Friday, February 26, 2010

Manajemen Pikiran (7)

merpati putih, sebuah simbol kesucian

Orang beragama umumnya berpendapat bahwa mereka harus hidup suci sepenuhnya di dalam dunia ini. Dalam keyakinan mereka, mereka harus hidup suci seratus persen di dunia ini supaya nanti menerima pahala surga di alam baka setelah kematian. Atau, mereka mau menjalani suatu kehidupan tak bercacat secara moral di dunia ini karena mereka mau menyenangkan tuhan mereka atau mau menghormati perintah-perintah dan ajaran-ajaran sang nabi junjungan mereka yang dulu telah mendirikan agama yang mereka anut sekarang. Bisa juga, mereka mau menjalani kehidupan tanpa noda dan tanpa kesalahan karena kehidupan semacam ini menjadi suatu citra kehidupan ideal yang serius dikejar untuk dicapai oleh setiap mukmin yang menganut agama yang mereka anut, atau karena mereka ingin menjadi bagian dari kelompok elitis para santo dan santa yang disembah dalam agama mereka.

Tentu keinginan orang beragama untuk menjalani suatu kehidupan yang sepenuhnya suci di dalam dunia ini karena alasan-alasan di atas patut dihargai dan dihormati oleh siapapun. Tetapi, masalahnya adalah ketika seorang beragama manapun yang memiliki cita-cita moral tinggi untuk hidup suci seratus persen dalam dunia ini mendapati dirinya gagal hidup suci sepenuhnya, orang ini bisa tidak mau mengampuni dirinya sendiri dan bisa terus-menerus mempersalahkan dirinya sendiri. Para ahli ilmu jiwa menyatakan bahwa orang yang terus-menerus mempersalahkan dirinya sendiri akan menjadi orang yang tidak pernah bisa berbahagia selama kehidupannya, dan akan menjadi orang yang tidak bisa menghasilkan hal-hal yang baik apapun baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakatnya. Bahkan jika perasaan bersalah ini dibiarkan menumpuk dan akhirnya mendera batin dan pikiran orang ini dengan sangat kuat, orang ini akan bisa sakit jiwa.

Dampak negatif dan menghancurkan semacam ini, yang bisa menimpa seseorang yang memiliki cita-cita moral tinggi untuk menjadi seorang manusia suci sempurna dalam dunia ini, dapat dihindari jika orang ini mau berpikir bahwa hidup suci seratus persen, dengan tanpa cacat moral, adalah sesuatu yang mustahil diwujudkan dan memang tidak diperlukan terjadi. Mengapa demikian? Minimal ada dua alasan.

Pertama, kriteria suci atau tidak sucinya suatu tindakan moral itu relatif, sangat bergantung pada nilai religius dan nilai budaya yang dianut, zaman kehidupan si penganut dan konteks sosial kehidupannya. Agama dan budaya yang berbeda, zaman yang berganti, konteks sosial kehidupan yang berubah, akan menyebabkan kriteria suci dan tidak sucinya suatu perbuatan bergeser, berubah dan berganti. Etika dan moralitas itu selalu kontekstual. “Lain lubuk, lain ikannya”, itu kata peribahasa. Dan juga, “Di mana kita berdiri, di situ langit dijunjung.” Di era globalisasi sekarang ini, dengan ancaman-ancaman global yang harus dihadapi bersama oleh seluruh penduduk dunia, orang di mana-mana mengupayakan dicapainya suatu kesepakatan global mengenai nilai-nilai etis moral yang perlu dipertahankan dan diwujudkan oleh umat manusia sedunia. Kendatipun demikian, nyatanya globalisasi sekarang ini menimbulkan banyak reaksi dan perlawanan dari masyarakat lokal, berupa makin menguatnya nilai-nilai religius dan budaya lokal.

Kedua, manusia itu sejak dulu, beragama atau tidak beragama, selalu harus belajar ketika mau mencapai kemajuan. Ketika manusia belajar, manusia harus melakukan uji coba ini dan itu. Ketika melakukan uji coba, manusia kerap mengalami kegagalan. Nah, dari kegagalan ini, manusia dapat belajar sesuatu yang berharga untuk dia dapat melangkah lebih jauh dengan lebih arif dan dengan pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Jadi, kesalahan atau kegagalan adalah juga guru yang baik bagi manusia yang mau terus belajar dan berkembang.

Melalui kesalahan moral yang direnungkan, manusia belajar sesuatu dan ini akan bisa membuatnya maju lebih jauh lagi dalam prestasi moralnya. Begitu juga, melalui percobaan ilmiah yang gagal, manusia juga bisa melangkah lebih maju lagi dalam pengembangan teori sains dan teknologi ketika kegagalan percobaan ini dipelajari lebih lanjut dengan saksama.

Jadi, kegagalan moral untuk hidup suci atau kegagalan percobaan di bidang sains dan teknologi adalah pengalaman-pengalaman berharga yang perlu diterima dengan lega, wajar dan terbuka oleh manusia yang mau belajar. Kesalahan dan kegagalan ini harus dijadikan sebagai sebuah pelajaran untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, berapapun besarnya ongkos yang harus dibayar untuknya.

Jadi perlu ditegaskan bahwa orang yang berpikir benar dan terbuka pada kehidupan akan melihat setiap kegagalan sebagai bagian yang wajar dari kehidupannya dan malah sebagai sesuatu yang edukatif, dan karenanya orang itu tidak akan menangisi kegagalannya dalam rasa sesal yang tidak pernah berakhir. Jika demikian halnya, demi kesehatan jiwanya, orang beragama apapun tidak perlu bercita-cita untuk menjadi tokoh moral teragung tanpa noda di antara umatnya, melainkan perlu bersedia sepenuh hati untuk terus belajar baik dari keberhasilannya maupun dari kegagalannya, dan lewat proses pembelajaran ini dapat menjadi manusia yang semakin bijak dan dewasa dalam berpikir dan bertindak. Insan kamil adalah manusia yang dengan rendah hati mau terus belajar.

Saturday, February 13, 2010

Dua Bahaya dalam Menafsir Yesus dari Nazaret

Ada minimal dua bahaya yang harus disadari dan dihindari ketika orang mau menafsir Yesus dan menjalankan hermeneutik.

Pertama, bahaya mengfungsikan sebuah mesin tik manual produksi kota Nazaret abad I sebagai sebuah mesin komputer pribadi (PC) mutakhir abad XXI made in Microsoft. Maksud metafora ini: alam pemikiran kuno yang sudah sangat ketinggalan zaman, alam pemikiran pra-modern dan pra-ilmiah, dipindahkan begitu saja ke zaman modern abad XXI dan dipakai untuk kehidupan manusia dalam zaman modern ini. Ya, hasilnya adalah sesosok Yesus berpakaian Superman yang tampak bingung dan stres, dengan rambut awut-awutan; atau sesosok Yesus yang berubah wajah menjadi berwajah Bill Gates tetapi memakai jubah lusuh abad pertama dan kasut kuno buatan Kapernaum yang sudah rusak; atau sesosok Yesus yang terkesima dan bingung ketika berada di dalam suatu kereta listrik modern.

Kedua, bahaya membawa sebuah PC mutakhir abad XXI ke kota kecil Nazaret zaman Yesus dan di kota ini mesin komputer modern ini dipaksa dipakai kendatipun listrik belum ada. Maksud metafora ini: alam pemikiran modern dipaksakan diterima oleh Yesus yang sedang memancing ikan di Danau Genesaret di Galilea. Hasilnya adalah Yesus berpikir bahwa kotak CPU adalah tabut Allah yang ada dalam bait allah; atau, Bill Gates-nya menjadi sangat bingung ngapain dia berada di Nazaret, berjas necis, bersepatu Clarks, datang jauh-jauh dengan memakai mesin waktu ke negeri Yesus dengan membawa seperangkat PC modern.

Untuk menghindari kedua bahaya ini (yang juga disebut sebagai bahaya anakronisme pemikiran), ya tidak ada jalan lain selain si penafsir modern, pertama, menjelma menjadi seorang manusia Yahudi abad pertama yang diam di Nazaret dan sedekat mungkin hidup seperti Yesus dan murid-muridnya. Untuk bisa menjelma seperti ini, si penafsir harus memakai antropologi budaya, sosiologi, arkeologi Galilea, ilmu sejarah, dan kritik sastra, sebagai “mesin waktu” yang membawanya masuk ke dunia Yesus abad pertama.

Lalu, sebagai langkah kedua, ketika si penafsir sudah balik kembali ke abad XXI, zamannya sendiri, dia harus bersikap kritis dan kreatif terhadap segala hal yang dia telah temukan selama dia menjelma sebagai seorang Yahudi abad pertama. Dia harus memperhadapkan hasil temuannya tentang dunia Yahudi abad pertama dengan sains modern, nilai-nilai modern serta pengalaman kehidupan modern dan bertanya apakah temuannya itu relevan atau tidak relevan dengan kehidupan modern. Jika dia menemukan relevan, ya temuannya ini dapat dipakai; jika dia mendapati tidak relevan, ya temuannya harus disingkirkan, di tempatkan di museum.

Dua langkah inilah yang disebut sebagai hermeneutik.



Friday, February 5, 2010

Sains dan Agama, atau Sains versus Agama?

Science Versus Religion

(Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo, Jumat, 5 Februari 2010; klik di sini untuk melihatnya)

Agama mengasalkan segala sesuatu dalam alam ini pada satu (atau lebih) figur adikodrati yang oleh orang beragama di Indonesia dinamakan “tuhan” atau “allah” atau “dewa” yang tidak kelihatan. Figur ini dibayangkan berdiam di kawasan adikodrati yang dinamakan surga, langit, atau kayangan, dan dipercaya kerap berintervensi ke dalam alam (nature) dengan melanggar hukum alam (the laws of nature, atau natural laws), dan menghasilkan apa yang dinamakan mukjizat.

Sains sebaliknya mengasalkan segala sesuatu dalam alam ini pada diri alam itu sendiri. Sains menolak keberadaan dunia adikodrati (supernatural world) dan hanya menerima keberadaan dunia kodrati (natural world). Sains menjelaskan segala sesuatu berdasarkan hukum sebab-akibat alamiah yang bisa diobservasi, diselidiki, dijelaskan dengan rasional dan sistematis, serta diperlihatkan dengan empiris dan obyektif. Sains memandang hukum alam sebagai hukum yang abadi dan kerja hukum alam ini dipandang tidak bisa diintervensi secara alamiah oleh makhluk apa pun. Teknologi tidak bisa membatalkan hukum alam, sebab teknologi dibangun dengan mengikuti kerja hukum alam dan banyak di antaranya ditemukan karena manusia mau belajar dari alam dan hukum-hukumnya. Teknologi rekayasa genetik yang sekarang sudah dioperasikan juga tidak melanggar hukum alam.

Agama dibangun di atas sebuah (atau lebih) dogma keagamaan yang diformulasikan bukan dengan cara ilmiah, melainkan berdasarkan kepercayaan atau iman saja. Isi iman keagamaan tidak bisa dibuktikan secara empiris obyektif tetapi diterima begitu saja sebagai kebenaran. Jika seseorang ingin diterima ke dalam suatu komunitas keagamaan, orang ini harus bersedia memutuskan dalam dirinya sendiri (keputusan subyektif) bahwa apa yang diajarkan dan dipegang komunitas ini sebagai dogma adalah suatu kebenaran, tanpa boleh mempertanyakannya.

Sains sebaliknya tidak bekerja berdasarkan suatu dogma keagamaan apa pun, melainkan berdasarkan postulat-postulat atau teori-teori yang dibangun secara rasional dan dilahirkan dari sekian upaya observasi, penelitian, sistematisasi, pembuktian, dan uji coba yang empiris. Observasi dan uji coba ini terus-menerus berlangsung sehingga suatu teori atau suatu postulat bisa digugurkan, lalu akan disusun teori dan postulat baru, demikian seterusnya. Kebenaran sains harus obyektif, tidak bisa subyektif menurut selera si ilmuwan, terlepas dari bukti empiris.

Agama tidak memerlukan laboratorium uji coba, observasi, dan eksperimentasi, karena agama dibangun hanya berdasarkan kepercayaan pada wahyu ilahi yang dulu diterima dan disebarkan si pendiri agama. Wahyu ini hanya tinggal diterima oleh umat dengan kepercayaan penuh sebagai sesuatu yang otoritatif untuk seluruh bidang kehidupan. Dari wahyu primordial ini diturunkanlah berbagai akidah keagamaan yang harus dipercaya dan ritual religius yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari umat.

Sains sebaliknya memerlukan laboratorium untuk observasi, penyelidikan, uji coba, dan eksperimentasi. Kepercayaan membuta tidak mendapat tempat dalam pengembangan sains. Sains modern sudah sangat terspesifikasi sehingga tidak ada satu cabang ilmu modern pun yang dapat mengklaim bisa menjelaskan atau berkuasa atas seluruh bidang kehidupan. Para ilmuwan modern sekarang harus bisa bekerja secara interdisipliner dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban.

Agama tidak memberi tempat kepada keraguan terhadap dogma-dogma yang dibangun dalam sejarah umat dan khususnya terhadap wahyu ilahi yang diterima sang pendiri agama dulu, yang dipercaya terekam dalam Kitab Suci. Jika seorang anggota suatu komunitas keagamaan ragu terhadap otoritas wahyu ilahi atau suatu dogma keagamaan, orang ini akhirnya akan dinyatakan sebagai bidah, lalu diekskomunikasi. Dialog dengan para bidah sama sekali tidak dimungkinkan.

Sains sebaliknya justru bisa dikembangkan dari waktu ke waktu, karena sains menerima dan mendialogkan dengan serius keraguan terhadap teori-teori atau postulat-postulat yang sudah diterima secara luas sebelumnya (received theories). Keraguan ini tentu saja harus dibeberkan secara ilmiah sebelum dibahas. Dalam sains, keraguan adalah ibu kandung temuan-temuan keilmuan baru.

Agama kuat berorientasi ke masa lalu karena umat beragama percaya bahwa, ketika agama mereka dibangun dan disebarkan oleh sang pendiri beserta para murid perdananya dulu, segala sesuatu yang diperlukan untuk membimbing kehidupan sudah diwahyukan atau digariskan. Keraguan terhadap zaman keemasan agama di masa lalu dan terhadap pandangan-pandangan yang dilahirkan di dalamnya dipandang sebagai bahaya dan karena itu harus diberantas.

Sains sebaliknya berorientasi ke masa depan, dengan terus-menerus mengkaji teori-teori dan postulat-postulat lama untuk digantikan dengan teori-teori dan postulat-postulat baru yang dilihat akan lebih dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini. Ketidaktepatan suatu teori atau postulat sains adalah sesuatu yang diterima dengan wajar dan malah mendorong upaya ilmiah untuk menemukan teori dan postulat baru.

Agama memerlukan suatu figur tunggal karismatis yang tidak boleh digugat dan yang dipercaya memiliki akses langsung ke rahasia-rahasia ilahi yang diungkapkan oleh suatu allah hanya kepadanya. Melawan sang tokoh karismatis ini sama dengan melawan allah, dan akibatnya si pelawan akan terkena kutuk dan penghukuman ilahi.

Sains sebaliknya menolak satu figur tunggal karismatis yang tidak bisa digugat. Sains malah mengundang semua orang tanpa pilih bulu untuk menyumbangkan pandangan-pandangan ilmiah mereka, jika mereka mampu dan qualified, demi pengembangan sains dan kebaikan umat manusia. Sains tidak boleh merahasiakan sesuatu, melainkan justru harus menyibak semua rahasia alam dan membuka rahasia-rahasia ini kepada publik untuk diketahui dan dijadikan pengetahuan bersama. Inilah public ethics dan public responsibility dari setiap ilmuwan.

Ketika para agamawan menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh sains modern dan tertinggal sebagai “gaps” dalam dunia sains, mereka akan langsung mengisi “gaps” ini dengan suatu figur adikodrati yang dinamakan allah (god). God para agamawan ini dikenal sebagai “god of the gaps” yang tidak disukai para saintis.

Sebaliknya, jika para ilmuwan menemukan sesuatu yang tidak dapat mereka jelaskan menurut perspektif sains sekarang, sehingga ada “missing links” atau “gaps” dalam rantai atau bingkai ilmu pengetahuan mereka, mereka tidak akan pernah menunjuk suatu oknum adikodrati yang dinamakan allah sebagai pengisi links atau gaps ini. Mereka hanya akan menyatakan bahwa mereka belum bisa mengisi missing links atau gaps ini sekarang, dan membiarkannya untuk suatu saat dapat dijelaskan oleh sains. Inilah posisi para ilmuwan ketika berhadapan dengan fenomena alam yang disebut para agamawan sebagai mukjizat.

Nah, dalam zaman penjelajahan ruang angkasa sekarang ini, jika agama masih mau berfungsi dengan bermakna dan signifikan, agama harus bisa menyesuaikan diri dengan sifat-sifat sains. Menjadi agama yang rasional.