Monday, November 30, 2009

“Ilmu Pengetahuan” dan “Berpikir Progresif”... Itulah Kata-kata Kunci untuk Mengenal Ioanes Rakhmat

Opini seorang sahabat tentang Ioanes Rakhmat

oleh Cindar Prawijaya

Warga GKI, teman diskusi dan pembaca setia blog-blog Ioanes Rakhmat






Hanya ada satu kebaikan, yaitu ilmu,

dan satu keburukan, yaitu kebodohan.

(Sokrates)


Tidak ada alasan bagi seorang Ioanes untuk tidak menjadi progresif. Baginya, menjadi progresif berarti selalu bergerak ke depan, berpikir maju di berbagai lini kehidupan dan bersedia untuk selalu mereformasi diri khususnya di bidang wawasan keilmuan dan perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih setia pada kebenaran, baik dari sudut pandang keilmuwan, keagamaan maupun dari sudut pandang sosial kemasyarakatan.


Ilmu adalah urat nadi kehidupannya. Dan karena itu mencari ilmu bukan saja suatu keharusan, tapi sudah menjadi suatu kebutuhan hakikinya. Tentu saja yang dimaksud ilmu oleh Pak Ioanes bukan hanya ilmu agama dalam pengertian sempit, tetapi lebih dari itu, yakni semua ilmu yang memberi manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat luas.


Saat ini, berkembang sebuah wacana Kristen progresif di Indonesia yang banyak menimbulkan polemik. Justru di situ saya melihat Pak Ioanes sebagai salah satu pemikir yang berada di garis depan wacana tersebut. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena belum lama ini beliau mengajak saya dan beberapa teman lain membangun sebuah jaringan, sebuah jaringan yang kami beri nama “Krispro”, yaitu sebuah singkatan dari Kristen progresif. Apa yang sebenarnya ingin dicapai Krispro? Kalau kita merujuk ke motto Krispro, yakni Be religiously critical and enlightened, yang berarti “Jadilah agamawan yang kritis dan tercerahkan”, maka motto ini memberi sebuah pesan supaya kita, sebagai orang beragama, mau berproses menjadi kritis dalam berpikir dan akhirnya tercerahkan dan cerdas dalam beragama. Sesuatu yang belum kita peroleh, tetapi kita didorong untuk berusaha memperolehnya.


Nah, untuk memperoleh yang belum diperoleh ini, Pak Ioanes rela menjalani sebuah proses panjang, sebuah proses perubahan pemikiran, sebuah proses memperluas definisi dan interpretasi, dan memberikan tafsir baru terhadap pandangan-pandangan Kristen yang lahir dan tumbuh pada masa awal kekristenan di Eropa agar lebih relevan dalam konteks masyarakat Kristen dan dunia saat ini di zaman yang sudah berubah dan di tempat lain. Tentu ini bukan sebuah pekerjaan yang simpel seperti kita membalikkan telapak tangan. Hampir di segala tempat di sana-sini, pemikiran-pemikiran baru keagamaan di kalangan berbagai macam umat beragama selalu berbenturan dengan ajaran-ajaran keagamaan tradisional yang dipertahankan mati-matian oleh kalangan konservatif. Demikian juga halnya dengan pemikiran-pemikiran Pak Ioanes. Hal ini bisa dipahami, karena pemikiran Pak Ioanes dapat dikata tergolong “berbahaya” jika diperhadapkan pada ortodoksi Kristen yang dimapankan. Maka tak heran jika ada kelompok-kelompok Kristen tertentu yang merasa amat sangat terganggu; malah ada yang merasa telah kehilangan pegangan keimanan mereka karena gagasan-gagasan baru Pak Ioanes.


Lalu apa yang terjadi pada diri Pak Ioanes? Beliau harus menerima satu dua konsekuensinya, yaitu ditarik dari pekerjaannya sebagai dosen, dan juga berproses memasuki masa emeritasi, yang berarti beliau harus melepaskan jabatan strukturalnya sebagai seorang pendeta. Sungguh luar biasa untuk seorang seperti Pak Ioanes yang tidak mempunyai kekuatan politis apa-apa, yang tidak mempunyai massa atau kelompok fanatik manapun sebagai para pendukungnya. Namun, dia bersyukur atas semuanya. Yang terpenting baginya adalah dia masih memiliki suatu kebebasan untuk berpikir, sebuah karunia paling berharga bagi semua insan yang dilahirkan merdeka.


Walaupun banyak orang telah menyatakan akan memberi dukungan kepadanya dalam menghadapi orang-orang yang antipati kepadanya, dengan halus Pak Ioanes menolak semuanya, dengan alasan dia ingin menghadapi semua persoalannya sendirian, dengan seluruh kemampuannya. Sungguh sebuah sikap yang terpuji dan teruji ; teruji oleh pendiriannya yang kokoh, teruji oleh ketegarannya dan kebesaran jiwanya, dan juga oleh keceriaan dan optimismenya. Ini membuat saya teringat pada apa yang dikatakan Sokrates, bahwa “Hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Hanya ada satu tempat di dunia ini di mana manusia bisa terbebas dari segala ujian hidup, yaitu di kuburan.”


Kini Pak Ioanes sudah pindah ke suatu tempat baru, berpindah dari suatu tempat yang sempit dan terbatas di dalam sebuah gereja kolot, ke suatu tempat yang jauh memberi harapan, yang dapat memberinya lebih banyak kebebasan, kebebasan dalam berpikir dan kebebasan dalam memperluas gagasan-gagasannya yang sangat inspiratif.


Akhir kata, saya ucapkan selamat menempati dunia yang baru untuk mengolah pemikiran yang baru dan gagasan yang baru. Sekali lagi, selamat!


Saturday, November 28, 2009

Motto Pak Ioanes: Hidup Yang Tidak Dikaji, Bukanlah Hidup!

Kesan seorang sahabat tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat

oleh Sucitro Wongso

anggota GKI, pembaca setia blog-blog Ioanes Rakhmat


Sampai beberapa saat yang lalu sebelum saya menuliskan kalimat pertama ini saya masih berusaha untuk memgumpulkan lebih banyak bahan untuk menggambarkan siapa sebenarnya Pak Ioanes Rakhmat (IR). Perjumpaan pertama kali dengan beliau terjadi dua tahun yang lalu lewat tulisannya di KORAN TEMPO tentang Makam Yesus yang menghebohkan itu. Pada saat itu saya mulai cukup niat untuk belajar masalah agama. Terakhir, kurang lebih setengah tahun lalu saya mulai mengenal beliau secara langsung.


Tidak mudah untuk menggambarkan siapa orang yang berprinsip kuat, yang gaya tulisannya tanpa basa basi, cerdas, berwawasan luas dengan minat pada banyak macam bidang ini (mirip Gus Dur, tapi yang ini “ga ada lucu-lucunya”), terlebih mengenai pikiran-pikirannya. Awalnya saya pikir IR adalah seorang pendeta Kristen yang sudah bosan dengan pekerjaannya dan mulai cari-cari sensasi. Atau seorang pendeta Kristen yang menemukan bahwa agamanya tidak benar, terus mau pindah agama. Pada saat-saat terakhir inilah barangkali (mudah-mudahan) saya bisa sedikit menggambarkan plkiran-pikirannya dalam bahasa sederhana saya. Ternyata sederhana.


Tidak dipungkiri bahwa studinya mengenai Yesus sejarah telah membawanya ke dalam banyak pemikiran baru yang “radikal” untuk orang-orang Kristen di lingkungannya. Dalam pandangannya, meyakini sesuatu haruslah didukung oleh fakta-fakta, minimal didukung oleh akal sehat. Dari sinilah pemikiran yang sehat itu dipandang kalangan yang berseberangan sebagai pemikiran yang sesat berujung. Mengapa? Karena cara pandang seperti ini menjadikan kekristenan yang tadinya “dogma-sentris” menjadi “Yesus-sentris”, padahal sementara ini hampir semua gereja arus utama di Indonesia berorientasi dogma-sentris. Repot memang untuk meyakinkan tentang adanya fakta yang berkebalikan kepada orang-orang yang sejak lahir terlanjur percaya bahwa Spiderman itu suatu tokoh nyata.


Pandangan IR sebaliknya berupaya untuk menyaring pemikiran-pemikiran Yesus dari segala macam bumbu-bumbu yang menyertainya. Bumbu-bumbu tersebut sengaja disertakan agar pemikiran Yesus menjadi workable di zaman ditulisnya injil-injil. Kenyataan ini seringkali tidak diketahui khalayak ramai, entah sengaja disembunyikan agar tidak bertentangan dengan kekristenan nenek kita, atau memang lalai diperhatikan dan mungkin agar hidup lebih enak. Bumbu-bumbu tersebut bisa berupa macam-macam unsur, mulai yang keren seperti filsafat Yunani maupun yang tidak keren seperti “paganisme” yang kemudian dikemas dalam dogma ala Athanasius, Agustinus dst. Menghayati Alkitab secara harfiah dengan demikian, menurut IR, adalah dosa besar. Ironisnya, dogma-dogma inilah yang berkuasa di mimbar-mimbar gereja; bukan ucapan Yesusnya sendiri! Dalam bahasa saya sendiri, dogma itu saya ibaratkan seperti mencontoh jawaban ujian dari seorang teman sebelah bangku yang sebenarnya dia sendiri tidak tahu jawaban yang tepat itu seperti apa.

Jadi, dalam pandangan IR, mengikuti Yesus lewat ucapan-ucapannya yang telah diselidiki benar-benar keautentikannya adalah lebih bertanggung jawab.
Yesus yang mengutamakan kasih, belarasa, adalah Yesus yang menjadi junjungannya. Dan ide Yesus sebagai kasih inilah yang yang menginspirasi beliau akan ide-ide pluralis, sikap toleran dan kehidupan yang tidak terkotak-kotak dalam sekat-sekat ideologi atau dogma agama. Baginya, kehidupan di bumilah yang harus didahulukan agar keselamatan di antara sesama bisa diwujudkan, bukan spekulasi-spekulasi supernatural yang tidak jelas dasarnya. Menurutnya, hal yang sudah dianggap sebagai suatu kebenaran kekal tidak harus menjadikannya tidak dapat dikaji ulang. Motto beliau adalah (dikutip dari Plato): HIDUP YANG TIDAK DIKAJI BUKANLAH HIDUP.

Bagi sebagian orang, pandangan seperti ini adalah suatu berkah yang mencerahkan. Sebaliknya, bagi sebagian yang lain, pandangan ini adalah pandangan yang sesat, meracuni, menggerogoti iman, makanya harus diberangus. Tetapi IR sepertinya jalan terus dengan keyakinannya. Dari blog-blognya di Internet (kini sudah ada empat blog pribadi dan satu blog kolektif!) bisa kita lihat bahwa fansnya makin lama makin banyak. Pemikiran-pemikirannya yang orisinal, segar, baru dan menggugah tampaknya banyak mengundang pemerhati. Lingkungan pergaulannya yang luas yang berasal dari berbagai elemen masyarakat menunjukkan penerimaan masyarakat akan keberadaannya dan pemikirannya.


Saya berharap agar pemikiran IR dapat terus lestari seiring dengan kemajuan zaman. Pilihan yang telah diambil oleh IR yaitu ilmu pengetahuan untuk mempelajari Yesus mengharuskannya untuk selalu mengkaji terus-menerus pikiran-pikirannya sendiri sesuai dengan sifat dasar ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan mudah-mudahan dia tidak terjebak dalam pola kerja keimanan selama ini yaitu, begitu sekali dirumuskan akan dipertahankan mati-matian sampai akhir zaman. Vladimir Putin mengatakan bahwa sejarah tidak pernah satu warna.


Akhir kata, saya ucapkan selamat kepada Pak IR atas emeritasinya. Semoga Tuhan selalu menyertai Bapak beserta keluarga.

Friday, November 27, 2009

Pak Ioanes Adalah. . . Seorang Pengusung Panji Reformasi Terdepan!

Sebuah opini pribadi seorang teman seperjalanan tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat

oleh Gunawan Suryomurcito

Anggota GKI, Ketua Umum Indonesian Intellectual Property Society


Pengenalan saya tentang Pendeta Ioanes Rakhmat boleh dibilang berawal di dunia maya, dunia cyber, melalui Internet. Waktu itu, sekitar tahun 1999, saya membaca di portal Apakabar yang diasuh oleh John McDougall, sebuah polemik antara Ioanes Rakhmat dengan beberapa orang, dan tulisan-tulisan yang menyerangnya dengan sangat sengit berkenaan dengan pendapatnya yang kontroversial tentang Yesus dan iman Kristen. Bermula dari kegelisahan saya sendiri mengenai berbagai dogma Kristiani yang seringkali membuat saya sakit kepala (dalam arti harfiah) akibat memikirkannya dengan menggunakan logika, munculnya figur Ioanes Rakhmat dan pergulatan pemikirannya serta posisinya sebagai orang yang “teraniaya” karena cintanya kepada Yesus sejarah membuat saya merasa mempunyai seorang teman walaupun belum pernah “copy darat.” Akhirnya pada tahun 2008, lagi-lagi melalui informasi di media Internet, saya mendapat suatu kesempatan untuk bertemu muka dengan Pak Ioanes di Teater Utan Kayu setelah suatu acara diskusi yang digelar oleh Jaringan Islam Liberal.


Setelah berkenalan dan saling mengenal lebih jauh dengan Pak Ioanes, ternyata ada beberapa persamaan pada pokoknya dalam perjalanan kehidupan kerohanian saya dengan kehidupan kerohanian beliau. Hal yang menonjol adalah bahwa saya pernah menjadi seorang penganut Buddhisme ketika saya sudah dewasa, sedangkan Pak Ioanes pada masa remajanya adalah seorang murid sekolah minggu di sebuah vihara Buddhis. Perkenalan saya dengan agama Kristen justru sangat dini namun agak traumatis. Pada waktu saya masih kecil, mungkin umur 5 tahun, nenek saya yang Konghucu sedang diinjili oleh pengabar Injil dari Gereja Bethel Injil Sepenuh di kota Kudus, Jawa Tengah. Nenek saya punya kebiasaan setelah makan malam duduk-duduk di bale-bale dan mendongeng, seringnya cerita horor tentang wewe gombel, genderuwo, glundung pecengis dan lain-lain cerita seram. Nah, suatu hari setelah ikut kebaktian di GBIS itu beliau menceritakan pengalamannya dan menyanyikan sebuah lagu rohani, begini bunyinya: “Injil yang terheran disampingku Hu.” Baris itu saja yang diulang-ulang oleh nenek dengan suaranya yang berat dan sumbang. Saya jadi ketakutan karena sebelumnya diceritakan tentang burung Kokok Beluk (Burung Hantu) yang jika berbunyi malam-malam di kuburan menandakan akan ada orang mati. Untuk saya ketika itu sesuatu yang bernama “Kuhu” itu sama dengan Burung Hantu yang menakutkan; akibatnya saya jadi ketakutan setiap kali nenek menyanyikan lagu favoritnya itu.


Lama sekali setelah itu, ketika saya sudah SMP dan ikut sekolah minggu Kristen di Gereja Kristen Muria Indonesia, Panjunan, Kudus, saya baru tahu bahwa “Hu” adalah sebuah sebutan untuk Tuhan. Ada satu hal lain yang di kemudian hari menjadi pokok pikiran kritis saya tentang dogma Kristiani, yaitu nenek saya selalu menyebut nama Yesus dengan sebutan penghormatan “tuan”, demikian juga untuk Allah; jadinya nenek sering menyebut Tuan Yesus dan Tuan Allah. Akhir-akhir ini saya jadi berpikir bahwa telah terjadi suatu pergeseran pemahaman teologis dalam gereja-gereja Kristen di Indonesia ketika sebutan Tuan Yesus (Lord Jesus) yang dulu itu (tahun 1950-an) diganti menjadi TUHAN Yesus (mungkin padanannya: God Jesus).


Perbedaan jalan kehidupan antara saya dengan Pak Ioanes adalah setelah ikut sekolah minggu Buddhis itu beliau “pindah agama” menjadi Kristen, bahkan masuk sekolah tinggi teologi Kristen sampai lulus jenjang S-3, sedangkan saya setelah ikut sekolah minggu Kristen justru berubah menjadi Buddhis. Guru spiritual saya yang terakhir adalah seorang pendeta Buddhis yang sangat berantipati terhadap agama Kristen akibat pernah mengalami luka batin gara-gara ayahnya meninggalkan kepercayaan nenek-moyangnya (Tri Dharma/Sam Kao) dan menjadi Kristen secara dramatis, yaitu dengan membongkar meja abu yang masih dipelihara oleh ibunya dan anaknya (guru saya itu) dan membuang abu sembahyangan dari hiolo (urn) ke dalam jamban. Bisa dibayangkan pengaruh negatif yang diturunkan kepada murid-muridnya untuk juga berantipati terhadap agama Kristen. Saya sudah menikah ketika itu; akibatnya terjadi konflik dengan isteri saya yang Kristen taat, sampai hampir berpisah. Saya mengalami suatu nervous breakdown akibat mengalami berbagai tekanan hidup, dan akhirnya menyadari bahwa justru isteri saya yang menyelamatkan saya dan bukan guru saya. Saya kemudian ikut katekisasi Kristen dan dibaptis di GKI Pondok Indah, walaupun dalam benak saya masih banyak pertanyaan terhadap dogma-dogma yang diajarkan dalam katekisasi itu. Jika Ioanes Rakhmat kemudian menjadi seorang pendeta dan seorang dosen, maka saya hanya menjadi anggota jemaat biasa di GKI Pondok Indah.


Kegelisahan saya tentang dogma-dogma Kristiani bermula sejak mengikuti kuliah agama Kristen yang diampu oleh Dr Liem Khiem Yang di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada awal dasawarsa 70-an. Ketika itu dibahas tentang fenomena menurunnya jumlah kaum muda di jemaat gereja-gereja di Jerman. Kaum muda di Jerman yang diajar untuk berpikir kritis, logis dan empiris sangat sulit untuk bisa menerima secara nalar dan mengimani “kebenaran” Alkitab, khususnya tentang hal-hal gaib seperti Yesus naik (terbang) ke surga secara fisik, dan lain-lain mukjizat yang diceritakan dalam Alkitab. Akibatnya mereka tidak mau lagi pergi ke gereja, karena gereja tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial mereka secara rasional. Hal ini pernah saya diskusikan dengan seorang saudara sepupu saya yang ketika itu baru saja menjadi Kristen dan masih “berkobar-kobar” semangat keimanannya. Beliau seorang insinyur lulusan sebuah universitas di negeri Belanda yang dalam hal-hal duniawi berpikir dan bertindak secara sangat rasional. Namun ketika berbicara tentang dogma-dogma Kristiani beliau bilang kepada saya bahwa iman Kristen itu di atas segala nalar manusia, jadi sebaiknya jangan pakai logika ketika membicarakan tentang Injil dan cerita-cerita Alkitab yang gaib dan ajaib. Saya waktu itu tidak membantah, tetapi dalam benak saya berkecamuk kegalauan tentang pertentangan antara nalar dan iman.


Kegalauan itu bertambah ketika saya membaca perdebatan antara kaum creationists dengan kaum evolutionists dan empiricists tentang penciptaan bumi dan alam semesta. Saya beranggapan bahwa kaum creationists, yang bersikukuh bahwa Alkitab tidak memiliki kesalahan apapun dalam argumen-argumen mereka untuk mempertahankan pendapat mereka, sudah menjadi tidak objektif dan secara a-priori menolak semua fakta ilmiah yang telah terbukti secara empiris. Misalnya tentang usia planet Bumi dan evolusi spesies di dalamnya yang diperkirakan sudah berlangsung 3 milyar tahun, dan alam semesta yang sudah berumur 14 milyar tahun, sedangkan menurut kaum creationists usia bumi hanya 4000 tahun. Argumen yang digunakan untuk menyerang pendapat kaum evolutionists dan empiricists utamanya adalah bahwa mereka, kaum yang rasionalis ini, selalu menyesuaikan pendapat mereka dengan berbagai fakta empiris baru yang kebenarannya terbukti secara ilmiah. Jadi kata mereka, kaum evolutionists dan empiricists itu tidak punya pegangan yang tetap, sedangkan Alkitab yang mereka percayai total, bagi mereka, adalah satu-satunya pegangan yang tetap dan tidak akan berubah sampai kapanpun.


Dalam hubungan dengan perdebatan di atas itu, saya lebih setuju dengan pandangan dan sikap intelektual Pak Ioanes yang progresif, terbuka untuk menerima fakta-fakta baru, berani mengakui kesalahan dan mengubah pendapatnya kalau memang terbukti salah secara empiris. Saya sulit menerima pandangan dan sikap “intelektual” kaum fundamentalis Kristen yang bersikeras mempertahankan dogma-dogma yang dihasilkan oleh pemikiran orang-orang yang hidup ribuan tahun yang lalu berdasarkan suatu pandangan hidup dan suatu pandangan dunia mereka pada saat itu di tempat-tempat lain. Sedangkan zaman sudah berubah, pandangan hidup dan pandangan dunia manusia masa kini sudah berubah pula; masakan saya harus terpaku dan mandah menerima begitu saja pemikiran-pemikiran orang-orang zaman dulu? Lagi pula menurut saya agama adalah suatu produk budaya yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat tertentu pada zaman tertentu, bukan sesuatu yang jatuh dari langit dalam keadaan utuh begitu saja tanpa sentuhan dan olah akal manusia dan masyarakat pendukung kebudayaan tertentu itu.


Akhir-akhir ini setelah membaca tulisan-tulisan Pak Ioanes dan serangan-serangan terhadap tulisan-tulisan itu oleh kaum fundamentalis Kristen, saya mencermati adanya suatu perbedaan fundamental dari pendekatan keduanya. Tulisan-tulisan Pak Ioanes selalu didasarkan pada penalaran yang ajeg (konsisten) atas fakta-fakta tentang dan di sekitar cerita-cerita Alkitab dan dogma-dogma Kristiani. Bahan-bahan bacaan yang digunakannya sangat beragam dan beliau tidak pernah secara a-priori menolak gagasan orang lain hanya berdasarkan dogma-dogma Kristiani yang ada. Sebaliknya, serangan-serangan terhadap pemikiran-pemikiran beliau kebanyakan atau bahkan boleh dibilang semuanya sangat dogmatis dan seringkali menafikan nalar. Ujung-ujungnya, setelah tersudut karena argumen-argumen mereka sendiri yang tidak masuk akal walaupun kata mereka “masuk iman”, digunakanlah argumentum ad hominem, yaitu argumen yang menyerang pribadi Pak Ioanes sebagai seorang manusia, bukan ditujukan kepada argumen rasional beliau; bahkan juga ada sekian serangan yang ditujukan kepada postur fisik beliau yang dulu memang kurus, tidak seperti sekarang yang sudah “gemuk berisi.” Ada juga yang mengancamkan kutukan masuk ke neraka kepada beliau.


Ketika saya merefleksikan keadaan yang berkembang di sekitar Pak Ioanes dan membandingkannya dengan keadaan yang diberitakan dalam kitab-kitab Injil tentang perseteruan kaum Farisi dan kaum Saduki dengan Yesus, saya melihat ada suatu persamaan yang mendasar, yaitu pertentangan antara upaya mempertahankan kemapanan dan upaya mereformasinya. Lebih jauh lagi, ketika saya membandingkannya dengan periode awal tumbuhnya gereja Reformasi (abad XVI), saat ini menurut saya Pak Ioanes adalah seorang pengusung panji reformasi yang terdepan. Semboyan Calvin “Ecclesia Reformata Semper Reformanda” benar-benar sudah, sedang dan masih akan dijalankan oleh Pak Ioanes. Dalam pengamatan saya, segala perbedaan pendapat dan perdebatan yang terjadi selama ini antara Ioanes Rakhmat dengan pihak-pihak yang berseberangan adalah suatu proses yang wajar dalam dinamika perjumpaan antara kaum pembaharu dengan kaum pemelihara kemapanan.


Namun demikian, dalam proses itu saya berpendapat bahwa saya harus memilih berdiri di mana. Menjadi murid Yesus yang progresif atau menjadi pengikut Imam Besar Kayafas yang konservatif, yang telah menjatuhkan vonis mati kepada Yesus? Saya pernah memikirkan sebuah perumpamaan tentang diri saya sendiri yang berusaha berpikir kritis dan progresif dalam menjadi murid Yesus dan menyandang sebutan “orang Kristen”, lalu membuat perumpamaan ini menjadi sebuah semboyan bagi kehidupan saya, demikian: “Lebih baik menjadi seperti seekor kambing gunung yang berani menentukan sendiri sebuah batu pijakan untuk melangkah ke depan di tebing curam, daripada menjadi seperti seekor domba gembalaan yang digiring kesana kemari bersama kawanannya di padang rumput hijau tanpa punya pilihan pribadi!” Setelah itu saya memilih bergabung dengan “kambing-kambing gunung” lainnya untuk ikut menapaki batu-batu pijakan di tebing curam bersama Pak Ioanes yang telah lebih dahulu menapakinya dengan berani dan tak gentar ketika menghadapi hujan cercaan dan badai cemoohan.


Status emeritus bagi seorang pendeta dapat dilihat sebagai akhir dari karirnya sebagai seorang pejabat struktural gereja; akan tetapi bagi seorang Ioanes Rakhmat emeritasi adalah sebuah awal dari suatu karir baru dan terbukanya cakrawala baru. Selamat menapaki tebing-tebing batu yang baru dan lebih menantang, Pak Ioanes Rakhmat!



Thursday, November 26, 2009

Ioanes Rakhmat, Seorang Yang Mencari Kebenaran Paling Hakiki . . .

Sebuah opini seorang sahabat tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat

oleh Pdt Prof. Dr. K.A.M. Jusufroni
Bishop Gereja Kemah Abraham dan Rektor STT Apostolos

Saya mengenal Pak Ioanes Rakhmat ketika dia menjadi seorang gembala di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kepa Duri, Jakarta. Selanjutnya, saya mengenal beliau ketika beliau aktif menjadi seorang staf pengajar di sebuah sekolah teologi di Jakarta.

Ioanes Rakhmat adalah seorang akademisi sejati. Hal itu nyata dari tulisan-tulisannya serta buku-buku yang ditulisnya. Dia adalah seorang intelektual Kristen yang kaya akan telaah-telaah kritis, sehingga melalui telaah-telaahnya perbendaharaan teologi Kristen terus diperkaya, bahkan merangsang banyak mahasiswanya untuk menjadi para teolog dan pemikir yang kritis, yang mampu menganalisa secara ilmiah setiap konsep pemikiran dan kiprah gereja.

Dari pemikiran-pemikiran Pak Ioanes, banyak hal yang tadinya terselubung, disingkapkan, menjadi terbuka, tidak saja bagi akademisi Kristen, tapi juga bagi setiap orang yang terus-menerus bertanya tentang kekristenan itu sendiri.

Secara pribadi, saya sangat terbantu melalui karya-karya dan pemikiran-pemikiran Ioanes Rakhmat, khususnya terbantu dalam mewujudkan sebuah visi saya untuk gereja kembali kepada suatu bentuk Judeo-Christianity, kekristenan Yahudi. Dia begitu ulet menggali akar-akar kekristenan dari literatur-literatur klasik, yang mungkin bagi sebagian orang hanya ditemukan dari kutipan-kutipan tulisan teolog-teolog lain. Tapi, Pak Ioanes betul-betul menggalinya secara objektif dengan pendekatan akademis yang luar biasa.

Memang, tidak semua pemikiran kami sejalan. Ada hal-hal yang kami tak sependapat; tapi saya jelas sangat menghargai pikiran-pikiran kritisnya sebagai suatu rangsangan untuk mencari kebenaran yang paling hakiki. Kekristenan sangat membutuhkan figur-figur seperti Ioanes Rakhmat, yang tetap konsisten pada semangat criticism-nya, teguh pada idealismenya dan mengedepankan kaidah-kaidah ilmiah yang terus-menerus diperbaruinya tatkala dia menggali teks-teks klasik, bahkan dalam telaahnya atas kitab suci.

Mungkin banyak orang berpikir bahwa Ioanes Rakhmat adalah seorang pribadi yang labil dan imannya sangatlah lemah. Namun, dalam pergaulan pribadi dengannya, saya melihat suatu kenyataan yang berbeda. Bagi saya, Pak Ioanes adalah seorang yang sangat teguh, termasuk dalam kepercayaannya kepada Yesus Kristus sebagai sang “Junjungan.” Dia tetap berdoa, tidak gelisah dalam hal apapun, dan senantiasa merasa nyaman dengan posisi teologis dan agama yang dipegang dan dikembangkannya terus. Sungguh, saya tidak menemukan adanya masalah dengan kekristenan seorang Ioanes Rakhmat.

Dengan memasuki masa emeritus dan lepas dari jabatan struktural gerejawi, Pak Ioanes akan memiliki lebih banyak kebebasan untuk mencurahkan pikiran dan tenaganya dalam bidang akademis. Sebagai seorang teolog atau lebih tepat pemikir Kristen, di situlah tempat yang pantas bagi Pak Ioanes, yaitu dalam dunia pemikiran dan pendidikan.

Kecemerlangan pemikiran Pak Ioanes akan sangat memperkaya khazanah pemikiran Kristen, dan sangat disayangkan apabila pemikiran-pemikiran semacam ini ada yang mau “cekal” hanya karena kekuatiran goncangnya iman umat. Sebab, saya percaya, bahwa ada suatu maksud mulia Pak Ioanes di balik pengembaraan intelektualitasnya. Ada suatu capaian penting bagi kemajuan pemikiran Kristen yang ingin diraih olehnya, dan hal seperti itu perlu didukung bersama.

Wednesday, November 25, 2009

Ioanes Rakhmat, Suatu Jiwa Yang Berkelana Bebas. . .

Sebuah opini seorang guru dan sahabat tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat
oleh Prof. em. Richard W. Haskin, Ph.D.

Selesai pendidikan SMA, Ioanes Rakhmat, setelah bekerja kurang lebih dua tahun sebagai seorang analist logam, masuk ke dalam suatu sekolah tinggi teologi di Jakarta untuk mengejar gelar sarjana. Pada sekolah tersebut, satu anggota dewan pengajar adalah saya. Maka, dari semula, Ioanes dan saya sudah saling berkenalan dalam rangka persekutuan orang yang ingin menambah pengetahuan supaya kiranya bertambah pula hikmat yang bermanfaat bagi sesama manusia dimana saja di dunia ini. Tujuan yang sedemikian, kami setuju, akan didekati hanya apabila kami mau dan mampu berpikir tajam serta kritis, dengan pemikiran yang mencakup secara sungguh-sungguh segi kerohanian. Inilah corak hubungan kami sampai sekarang, kendatipun, selama sepuluh tahun terakhir ini, kami terpisah jauh secara geografis: dia di Jakarta, dan saya di Seattle, California, USA.

Pada tahun pertama dalam studi sarjananya, kami di dewan pengajar memperhatikan kecerdasan Saudara Ioanes serta semangatnya untuk mendalami hampir setiap mata pelajaran. Dan dia cepat menjadi fasih dalam bahasa Inggris, sehingga, menjelang selesainya studi sarjana, dia sudah mampu menerjemahkan makalah-makalah bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dengan mutu yang baik untuk diterbitkan.

Sesudah memperoleh Sarjana Satu, Ioanes bekerja sebagai seorang pelayan gereja, tetapi dia tidak mengabaikan kegiatan penerjemahan dan upaya penulisan hasil pemikirannya sendiri. Sesudah beberapa tahun, dalam semacam “kerja sama” dengan suatu universitas di Belanda, dia diterima ke dalam program studi Sarjana Tiga, dan saya ditunjuk selaku seorang penasehat utama selama dia mempersiapkan skripsi besar (“dissertation”). Saya dan rekan-rekan berkesan sekali mengenai kemampuan Ioanes untuk membuat sebuah pengkajian independen serta merampungkan hasil pengkajian itu; begitu juga kesan kami mengenai kemampuannya untuk membela tesisnya dalam ujian lisan.

Menurut saya, yang belakangan ini ditulis oleh Ioanes Rakhmat pada yang disebut “blog-blog” di Internet menolong orang untuk memperoleh sejumlah gambaran tepat tentang pandangan dan sikapnya. Ioanes memandang diri sebagai suatu jiwa yang berkelana bebas—“bebas” karena berpikir bebas—untuk mencari kebenaran yang tidak mudah ditemukan namun yang dapat memerdekakan manusia dari ketidaktahuan, dari kepercayaan buta, dan dari prasangka; dan kebenaran itu dapat mengantar manusia ke dalam kebebasan pemikiran serta perasaan yang bertanggungjawab. (Lihat blog Ioanes yang diberinya nama “The Freethinker Blog”)

Tetapi, sebagaimana saya sudah mencatat di atas, Ioanes menekankan bahwa pemikiran harus kritis karena hanya dengan sifat seperti itu akan ada suatu daya yang cukup kuat untuk menantang bahkan menghancurkan pemikiran dan sikap biasa yang telah terlalu sering mengakibatkan ketidakadilan dan penindasan bagi begitu banyak manusia. Tetapi, sekali lagi, Ioanes menegaskan bahwa pemikiran kritis harus bertanggungjawab demi kepentingan seluruh umat manusia. (Lihat blog Ioanes yang diberinya nama “The Critical Voice Blog”)

Ioanes mengaku diri selaku orang Kristen, tulisnya: “...saya adalah seorang pencinta Yesus dari Nazaret...”; tetapi dia menilai tidaklah gampang usaha untuk mencari Yesus yang autentik ini, yaitu Yesus sebagaimana dia dulu berada, dalam perkataan dan perbuatan, dalam sejarah dunia ini. Apalagi, kata Ioanes, ada banyak risiko dalam pencarian ini karena yang ditemui bisa cukup berbeda, bahkan bertentangan, dengan yang lama, yang biasanya diberitakan oleh gereja-gereja. Ioanes mendukung pencarian ini karena dia yakin, seperti saya, bahwa pengertian tepat atas Yesus sejarah menguatkan kaum Kristen untuk berpikir dan bertindak dengan tidak terikat pada dan dikendalikan secara menyeluruh oleh lingkungan sodio-budaya-politiknya yang bisa menindas manusia! (Lihat blog Ioanes yang diberinya nama “The Jesus Blog”)

Namun, dengan kuat, Ioanes berjuang untuk hidup sendiri dan mengajak warga negara Indonesia lain untuk hidup selaku pendukung Indonesia sebagai negara yang sistim kenegaraannya sungguh-sungguh harus berdasarkan Pancasila, yaitu, menjadi sebuah negara yang adil, demokratis, bebas dalam menganut agama, prihatin terhadap kemiskinan, jujur secara intelektual, dan bertanggungjawab terhadap semua warga dan seluruh umat manusia. Saya berpendapat bahwa suatu bukti kuat atas penerimaan umum terhadap pemikiran dan sikap Ioanes dalam hal ini terlihat dalam keberhasilannya untuk mendirikan suatu jaringan di Internet, dalam bentuk suatu blog kolektif yang diberi nama “The Countertheocracy Blog”, bagi orang-orang siapapun yang mau bergabung untuk ikut memperjuangkan apa saja yang diharapkan akan menambahkan keadaan baik, secara fisik dan akali, bagi seluruh masyarakat Indonesia!

Menurut saya, orang semacam Ioanes Rakhmat ini, orang yang sudah lama memperjuangkan pemikiran yang bebas dan kritis serta cara hidup yang penuh tanggungjawab terhadap diri sendiri dan terhadap sesama manusia, patut sekali dihormati. Pada saat ini, ketika Ioanes memasuki suatu tahapan baru dalam kehidupannya, masa emeritasi, saya, mantan gurunya dan senantiasa kawannya, mengucapkan: SELAMAT.

Wednesday, November 11, 2009

Manajemen Pikiran (5)

mind and religiosity

Pada bagian akhir sebuah tulisan yang lalu, saya bertanya, apakah tidak ada nilai positif pada teodise. Kalau teodise dipikirkan sebagai sebuah keyakinan teologis bahwa karena allah YME itu mahakuasa, mahatahu, mahakasih, mahapenolong dan mahadil, maka dia akan senantiasa meluputkan seorang mukmin dari segala bencana, teodise yang semacam ini umumnya merusak dan mendemoralisasi si mukmin ketika dia sedang mengalami bencana yang tidak bisa diterimanya dengan ikhlas. Karena itu, kalau teodise kita kehendaki dapat memberi sebuah dampak positif pada manusia yang sedang menderita, kita harus membuat satu atau dua modifikasi pada konstruk pemikiran teologis ini. Pikiran kita harus dirombak cukup mendasar untuk kita bisa hidup tenteram dan ikhlas di tengah bencana sementara kita dapat tetap memegang kepercayaan bahwa allah itu mahakasih dan mahaadil. Merombak pikiran adalah salah satu langkah efektif dalam manajemen pikiran agar pikiran kita memberi kita ketenteraman dan kekuatan serta keikhlasan dalam kehidupan kita. Pikiran tentang allah yang kita rombak, akan berpengaruh positif pada sisi kerohanian kita.

Saya mulai dengan suatu pengalaman nyata yang umumnya dialami setiap orang ketika dia sedang mengalami suatu persoalan berat atau suatu kesusahan, misalnya ketika dia sedang menanggung suatu penyakit berat yang tak tersembuhkan. Sebutlah yang sedang menanggung suatu penyakit berat ini teman kita si A, seorang yang dikenal taat beragama dan menaruh kepercayaan penuh pada tuhannya. Dia sudah tahu bahwa penyakitnya sudah tak dapat disembuhkan lagi, dan bahwa dia tinggal menunggu waktu saja untuk meninggal. Pergumulan teologisnya di sekitar persoalan teodise sama sekali belum berakhir: sekian pertanyaan dan tuduhan berat masih senantiasa si A ajukan kepada tuhannya. Sisi kerohanian kehidupannya sedang rapuh, kalau tidak mau dikatakan sudah hancur lebur. Tetapi ada sesuatu yang menakjubkan terjadi pada dirinya.

Meskipun secara spiritual si A sedang lemah, tetapi sikap-sikapnya terhadap penyakit yang sedang ditanggungnya dan juga terhadap dirinya sendiri menunjukkan suatu perkembangan positif: dia dari hari ke hari makin bisa menerima kenyataan bahwa penyakitnya sudah tak bisa disembuhkan lagi, dan bahwa dia perlu mempersiapkan diri dengan tenang dan ikhlas untuk menerima ajal tidak lama lagi. Mengapa sikap positif semacam ini bisa muncul dan makin mantap di dalam dirinya sementara imannya kepada tuhannya sudah hancur total?

Tentu ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap dirinya sehingga dia dapat memperlihatkan sikap-sikap positif semacam ini. Tetapi faktor yang sangat menentukan tidak lain adalah dukungan dan empati psikologis yang tulus, yang diterimanya dari para kekasihnya dan dari orang-orang di sekitarnya selama dia menjalani hari-hari terakhir kehidupannya, yang akhirnya harus diserahkannya kepada kekuasaan penyakitnya. Istrinya yang tabah senantiasa menemaninya, senantiasa menghibur, senantiasa menguatkannya, senantiasa menunjukkan suatu empati besar terhadap azabnya, kendatipun sang istri diketahuinya tidak memiliki kekuasaan apapun untuk menyembuhkannya. Tim dokter dan jururawat yang menangani penyakitnya dan merawat fisiknya juga memberikan perhatian dan empati yang sama besar, meskipun mereka dimakluminya sudah tidak akan bisa menyembuhkannya. Dan, lebih khusus lagi, si A selalu didampingi oleh seorang teman karibnya yang juga memberikan empati dan perhatian yang sangat besar. Sahabat karibnya ini tidak pernah mengkhotbahinya agar dia jangan memberontak dan durhaka kepada allah, tetapi lebih banyak berdiam diri dan melalui sikap diamnya ini dia memperlihatkan diri sebagai seorang yang ikut menderita bersamanya, sebagai seorang yang sedalam-dalamnya ikut menanggung sakit-penyakitnya kendatipun dia sama sekali tidak memiliki daya apapun untuk menyembuhkannya. Temannya ini, dan semua kekasih dan orang yang merawat dirinya, terus memperlihatkan kesetiaan dan empati mereka untuk terus berada bersamanya bahkan sampai ajal datang kepadanya. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa setia menemani, ikut berbelarasa sedalam-dalamnya, sampai kapanpun selama dia masih hidup.

Nah, jika si A di hari-hari terakhir kehidupannya bisa memperlihatkan sikap-sikap positif terhadap penderitaan yang sedang ditanggungnya dan juga terhadap dirinya sendiri karena dukungan dan empati psikologis yang demikian besar dan bertahan sampai akhir dari orang-orang di sekitarnya kendatipun orang-orang ini tidak memiliki daya apapun untuk menyembuhkan, maka kita perlu memegang suatu konsep tentang allah yang sejalan. Jika teodise mau memberikan suatu dampak positif terhadap kaum mukmin yang sedang ditimpa bencana berat, konsep tentang allah yang mahakuasa dan mahapenolong harus kita ganti dengan konsep tentang suatu allah yang tidak mahakuasa dan tidak mahapenolong, tetapi mahasetia dan mahaberempati terhadap kaum mukmin yang percaya kepadanya, yang sedang menanggung penderitaan berat. Konsep tentang allah yang semacam ini adalah suatu konsep tentang allah yang berwajah dan bertabiat sangat insani, sangat setia dan berbelarasa terhadap setiap mukmin yang menderita kendatipun sang allah ini, seperti manusia pada umumnya, lebih banyak tidak berdaya dalam melawan penderitaan dan kematian. Dalam kepercayaan Yahudi-Kristen, konsep tentang allah yang semacam ini diungkap dalam satu kata terkenal, yakni Immanuel, artinya “allah bersama kita”, dan dalam teologi inkarnasi: allah menjadi manusia dengan menyandang semua kodrat keinsanian, dan juga dalam teologi kenosis: allah mengosongkan dirinya total, menjadi seorang manusia sepenuhnya yang bahkan tidak berdaya sama sekali ketika harus menghadapi kenyataan kematian. Allah yang semacam ini tidak mahakuasa, tidak mahapenolong, tetapi tetap mahakasih, mahaadil, mahamenyertai dan mahaberbelarasa.

Jika seorang mukmin yang sedang menanggung azab dan kesengsaraan berpikiran demikian tentang allahnya, pikirannya ini akan berpengaruh pada sisi kerohaniannya. Dalam penderitaannya, si mukmin yang memegang teologi kesetiaan, belarasa sekaligus ketidakberdayaan allah semacam ini tetap bisa merasakan allah-nya begitu dekat dengan dirinya, bahkan menyatu dengan dirinya dan ikut bersamanya menanggung sakit penyakitnya sampai ajal mendatangi dirinya. Nah, manage-lah pikiran anda dan sahabat-sahabat anda sedemikian rupa sehingga anda dan mereka sanggup melepaskan suatu konsep tentang allah yang mahakuasa, dan sebaliknya merangkul suatu konsep tentang allah yang sangat insani: tidak mahakuasa, tetapi tahu apa artinya menampakkan persahabatan dan belarasa kepada kaum mukmin yang sedang menderita sampai ajal menjemput diri mereka.

Friday, November 6, 2009

Manajemen Pikiran (4)

meditasi, pikiran dan jagat raya

Alam di planet Bumi dan planetnya sendiri adalah salah satu manifestasi dari alam raya maha besar tak terbatas. Kekuatan-kekuatan alam dan hukum-hukumnya yang tampak dan bekerja di planet Bumi adalah bagian dari kekuatan dan hukum alam yang memenuhi dan bekerja di alam semesta maha besar dan maha tak terbatas. Kemahabesaran dan kemahatakterbatasan alam raya adalah bagian dari sifat alam raya itu sendiri. Nah, bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap alam raya mahabesar dan mahatakterbatas ini? Karena sikap dan perilaku terhadap alam dilahirkan dari pikiran, maka sikap dan perilaku yang benar terhadap alam ditentukan oleh pikiran yang benar tentang alam itu sendiri.

Dalam tulisan sebelumnya telah dianjurkan untuk manusia mengendalikan pikirannya untuk senantiasa selaras dengan alam, kekuatan dan hukum-hukumnya, baik ketika alam mendatangkan kebaikan bagi manusia maupun ketika alam menimbulkan malapetaka dan bencana kepada manusia. Kalau seseorang berpikir selaras dengan mekanisme kerja alam dalam segala situasi alam, orang itu akan merasakan batinnya tenteram dan pikirannya tenang dan akan meneruskan suasana batin dan keadaan pikirannya yang semacam ini kepada lingkungan kehidupan sekitarnya.

Ada hal-hal lain yang ditimbulkan oleh pemikiran yang selaras dengan alam. Berpikir selaras dengan alam akan memampukan orang untuk mengambil suatu sikap reverensial terhadap alam, yakni sikap respek, hormat, takjub dan gentar terhadap alam yang mahabesar dan mahatakterbatas. Sikap semacam ini membuat orang mengambil jarak terhadap alam dan tidak bertindak sembarangan terhadapnya. Sikap ini membuat orang mampu melihat suatu aura kesucian, a sacred quality, terpancar dari alam, yang diterima dan dirasakannya serta berpengaruh besar terhadap dirinya pribadi. Jika terhadap alam yang mahaluas dan mahatakterbatas ini seorang manusia dapat memberi sikap reverensial semacam ini, maka akan sangat lebih dimudahkan baginya untuk dia juga dapat membangun suatu sikap reverensial terhadap semua makhluk hidup lainnya, khususnya terhadap sesama manusia dalam masyarakatnya.

Dengan terus-menerus melatih berpikir dan bersikap reverensial terhadap alam, orang akan terus-menerus dimampukan untuk hidup berdamai dengan sesamanya dan dengan lingkungan kehidupan kulturalnya. Dengan teratur dan rajin bermeditasi untuk melatih menyelaraskan detak jantung, aliran pernafasan, aliran darah dan aliran pikiran dengan kekuatan dan mekanisme kerja dan detak alam yang menyelimutinya sebagai suatu aura kesucian, seorang pemeditasi melatih mentalnya untuk membangun suatu sikap reverensial terhadap alam dan terhadap sesama manusia dan terhadap semua makhluk.


Orang sering salah berpikir bahwa dengan membangun suatu sikap reverensial terhadap alam, orang akan menjadi pasif terhadap alam dan tidak berani mengeksplorasi alam, dan akibatnya ilmu pengetahuan manusia tentang alam tidak akan berkembang dan pada gilirannya manusia tidak akan menerima lebih banyak hal berguna dari alam. Saya ingin tegaskan bahwa ini adalah suatu pikiran yang keliru. Kekeliruan berpikir ini timbul tidak sedikit karena suatu ajaran agama yang salah atau tidak lengkap. Orang beragama pada umumnya senantiasa diajarkan untuk membangun suatu sikap reverensial total terhadap suatu “allah” yang mahakuasa. Tentu pada satu pihak ajaran ini mengandung suatu kebenaran khususnya dalam rangka membentuk suatu religious attitude, suatu sikap keagamaan. Tetapi pada pihak lain ajaran ini sering disampaikan dengan tidak lengkap.


Dalam suatu kisah suci Yahudi Nabi Musa konon diperintahkan untuk jangan mendekati teofani ilahi yang berupa “semak duri yang bernyala tetapi tidak terbakar” (Keluaran 3:1-5). Ketika Nabi Musa bermaksud untuk “memeriksa” atau “melihat”, mengeksplorasi, teofani di Gunung Horeb itu dari dekat, keluarlah suatu peringatan ilahi: “Janganlah datang dekat-dekat; tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu adalah tanah yang kudus” (ayat 5). Seperti keyakinan Yahudi ini, kebanyakan agama mengajarkan pemeluknya untuk tidak boleh datang dekat-dekat ke allah yang mereka sembah sebagai allah yang mahabesar dan mahatakterbatas. Dalam banyak ajaran agama-agama, allah yang semacam ini tidak boleh diperiksa dekat-dekat; allah yang semacam ini harus dijaga untuk tetap berada di kawasan kudus yang tidak boleh dimasuki manusia, kawasan suci yang tidak boleh dieksplorasi. Jadi, sikap reverensial dipertahankan kuat-kuat bahkan sampai membuang dan mematikan dorongan eksploratif manusia untuk memeriksa dan meneliti kawasan kudus ini.


Dalam manajemen pikiran yang saya sedang kembangkan, justru orang harus berani berpikir berbeda dari yang lazim dan tradisional. Saya ingin menegaskan bahwa kalau allah memang mahabesar, mahatakterbatas dan mahakudus, maka kemahabesaran, kemahatakterbatasan dan kemahakudusannya ini tersedia justru untuk dieksplorasi oleh manusia tanpa pernah bisa habis dieksplorasi, bukan untuk dijagai dan dilindungi dari segala macam bentuk pengeksplorasian.

Allah apapun tidak akan kehilangan kemahabesaran, kemahatakterbatasan dan kemahakudusannya jika semua ini dieksplorasi manusia yang menyembahnya. Allah yang takut dieksplorasi, atau yang dibentengi oleh para pemuka keagamaan sehingga tidak dapat dieksplorasi, justru bukan lagi allah yang mahabesar, mahatakterbatas dan maha kudus. Jadi, menurut pikiran saya, Nabi Musa sepatutnya waktu itu datang mendekat, sedekat mungkin, untuk mengeksplorasi penampakan ilahi yang dilihatnya. Nabi Musa tetap harus mempertahankan sikap reverensialnya terhadap allah yang dilihatnya karena allah ini bagi orang Yahudi kudus; tetapi sikap reverensial ini harus mendorongnya juga untuk memperlihatkan sikap eksploratifnya.


Sikap reverensial dan kegiatan eksploratif terhadap allah harus tumbuh bersama dalam diri seorang mukmin. Sebesar apapun allah itu, dan sesuci apapun dia itu, kebesaran dan kesucian allah ini tetap sebuah gagasan yang dibuat manusia yang harus terbuka untuk diperiksa dan dieksplorasi lebih jauh. Menabukan eksplorasi, dan hanya mewajibkan sikap reverensial, hanya akan menghasilkan orang beragama yang kurang pengalaman, orang beragama yang tidak cerdas, orang beragama yang tidak berilmu, orang beragama yang tidak kreatif, dan orang beragama yang taat membuta. Keberagamaan semacam ini biasanya akan bermuara pada terorisme. Jika semua orang beragama seperti ini, agama apapun akan mati pada akhirnya setelah agama ini membunuh banyak anak manusia.

Nah, dalam kehidupan beragama, manage-lah pikiran Anda sedemikian rupa sehingga Anda selalu bergairah untuk mengeksplorasi allah Anda sambil tetap mempertahankan sikap reverensial Anda terhadapnya.
Nah, jika dalam dunia keagamaan Anda sudah me-manage pikiran Anda seperti yang saya baru anjurkan, maka Anda sudah dibebaskan dari suatu kendala untuk, selain menaruh respek penuh pada alam, juga untuk mengeksplorasi alam.

Alam yang mahabesar dan mahatakterbatas ini, yang darinya memancar suatu aura kesucian dan enerji kehidupan, tersedia untuk dieksplorasi, bukan untuk didiamkan. Jagat raya mahabesar ini tidak pernah habis untuk dieksplorasi. Dorongan mengeksplorasi alam yang disertai dengan sikap reverensial pada alam akan menghasilkan para ilmuwan dan teknologiwan yang bekerja dengan profesional, namun juga pada waktu yang bersamaan bekerja dengan penuh cinta pada alam. Bekerja dengan wawasan dan semangat serta sikap yang semacam ini akan menghentikan pengeksploitasian alam yang dilakukan manusia hanya demi memuaskan nafsu serakah mereka. Manage-lah pikiran Anda ke arah berpikir semacam ini, terlebih lagi jika Anda adalah para ilmuwan dan teknologiwan yang setiap hari bekerja dan bersentuhan langsung dengan dunia alam.

Tuesday, November 3, 2009

The Heterodox Jesus Blog

Two days ago, November 1, 2009, I founded a new blog which I named The Heterodox Jesus Blog. Via this blog, I intend to disseminate my heterodox thinking about Jesus to the English-speaking people all over the world . All posts on this new blog are therefore written in English. The address of this new enlightening blog is http://www.heterodoxjesus.blogspot.com. I earnestly invite all my friends and readers of all my other blogs to communicate this new blog of mine to as many people as possible. I am grateful for your cooperation.