Tuesday, April 14, 2009

Jalan-jalan Keselamatan Alternatif

Ketika jalan besar buntu dan macet,
jalan-jalan alternatif perlu ditempuh!

Narasi-narasi jalan salib (via dolorosa) Yesus menyakralisasi kejahatan dan kekerasan, bukan melawan atau meniadakannya. Ini adalah kenyataan tekstual Perjanjian Baru.

Kalau dilihat secara historis, sebelum Paulus menulis surat-suratnya dan sebelum injil-injil muncul, para murid perdana Yesus (orang Yahudi) menghadapi suatu fakta sejarah yang sangat pahit dan memalukan: Yesus telah disengsarakan dan dibunuh oleh suatu koalisi Yahudi-Romawi. Sang Mesias yang mereka harapkan akan mendatangkan suatu permulaan baru bagi bangsa Yahudi yang sedang dijajah ternyata dikalahkan dan berhasil dibunuh oleh lawan-lawannya. Ini adalah suatu peristiwa yang menggoncang keyakinan-keyakinan teologis mereka (bagaimana mungkin sang Mesias utusan Allah bisa dengan mudah dikalahkan dan Allah tidak menolongnya?) dan sangat memalukan mereka (bagaimana bisa sang Mesias mati dengan cara, dalam pandangan Yahudi, begitu memalukan dengan dibunuh melalui suatu cara penghukuman mati Romawi yang biadab: penyaliban?).

Untuk mengatasi kegoncangan dan rasa malu yang besar ini, mereka harus melakukan rasionalisasi-rasionalisasi atas berbagai hal buruk yang telah dialami Yesus. Dalam rangka merasionalisasi inilah, sakralisasi terhadap jalan salib dan kematian Yesus dilakukan: Ya, memang Yesus harus disengsarakan dan dizalimi dan dibunuh karena semua ini sudah dikehendaki (Yunani:
dei) Allah untuk menebus manusia dari dosa-dosa mereka (dosa warisan maupun dosa masa kini) dengan jalan mengurbankan Yesus! Darah hewan dalam Yom Kippur yang diyakini efektif untuk menghapus dosa Israel dalam keyakinan Yahudi (PL) diganti dengan darah Yesus dalam keyakinan Kristen (PB)!

Jadi, jalan keselamatan melalui kesengsaraan dan kematian Yesus memang lahir dari suatu latarbelakang religius-kultural (Yahudi) yang memandang bahwa Allah Yahudi memerlukan darah tercurah untuk menenangkan hati-Nya yang panas dan bergolak karena dosa-dosa umat (manusia). Ketika darah hewan diganti dengan darah manusia, Yesus, bahasa kekerasan pun muncul, tanpa dapat dihindari lagi. Kekerasan yang seharusnya dihindari (ingat salah satu perintah dalam Dasa Titah: Jangan membunuh!), dalam peristiwa kematian Yesus justru disakralisasi sebagai suatu peristiwa ilahi yang suci untuk mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah yang pemurka. Dalam azab Yesus dan pembunuhan atas dirinya, kekerasan yang dilakukan manusia (para pemimpin agama Yahudi dan Gubernur Pontius Pilatus) diubah menjadi "sacred violence", kekerasan yang kudus, karena kekerasan aktual yang tidak suci, yang dialami Yesus, diubah menjadi suatu kekerasan yang dikehendaki dan dipakai Allah untuk menjadi jalan keselamatan bagi manusia.

Nah, rasionalisasi dan sakralisasi terhadap
via dolorosa yang semacam ini berhasil meredakan ketegangan dan tekanan mental berat yang dialami para murid perdana Yesus yang sudah ditinggalkan Yesus, sang Master mereka, yang sudah dibunuh dengan cara yang memalukan. Bagi kalangan Yahudi, ingat, orang yang disalibkan adalah orang yang dikutuk Allah, orang yang durhaka! Tetapi, celakanya, perspektif berteologi semacam ini yang diajukan para penulis Perjanjian Baru telah melegitimasi secara teologis dan menyakralisasi kekerasan yang telah menimpa Yesus, seorang yang tidak bersalah. Allah sendiri (bisa anda bayangkan, jika Dia memang maha pengasih dan maha penyayang) saya yakin tidak mau menerima perspektif berteologi para murid perdana Yesus semacam ini!

Nah, berbagai usaha untuk menyingkirkan dimensi kekerasan dari soteriologi Kristen tradisional akan sia-sia, karena soteriologi Kristen ini
memang memakai bahasa kekerasan.

Nah, saya sudah perlihatkan di posting terdahulu (berjudul "Menggugat The Passion of the Christ di Hari Paskah 12 April 2009"; klik di sini), soteriologi Kristen tradisional yang memuja kekerasan dan pertumpahan darah semacam ini tidak valid, dan sudah berisi unsur-unsur demonik sejak pertama kali dirumuskan oleh kekristenan perdana.

Adakah alternatifnya? Jawabnya: Alternatifnya tersedia.

Soteriologi melalui kematian Yesus bersifat kristosentris, berpusat pada diri Yesus Kristus, khususnya pada azab, kesengsaraan dan kematian Yesus. Kristologi semacam ini jelas memuja dan menyakralisasi penderitaan Yesus. Ini disebut
dolorisme, pemujaan pada azab dan sengsara Yesus (dolores = azab, kesengsaraan). Film Mel Gibson, The Passion of the Christ, jelas menjadikan dolorisme sebagai tulang punggung skenarionya. Dan dolorisme ini, terus terang saja, juga menjadi teologi kekristenan evangelikal/injili. Mereka, kalangan Kristen ini, berkontradiksi dalam diri dan teologi mereka: mereka menkhotbahkan cinta ilahi yang begitu besar bagi dunia ini (Yoh. 3:16), tetapi juga memuja-muja kekerasan yang dialami manusia Yesus. Karena itu tidak heran, mereka pun sering bisa tanpa ragu mempraktikkan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan kekristenan mereka, karena mereka memang dikondisikan oleh soteriologi mereka untuk memuja kekerasan. Seorang teman saya menyatakan bahwa film The Passion of the Christ tidak ada bedanya dengan film tentang pemberantasan G30S/PKI yang dibuat atas perintah rezim jahat Soeharto dalam era Orba. Kedua film ini penuh lumuran darah, dan di dalamnya kekerasan terhadap sesama manusia menjadi suatu cara hidup (way of life) dan pandangan dunia (world view) produser dan sutradara film-film ini.

Nah, alternatifnya adalah soteriologi yang teosentris: keselamatan manusia hanya berpusat dan bergantung pada Allah yang maha rakhmani dan rahimi, maka pengasih dan maha penyayang, yang tidak memerlukan mediator insani apapun untuk diri-Nya berhubungan dengan semua insan dalam dunia ini. Allah yang semacam ini didatangi langsung oleh manusia, tanpa melalui perantara insani manapun (Musa, Buddha Gautama, Khrisna, Yesus, Mohammad, Gulam Ahmad, ataupun Lia Eden, dsb.).

Yesus dari Nazaret mengajarkan dan mendemonstrasikan Allah yang semacam ini. Sebagai seorang yang teosentris (= berpusat pada diri Allah, yang dipanggillnya Abba/Bapa), Yesus meminta para muridnya untuk berdoa langsung kepada Allah dengan memanggil-Nya "Bapa" (dalam Doa Bapa Kami, bagian yang berisi panggilan "Bapa" kepada Allah adalah bagian otentik dari ajaran Yesus sendiri).

Dalam salah satu perumpamaannya, yakni perumpamaan tentang anak yang hilang, Yesus menggambarkan sang anak bungsu yang berdosa, ketika balik kembali dalam rasa sesal dan pertobatannya kepada ayahnya, sang ayah, dengan hatinya yang tergerak oleh kerahiman, segera berlari, langsung mendatangi dan merangkul anaknya yang semula sudah terhilang ini. Sang ayah tidak mengirim seorang utusan atau wakil atau perantara untuk bertemu dan menerima anak bungsunya ini; tetapi dia langsung menemuinya sendiri dan langsung memaafkan si anak tanpa perlu ada seseorang lain yang diutus dan dikurbankan. Nah, soteriologi otentik Yesus adalah soteriologi teosentris, bukan kristosentris. Gereja perdanalah yang mengubah soteriologi teosentris Yesus menjadi soteriologi kristosentris gereja!

Alternatif berikutnya adalah soteriologi logosentris (= berpusat pada logos, ucapan atau pengajaran, yang Yesus sampaikan, bukan pada dirinya sendiri yang, dalam dolorisme, digambarkan dikurbankan dengan kejam dan berdarah-darah). Dengan menghayati ucapan-ucapan Yesus, dengan masuk ke dalam dunia perumpamaan-perumpamaannya, orang akan mengalami pencerahan budi dan pembaruan etika kehidupan. Pencerahan budi dan pembaruan etika inilah pengalaman keselamatan.

Nah, soteriologi logosentris dihayati antara lain dalam komunitas Kristen yang melahirkan Injil Thomas (berisi 114 ucapan Yesus; lihat posting Injil Thomas dalam The Freethinker Blog saya). Injil Thomas aslinya ditulis dalam bahasa Yunani pada pertengahan abad kedua Masehi, yang memuat banyak ucapan tua dan asli Yesus dari Nazaret, bahkan lebih tua dan lebih asli dari yang terdapat dalam Injil-injil kanonik PB. Pada logion #1 Injil Thomas ini dimuat pernyataan, "Barangsiapa dapat menemukan maksud dari ucapan-ucapan [Yesus] ini, dia tidak akan mengalami kematian." Jelas, bagi komunitas Thomas ini, bukan azab dan sengsara serta kematian Yesus yang menyelamatkan, melainkan ucapan-ucapannya. Saved by Jesus' words, not by his death! Injil Thomas bahkan sama sekali tidak menyinggung azab, kesengsaraan dan kematian Yesus! Soteriologi logosentris juga dihayati oleh komunitas "Q" (existed tahun 50-an abad pertama Masehi di Galilea) yang dokumen sucinya terdapat dalam Injil Lukas dan Injil Matius, dan sudah dipadukan dengan bahan-bahan sumber lain membentuk Injil Lukas dan Injil Matius.

Alternatif lainnya yang juga alkitabiah adalah soteriologi yang egosentris atau humanosentris (atau antroposentris), yang menegaskan bahwa keselamatan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri (ego) atau sang manusianya sendiri (human/anthropos) melalui kehidupannya sendiri, melalui perbuatan-perbuatannya sendiri (tentang ini, klik di sini), bukan bergantung pada suatu figur perantara atau penebus manapun. Dengan mendisiplinkan diri untuk menempuh suatu kehidupan yang penuh kebajikan bagi semua orang, seseorang akan terus bertumbuh, semakin ekspansif, dari waktu ke waktu, menuju pada suatu kemanusiaan yang diperluas, yang bisa dan sanggup merangkul semua jenis kehidupan lainnya, suatu kemanusiaan yang sama dengan keilahian. Dalam bahasa PB, suatu kehidupan "dengan kepenuhan Kristus." Kehidupan yang ekspansif semacam ini adalah kehidupan dalam keselamatan, kehidupan ilahi sendiri. Yang ilahi dialami di dalam yang insani, kini dan di dunia ini. Dan setiap manusia memiliki potensi dan bakat untuk menjadi ilahi dalam kehidupannya di dunia ini. Soteriologi semacam ini dihayati banyak truth seekers independen dan juga kalangan mistikus. Kekristenan perdana juga memiliki sekian jenis kekristenan semacam ini, misalnya beberapa kalangan Kristen gnostik.

Nah, sekian soteriologi alternatif di atas juga dihayati banyak orang Kristen dewasa ini, di zaman modern, di zaman ketika kekerasan semakin disadari untuk dijauhi demi keselamatan global, di zaman ketika bahasa "darah Yesus" dalam soteriologi Kristen tradisional dipandang
obsolete, usang, superstitious, takhayul, dan tidak bermakna, meaningless, serta tidak etis, unethical.

Bagaimana semua ini bisa terjadi? Karena kitalah, manusia, tuhan atas dogma gereja, dan bukan sebaliknya! Kuasai dan kendalikan dogma, dan jangan dikuasai dan dikendalikan olehnya. Ikutilah ke mana nalar membawamu. Hanya dengan cara inilah kamu tidak mengkhianati kemanusiaanmu. Take this as your destiny!