-belah, bahkan seluruh jagat raya lewat zat diri juga dipersatukan. Ini adalah sebuah visi rekonsiliatif unitif universal Saranam yang patut didukung!

3) Bukan lewat jalan agama-agama terorganisir, tetapi lewat spiritualitas zat diri manusia akan mengalami perluasan, ekspansi, bertemu dengan zat Allah, menyatu dengan zat Allah, menyatu dengan zat-zat diri lainnya, dengan zat diri kemanusiaan, dengan zat diri jagat raya. Pada sisi lain, spiritualitas, dalam pandangan Saranam, adalah juga moralitas yang bertanggungjawab, pemikiran yang terbuka dan kritis, pelayanan kepada orang lain, pemilikan identitas transpersonal, identitas yang terhubung dan menyatu dengan semua identitas personal lainnya.

Spiritualitas yang ditawarkan Saranam adalah spiritualitas sebagai pengalaman langsung akan zat Allah dalam diri manusia dan jagat raya. Pengalaman langsung ini akan didapat lewat ilmu intuisi yang dinamainya
pranayama (prana=energi; yama=pengendalian), yakni pengetahuan dan teknik-teknik yogis untuk mengendalikan energi (prana) yang ada dalam struktur fisiologis tubuh manusia sebagai suatu sistem energi fisiologis elektromagnetis. Pengendalian prana elektromagnetis ini akan berhasil dicapai jika orang melepaskan pengondisian atau kontrol indrawi dan mengarahkan pikiran, pernapasan, perasaan, emosi, energi saraf/prana, ke dalam batin, ke sumbu fisiologis serebrospinal (sumbu dari anus lewat tulang belakang naik dan masuk ke otak, ke bagian yang dinamakan Medulla Oblongata—di lokasi inilah intuisi terletak). Sederhananya, konsentrasi yang intens untuk mengarahkan secara konstan prana ke sumbu serebrospinal ini akan membawa si praktisi ke dalam suatu kondisi bertemu dan menyatu dengan zat Allah yang mengalir dalam dirinya sebagai prana elektromagnetis. Dus, Allah=energi/prana elektromagnetis, yang juga memenuhi jagat raya. Allah semacam ini adalah zat pranik. Tentu saja, untuk mengenal dan mengalami zat Allah pranik ini jalannya bukan lewat agama-agama terorganisir, melainkan lewat pranayama atau ilmu intuisi. Pantaslah, Saranam memberi judul God Without Religion untuk bukunya ini!

Apa kritik saya terhadap jalan yang diusulkan Saranam ini? Pertama, tentu saja, prana ini, dalam tubuh fisiologis manusia, dihasilkan dari nutrisi yang berasal dari makanan yang disantap manusia. Jadi, hemat saya, Saranam memperkenalkan Allah yang sama dengan atau diproduksi oleh nutrisi! Semakin sehat dan bergizi nutrisi kita, semakin kuat daya zat Allah dalam diri kita! Ternyata betul, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat! Kedua, semua proses intuitif elektromagnetis yogis untuk mengalami dan menyatu dengan zat Allah dalam intuisi batiniah ini bisa jadi juga adalah proses neurologis dan biokimiawi di sel-sel otak kita! Jika demikian, apa yang disarankan Saranam ini sejalan dengan apa yang dipertahankan ilmu neurotheology! Pengalaman spiritual akan zat Allah diproduksi di otak kita, oleh sel-sel neuron otak kota! Tanpa otak tidak ada pengalaman akan Allah! Dengan demikian, pengalaman keagamaan apapun harus bisa diselidiki secara ilmiah, karena semuanya natural, kodrati, bukan supernatural, adikodrati.

*) Disampaikan pada acara bedah buku
God Without Religion, Jaringan Progresif, 2 Juli 2009, di Graha Kemah Abraham, Kelapa Gading, Jakarta Utara