Saturday, April 17, 2010

Problem Teodise (4):
Penderitaan Timbul Karena Dosa Manusia

Mengapa manusia, bahkan manusia yang sangat saleh, menderita dalam dunia ini kendatipun ada Allah yang dipercaya maha kasih, maha adil, dan maha kuasa? Jawaban yang keempat adalah: penderitaan itu dialami manusia sebagai suatu hukuman Allah atas dosa manusia. Karena manusia berdosa, maka Allah menghukum manusia dengan menimpakan kepadanya penderitaan dalam berbagai bentuk dan dalam berbagai tingkatan. Jadi di sini, penderitaan dipahami berasal dari suatu allah penghukum.

Bahtera Nuh dan bianglala:
allah penyelamat sekaligus allah penghukum!


Kita semua tahu mitos tentang banjir besar atau air bah yang melanda seluruh bumi pada zaman Nabi Nuh. Bacalah sekali lagi Kejadian 7-9. Sebelum air bah ini didatangkan, Allah konon berkata kepada Nuh, demikian, “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi” (Kejadian 6:13). Bayangkan, semua makhluk telah melakukan tindakan dosa berupa kekerasan! Karena dosa berbuat kekerasan ini, semua makhluk mau dilenyapkan sang allah penghukum ini, bahkan sang Allah pemurka ini juga mau melenyapkan bumi! Penderitaan yang membinasakan ini ditimpakan oleh Allah kepada semua makhluk, bukan hanya kepada manusia, dan bahkan kepada bumi yang sebetulnya sebagai sebuah benda mati tidak bisa berbuat dosa. Di seluruh Alkitab, tidak ada kisah lain yang mendongengkan pembinasaan yang sekejam ini oleh Allah atau yang lebih kejam dari yang ditimpakan kepada generasi Nuh. Lupakan Nuh yang katanya sangat saleh; fokuskan pikiran pada segala makhluk dan bumi yang segera mau dibinasakan allah! Yang dibinasakan dan dihukum mati oleh allah jauh, jauh lebih banyak daripada yang diselamatkan!

Kita tidak boleh berkata, ya kan sudah pantas kalau Allah menghukum segenap manusia, bahkan segenap makhluk, karena semua makhluk ini, kecuali Nuh, sudah berbuat dosa! Mengapa kita tidak boleh berkata seperti itu? Mengapa kita tidak boleh mempertahankan teodise dengan memandang penderitaan manusia sebagai sesuatu yang timbul karena dosa manusia terhadap allah? Ada tiga alasannya.


Pertama, kalau Allah itu memang maha pengasih (seperti dipertahankan dalam teodise), maka Allah ini juga harus mengasihi manusia yang berdosa, bukan membinasakannya. Juga, kalau Allah maha adil, dia harus memberi peluang pada manusia berdosa untuk berubah menjadi baik, sebab keadilan Allah juga mengharuskan Allah menyelidiki segala penyebab yang membuat manusia berbuat dosa, dan menangani penyebab-penyebab ini sebagai akar yang menyebabkan manusia berbuat dosa.


Kedua, dengan berkata seperti itu, kita akan memandang semua orang yang terkena bencana dan penderitaan sebagai manusia berdosa atau manusia durhaka, padahal banyak penderitaan dan bencana dialami manusia di dunia ini bukan karena kesalahan manusia itu sendiri, melainkan karena sebab-sebab lain yang berada di luar kekuasaan mereka untuk mengelakkannya, misalnya karena kecelakaan atau bencana alam yang dahsyat yang menimpa baik orang yang saleh maupun orang yang tidak saleh, atau karena perbuatan jahat orang lain.


Ketiga, kalau kita berpandangan seperti itu, maka kita akan mempertahankan terus konsep tentang suatu allah yang kejam dan penghukum. Konsep tentang Allah yang kejam dan penghukum ini sudah tidak sesuai dengan filsafat pendidikan modern dan psikologi pembangunan mental manusia. Dalam pandangan modern, seorang yang bersalah atau berdosa, dalam peringkat relatif tinggi atau peringkat relatif rendah, bukan harus dibinasakan atau dibunuh melalui penghukuman mati, melainkan harus di-re-edukasi, di-re-formasi, lalu diresosialisasi. Kita dulu menyebut penjara, sekarang tidak lagi, melainkan menyebutnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus sebagai suatu tempat untuk reedukasi, reformasi dan resosialisasi manusia yang melanggar norma-norma umum hidup bermasyarakat yang beradab.


Jadi, mempertahankan teodise dengan mengasalkan penderitaan manusia pada diri suatu allah penghukum atas manusia yang berdosa, menimbulkan persoalan serius pada konsep manusia tentang allah. Dalam teodise yang semacam ini, allah menjadi allah penghukum, dan allah yang semacam ini jauh kalah baik jika dibandingkan manusia modern yang mau melakukan reedukasi, reformasi lalu resosialisasi terhadap warga masyarakat yang sudah menyimpang dari kaidah-kaidah bermasyarakat yang beradab.


Jelas, kita sulit menerima konsep tentang suatu allah penghukum dan pembinasa manusia yang berdosa. Allah yang semacam ini lebih banyak dikonsep oleh manusia primitif yang belum mengenal filsafat pendidikan humanistis dan psikologi modern pembangunan mental dan akhlak manusia.