Friday, November 6, 2009

Manajemen Pikiran (4)

meditasi, pikiran dan jagat raya

Alam di planet Bumi dan planetnya sendiri adalah salah satu manifestasi dari alam raya maha besar tak terbatas. Kekuatan-kekuatan alam dan hukum-hukumnya yang tampak dan bekerja di planet Bumi adalah bagian dari kekuatan dan hukum alam yang memenuhi dan bekerja di alam semesta maha besar dan maha tak terbatas. Kemahabesaran dan kemahatakterbatasan alam raya adalah bagian dari sifat alam raya itu sendiri. Nah, bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap alam raya mahabesar dan mahatakterbatas ini? Karena sikap dan perilaku terhadap alam dilahirkan dari pikiran, maka sikap dan perilaku yang benar terhadap alam ditentukan oleh pikiran yang benar tentang alam itu sendiri.

Dalam tulisan sebelumnya telah dianjurkan untuk manusia mengendalikan pikirannya untuk senantiasa selaras dengan alam, kekuatan dan hukum-hukumnya, baik ketika alam mendatangkan kebaikan bagi manusia maupun ketika alam menimbulkan malapetaka dan bencana kepada manusia. Kalau seseorang berpikir selaras dengan mekanisme kerja alam dalam segala situasi alam, orang itu akan merasakan batinnya tenteram dan pikirannya tenang dan akan meneruskan suasana batin dan keadaan pikirannya yang semacam ini kepada lingkungan kehidupan sekitarnya.

Ada hal-hal lain yang ditimbulkan oleh pemikiran yang selaras dengan alam. Berpikir selaras dengan alam akan memampukan orang untuk mengambil suatu sikap reverensial terhadap alam, yakni sikap respek, hormat, takjub dan gentar terhadap alam yang mahabesar dan mahatakterbatas. Sikap semacam ini membuat orang mengambil jarak terhadap alam dan tidak bertindak sembarangan terhadapnya. Sikap ini membuat orang mampu melihat suatu aura kesucian, a sacred quality, terpancar dari alam, yang diterima dan dirasakannya serta berpengaruh besar terhadap dirinya pribadi. Jika terhadap alam yang mahaluas dan mahatakterbatas ini seorang manusia dapat memberi sikap reverensial semacam ini, maka akan sangat lebih dimudahkan baginya untuk dia juga dapat membangun suatu sikap reverensial terhadap semua makhluk hidup lainnya, khususnya terhadap sesama manusia dalam masyarakatnya.

Dengan terus-menerus melatih berpikir dan bersikap reverensial terhadap alam, orang akan terus-menerus dimampukan untuk hidup berdamai dengan sesamanya dan dengan lingkungan kehidupan kulturalnya. Dengan teratur dan rajin bermeditasi untuk melatih menyelaraskan detak jantung, aliran pernafasan, aliran darah dan aliran pikiran dengan kekuatan dan mekanisme kerja dan detak alam yang menyelimutinya sebagai suatu aura kesucian, seorang pemeditasi melatih mentalnya untuk membangun suatu sikap reverensial terhadap alam dan terhadap sesama manusia dan terhadap semua makhluk.


Orang sering salah berpikir bahwa dengan membangun suatu sikap reverensial terhadap alam, orang akan menjadi pasif terhadap alam dan tidak berani mengeksplorasi alam, dan akibatnya ilmu pengetahuan manusia tentang alam tidak akan berkembang dan pada gilirannya manusia tidak akan menerima lebih banyak hal berguna dari alam. Saya ingin tegaskan bahwa ini adalah suatu pikiran yang keliru. Kekeliruan berpikir ini timbul tidak sedikit karena suatu ajaran agama yang salah atau tidak lengkap. Orang beragama pada umumnya senantiasa diajarkan untuk membangun suatu sikap reverensial total terhadap suatu “allah” yang mahakuasa. Tentu pada satu pihak ajaran ini mengandung suatu kebenaran khususnya dalam rangka membentuk suatu religious attitude, suatu sikap keagamaan. Tetapi pada pihak lain ajaran ini sering disampaikan dengan tidak lengkap.


Dalam suatu kisah suci Yahudi Nabi Musa konon diperintahkan untuk jangan mendekati teofani ilahi yang berupa “semak duri yang bernyala tetapi tidak terbakar” (Keluaran 3:1-5). Ketika Nabi Musa bermaksud untuk “memeriksa” atau “melihat”, mengeksplorasi, teofani di Gunung Horeb itu dari dekat, keluarlah suatu peringatan ilahi: “Janganlah datang dekat-dekat; tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu adalah tanah yang kudus” (ayat 5). Seperti keyakinan Yahudi ini, kebanyakan agama mengajarkan pemeluknya untuk tidak boleh datang dekat-dekat ke allah yang mereka sembah sebagai allah yang mahabesar dan mahatakterbatas. Dalam banyak ajaran agama-agama, allah yang semacam ini tidak boleh diperiksa dekat-dekat; allah yang semacam ini harus dijaga untuk tetap berada di kawasan kudus yang tidak boleh dimasuki manusia, kawasan suci yang tidak boleh dieksplorasi. Jadi, sikap reverensial dipertahankan kuat-kuat bahkan sampai membuang dan mematikan dorongan eksploratif manusia untuk memeriksa dan meneliti kawasan kudus ini.


Dalam manajemen pikiran yang saya sedang kembangkan, justru orang harus berani berpikir berbeda dari yang lazim dan tradisional. Saya ingin menegaskan bahwa kalau allah memang mahabesar, mahatakterbatas dan mahakudus, maka kemahabesaran, kemahatakterbatasan dan kemahakudusannya ini tersedia justru untuk dieksplorasi oleh manusia tanpa pernah bisa habis dieksplorasi, bukan untuk dijagai dan dilindungi dari segala macam bentuk pengeksplorasian.

Allah apapun tidak akan kehilangan kemahabesaran, kemahatakterbatasan dan kemahakudusannya jika semua ini dieksplorasi manusia yang menyembahnya. Allah yang takut dieksplorasi, atau yang dibentengi oleh para pemuka keagamaan sehingga tidak dapat dieksplorasi, justru bukan lagi allah yang mahabesar, mahatakterbatas dan maha kudus. Jadi, menurut pikiran saya, Nabi Musa sepatutnya waktu itu datang mendekat, sedekat mungkin, untuk mengeksplorasi penampakan ilahi yang dilihatnya. Nabi Musa tetap harus mempertahankan sikap reverensialnya terhadap allah yang dilihatnya karena allah ini bagi orang Yahudi kudus; tetapi sikap reverensial ini harus mendorongnya juga untuk memperlihatkan sikap eksploratifnya.


Sikap reverensial dan kegiatan eksploratif terhadap allah harus tumbuh bersama dalam diri seorang mukmin. Sebesar apapun allah itu, dan sesuci apapun dia itu, kebesaran dan kesucian allah ini tetap sebuah gagasan yang dibuat manusia yang harus terbuka untuk diperiksa dan dieksplorasi lebih jauh. Menabukan eksplorasi, dan hanya mewajibkan sikap reverensial, hanya akan menghasilkan orang beragama yang kurang pengalaman, orang beragama yang tidak cerdas, orang beragama yang tidak berilmu, orang beragama yang tidak kreatif, dan orang beragama yang taat membuta. Keberagamaan semacam ini biasanya akan bermuara pada terorisme. Jika semua orang beragama seperti ini, agama apapun akan mati pada akhirnya setelah agama ini membunuh banyak anak manusia.

Nah, dalam kehidupan beragama, manage-lah pikiran Anda sedemikian rupa sehingga Anda selalu bergairah untuk mengeksplorasi allah Anda sambil tetap mempertahankan sikap reverensial Anda terhadapnya.
Nah, jika dalam dunia keagamaan Anda sudah me-manage pikiran Anda seperti yang saya baru anjurkan, maka Anda sudah dibebaskan dari suatu kendala untuk, selain menaruh respek penuh pada alam, juga untuk mengeksplorasi alam.

Alam yang mahabesar dan mahatakterbatas ini, yang darinya memancar suatu aura kesucian dan enerji kehidupan, tersedia untuk dieksplorasi, bukan untuk didiamkan. Jagat raya mahabesar ini tidak pernah habis untuk dieksplorasi. Dorongan mengeksplorasi alam yang disertai dengan sikap reverensial pada alam akan menghasilkan para ilmuwan dan teknologiwan yang bekerja dengan profesional, namun juga pada waktu yang bersamaan bekerja dengan penuh cinta pada alam. Bekerja dengan wawasan dan semangat serta sikap yang semacam ini akan menghentikan pengeksploitasian alam yang dilakukan manusia hanya demi memuaskan nafsu serakah mereka. Manage-lah pikiran Anda ke arah berpikir semacam ini, terlebih lagi jika Anda adalah para ilmuwan dan teknologiwan yang setiap hari bekerja dan bersentuhan langsung dengan dunia alam.