Sunday, August 16, 2009

Ada Dua Gunung Sinai?

Menurut tuturan kitab Keluaran (19-20; 24:12-18; 31:18), Nabi Musa konon pernah berjumpa dan bercakap-cakap dengan Allah berhadapan muka di Gunung Sinai. Di atas gunung itu, konon Allah, di tengah “guruh dan kilat dan awan padat di atas gunung dan bunyi sangkakala yang sangat keras” (19:16; 20:18), dengan jari-Nya sendiri menuliskan Sepuluh Perintah (Keluaran 20:1-17) pada dua loh batu sebelah menyebelah (31:18; 32:15-16) yang lalu diberikan kepada Musa “untuk diajarkan kepada bangsa Israel” (24:12). Karena Musa berlama-lama di atas gunung itu, konon sampai 40 hari 40 malam (24:18), bangsa Israel pun tak sabar lagi menunggunya, lalu mereka membangun sebuah patung anak lembu dari emas tuangan dan merekapun menari-nari di hadapan patung ini dan mempersembahkan kurban kepadanya (Keluaran 32). Ketika Musa telah turun dari gunung itu dan mendapati mereka telah murtad, bangkitlah amarah Musa dan dia pun melemparkan kedua loh batu itu dan dipecahkannya pada kaki gunung itu (32:19). Kemudian, atas perintah Tuhan, Musa memahat dua loh batu baru yang sama dengan yang sudah dihancurkannya, lalu Tuhan menulis segala firman yang telah disampaikan-Nya sebelumnya pada dua loh batu yang baru itu (34:1).

Nah, berdasarkan catatan-catatan skriptural di atas, bangsa Israel dan umat Kristen di seluruh dunia sekarang memandang Gunung Sinai sebagai gunung yang kudus. Dalam setiap acara wisata ke tanah Israel, yang dikenal sebagai
holy land tour, wisata ke tanah suci, para wisatawan pasti dibawa ke Gunung Sinai sebagai bagian dari rangkaian acara wisata ini, yang keseluruhan biayanya cukup mahal, sekitar Rp 30 juta per orang, dan karena itu tentu saja cepat menambah cadangan devisa negara Mesir, Israel dan Yordania sekarang ini.

Nah, ada 2 tempat yang dapat diklaim sebagai Gunung Sinai asli, yang ke atasnya dulu Musa konon pernah naik dan konon di sana berjumpa dengan Allah. Yang pertama adalah gunung yang terletak di Semenanjung Sinai di Mesir (lihat gambar di sudut kiri atas). Tinggi gunung ini sekitar 7500 kaki, salah satu tempat tertinggi di Mesir. Di dasar gunung ini berdiri Biara Santa Katherina, dan pada puncaknya ada sebuah kapel kecil tempat orang dapat berdoa. Untuk sampai ke puncak gunung ini diperlukan waktu kurang lebih 3 jam pendakian, dan ketika hampir tiba di puncak gunung ini para pendaki biasanya tambah bersemangat untuk segera tiba di titik finis dengan terlebih dulu harus melewati 4000 anak tangga. Jika orang mau menyaksikan matahari terbit dari puncak gunung ini, dia harus mendakinya beberapa jam sebelum fajar tiba. Tetapi, sungguhkah ini gunung yang asli, yang Musa pernah daki?


Gunung kedua yang juga dapat diklaim sebagai gunung Sinai asli adalah sebuah gunung yang terletak di Saudi Arabia yang bernama Jebel El Lawz, Gunung Taurat (lihat gambar kiri bawah). Lokasi gunung ini ditetapkan berdasarkan sebuah catatan dalam Galatia 4:25, “Hagar ialah gunung Sinai di tanah Arab,” di daerah orang Midian. Alasan lain bahwa gunung ini adalah gunung Sinai asli adalah bahwa gunung ini lebih mudah dicapai kalau rute keluaran ditelusuri, mulai dari Mesir lalu bergerak ke Laut Merah dan menyeberangi Teluk Aqaba.

Yang sebetulnya ingin saya persoalkan bukanlah perihal mana gunung Sinai asli yang pernah didaki Musa dulu. Melainkan, apakah memang Musa dulu pernah bertemu berhadapan muka betulan secara material dengan Allah dan bercakap-cakap dengan-Nya di sebuah gunung seperti dituturkan kitab Keluaran? Apakah memang Sepuluh Perintah ditulis langsung oleh Allah sendiri dalam semalam dengan jari-Nya di atas dua loh batu yang lalu diberikan-Nya kepada Musa?


Hemat saya, bisa saja Nabi Musa dulu pernah menyepi ke suatu tempat sunyi di dataran tinggi untuk merenung dan mendekatkan diri kepada realitas adikodrati yang orang Yahudi namakan Elohim (=Allah) atau YHWH (=TUHAN), sama seperti juga konon dilakukan Yesus pada awal karirnya sebagai seorang nabi (lihat Matius 4:1-11). Bisa saja, Musa, sebagai seorang pemimpin umat Ibrani pada tahap awal kelahiran mereka sebagai suatu bangsa, memerlukan wangsit dan wahyu ilahi yang bisa diterapkan dalam penataan kehidupan masyarakat Ibrani kuno, dan untuk mendapatkan yang dicarinya dia perlu menyepi ke sebuah gunung tinggi dan berpuasa di sana selama 40 hari 40 malam, lalu mendapatkan berbagai penglihatan.
Perjumpaan Musa berhadapan wajah dengan Allah tentu saja tidak pernah terjadi secara material.

Tetapi, saya dapati diri saya sangat sulit menerima sebagai fakta sejarah bahwa Sepuluh Hukum Allah (yang dimuat dalam Keluaran 20:1-7; par. Ulangan 5:1-21) langsung ditulis oleh jari-jemari Allah pada dua loh batu sebelah-menyebelah dalam semalam ketika guruh, kilat, asap dan suara bising memekikkan telinga melanda kawasan Gunung Sinai, seperti digambarkan dalam sebuah film hebat
The Ten Commandments yang dulu pernah saya tonton.

Saya, bersama dengan banyak ahli tafsir kritis lainnya, condong memahami narasi tentang kelahiran dan pemberian Sepuluh Hukum Allah sebagaimana dituturkan dalam kitab Keluaran sebagai sebuah mitos yang ditulis untuk memberi landasan dan legitimasi ilahi atas nilai-nilai sosio-religius politis yang, dalam jangka waktu panjang, telah berhasil dikristalisasi dalam Sepuluh Hukum Allah. Artinya: Sepuluh Hukum ini tidak dirumuskan dan ditulis dalam semalam oleh tangan Allah, melainkan merupakan kristalisasi nilai-nilai sosio-religius politis yang telah lama muncul, berkembang dan diterapkan oleh bangsa Ibrani dalam perjalanan mereka sebagai suatu bangsa.


Ihwalnya sama dengan seorang pujangga Indonesia yang, bayangkanlah, ingin menulis sebuah mitos tentang Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai sosio-religius dan politis yang telah dilahirkan, dikembangkan dan diterapkan bangsa Indonesia dalam perjalanan panjang bangsa ini sejak zaman penjajahan sampai masa kemerdekaan yang diproklamirkan oleh dwitunggal Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.

Pujangga itu lalu menulis sebuah mitos bahwa Soekarno dan Hatta konon pada suatu waktu menjelang kemerdekaan Indonesia dipanggil, entah bagaimana caranya, oleh Allah YME untuk naik ke puncak Gunung Semeru di Jawa Timur. Di puncak gunung ini mereka berdua (seperti Musa dan Harun/Yosua dalam kitab Keluaran), setelah berpuasa 40 hari 40 malam, menerima sebuah loh batu yang di atasnya ditulis oleh tangan Allah sendiri dalam satu malam lima sila dari Pancasila, untuk diajarkan kepada bangsa Indonesia sebagai dasar negara dan prinsip-prinsip penataan kehidupan masyarakat dan bangsa.

Dengan mitos ini, Pancasila, karena ditulis dalam semalam oleh tangan Allah sendiri, diberi landasan dan legitimasi ilahi sehingga tidak boleh diganggugugat apalagi diganti dengan ideologi-ideologi lain, sementara faktanya lima prinsip dalam Pancasila adalah kristalisasi dari berbagai nilai yang telah lama lahir, berkembang dan dipakai bangsa Indonesia. Kalau mitos ini sudah ditulis dan berhasil dipercayai dunia, tidak mustahil Gunung Semeru juga bisa kita jadikan gunung yang kudus, yang perlu dikunjungi semua orang dari seluruh dunia sehingga akan menambah cadangan devisa negara kita.


Sayangnya, tidak ada seorangpun pujangga Indonesia yang telah benar-benar menyusun mitos semacam ini, sehingga Pancasila sekarang sudah kehilangan kewibawaannya dan di sana-sini telah diganti dengan ideologi-ideologi dan perda-perda yang bernafaskan syariat Islam. “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai bunyi sila pertama Pancasila asli sekarang telah berganti bunyinya menjadi “Ketuhanan Yang Terpecah Belah”!