Pada kesempatan ini akan dikemukakan dengan singkat hal-hal historis apa yang menjadi penyebab Yesus dihukum mati melalui penyaliban dirinya. Tulisan ini, dengan demikian, adalah tulisan kelima dari rangkaian tulisan di blog ini yang menyoroti tema masalah-masalah dalam soteriologi salib.
Jauh sebagai suatu peristiwa adikodrati satu-satunya yang bersignifikansi soteriologis universal dan abadi, kematian Yesus di kayu salib faktual historisnya adalah suatu peristiwa kodrati, insani dan politis biasa dalam suatu ruang dan waktu terbatas yang tidak berdimensi soteriologis universal dan abadi apapun.
Melalui banyak perumpamaannya dan banyak ucapannya yang lain, Yesus memberitakan bahwa Kerajaan Allah sedang ada di tengah rakyat Yahudi yang sedang dijajah Roma (antara lain, Lukas 17:21b), bahwa Allah Yahudi kini sedang langsung memerintah sebagai Raja, dan murid-muridnya diajarnya untuk meminta supaya Kerajaan Allah ini terus-menerus berada di tengah mereka (Lukas 11:2; Matius 6:10). Akta-akta Yesus mendemonstrasikan bahwa bersama Yesus benar Allah sedang berkarya di tengah bangsa Yahudi. Kata Yesus, “Jikalau aku mengusir setan dengan jari Allah, sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu!” (Lukas 11:20; Matius 12:28) Hanya Allah yang menjadi Raja mereka. Inilah teokratisme Yesus. Sementara itu, pada pihak lain, bagi orang Romawi, hanya sang Kaisar yang bertakhta di Roma yang merupakan raja baik bagi bangsa Romawi sendiri maupun bagi semua bangsa jajahan. Bagi Yesus, dalam teokratisme Yahudi tidak bisa ada dua raja, melainkan hanya satu; dan raja ini bukan sang Kaisar tetapi Allah Yahudi. Dengan demikian, Yesus atas nama Allah dan atas nama rakyat menolak dan melawan Kaisar.
Perlawanan Yesus dari Nazaret terhadap Roma yang sedang menjajah bangsa Yahudi dengan jelas diungkap secara simbolik, antara lain, dalam tuturan sastra injil tentang seorang Gerasa yang kerasukan roh jahat (Markus 5:1-20). Ketika Yesus bertanya kepada roh jahat itu siapa namanya, roh itu menjawab, “Namaku legion, karena kami banyak.” (ayat 9). Kata Latin “legion” dikenakan untuk satuan prajurit pejalan kaki Roma ditambah pasukan berkuda, dengan jumlah besar antara 3.000 sampai 6.000 orang. Nama ini, dengan demikian, adalah kiasan untuk penjajahan Roma atas Tanah Israel. Dus, Yesus mendemonisasi lawannya, Kekaisaran Romawi. Permusuhan dan perlawanan terhadap Roma yang menduduki tanah Israel diungkap dengan jelas ketika Yesus berseru kepada setan-setan itu, “Keluar dari orang ini!” Tetapi setan-setan itu meminta untuk diizinkan tetap tinggal di daerah itu (ayat 10)―inilah persisnya yang dikehendaki Roma, yakni tetap mengontrol seluruh Tanah Israel. Sebaliknya, rakyat Israel menginginkan mereka diusir dan dibenamkan ke dalam danau seperti babi-babi. Yesus tampil sebagai seorang pengusir setan yang digdaya; dan kehadirannya sebagai orang yang dipenuhi Roh dan kuasa Allah (Markus 1:10b, 12; Matius 12:28; Lukas 11:20; lebih jauh tentang ini, klik http://www.ioanesrakhmat.com/2008/10/spiritualitas-yesus-dari-nazaret.html) sungguh merupakan suatu ancaman nyata bagi kedamaian dan stabilitas masyarakat Israel di bawah rekayasa politis kolonial Roma (Pax Romana): saat Roma mati terbenam dalam air danau hanya menunggu waktunya saja, pembebasan tidak lama lagi tiba.
Bagi Yesus, Tanah Israel, Eretz Israel, adalah milik Allah Yahudi, Tanah Perjanjian yang oleh Allah Yahudi dulu diberikan kepada Abraham, dan yang kemudian diwariskan kepada keturunannya yang membentuk satu bangsa Israel. Bagi Yesus, Allah Abraham adalah Allah Ishak dan Allah Yakub (Markus 12:26), Allah bangsa Israel. Ikatan perjanjian dengan Abraham ini, dalam pandangan Yesus, tidak pernah dibatalkan: Israel, menurutnya, adalah “satu keluarga” yang tidak boleh dipecah-belah (Markus 3:25), dan “anak-anak” dalam satu keluarga harus diperhatikan lebih dulu (Markus 7:27). Untuk menunjukkan bahwa Yesus ingin mempertahankan dan mengembalikan keutuhan 12 suku Israel, dia membentuk komunitas kecil lingkaran dalam para murid yang terdiri atas 12 orang (Markus 3:14). Jelas, Yesus memperjuangkan kepentingan Israel sebagai satu bangsa. Maka, kalau dikaitkan dengan Tanah Israel, ketika Yesus berkata, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah” (Markus 12:17), dia bermaksud menyatakan bahwa Kaisar tidak memiliki Tanah Israel, tetapi Allah pemiliknya, karena itu tanah ini harus Kaisar kembalikan kepada Allah, pemilik sah tanah ini, dan kepada bangsa Israel, umat Allah, yang mewarisi tanah itu dari Abraham. Dan bangsa Roma harus menyingkir dari tanah yang bukan milik mereka, kembali ke negeri asal mereka sendiri. Doktrin sekular tentang pemisahan agama/gereja dan negara tidak termuat dalam ucapan politis Yesus ini, Yesus yang berwawasan teokratis.
Berita yang terus-menerus di banyak lokasi di Galilea disampaikan Yesus bahwa kini Allah Yahudi sedang memerintah sebagai Raja Israel ditafsir lawan-lawannya sebagai suatu proklamasi bahwa dia sendiri adalah raja Yahudi, dan dengan demikian dia menolak dan melawan Kaisar Roma. Penafsiran semacam ini bisa dibenarkan mengingat bahwa dalam kepercayaan mesianik Israel orang yang berbicara dan bertindak atas nama Allah, seperti Yesus dari Nazaret, adalah wakil langsung dari Allah, representasi Allah sendiri, dan tangan Allah sendiri. Wakil, representasi, juru bicara dan tangan Allah dalam kehidupan riil bangsa Israel tidak lain adalah raja atau mesias Israel sendiri. Adalah suatu ketentuan hukum Romawi, barangsiapa menolak dan melawan Kaisar, orang itu harus dihukum mati.
Persis ketika Yesus mau memasuki kota Yerusalem pada perayaan Paskah Yahudi, perayaan untuk memperingati kemerdekaan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, orang banyak memproklamasikan Yesus sebagai Raja Israel; kata mereka, dalam tuturan Markus, “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi” (Markus 11:9; par.). Tetapi ada persoalan di sini. Apa yang dicatat dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius dan Lukas) tentang masuknya Yesus dengan jaya dan aman-aman saja ke kota Yerusalem pada perayaan Paskah setelah orang banyak mengumumkan kepada dunia bahwa Yesus adalah sang Raja Yahudi, keturunan Raja Daud, sukar dipercaya sebagai kejadian historis. Jika arak-arakan gegap gempita yang kuat diwarnai pesan-pesan mesianik dan pemulihan kerajaan Daud ini sungguh terjadi, pasti peristiwa ini akan diberi reaksi represif cepat oleh Gubernur Pontius Pilatus (yang sedang berada di Yerusalem) untuk mencegah timbulnya pemberontakan sekaligus untuk “mengamankan” figur yang diproklamasikan rakyat banyak sebagai mesias Yahudi. Tuturan tentang peristiwa yang sama dalam Injil Yohanes (12:12-16) lebih dapat dipercaya, karena, dituturkan, setelah orang banyak memproklamasikan Yesus sebagai “Raja Israel” (ayat 13), Yesus “pergi bersembunyi” (ayat 36b), menghindari para penguasa yang pasti sedang mencarinya untuk menangkapnya.
Bagaimana pun juga, tuturan dalam keempat injil tentang kejadian di pintu gerbang Yerusalem ini bermaksud untuk menyampaikan sebuah fakta bahwa rakyat Yahudi memang menantikan kedatangan seorang mesias pembebas dan pemenuhan penantian ini tampaknya, oleh orang banyak, dikaitkan dengan kehadiran Yesus di tengah mereka. Hal ini bisa terjadi karena mereka menyamakan Yesus yang memberitakan kedatangan Kerajaan Allah dan memperagakan kehadiran kuasa Allah dalam tindakan-tindakan penyembuhan dan eksorsismenya dengan Kerajaan Allah itu sendiri. Yesus menunjuk pada Kerajaan Allah dan mengajak orang banyak untuk melihat kepada Kerajaan ini, tetapi rakyat menunjuk pada Yesus sebagai sang mesias yang bertakhta dalam Kerajaan itu sendiri, dan para penguasa Bait Allah menuduh Yesus sebagai orang yang mengklaim posisi mesianik. Mereka mengganti Allah yang diwartakan dan diejawantahkan Yesus dengan diri Yesus sendiri! Bagi Yesus, Allah adalah sang Pembebas Israel, tetapi bagi rakyat Yahudi Yesuslah sang Pembebas mereka!
Ketika Yesus sudah berada di Yerusalem, dia memasuki Bait Allah lalu melakukan unjuk rasa di sana dan berkata keras mengenai Bait ini (Markus 11:15-18; Injil Thomas # 71; Yohanes 2:14-16a). Demonstrasi Yesus di Bait Allah, meskipun berskala kecil, dan ucapan kerasnya, adalah simbol, tanda, isyarat dan pesan bahwa dia menolak otoritas Yahudi dan otoritas Roma yang menguasai Bait Allah. Sebab kedua otoritas ini menghalangi keterlibatan langsung Allah Yahudi dalam kehidupan bangsa Yahudi. Bait Allah, melalui ritual kurban serta pemungutan pajak yang dilakukan di dalamnya, di tangan kedua otoritas ini telah menjadi sebuah institusi religio-politis yang menekan rakyat, yang menghalangi perjumpaan langsung rakyat dengan Allah Yahudi, karena kedua otoritas ini berfungsi sebagai broker (yang dalam pandangan Yesus) tidak sah antara Allah Yahudi dan rakyat. Keselamatan dari Allah dan kasih karunia-Nya, bagi Yesus, tidak boleh diperantarai oleh siapapun dan oleh otoritas kelembagaan apapun, melainkan harus langsung diterima rakyat Yahudi, sebab Kerajaan Allah ada di tengah rakyat.
Celakanya, menyerang Bait Allah, menentang otoritas yang menguasainya, dan menolak ritual dan pemungutan pajak resmi yang dilakukan di dalamnya, apalagi kalau perlawanan, penentangan dan penolakan ini dilakukan pada perayaan Paskah, akan berakibat kematian bagi si pelawan. Barangsiapa menyerang Bait Allah, orang itu dipandang menyerang Roma sebagai penguasa yang ada di belakang Bait Allah, yang memerintah Tanah Israel melalui wakil Kaisar (gubernur provinsi Yudea) dan kaki tangan Yahudinya (keluarga Herodes, kaum bangsawan Yahudi, Imam Besar Kayafas, Sanhedrin, imam-imam kepala, para ahli Taurat dan para tua-tua)! Hukuman mati adalah ganjaran sah bagi setiap orang yang menyerang Bait Allah. Tentu, di balik ini, ada suatu kesepakatan tidak tertulis antara otoritas Romawi dan otoritas Yahudi yang menetapkan bahwa barangsiapa membuat suatu kerusuhan di Bait Allah dan di kota Yerusalem pada perayaan Paskah, yang potensial menimbulkan keributan besar, orang itu dapat langsung ditangkap, diperiksa singkat lalu dieksekusi, sebagai suatu gertak dan teror terhadap rakyat Yahudi supaya mereka tidak bertindak macam-macam (bdk. Markus 14:2; Yohanes 11:48).
Melalui suatu kerjasama otoritas Yahudi dan otoritas Romawi, dan dengan melibatkan seseorang dari “lingkaran dalam” komunitas kecil yang Yesus bangun, Yesus kemudian dapat ditangkap, lalu diperiksa, dan akhirnya dihukum mati menurut cara penghukuman mati Romawi bagi para pemberontak: Yesus mati disalibkan dengan sebuah tuduhan politis bahwa dia mengklaim diri sebagai Raja Orang Yahudi di suatu tanah yang sedang dijajah Roma. Tuduhan ini ditulis pada titulus yang dipasang pada kayu salib Yesus. Tuduhan semacam ini (yang mendakwa Yesus sebagai Raja Orang Yahudi, dan bukan Raja Orang Israel) hanya mungkin dikeluarkan oleh pihak Roma. Di awal pemeriksaannya terhadap Yesus yang sedang diadili, Pontius Pilatus bertanya, “Engkau inikah raja orang Yahudi?” (Markus 15:2; Matius 27:11; Lukas 23:3; Yohanes 18:33).
Jadi, kematian Yesus adalah suatu konsekwensi politis wajar dan insani dari keyakinan dan kiprah politis Yesus sendiri. Yesus, dengan gerakannya menghadirkan Kerajaan Allah di tengah rakyat yang membuatnya dipandang sebagai sang mesias atau raja Yahudi, terlalu kecil dan lemah ketika dia berhadapan dengan raksasa Imperium Romanum yang sedang menjajah negeri dan bangsanya. Dia adalah seorang teokratis dan mesianis yang gagal. Tidak ada keselamatan, kemerdekaan dan penyucian yang timbul dari kematiannya di kayu salib bagi bangsa Israel, berbeda dari keyakinan para pejuang Makkabe dalam sejarah Israel (abad 2 SM) bahwa curahan darah suci setiap mukmin Yahudi akan memberi kemerdekaan dan penyucian bagi Tanah Israel! (lebih jauh tentang ini, klik http://ioanesrakhmat2009.blogspot.com/2009/05/betulkah-yesus-dengan-sengaja-mau-mati.html). Roma masih berkuasa atas Tanah Israel beberapa ratus tahun ke depan setelah kegagalan pergerakan yang Yesus lancarkan; bahkan sejak berakhirnya Perang Yahudi II melawan Roma (132-135 M) yang dipimpin Mesias Simon Bar Kokhba Israel tidak pernah lagi berdiri sebagai suatu bangsa dan negara merdeka sampai pada terbentuknya Negara Israel modern yang sekular di tahun 1948.
Kematian Yesus di kayu salib pada saat terjadinya tidak memberi efek soteriologis bagi Tanah Israel dan bangsa Yahudi, apalagi efek soteriologis universal dan abadi apapun, tidak seperti belakangan diklaim orang Kristen perdana, dua sampai sepuluh dasawarsa setelah Yesus wafat. Orang Kristen perdana, ketika mereka merenungi makna kematian Yesus yang sia-sia dan berupaya keluar dari keadaan gagal dan memalukan yang sangat kuat menekan mental mereka melalui rasionalisasi-rasionalisasi teologis yang mereka buat (tentang ini, klik http://ioanesrakhmat2009.blogspot.com/2009/04/jalan-jalan-keselamatan-alternatif.html), mengklaim bahwa kematian Yesus menyelamatkan umat manusia dan jagat raya. Ini sungguh suatu klaim yang terlalu tinggi, jauh dari kenyataan yang sebenarnya.