Dalam tulisan kelima tentang tritunggalisme Kristen ini, baiklah fokus kita arahkan pada teks Matius 28:19. Nas ini memuat ucapan Yesus yang sudah dibangkitkan kepada sebelas muridnya, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Para sistimatikus Kristen berkeras bahwa teks dalam Injil Matius ini adalah sebuah teks yang paling eksplisit berbicara tentang Allah tritunggal yang menjadi tulang punggung bangunan kekristenan ortodoks. Benarkah demikian?
Dalam doktrin kekristenan ortodoks tentang trinitas (kata Latin untuk tritunggal), dikenal tiga nama, yakni Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dalam doktrin tentang trinitas, ketiganya dipandang sudah ada sebelum dunia dijadikan dan akan terus berada secara demikian, kekal selamanya. Dengan demikian, Yesus Kristus dipandang memiliki pra-eksistensi, sudah ada sebelum dunia diciptakan. Selain itu, dalam doktrin ini Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus dipandang sebagai tiga persona (hupostasis), masing-masing berbeda satu sama lain, masing-masing memiliki individualitas sendiri-sendiri, namun ketiganya tidak terpisah dan ketiganya memiliki satu hakikat (ousia). Satu hakikat, tiga persona. Tiga persona, satu hakikat.
Sudah jelas, teks Matius 28:19 ini menyebut tiga nama, yakni Bapa, Anak dan Roh Kudus. Tetapi, apakah penyebutan tiga nama ini lantas berarti bahwa teks ini berbicara tentang tritunggal Kristen sebagaimana dirumuskan dalam kekristenan Barat beberapa abad setelah masa kehidupan Yesus? Untuk memahami hubungan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus dalam teks Matius 28 ini tidak ada jalan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan selain memeriksa seluruh Injil Matius sendiri.
Berbeda dari doktrin tentang tritunggal ilahi, dalam Injil Matius sama sekali tidak dijumpai gagasan bahwa Yesus Kristus memiliki pra-eksistensi. Lain halnya dengan Injil Yohanes yang dibuka dengan suatu pernyataan tentang pra-eksistensi sang Firman (ho logos) (Yohanes 1:1-3), yang masuk ke dalam sejarah insani dengan “menjadi daging” (kai ho logos sarks egeneto) (Yohanes 1:14). Orang Kristen sering dengan semberono menyamakan gagasan tentang pra-eksistensi Yesus Kristus dalam prolog Injil Yohanes dengan doktrin tentang kelahiran Yesus dari perawan Maria. Sesungguhnya, gagasan tentang perawan Maria yang “mengandung dari Roh Kudus” dalam Matius 1:18, 20 sama sekali bukan sebuah gagasan yang mau menyatakan bahwa Yesus Kristus memiliki pra-eksistensi, melainkan bahwa di dalam dan melalui bayi Yesus yang dikandung Maria, Roh Allah kembali berprakarsa mencipta, sama seperti ketika Roh Allah ini dulu, “pada mulanya”, “melayang-layang di atas permukaan air” ketika Roh ini memulai penciptaan langit dan bumi (Kejadian 1:1-2). Dulu Allah mencipta langit dan bumi; dan sekarang, dalam pandangan Matius, Allah mencipta Yesus Kristus. Bagi Matius, di dalam dan melalui Yesus Kristus, Allah sedang menciptakan suatu umat yang baru, yang di dalamnya Allah senantiasa hadir dan menyertai sebagai Imanuel (Matius 1:23; 18:23; 28:20).
Dalam Injil Matius, sama sekali tidak ditemukan istilah “hakikat” (ousia) dan istilah “persona” (hupostasis) untuk menggambarkan kesatuan, pembedaan dan hubungan antara Allah, Yesus Kristus dan Roh Kudus, seperti yang dipakai dalam formulasi doktrin Kristen ortodoks tentang tritunggal ilahi.
Roh Kudus yang membuat Maria mengandung, dalam pandangan Matius, tentu saja bukan Oknum atau Persona Ketiga dalam doktrin tritunggal ilahi, melainkan Roh Allah dalam pengertian yang umum, bahwa Allah itu roh adanya. Untuk menyatakan hal yang sama, penulis Injil Lukas menulis bahwa ke atas perawan Maria “Roh Kudus akan turun” sehingga anak yang akan dilahirkannya akan menjadi Anak Allah, yakni anak yang kudus (Lukas 1:35). Roh Kudus yang turun ke atas perawan Maria ini sama dengan Roh Allah yang “seperti burung merpati turun” ke atas Yesus pada waktu dia sudah dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Matius 3:16). Turunnya Roh Allah ke atas Yesus menjadikannya Anak yang dikasihi dan diperkenan Allah, sebagaimana dinyatakan oleh suara Allah sendiri dari langit (Matius 3:17; bdk 17:5; 12:18). Pada peristiwa pembaptisan Yesus ini, sama sekali tidak ada tiga Persona ilahi dalam tritunggal ilahi yang terlibat, tidak seperti biasanya ditafsir dengan paksa oleh para dogmatikus Kristen untuk teks ini berbicara demikian: Allah Bapa berbicara dari langit, Allah Anak dibaptis, Allah Roh Kudus mengambil wujud seekor burung merpati!
Roh Allah ini jugalah yang membawa Yesus ke padang gurun untuk dicobai Iblis (Matius 4:1). Roh ini jugalah yang memberinya kuasa untuk mengusir setan (Matius 12:28). Seperti dipersaksikan Yohanes Pembaptis, Roh ini jugalah yang akan tersalur lewat Yesus kepada orang yang menerima baptisan darinya (Matius 3:11). Roh Allah ini jugalah yang berbicara di dalam dan melalui murid-murid Yesus yang juga memanggil Allah sebagai Bapa mereka (Matius 10:20; bdk. Matius 6:9). Bahkan dalam pandangan Matius, Roh Kudus ini lebih besar dan lebih tinggi peringkatnya dari Yesus sehingga dosa terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni, sedangkan dosa terhadap Yesus Kristus akan diampuni (12:31). Jadi, Roh Kudus dalam pandangan penulis Injil Matius sama sekali bukan Persona Ketiga dalam doktrin tritunggal ilahi.
Begitu juga, bagi penulis Injil Matius, Yesus bukanlah Persona Kedua, yakni Allah Anak, dalam doktrin tritunggal ilahi, tetapi dia dilantik (atau diadopsi) oleh Allah menjadi Anak Allah pada waktu dia dibaptis oleh Yohanes Pembaptis melalui “turunnya” Roh Allah ke atas Yesus (Matius 3:16). Tentu saja, Allah yang melantik lebih tinggi kedudukannya dari Yesus yang dilantik. Meskipun dinyatakan ada pengenalan timbal balik yang mendalam antara Yesus sebagai Anak Allah dan Allah sebagai Bapanya, namun juga dinyatakan bahwa Allah sebagai Bapa Yesus Kristus adalah Allah yang menyerahkan segala sesuatu (“semua”) kepada Yesus (Matius 11:27). Pernyataan Matius ini mau menegaskan bahwa pemilik semula segala sesuatunya, atau “segala kuasa” (Matius 28:18), adalah Allah, Bapa Yesus Kristus, bukan Yesus sebagai Anak-Nya. Maksud penulis Injil Matius di sini sangat jelas: Allah sebagai sang Bapa lebih tinggi kedudukan-Nya dari Yesus, dan Yesus memiliki kuasa ilahi atau “segala kuasa” karena Allah memberikannya kepadanya. Yang memberi kuasa tentu saja lebih tinggi kedudukannya dari yang diberi kuasa. Jauh dari benak Matius, seorang penulis Yahudi yang menganut monoteisme, untuk berpikir bahwa Allah dan Yesus sehakikat. Yesus dalam Injil Matius bukanlah Allah Anak, tetapi Anak Allah yang memanggil Allah yang ada di surga bukan sebagai “Allah Bapa”, tetapi sebagai Bapanya atau “Bapaku” (Matius 7:21; 10:32, 33; 12:50; 15:13; 16:17; 18:10, 19, 35; 25:34; 26:39, 42). Sudah ditulis di atas, bagi Yesus, Allah sebagai Bapanya adalah juga Bapa bagi murid-muridnya, dan mereka juga dimintanya untuk memanggil Allah sebagai Bapa mereka (Matius 6:6, 9, 14, 26).
Ada keterpisahan antara Allah sang Bapa dan Yesus Kristus sendiri sebagai Anak Allah: pada waktu Yesus menanggung azab dan kesengsaraan di kayu salib, dia berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46). Bukankah Allah bisa meninggalkan Yesus kalau ada keterpisahan di antara keduanya? Ada banyak apologet Kristen menyatakan bahwa ucapan Yesus ketika dia ditelantarkan Allah ini tidak menyatakan keterpisahan keduanya, melainkan ucapan yang mau menonjolkan sisi lemah kemanusiaan Yesus, bukan sisi kuat keilahiannya. Para apologet Kristen ini sama sekali salah, sebab dalam Injil Matius sama sekali tidak ada doktrin tentang dua tabiat/kodrat Yesus, bahwa Yesus Kristus itu “sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya insani” di mana kemanusiaan dan keilahiannya bekerja bergantian, suatu doktrin yang juga diformulasikan beberapa abad setelah kehidupan Yesus!
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan penulis Injil Matius, Allah sebagai sang Bapa Yesus Kristus lebih tinggi kedudukan-Nya dibanding Yesus sendiri, dan antara keduanya ada keterpisahan meskipun hubungan antara keduanya begitu mendalam dan intim. Allah dalam pandangan penulis Injil Matius bukanlah Oknum atau Persona Pertama dalam tritunggal ilahi, melainkan sebagai Allah Yang Maha Esa (lihat Matius 19:17; bdk. Markus 10:18) yang melantik dan mengadopsi Yesus sebagai Anak-Nya. Begitu juga, dalam Injil Matius, Roh Kudus adalah Roh Allah dalam pengertian umum, dan Roh ini sebagai Roh Allah berkedudukan lebih tinggi dari Yesus Kristus, konsisten dengan status dan kedudukannya yang tidak sederajat dengan Allah sebagai Bapanya. Dengan demikian, teks Matius 28:19 sama sekali tidak berbicara tentang Allah, Yesus Kristus dan Roh Kudus dalam pengertian yang terdapat dalam doktrin tritunggal Kristen ortodoks.
Lebih jauh, kalau kita perhatikan konteks naratifnya, Matius 28:18-20 adalah ucapan Yesus Kristus yang sudah dibangkitkan, bukan ucapan Yesus yang masih dalam tubuh insaninya, Yesus dari Nazaret. Yesus yang sudah dibangkitkan hanya bisa berbicara melalui mulut gerejanya sebagai ilham. Dengan demikian, ucapan dalam perikop Matius ini adalah ucapan komunitas gerejawi Matius sendiri yang ditempatkan pada mulut Yesus. Yesus dari Nazaret tidak pernah meminta gerejanya membaptis dalam tiga nama: Bapa, Anak dan Roh Kudus. Pendapat Matius (yang menulis injilnya pada tahun 85) bahwa Yesus yang sudah bangkit dapat disentuh bahkan kakinya dapat dirangkul (Matius 28:9b) dipandang tidak tepat oleh penulis Injil Yohanes (tahun 100) dan karena itu dia memperbaikinya dengan melukiskan Yesus yang sudah bangkit tidak tersentuh atau tidak dapat disentuh sekalipun oleh Maria Magdalena (lihat Yohanes 17:20).