(Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo, Jumat, 5 Februari 2010; klik di sini untuk melihatnya)
Agama mengasalkan segala sesuatu dalam alam ini pada satu (atau lebih) figur adikodrati yang oleh orang beragama di Indonesia dinamakan “tuhan” atau “allah” atau “dewa” yang tidak kelihatan. Figur ini dibayangkan berdiam di kawasan adikodrati yang dinamakan surga, langit, atau kayangan, dan dipercaya kerap berintervensi ke dalam alam (nature) dengan melanggar hukum alam (the laws of nature, atau natural laws), dan menghasilkan apa yang dinamakan mukjizat.
Sains sebaliknya mengasalkan segala sesuatu dalam alam ini pada diri alam itu sendiri. Sains menolak keberadaan dunia adikodrati (supernatural world) dan hanya menerima keberadaan dunia kodrati (natural world). Sains menjelaskan segala sesuatu berdasarkan hukum sebab-akibat alamiah yang bisa diobservasi, diselidiki, dijelaskan dengan rasional dan sistematis, serta diperlihatkan dengan empiris dan obyektif. Sains memandang hukum alam sebagai hukum yang abadi dan kerja hukum alam ini dipandang tidak bisa diintervensi secara alamiah oleh makhluk apa pun. Teknologi tidak bisa membatalkan hukum alam, sebab teknologi dibangun dengan mengikuti kerja hukum alam dan banyak di antaranya ditemukan karena manusia mau belajar dari alam dan hukum-hukumnya. Teknologi rekayasa genetik yang sekarang sudah dioperasikan juga tidak melanggar hukum alam.
Agama dibangun di atas sebuah (atau lebih) dogma keagamaan yang diformulasikan bukan dengan cara ilmiah, melainkan berdasarkan kepercayaan atau iman saja. Isi iman keagamaan tidak bisa dibuktikan secara empiris obyektif tetapi diterima begitu saja sebagai kebenaran. Jika seseorang ingin diterima ke dalam suatu komunitas keagamaan, orang ini harus bersedia memutuskan dalam dirinya sendiri (keputusan subyektif) bahwa apa yang diajarkan dan dipegang komunitas ini sebagai dogma adalah suatu kebenaran, tanpa boleh mempertanyakannya.
Sains sebaliknya tidak bekerja berdasarkan suatu dogma keagamaan apa pun, melainkan berdasarkan postulat-postulat atau teori-teori yang dibangun secara rasional dan dilahirkan dari sekian upaya observasi, penelitian, sistematisasi, pembuktian, dan uji coba yang empiris. Observasi dan uji coba ini terus-menerus berlangsung sehingga suatu teori atau suatu postulat bisa digugurkan, lalu akan disusun teori dan postulat baru, demikian seterusnya. Kebenaran sains harus obyektif, tidak bisa subyektif menurut selera si ilmuwan, terlepas dari bukti empiris.
Agama tidak memerlukan laboratorium uji coba, observasi, dan eksperimentasi, karena agama dibangun hanya berdasarkan kepercayaan pada wahyu ilahi yang dulu diterima dan disebarkan si pendiri agama. Wahyu ini hanya tinggal diterima oleh umat dengan kepercayaan penuh sebagai sesuatu yang otoritatif untuk seluruh bidang kehidupan. Dari wahyu primordial ini diturunkanlah berbagai akidah keagamaan yang harus dipercaya dan ritual religius yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari umat.
Sains sebaliknya memerlukan laboratorium untuk observasi, penyelidikan, uji coba, dan eksperimentasi. Kepercayaan membuta tidak mendapat tempat dalam pengembangan sains. Sains modern sudah sangat terspesifikasi sehingga tidak ada satu cabang ilmu modern pun yang dapat mengklaim bisa menjelaskan atau berkuasa atas seluruh bidang kehidupan. Para ilmuwan modern sekarang harus bisa bekerja secara interdisipliner dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban.
Agama tidak memberi tempat kepada keraguan terhadap dogma-dogma yang dibangun dalam sejarah umat dan khususnya terhadap wahyu ilahi yang diterima sang pendiri agama dulu, yang dipercaya terekam dalam Kitab Suci. Jika seorang anggota suatu komunitas keagamaan ragu terhadap otoritas wahyu ilahi atau suatu dogma keagamaan, orang ini akhirnya akan dinyatakan sebagai bidah, lalu diekskomunikasi. Dialog dengan para bidah sama sekali tidak dimungkinkan.
Sains sebaliknya justru bisa dikembangkan dari waktu ke waktu, karena sains menerima dan mendialogkan dengan serius keraguan terhadap teori-teori atau postulat-postulat yang sudah diterima secara luas sebelumnya (received theories). Keraguan ini tentu saja harus dibeberkan secara ilmiah sebelum dibahas. Dalam sains, keraguan adalah ibu kandung temuan-temuan keilmuan baru.
Agama kuat berorientasi ke masa lalu karena umat beragama percaya bahwa, ketika agama mereka dibangun dan disebarkan oleh sang pendiri beserta para murid perdananya dulu, segala sesuatu yang diperlukan untuk membimbing kehidupan sudah diwahyukan atau digariskan. Keraguan terhadap zaman keemasan agama di masa lalu dan terhadap pandangan-pandangan yang dilahirkan di dalamnya dipandang sebagai bahaya dan karena itu harus diberantas.
Sains sebaliknya berorientasi ke masa depan, dengan terus-menerus mengkaji teori-teori dan postulat-postulat lama untuk digantikan dengan teori-teori dan postulat-postulat baru yang dilihat akan lebih dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini. Ketidaktepatan suatu teori atau postulat sains adalah sesuatu yang diterima dengan wajar dan malah mendorong upaya ilmiah untuk menemukan teori dan postulat baru.
Agama memerlukan suatu figur tunggal karismatis yang tidak boleh digugat dan yang dipercaya memiliki akses langsung ke rahasia-rahasia ilahi yang diungkapkan oleh suatu allah hanya kepadanya. Melawan sang tokoh karismatis ini sama dengan melawan allah, dan akibatnya si pelawan akan terkena kutuk dan penghukuman ilahi.
Sains sebaliknya menolak satu figur tunggal karismatis yang tidak bisa digugat. Sains malah mengundang semua orang tanpa pilih bulu untuk menyumbangkan pandangan-pandangan ilmiah mereka, jika mereka mampu dan qualified, demi pengembangan sains dan kebaikan umat manusia. Sains tidak boleh merahasiakan sesuatu, melainkan justru harus menyibak semua rahasia alam dan membuka rahasia-rahasia ini kepada publik untuk diketahui dan dijadikan pengetahuan bersama. Inilah public ethics dan public responsibility dari setiap ilmuwan.
Ketika para agamawan menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh sains modern dan tertinggal sebagai “gaps” dalam dunia sains, mereka akan langsung mengisi “gaps” ini dengan suatu figur adikodrati yang dinamakan allah (god). God para agamawan ini dikenal sebagai “god of the gaps” yang tidak disukai para saintis.
Sebaliknya, jika para ilmuwan menemukan sesuatu yang tidak dapat mereka jelaskan menurut perspektif sains sekarang, sehingga ada “missing links” atau “gaps” dalam rantai atau bingkai ilmu pengetahuan mereka, mereka tidak akan pernah menunjuk suatu oknum adikodrati yang dinamakan allah sebagai pengisi links atau gaps ini. Mereka hanya akan menyatakan bahwa mereka belum bisa mengisi missing links atau gaps ini sekarang, dan membiarkannya untuk suatu saat dapat dijelaskan oleh sains. Inilah posisi para ilmuwan ketika berhadapan dengan fenomena alam yang disebut para agamawan sebagai mukjizat.
Nah, dalam zaman penjelajahan ruang angkasa sekarang ini, jika agama masih mau berfungsi dengan bermakna dan signifikan, agama harus bisa menyesuaikan diri dengan sifat-sifat sains. Menjadi agama yang rasional.