Tuesday, July 28, 2009

Rasionalisme Versus Skripturalisme


Di kalangan umat beragama konservatif fundamentalis, Kitab Suci diberi tempat pertama dan utama, berada di atas segala hal lain yang memengaruhi dan mengatur kehidupan mereka. Saya menyebut mereka kalangan biblisistis atau skripturalis. Kalangan skripturalis dapat dibagi minimal ke dalam dua kelompok, yakni kalangan literalis dan kalangan esensialis.

Kalangan skripturalis literalis mempertahankan bahwa apa pun yang ditulis dalam Kitab Suci, katakanlah Alkitab, bahkan sampai ke penempatan titik koma di dalamnya, secara harfiah selalu tidak bisa salah dan selalu relevan dan fungsional untuk segala tempat dan segala zaman sampai dunia ini kiamat, sehingga harus dengan taat dan setia dipertahankan, diberlakukan dan diamalkan sepenuhnya dan diikuti seluruhnya oleh setiap orang beragama kapan pun dan di mana pun. Bagi mereka, mustahil ada pesan Alkitab yang tidak relevan untuk zaman dan tempat mereka. Kalangan ini mengharuskan jemaah mereka untuk mengikuti secara harfiah, literally, dan dengan membuta, blindly, apa kata Alkitab.

Mereka tidak peduli bahwa ketaatan membuta dan tidak cerdas terhadap Kitab Suci menjadikan mereka kelompok umat beragama yang terisolasi dari kehidupan dan pandangan dunia serta ilmu pengetahuan modern. Situasi hidup berbeda dan bertentangan dengan kehidupan dan sains modern ini bahkan menjadikan mereka bangga terhadap diri mereka sendiri, yang mereka pandang sebagai suatu umat pilihan ilahi yang berbeda dari bagian terbesar umat manusia. Dengan pemahaman identitas “in-group” eksklusif dan superior semacam ini, mereka memandang diri sedang memikul tugas ilahi untuk mempertobatkan dunia, “out-group” mereka, yang mereka pandang sedang tersesat dan sudah menyimpang dari jalan Allah dan ajaran Kitab Suci.

Dalam kekristenan, literalisme skripturalis semacam itu ditemukan dalam kelompok kekristenan fundamentalis injili. Dalam berhadapan dengan kosmologi, astronomi, astrofisika dan biologi modern serta teori evolusi Darwinian, mereka mempertahankan dan membela pseudosains kreasionisme (yang dibangun berdasarkan tafsiran harfiah atas Kejadian 1-2, sehingga mereka memandang bahwa jagat raya ini, minimal tata surya, diciptakan Allah secara kilat dalam 6x24 jam waktu manusia) dan teologi Intelligent Design (bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di dunia ini, termasuk tentunya kehadiran makhluk yang dinamakan manusia, bukanlah hasil proses evolusi alamiah jangka sangat panjang, melainkan masing-masing ada dengan utuh dan seketika karena merupakan hasil rancangan cerdas Sang Khalik) yang sama sekali menolak “natural selection” yang dipertahankan dalam Darwinisme dan telah dibuktikan secara empiris. Dalam kehidupan sosio-politik, ketimbang mendukung dan menjalankan demokrasi modern dalam suatu negara yang sekular, mereka berjuang keras untuk membangun suatu masyarakat Kristen yang didirikan di atas dasar Alkitab dan hukum-hukum penataan masyarakat yang digariskan Nabi Musa seperti antara lain ditemukan dalam Sepuluh Hukum Musa. Demokrasi mereka lawan dengan teokrasi; sekularisme yang memisahkan agama dari negara dan negara dari agama mereka lawan dengan nomokrasi (= pemerintahan berdasarkan hukum-hukum ilahi) dan integralisme yang memolitisasi agama dan mengagamisasi politik dan menyatukan keduanya. Dalam kehidupan modern yang diwarnai toleransi dan pluralitas keagamaan, mereka, berdasarkan Kitab Suci, menolak pluralisme dan toleransi teologis, dan, sebaliknya, mempertahankan monisme eksklusif (bahwa agama sendirilah satu-satunya agama yang benar dalam dunia ini) dan menolak kebebasan memilih dan pindah agama. Bisa dibayangkan, dalam ketaatan membuta dan harfiah terhadap amanat Ulangan 13, misalnya, mereka akan memerintahkan orang yang menyebabkan orang lain pindah agama, menjadi murtad, harus dibunuh. Bagi saya, kalangan skripturalis literalis adalah kalangan yang tidak rasional dan tidak cerdas beragama. Fundamentalisme religius yang mereka anut menyebabkan mereka menolak rasionalisme, membuat mereka beragama dengan bodoh dan tidak cerdas. Kepercayaan mereka terhadap Kitab Suci telah membutakan dan membodohkan mereka.

Kalangan skripturalis esensialis sama dengan kalangan skripturalis literalis dalam hal bahwa keduanya menempatkan Kitab Suci di atas segalanya, sebagai satu-satunya sumber berwibawa, berotoritas, yang patut dan harus mengatur dan mengarahkan kehidupan mereka sepenuhnya. Sama dengan kalangan literalis, kalangan esensialis tidak bisa menerima pandangan rasionalis bahwa ada pesan-pesan Alkitab yang sudah tidak relevan lagi bagi suatu zaman dan tempat tertentu yang berbeda dari zaman dan tempat di mana teks-teks Kitab Suci dulu ditulis, sehingga harus tidak diikuti. Berbeda dari kalangan literalis, kalangan esensialis tidak mau mengikuti secara harfiah teks-teks Alkitab yang oleh akal sehat mereka dinilai akan menimbulkan masalah etis dan kontekstual kalau diikuti dengan membuta dan secara letterlijk. Tetapi mereka, seperti baru dikatakan, tidak mau menerima kalau teks-teks Alkitab bisa tidak relevan untuk zaman dan tempat mereka. Bagi mereka, firman Allah selalu relevan kapan saja dan di mana saja dan untuk siapa saja.

Karena mau mempertahankan pandangan bahwa semua pesan Alkitab itu selalu relevan, tetapi tidak mau mengikuti pesan-pesan Alkitab secara harfiah membuta, maka kalangan esensialis membedakan dua hal dalam setiap teks Kitab Suci: yakni esensi atau jiwa teks Kitab Suci dan prosedur atau pengamalan atau penerapan teks Kitab Suci. Mereka mempertahankan, bahwa esensi atau jiwa teks Kitab Suci, khususnya teks-teks legal dalam Kitab Suci, selalu relevan, sedangkan prosedurnya atau penerapannya bisa tidak relevan. Prosedur atau pengamalan dipengaruhi dan ditentukan serta dibentuk oleh kebudayaan, culturally conditioned, sehingga bernilai relatif, tidak mutlak mengikat, bisa ditolak dan diganti dengan prosedur atau pengamalan yang berbeda, bergantung pada konteks kebudayaan. Sedangkan esensi atau jiwa teks-teks Kitab Suci selalu relevan, selalu mengikat, eternally binding, karena berasal dari wahyu Allah, dibuat, ditetapkan dan didiktekan Allah, divinely inspired and dictated, tanpa dipengaruhi oleh kebudayaan manusia, sehingga tidak bisa salah dan tidak bisa usang dimakan zaman.

Contoh yang sering dipakai untuk menjelaskan posisi esensialis ini adalah perintah untuk “mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri” (Imamat 19:18b; Markus 12:31 dan par.). Bagi mereka, perintah ini kekal dan senantiasa mengikat, karena dikatakan dan diperintahkan Tuhan sendiri. “Mengasihi manusia” adalah firman Allah; perintah ini esensial, berasal dari Tuhan, dan harus senantiasa dipegang dan selalu relevan, kapan saja, di mana saja, dan bagi siapa saja. Tuhan tidak pernah berubah. Tetapi, ketika perintah esensial untuk mengasihi ini mau diterapkan, maka penerapannya atau pengamalannya atau prosedurnya tidaklah selalu sama, bergantung pada konteks budaya di mana esensi perintah ini mau dijalankan. Jadi, menurut perspektif mereka, dari satu perintah esensial mengasihi sesama manusia akan muncul banyak penerapan dan pengamalan yang satu sama lain berbeda, bergantung pada situasi, kondisi dan konteks kebudayaan orang beragama.

Tetapi, kalangan rasionalis melihat ada persoalan dalam posisi kalangan esensialis ini. Di suatu kebudayaan, mengasihi anak dapat berarti mendidik anak dengan keras, dengan rotan dan pentung, dan satu arah, agar anak mengikuti penuh apa yang diajarkan dan diperintahkan orangtua atau guru demi masa depan mereka sendiri dalam suatu masyarakat yang statis. Tetapi, di suatu kebudayaan lain, mengasihi anak dapat berarti mendidik anak secara dialogis, tanpa rotan, dua arah, terbuka, demokratis, demi masa depan sang anak yang diharapkan akan berhasil menjadi individu yang sehat dan bertanggungjawab dalam suatu masyarakat yang dinamis. Pertanyaannya: Mengapa dari satu pesan esensial mengasihi sesama bisa melahirkan dua prosedur atau dua penerapan yang bertentangan satu sama lain: yang satu, prosedurnya kekerasan; yang lainnya dialog? Kalau esensinya sama dan satu dan kekal, yakni esensi mengasihi, penerapan atau prosedurnya, meskipun berbeda, haruslah tidak bertentangan. Kesimpulannya sederhana: karena prosedur atau penerapan menghasilkan dua tindakan dan pendekatan yang berbenturan satu sama lain, maka esensinya atau jiwanya haruslah tidak hanya satu, melainkan ada lebih dari satu esensi, ada lebih dari satu jiwa, yang juga ditentukan dan dibentuk oleh kebudayaan. Tidak ada satu kasih yang universial dan esensial mutlak, melainkan esensi mengasihi juga ditentukan oleh kebudayaan dan diterapkan juga dengan dipengaruhi kebudayaan. Wahyu ilahi bukan saja esensial, tetapi juga selalu eksistensial dan kontekstual! Penemuan esensi sebuah teks suci juga ditentukan oleh sudut pandang kebudayaan si penemu!

Atau, ambil contoh perintah legal dalam Ulangan 13 yang telah disebut di atas. Amanat hukum Allah dalam Ulangan 13 adalah larangan untuk pindah agama atau larangan untuk orang lain mengajak orang lain yang berbeda keyakinan untuk pindah agama atau mengenal agama lain. Menurut Ulangan 13 ini, jika ada orang mengajak orang Israel pindah agama atau mengenal dan berbakti dalam agama lain, maka orang yang mengajak itu harus dibunuh dengan perajaman, bahkan penduduk kota yang di dalamnya orang itu berdiam juga seluruhnya harus dibunuh (Ulangan 13:15). Nah, bagi kalangan esensialis skripturalis esensi atau jiwa hukum ini adalah orang Israel harus mengikat kesetiaan mutlak selamanya pada Tuhan Yahudi; mereka tidak boleh pindah agama, tidak boleh mengenal agama lain, dan orang yang mengajak mereka pindah agama atau mengenal agama lain harus dihukum. Bagi mereka, ini adalah hukum yang kekal, selalu mengikat, di mana saja, kapan saja, dan bagi setiap orang Israel, dan bagi setiap orang yang mengajak orang Israel murtad. Ini adalah esensinya, perintah ilahi.

Jika perintah legal Ulangan 13 ini esensial dan berlaku kekal, dan harus diberlakukan gereja juga yang bertuhankan Yesus dan Allah bangsa Yahudi, maka gereja juga harus menolak perpindahan agama, dari orang beragama Kristen menjadi pemeluk agama lain; dan orang yang menyebabkan warga gereja pindah agama atau mengenal agama lain melalui studi ilmu agama-agama di sekolah-sekolah teologi atau melalui dialog antaragama yang marak dilakukan sekarang ini harus dihukum mati juga oleh gereja. Ini adalah perintah esensial bagi gereja. Prosedurnya, hemat saya, juga tidak bisa lain, yakni sama dengan esensinya. Prosedur atau penerapan dan esensinya menyatu: orang Kristen harus mutlak setia pada Yesus dan Allah bangsa Yahudi seumur hidup mereka; dilarang pindah agama sepanjang kehidupan mereka; dilarang ikut kegiatan dialog antaragama seumur-umur hidup mereka; dilarang mengenal agama lain selamanya; dilarang memasuki dan mengenal rumah-rumah suci umat beragama lain kapan pun juga; dan orang yang menyebabkan seorang Kristen pindah agama harus dihukum mati oleh gereja.

Nah, pertanyaan penting saya adalah: Apakah esensi dan prosedur amanat Ulangan 13 ini relevan untuk zaman sekarang di dalam suatu dunia yang terbuka dan pluralistik, di suatu negara yang namanya Indonesia yang di dalamnya UUD menjamin setiap orang bebas untuk memilih dan pindah agama? Sebagai seorang rasionalis, saya berpendapat, adalah perlu bagi gereja untuk merawat warganya agar tetap setiap kepada Yesus, tidak pindah agama; tetapi, jika pindah agama adalah pilihan sadar seorang warga gereja, gereja tetap harus menghargainya dan menerima perpindahan agama ini dengan ikhlas, dan orang yang menyebabkan warga gereja itu pindah agama (bisa istrinya, bisa suaminya, bisa kekasihnya, ataupun bisa juga temannya, atau dosennya, atau orang lain manapun) tidak diperbolehkan oleh hukum RI untuk dibunuh. Jika gereja membunuh orang penyebab kemurtadan itu, gereja akan dituntut oleh hukum dan dijatuhi hukuman karena tindakan kriminalnya! Ringkas kata, bagi saya, firman Tuhan dalam Ulangan 13 itu pada esensinya sudah tidak relevan lagi! Harus dinyatakan bahwa Ulangan 13 tidak berlaku mutlak bagi gereja dan bagi orang Yahudi sekalipun yang hidup dalam zaman modern ini.

Nah, telah kita lihat, posisi kalangan skripturalis esensialis juga lemah, khususnya ketika berhadapan dengan teks-teks Kitab Suci yang esensi dan prosedurnya tidak dapat dipisahkan, menyatu bak tulang, otot, daging dan kulit. Dalam Alkitab ada sangat banyak firman Tuhan yang esensi atau jiwanya dan prosedur atau bentuk pengamalannya menyatu; dan, ketika dilihat dari sudut pandang kehidupan modern sekarang ini harus dikatakan dan diterima dengan ikhlas sebagai teks-teks suci yang sudah tidak relevan lagi.

Kalangan skripturalis esensialis lumayan sudah mau memakai akal sehat mereka ketika berhadapan dengan teks Kitab Suci, sehingga mereka mau membedakan mana esensi teks suci dan mana prosedur atau pengamalannya; tetapi mereka sama sekali belum beragama dengan cerdas, mereka masih terbungkus dalam kenaifan dan kebodohan, karena tidak berani, tidak mau, dan tidak ikhlas menerima kenyataan bahwa ada sekian banyak teks Kitab Suci yang sejujurnya harus dinyatakan, secara rasional, sudah secara esensial dan prosedural tidak relevan dengan kehidupan zaman sekarang. Kitab Suci memang memiliki kewibawaan, tetapi bukan satu-satunya kewibawaan dalam dunia ini, dan juga tidak berwibawa untuk segala bidang kehidupan. Untuk menjadi cerdas dalam beragama, rasionalisme harus menjadi pandangan hidup setiap orang beragama. Sekarang adalah zaman di mana rasionalisme versus skripturalisme adalah kenyataan yang sedang berlangsung di sekitar kita.