Ioanes Rakhmat's blog founded on Feb 21, 2009
Even though it could destroy orthodoxy, let us think critically because being capable of thinking critically is the most precious gift for humankind given by nature to be used accountably for the goodness of all terrestrial and extraterrestrial beings now and forever
Die Wahrheit erleuchtet mich!
Kebenaran menerangi saya!
Sunday, April 12, 2009
Menggugat The Passion of the Christ di Hari Paskah 12 April 2009
Semalam, 11 April 2009, mulai pukul 21.30 sampai pukul 24.00, TV RCTI menayangkan sebuah film religius lama Mel Gibson (produksi tahun 2003), The Passion of the Christ, persis pada malam sebelum hari Paskah keesokan harinya (12 April 2009). Waktu penayangan ini bukan kebetulan, dan hanya bisa terjadi kalau waktu tayang ini sudah dibeli sebelumnya oleh kalangan Kristen tertentu. Waktu tayang yang sudah dibeli memungkinkan tidak adanya selingan-selingan iklan selama pemutaran film ini. Kalau saya tak salah ingat, tahun lalu film Mel Gibson yang sama juga ditayangkan oleh sebuah stasiun TV, dengan tanpa selingan iklan sama sekali. Rupanya akan menjadi suatu kebiasaan untuk menayangkan The Passion of the Christ setiap tahun lewat sebuah stasiun TV, untuk merayakan hari Jumat Agung (hari peringatan kematian Yesus di kayu salib) dan untuk menyambut hari Paskah (hari kebangkitan Yesus).
Apa tujuan penayangan film ini pada malam sebelum hari Paskah? Bisa diduga, film ini ditayangkan pertama-tama untuk kepentingan internal umat Kristen, supaya mereka makin bisa menghayati makna pengurbanan Yesus Kristus di kayu salib sehingga iman mereka makin dimantapkan. Inti iman Kristen berisi ajaran ini: Atas kehendak dan perintah Allah, Yesus didera, disiksa dan dibunuh di kayu salib dengan sangat biadab untuk menanggung penghukuman yang seharusnya ditimpakan pada manusia karena dosa-dosa mereka. Bagi keyakinan Kristen, ini adalah tindakan dan jalan normatif satu-satunya yang Allah sendiri adakan, sekali untuk selamanya dan untuk semua orang, dan karena itu harus hanya diterima dan dipercaya manusia jika manusia ingin mengalami pengampunan dosa dan pemulihan hubungan dengan Allah.
Selain untuk kepentingan devosional internal ini, film ini ditayangkan orang Kristen juga sebagai bagian dari kegiatan kristenisasi, kegiatan pekabaran injil Kristen kepada dunia non-Kristen: supaya orang non-Kristen yang menyaksikan film ini, dan melihat bagaimana Yesus disengsarakan, dizalimi dan dibunuh oleh para penguasa dunia ini, tergerak hati untuk mau menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka sehingga mereka mengalami pengampunan dosa dan menjadi anak-anak Tuhan lewat jalan Yesus Kristus.
Namun faktanya apa? Setahu saya, orang-orang non-Kristen, antara lain teman-teman saya yang beragama Islam, jauh dari tergerak hati ketika menyaksikan film Mel Gibson yang sarat dengan adegan kekerasan dan kebiadaban ini, mereka malah merasa muak dan jijik dengan film ini dan tidak bisa mengerti mengapa orang Kristen bisa sangat menyukai bahkan memuja film ini, dan juga tidak bisa mengerti dan tidak dapat menerima pesan teologis Kristen bahwa Allah memakai suatu jalan kekerasan yang harus dijalani Yesus Kristus hanya supaya hubungan manusia dengan diri Allah ini dipulihkan.
Hemat saya, soteriologi salib atau jalan keselamatan melalui azab, kesengsaraan dan kematian Yesus di kayu salib memang memuat permasalahan-permasalahan teologis berat yang sangat sulit diatasi, atau bahkan tidak dapat diatasi sehingga merongrong validitas inti iman Kristen.
Pertama, kalau dosa manusia itu (dosa warisan ataupun dosa pribadi) dipandang Allah sebagai suatu tindak kekerasan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya dan terhadap diri Allah sendiri, maka apakah tindak kekerasan yang Allah sendiri telah lakukan terhadap Yesus (dengan mengharuskannya menempuh jalan penderitaan dan kematian mengenaskan di kayu salib) akan bisa menghapus kekerasan dosa-dosa manusia? Apakah suatu tindak kekerasan bisa meniadakan suatu tindak kekerasan lainnya? Apakah tindak kekerasan Allah terhadap Yesus bisa mengeliminasi tindak kekerasan yang manusia lakukan terhadap sesamanya dan terhadap Allah? Bukankah pendapat kita adalah bahwa kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru, bukan menghapuskannya? Bukankah dosa manusia tidak bisa dihapuskan oleh kekerasan ilahi? Bukankah dosa Allah tidak bisa menghapus dosa manusia? Bukankah dosa hanya menumpuk dosa, bukan melenyapkannya?
Kedua, bukankah teologi tentang penebusan dosa melalui penderitaan dan kematian biadab Yesus di kayu salib telah melegitimasi dan malah telah melakukan sakralisasi terhadap perbuatan biadab para pemimpin Yahudi dan gubernur Romawi Pontius Pilatus terhadap Yesus dari Nazaret yang sebetulnya tidak bersalah? Dengan kata lain, bukankah ketika gereja sedunia merayakan Jumat Agung, mereka sebenarnya sedang melegitimasi dan menyakralisasi kekejaman dan kekerasan serta kebiadaban sekelompok penguasa keagamaan dan politis kepada Yesus dari Nazaret? Bukankah tidak ada kekerasan yang sakral sehingga kekerasan ini boleh dilakukan?
Demikian juga, bukankah ketika gereja merayakan Paskah, tanpa mereka sadari mereka sebenarnya juga memberi legitimasi teologis terhadap serangkaian tindak kekerasan yang ditimpakan pada Yesus sejak dia diadili, lalu diseret ke Golgota dan akhirnya disalibkan di situ? Bukankah Paskah berarti pembenaran terhadap serentetan tindakan biadab terhadap Yesus yang berakhir di hari Jumat Agung, hari kematian Yesus di kayu salib? Legitimasi teologisnya berbunyi demikian: Ya, benar, Yesus memang harus disengsarakan, dizalimi, lalu dibunuh dengan kejam, supaya semua tindakan kejam ini bisa memuncak pada tindakan Allah membangkitkan Yesus di hari Paskah. Jika demikian, bukankah Paskah itu bukan suatu warta gembira, bukan suatu warta kemenangan, melainkan suatu legitimasi teologis yang kejam dan tidak berhati atas serangkaian tindak kekerasan yang sebelumnya dialami Yesus? Bukankah tanpa jalan kesengsaraan (via dolorosa) Yesus, tidak akan ada kebangkitannya? Dengan demikian, bukankah kebangkitan Yesus membenarkan jalan kesengsaraannya? Ya, supaya Yesus dibangkitkan, supaya ada kemenangan atas maut, Yesus harus dizalimi dan disengsarakan! Bukankah, dengan demikian, merayakan Paskah berarti membenarkan Pontius Pilatus dan para penguasa Yahudi dalam berlaku keras dan biadab terhadap Yesus?
Teologi Paskah, dengan demikian, mengunci kekristenan dalam suatu dilema dan kontradiksi pelik: pada satu pihak, Paskah dapat berarti Allah, dengan membangkitkan Yesus, menolak semua kekerasan yang telah dialami Yesus sebelumnya; namun di lain pihak, Allah memerlukan jalan kekerasan dijalani Yesus supaya Yesus menanggung hukuman yang seharusnya ditanggung manusia, dan dengan membangkitkan Yesus, Allah membenarkan semua perlakuan keras yang telah dialami Yesus ketika dia diharuskan Allah menempuh via dolorosa.
Ketiga, kisah-kisah injil Kristen tentang masa-masa kesengsaraan Yesus, yang dijalaninya sejak dia diadili, lalu dibawa ke Kalvari, dan kemudian disalibkan di sana, secara bertahap menggeser kesalahan yang sebetulnya ada pada pihak Roma (gubernur Pontius Pilatus) ke pihak Yahudi yang direpresentasikan para penguasa Bait Allah. Penggeseran tanggungjawab ini akhirnya menjadikan orang Yahudi sebagai pihak yang satu-satunya bersalah terhadap Yesus, sebagai pihak yang telah melakukan pembunuhan terhadap Tuhan (deicide). Inilah motif anti-Yahudi yang terdapat paling kuat dalam kisah-kisah pengadilan Yesus dalam injil-injil Kristen. Motif ini kemudian, di zaman modern, melahirkan anti-semitisme yang menimbulkan antara lain pembunuhan jutaan orang Yahudi (Holokaus) oleh rezim Hitler di Eropa pada abad XX.
Anti-semitisme ini sering tanpa disadari dibela gereja Kristen ketika mereka, misalnya, mempersalahkan orang Yahudi sebagai pembunuh Tuhan, dan karena itu mereka (orang Yahudi), dalam pandangan gereja, telah kehilangan anugerah ilahi yang semula diberikan kepada mereka. Dengan merayakan masa-masa kesengsaraan Yesus (dalam minggu-minggu Pra-Paskah) dalam ibadah gereja, gereja Kristen sebenarnya terus-menerus memelihara dan mewariskan ideologi anti-Semitisme, tanpa mau tahu atau tanpa menyadari bahwa anti-Semitisme ini telah menghilangkan begitu banyak nyawa orang Yahudi dalam zaman modern ini.
Begitulah, di dalam inti terpenting dogma Kristen tentang jalan keselamatan manusia lewat Yesus Kristus yang disalibkan terkandung unsur-unsur demonik yang harus diwaspadai. Karena itu, sudah sepatutnya film Mel Gibson The Passion of The Christ tidak usah lagi ditayangkan untuk umum via TV di tahun-tahun yang akan datang.