Ioanes Rakhmat's blog founded on Feb 21, 2009
Even though it could destroy orthodoxy, let us think critically because being capable of thinking critically is the most precious gift for humankind given by nature to be used accountably for the goodness of all terrestrial and extraterrestrial beings now and forever
Die Wahrheit erleuchtet mich!
Kebenaran menerangi saya!
Sunday, January 24, 2010
Penutup: Kekristenan Tanpa Soteriologi Salib!
Setiap orang Kristen yang telah berani membaca habis 10 postings tentang Masalah-masalah Dalam Soteriologi Salib dalam blog ini (yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku Membedah Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam [Januari 2010]) pasti akan bertanya: Jika soteriologi salib sebagai inti terpenting dari semua doktrin Kristen telah digugurkan, masih adakah sesuatu lain yang tersisa, yang masih dapat dipegang, untuk seseorang tetap Kristen? Atau orang dapat mengajukan sebuah pertanyaan lain: Apakah si penulis buku ini masih dapat tetap disebut Kristen, masih tetap dapat disebut “orang dalam”, kalau dia berpendapat dan percaya bahwa semua yang ditulisnya ini benar?
Kedua pertanyaan ini, pada satu sisi, mempersoalkan apakah yang disajikan dalam buku ini benar sehingga tidak ada sesuatu apa pun dalam soteriologi salib yang masih bisa diselamatkan. Bagi saya sebagai penulis buku ini, semua yang sudah ditulis dalam buku ini tentu saja benar dalam segala segi yang sejauh ini dapat saya perhitungkan. Tetapi, jawaban tuntas terhadap hal yang dipersoalkan ini ditemukan tentu saja jika seorang lain mau menulis sebuah buku tandingan yang isinya secara rasional, cerdas dan autentik mengggugurkan semua argumen rasional, etis teologis, historis, sosiokultural, sosiobiologis dan antropologis, yang saya pakai dalam membedah dan menggugurkan soteriologi salib.
Saya tentu akan sangat berterima kasih kepada orang yang, melalui argumen-argumen yang cerdas dan rasional, mampu membuat saya kembali menerima dan memercayai validitas dan makna serta signifikansi soteriologi salib. Tetapi saya tidak optimis bahwa saya akan bisa dikembalikan untuk memercayai dan menganut kembali soteriologi salib; sebab setiap sanggahan terhadap isi buku ini akan pasti saya sanggah lagi dengan autentik dan rasional. Saya percaya, dengan autentisitas dan rasio orang bisa berjumpa dengan yang transenden, jauh melampaui apa yang dapat diberikan oleh dogma keagamaan apa pun.
Saya tentu saja mengantisipasi bahwa akan ada orang Kristen yang akan menyatakan atau bersaksi secara emosional bahwa sekalipun secara rasional soteriologi salib telah digugurkan dalam segala seginya, dia tetap bisa memegang dan percaya penuh kepada soteriologi ini sebab soteriologi ini selama ini dan juga kini membuat hatinya tenteram dan bahagia. Jika ini posisi yang diambil orang ini, suatu posisi yang sama sekali tidak menghargai kemampuan dan kebenaran penalaran manusia, biarlah dia tetap terus memegangnya, dan tetap terus mencampakkan akal budinya dan tetap menjadi orang yang terbelah kepribadiannya. Bagi saya sendiri, bagaimana hati bisa tenteram menerima sesuatu yang kebenarannya telah ditolak oleh akal budi? Bagi saya sendiri, mengapa hati harus menjadi musuh akal budi atau sebaliknya? Bukankah, seperti Yesus dalam kitab-kitab injil katakan, beragama dengan autentik adalah beragama dengan segenap rasio dan hati sekaligus?
Pada sisi lain, dua pertanyaan pada alinea pertama di atas mengungkapkan suatu kegelisahan eksistensial mendalam orang Kristen: Apakah masih ada sesuatu yang berharga dalam kekristenan yang sekarang mereka kenal jika soteriologi salib tidak dipakai lagi karena tidak valid dalam banyak segi? Apakah masih bisa tetap Kristen jika soteriologi salib ditolak? Apakah masih bisa menjadi pengikut Yesus Kristus jika kematiannya di kayu salib dipandang tidak mendatangkan keselamatan, tidak bersignifikansi dan berefek soteriologis? Kegelisahan eksistensial ini tentu saja saya harus perhatikan dengan sungguh-sungguh, dan sebisa mungkin saya perlu memberi respons yang pas.
Dalam bab keempat buku ini (berjudul Jalan Buntu dan Jalan Alternatif), saya sudah menyebut suatu bentuk religiositas yang dihayati oleh sebuah komunitas Yahudi-Kristen yang ada di Syria (dengan Antiokhia sebagai ibu kotanya) pada pertengahan abad pertama Masehi yang secara bertahap (dari tahun 30 sampai tahun 120) menghasilkan Injil Tomas. Pada awalnya, sebelum komunitas Yahudi-Kristen ini mendapat pengaruh doktrinal dari kekristenan yang berkembang di sebelah barat kawasan Yunani-Romawi (kekristenan Barat), mereka tidak memandang kematian Yesus sebagai sesuatu yang sentral dalam sistem kepercayaan mereka, apalagi sampai bermakna dan berefek soteriologis “mendamaikan” (atoning) seperti diajarkan dan dipercayai kekristenan Barat. Komunitas Yahudi-Kristen Syria yang bercorak mistikal ini memberi signifikansi soteriologis bukan pada kematian Yesus, tetapi pada kata-kata atau ucapan-ucapan Yesus, yang jika direnungkan dalam-dalam dan ditemukan maknanya akan memberi kehidupan. Yang mereka tawarkan bukan soteriologi doloris, tetapi soteriologi logosentris. Tawaran ini tentu harus dipertimbangkan dengan serius oleh orang Kristen pada masa kini.
Nah, selain dalam Injil Tomas yang berisi sejumlah penting ucapan autentik Yesus, bukankah gereja juga memiliki kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru yang berisi banyak ucapan Yesus? Para pakar yang menyelidiki ucapan-ucapan Yesus, baik yang terdapat dalam Injil Tomas atau dalam tulisan-tulisan ekstrakanonikal lainnya, maupun yang terdapat dalam injil-injil Perjanjian Baru, khususnya dalam apa yang disebut sebagai sumber “Q” yang menjadi salah satu sumber besar bagi Matius dan Lukas ketika mereka menulis injil mereka masing-masing, telah dapat memilah-milah mana ucapan yang benar-benar autentik dari Yesus dan mana yang tidak autentik. Jadi, mengonstruksi soteriologi logosentris kini bukanlah hal yang sulit lagi. Soteriologi logosentris adalah sebuah alternatif berharga untuk seseorang dapat tetap menjadi Kristen, dengan menghayati kata-kata Yesus sebagai kata-kata yang membebaskan, meskipun dia telah melepaskan soteriologi salib yang bersifat doloris.
Dari sejumlah tulisan bapak-bapak gereja kekristenan Barat, kita dapat menghimpun sekian fragmen tulisan yang berasal dari tiga injil Yahudi-Kristen yang disusun komunitas-komunitas Yahudi-Kristen perdana pada awal hingga pertengahan abad kedua, yang berdiam di kawasan timur Sungai Yordan dan di banyak kawasan timur Syria. Ketiga injil Yahudi-Kristen ini adalah Injil Orang Ebion (aslinya ditulis dalam bahasa Yunani, isinya kurang lebih sejajar dengan Injil Matius, namun tidak memiliki kisah kelahiran dan silsilah Yesus), Injil Orang Nazorean (aslinya ditulis dalam bahasa Aram, isinya kurang lebih sejajar dengan Injil Matius) dan Injil Orang Ibrani (aslinya ditulis dalam bahasa Yunani, jenisnya serupa dengan Injil Yohanes).
Kekristenan Yahudi perdana ini, meskipun tidak dalam segala hal seragam, dapat kita sebut sebagai kekristenan Ebion (dari kata Ibrani ebyon = orang miskin) yang bersama-sama memegang dan mempertahankan sejumlah keyakinan religius dan praktik beragama. Komunitas-komunitas Ebion ini merupakan sisa-sisa dari suatu bentuk kekristenan Yahudi paling tua yang bermula di Yerusalem sebagai gereja induk, yang didirikan oleh Yakobus si Adil, saudara Yesus (lihat Markus 6:3; Galatia 1:19; Injil Orang Ibrani 9.4), bersama para rasul lainnya. Bagi kekristenan Ebion, saksi pertama kebangkitan Yesus bukanlah Petrus atau Maria Magdalena, melainkan Yakobus (Injil Orang Ibrani 9; bdk 1 Korintus 15:7) sebagai soko guru utama Gereja Induk Yerusalem (Galatia 2:9). Dokumen yang menjadi sumber terpenting untuk mengenal kekristenan Ebion ini, di samping tiga injil yang sudah disebut di atas, adalah Pseudo-Klementin (tahun 200 M).
Sebagaimana Gereja Induk Yerusalem ini menaati Hukum Taurat Yahudi dengan sangat ketat, kekristenan Ebion juga demikian. Mereka mempertahankan kuat-kuat monoteisme Yahudi. Mereka percaya pada Kitab Suci Ibrani (Tenakh) dan Hukum Taurat sebagai wahyu Allah sejauh Kitab Suci dan Hukum ini sudah dibersihkan dari “penyimpangan-penyimpangan” yang muncul dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa Israel sejak zaman Musa. Mereka beribadah pada hari Sabat, selain pada hari Minggu sebagai Hari Tuhan, dan mereka juga memelihara dan merayakan semua hari suci Yahudi, khususnya perayaan Paskah Yahudi setiap tahun. Kristologi yang mereka pegang berbeda dari kristologi yang umumnya dipegang kekristenan Barat. Mereka menolak doktrin tentang kelahiran perawan. Bagi mereka, Yesus adalah seorang manusia biasa, yang dilahirkan wajar dari seorang ayah dan seorang bunda insani. Yesus diangkat atau diadopsi menjadi Anak Allah pada waktu dia dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Kepercayaan kristologis semacam ini disebut adopsionisme. Yesus mereka pandang juga sebagai Nabi Sejati Allah yang ditugaskan bukan untuk mati di kayu salib untuk menghapus dosa dunia, melainkan untuk mengajar orang Israel untuk hidup benar sesuai dengan apa yang dituntut Tenakh atau Taurat Musa yang “asli” yang dulu telah diberikan kepada Musa di Gunung Sinai, yang sudah dibersihkan dari penyimpangan-penyimpangan yang ada di dalamnya, antara lain dari gambaran tentang Allah yang antropomorfis, dari semua pemakaian kata ganti majemuk orang pertama untuk Allah (“kita”, “kami”). Karena Bait Allah di Yerusalem telah dihancurkan pada tahun 70 M, komunitas Kristen Ebion memandang semua kultus pengurbanan di Bait Allah telah tidak berlaku lagi bagi mereka, bahkan mereka memandang semua ritus ini tidak termasuk bagian asli Hukum Musa.
Jadi, kekristenan Ebion adalah suatu bentuk kekristenan Yahudi perdana yang monoteistik murni, yang menghayati keselamatan sebagai sesuatu yang diperoleh melalui ketaatan total pada Taurat Musa. Bagi mereka, semua yang diajarkan oleh Rasul Paulus, yang membebaskan orang Kristen dari kewajiban melaksanakan Taurat Musa, adalah suatu pengkhianatan terhadap agama Yahudi; dan karenanya mereka sangat membenci rasul untuk bangsa-bangsa bukan-Yahudi ini. Jadi sudahlah jelas, pada abad-abad pertama ada bentuk-bentuk kekristenan yang bisa dengan apik dan lancar mengintegrasikan panggilan untuk mengikut Yesus Kristus sebagai sang Mesias dengan panggilan untuk mengamalkan perintah-perintah Taurat Musa. Soteriologi salib bukanlah satu-satunya soteriologi Kristen.
Soteriologi nomosentris (= terpusat pada hukum Taurat) yang dihayati komunitas Yahudi-Kristen Ebion ini tentu tidak menarik hati orang Kristen pada umumnya, dulu maupun kini, yang sudah menyerahkan dirinya sepenuh-penuhnya pada soteriologi salib yang diwartakan Rasul Paulus, yang telah membebaskan orang Kristen dari tuntutan Hukum Taurat. Mereka biasanya menilai bahwa karena agama Kristen adalah “agama rakhmat” (religion of grace) yang menawarkan orang untuk menerima rakhmat ilahi melalui iman mereka, dan bukan “agama perbuatan” (religion of work), maka Hukum Taurat tidak berlaku lagi, sebab Hukum ini, jika diikuti, mengharuskan orang berkonsentrasi bukan pada rakhmat ilahi, melainkan pada setiap perbuatannya untuk menjaganya tetap selaras dengan semua tuntutan Taurat. Hemat saya, penilaian ini salah.
Dalam sistem kepercayaan Kristen yang dibangun para penulis Perjanjian Baru, perbuatan manusia atau ketaatan pada Taurat juga menentukan keselamatan manusia atau mencirikan apakah seseorang itu sudah berada di dalam kawasan keselamatan atau masih di luar kawasan keselamatan. Tentu pertama-tama saya menunjuk pada kekristenan Yakobus yang dibangun begitu Yesus wafat, yang telah memberikan kepada kita Surat Yakobus dalam Perjanjian Baru, yang di dalamnya dengan kuat dikatakan bahwa “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya mati” (2:17), dan bahwa “iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna” (2:22), dan bahwa “manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (2:24). Selain itu, meskipun Rasul Paulus sangat menekankan iman sebagai jalan untuk orang dibenarkan di hadapan Allah, sang Rasul ini juga menegaskan bahwa pada akhirnya setiap orang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Allah (Roma 2:6-8; 14:12; 2 Korintus 5:10; lihat juga Wahyu 22:12).
Selanjutnya, kita juga perlu memerhatikan kekristenan Yahudi lainnya, yang lahir di Mesir pada permulaan era Kristen, akhir tahun 40-an atau awal tahun 50-an abad pertama Masehi, ketika Kaisar Klaudius berkuasa (tahun 41-54). Catatan tertua tentang keberadaan kekristenan Yahudi di Mesir ini ditemukan dalam Kisah Para Rasul 18:24-25, yang menyebut seorang Yahudi yang bernama Apolos yang berasal dari Aleksandria di Mesir, yang telah datang ke Efesus. Ditulis di situ bahwa Apolos “sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci” dan “telah menerima pengajaran dalam Jalan Tuhan” dan “dengan teliti mengajar tentang Yesus.” Dokumen-dokumen tua yang perlu diperhatikan untuk mengenal kekristenan ini adalah Pseudo- Klementin (khususnya Homilies I.9.1; II.4.1), Surat Barnabas, 2 Klemen, Injil Orang Ibrani, Injil Orang Mesir, Epistula Apostolorum, Orakulum Sybill, Testimoni Kebenaran (NHC 9,3), Apokalipsis Petrus.
Dalam tulisannya, Historia Ecclesiastica, Eusebius menyimpulkan bahwa kekristenan Yahudi di Mesir “tampaknya berasal dari orang-orang Yahudi dan mengikuti sebagian besar adat-istiadat Yahudi” (II.17.2-3). Kristologi Logos dikembangkan oleh komunitas Kristen Yahudi di Mesir ini; menurut kristologi ini sang Logos tetap sama, tak berubah, dalam bentuk apapun yang dipilihnya untuk dia menampilkan diri (lihat khususnya Epistula Apostolorum 13-14; 17, 28; bdk Orakulum Sybill 6.16-17). Yang penting untuk kita catat adalah bahwa kekristenan Yahudi di Mesir ini, di samping terfokus pada adat-istiadat Yahudi, juga menaruh perhatian besar pada kehidupan Yesus, khususnya pada ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Yesus serta kisah-kisah tentangnya, yang ditarik baik dari dokumen-dokumen kanonik maupun dari dokumen-dokumen apokrif. Perhatian pada kehidupan Yesus ini memenuhi teks keempat dokumen apokrif yang sudah disebut di atas: Epistula Apostolorum, Orakulum Sybill, Testimoni Kebenaran dan Apokalipsis Petrus. Dalam keempat dokumen ini, Rasul Paulus pada dasarnya ditolak; bahkan dalam Apokalipsis Petrus sang rasul diserang. Bahkan bagi penulis Apokalipsis Petrus, berita Rasul Paulus tentang “seorang yang mati”, maksudnya: Yesus Kristus yang disalibkan sebagai jalan mendamaikan Allah dengan manusia, adalah suatu “penyebaran berita yang menyesatkan.” Jelas, soteriologi salib ajaran Rasul Paulus tidak diterima oleh kekristenan Yahudi di Mesir ini.
Kalau soteriologi salib terpusat pada azab dan kematian Yesus, atau kita dapat menamakannya soteriologi nekrosentris, soteriologi yang terpusat pada kematian (nekros = mati), kita juga bisa mengembangkan suatu soteriologi yang terpusat pada kehidupan Yesus, soteriologi biosentris. Terpusat pada kehidupan Yesus juga berarti terpusat pada kata-kata dan tindakan-tindakan Yesus. Jadi, baik komunitas Kristen-Yahudi yang melahirkan Injil Tomas maupun komunitas Yahudi-Kristen Mesir sama-sama menghayati suatu soteriologi biosentris. Kita tidak kekurangan bahan untuk membangun suatu soteriologi biosentris untuk menggantikan soteriologi doloris atau soteriologi nekrosentris.
Kalau kematian Yesus dilihat dari sudut pandang soteriologi biosentris, kematiannya ini sungguh jadi bermakna dan bersignifikansi lain: kematian Yesus adalah suatu peristiwa paradigmatis yang mulia, berharga dan layak ditanggung, karena merupakan suatu akibat atau risiko dari suatu kehidupan yang dijalani dan diisi dengan tindak kebajikan dan kerahiman ilahi, yang ditujukan kepada sesama manusia! Dengan memandang pada kehidupan dan kematian Yesus sebagai suatu model kejuangan, semua pejuang dan aktivis sosial dan HAM pada masa kini, yang memberikan kehidupan mereka bagi rakyat yang miskin dan tertindas, akan didorong untuk dengan rela dan berani terus-menerus membela rakyat sekalipun berisiko mati dibunuh. Melepaskan soteriologi salib yang doloris, tetapi juga terilhami dan terdorong oleh kematian Yesus untuk bertindak, bukanlah sesuatu yang tidak bisa dilakukan! Tanpa soteriologi salib seseorang masih bisa menjadi seorang Kristen yang tangguh, menjadi pengikut Yesus Kristus yang tidak takut terhadap risiko mati dibunuh di tengah perjuangannya.
Jadi, soteriologi salib yang dikonstruksi Rasul Paulus dan penulis-penulis Perjanjian Baru lainnya jelas bukanlah soteriologi tertua satu-satunya yang diwariskan komunitas-komunitas Kristen perdana kepada orang Kristen masa kini. Sudah diperlihatkan di atas, tersedia cukup soteriologi alternatif yang kalau dijalani dan dihayati dengan sungguh-sungguh, seseorang masih bisa tetap Kristen meskipun dia tidak lagi menganut soteriologi salib.
Bertolak dari Rasul Paulus, kita masih harus bergerak mundur lebih jauh ke murid-murid perdana Yesus dan bahkan kepada Yesus sendiri. Agama yang Yesus dan para muridnya hayati pasti bukanlah agama seperti yang dibangun Rasul Paulus dan para penulis Perjanjian Baru umumnya, melainkan agama Yahudi atau Yudaisme, persisnya Yudaisme yang disebut sebagai Yudaisme Bait Allah Kedua (second Temple Judaism), Yudaisme yang dianut ketika Bait Allah Kedua (Bait Allah Herodes Agung) belum dihancurkan pada tahun 70 abad pertama Masehi dalam Perang Yahudi I melawan Roma (66-73 M). Nah, penting bagi kita untuk mengetahui apa yang dimaksud dan dialami oleh mereka, Yesus dan para murid perdananya, sebagai keselamatan, dalam konteks religio-kultural Yudaisme ini. Soteriologi jenis apa yang mereka anut dan hayati, yang mereka dapat ambil dan olah dari sistem kepercayaan Yudaisme ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sepenuhnya, perlu dibuat sebuah buku tersendiri yang terfokus pada pengkajian Yesus sejarah (the historical Jesus) dalam konteks Yudaisme Bait Allah kedua.
Pada kesempatan ini, saya mau mengingatkan bahwa saya sudah menyatakan bahwa Yesus dari Nazaret menghayati soteriologi teosentris, bahwa soteriologi salib bukanlah soteriologi yang diciptakan dan diajarkannya. Kalau kita memahami dan menghayati Allah sebagaimana Yesus pahami dan kisahkan dalam, antara lain, perumpamaan tentang anak yang hilang, kita masuk ke dalam sebuah pengalaman keselamatan yang terpusat pada Allah, sang Bapa, keselamatan yang teosentris, sebagaimama juga dihayati Yesus. Kalau kita bisa memanggil Allah dengan sebutan akrab yang biasa Yesus pakai, yaitu sebutan “Bapa” (atau “Abba”), sebagaimana termuat dalam Doa Bapa Kami, kita sudah menjadi Kristen meskipun kita tidak lagi memegang soteriologi salib. Di dalam sebutan “Bapa” inilah terkandung sari pati teologi yang secara mendasar dihayati Yesus.
Dari kehidupan Yesus, soteriologi biosentris, yang kontras dengan soteriologi nekrosentris, bisa kita bangun. Umumnya orang dikenang dan dikenal bukan karena kematiannya, tetapi karena kehidupannya. Kita perlu mempelajari dan menemukan, melalui kajian mendalam dan meluas, bagaimana Yesus dari Nazaret memahami kehidupannya sendiri, apa visinya tentang kehidupannya sendiri dan tentang kehidupan pada umumnya, dan bagaimana dia menjalani dan mengisi kehidupannya sendiri, dalam hubungannya dengan Allah, Bapanya, dengan sesamanya, dengan alam sekitarnya dan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. Sudah saya tulis di buku ini bahwa Yesus dari Nazaret adalah seorang yang mencintai dan merawat kehidupan, kehidupannya sendiri dan kehidupan orang lain, dan kehidupan dunia ini. Dan, dengan kita mencintai kehidupan, memelihara dan merawat kehidupan, menyembuhkan dan menyehatkan kehidupan, kita menjadi orang yang mengikuti Yesus, menjadi orang Kristen, meskipun kita menolak soteriologi salib yang nekrosentris.
Nah, terlihat sudah kalau kekristenan itu sebetulnya memiliki kekayaan soteriologi. Soteriologi salib adalah salah satunya, dan sayangnya juga merupakan suatu soteriologi yang terburuk yang patut dilepaskan dari kesadaran semua orang Kristen. Melepaskan soteriologi salib tidak lantas membuat seseorang kehilangan kekristenannya, malah akan makin mendekatkan dirinya pada Yesus dari Nazaret, pada Allah yang dia percayai yang dipanggilnya “Abba”, dan pada sesama yang dicintainya, pada kehidupan, dan, lebih istimewa lagi, akan makin mendekatkan dirinya kepada dirinya sendiri yang kini dilihatnya berpotensi untuk menyelamatkan dirinya sendiri melalui perbuatan-perbuatannya.
Semoga semua hal yang sudah ditulis di atas berhasil meredakan kegelisahan yang barangkali sempat muncul dalam sanubari banyak orang Kristen ketika mereka sedang membaca buku ini, dan belum tuntas sampai pada bagian penutup ini. Semoga juga kalangan Muslim di Indonesia, karena buku ini, menjadi tersadarkan bahwa soteriologi-soteriologi alternatif yang ditawarkan buku ini memperlebar peluang untuk bisa berjalan bersama dengan umat Kristen dalam mengejawantahkan keselamatan bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Perjalanan masih panjang ke depan. Marilah, kita berjalan terus, berziarah terus, menuju sang Surya pencerah yang masih jauh dari jangkauan.