tag:blogger.com,1999:blog-39300211138298982972024-03-21T16:12:52.010+07:00The Critical Voice BlogIoanes Rakhmat's blog founded on Feb 21, 2009<br><br><i>Even though it could destroy orthodoxy, let us think critically because being capable of thinking critically is the most precious gift for humankind given by nature to be used accountably for the goodness of all terrestrial and extraterrestrial beings now and forever<br><br>Die Wahrheit erleuchtet mich!<br>Kebenaran menerangi saya!</i>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comBlogger80125tag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-12303758040039741112011-03-27T16:36:00.004+07:002013-12-03T02:19:45.234+07:00Saya Sekarang Fokus pada Sains dan Ekonomi*<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Setelah gereja tempat bernaungnya selama lebih dari dua dekade melayangkan sebuah surat penanggalan kependetaannya (tertanggal 15 November 2010), tampaknya Ioanes Rakhmat (IR) menikmati hari-hari ke depannya dengan penuh optimisme dan kelegaan. Dia bahkan dengan tegas menyatakan sudah tidak tertarik lagi berbicara atau mendiskusikan soal agama. “Saya sudah tidak mau lagi bicara soal-soal agama. Biarlah agama menjadi suatu urusan privat antara seseorang dan Tuhannya. Kalau pun saya masih akan menulis topik tentang Yesus, sifat tulisannya bukan tulisan keagamaan, melainkan tulisan sejarah,” katanya.</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Dia mengonfirmasi bahwa perubahan orientasi perhatiannya ini dilakukan karena dia memandang adalah sesuatu yang sia-sia jika terus mengevaluasi sesuatu yang tak punya masa depan, agama misalnya, dalam zaman sains dan teknologi modern. Dalam abad-abad mendatang, revolusi dalam dunia sains dan teknologi akan mendatangkan banyak perubahan besar dan mendasar dalam kehidupan manusia di planet Bumi ini. Fokus pada bidang sains dan ekonomi diyakininya akan memberi kontribusi lebih banyak pada masyarakat. Ekonomi yang bagus akan memungkinkan sains dikembangkan dan rakyat dididik untuk menjadi <span style="font-style: italic;">scientific minded</span>. “Saya seterusnya akan berkonsentrasi pada dua bidang, yakni sains dan ekonomi. Sekarang saya sudah betul-betul tenang karena saya sudah tidak lagi menjadi seorang pendeta, dan saya memiliki kebebasan intelektual untuk berpikir dan menulis dan kebebasan mencari nafkah dan ikut mengembangkan ekonomi bangsa dan ekonomi sendiri”, ucapnya. Dua puluh tahun ke depan dipandangnya cukup untuk dia fokus pada dua bidang ini, dengan memberi suatu dampak signifikan pada kedua bidang ini bagi bangsa Indonesia.<br /></span></span><br />
<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhFFLngeBqw-OGydsBITseTWHLJyI1Jv64ToPjVoJgO051uopFsrQMu-RpvR8pjT1cIsXrkV-wgzouxFQ45VU_-EAPyPAYf0j6CoI1G4gGB6oMyMqfC2h0zfJFYnGioAbW8yezPdcoIiI/s1600/Demo-Serikat-Rakyat-Miskin-Indonesia.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5588697590133130050" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhFFLngeBqw-OGydsBITseTWHLJyI1Jv64ToPjVoJgO051uopFsrQMu-RpvR8pjT1cIsXrkV-wgzouxFQ45VU_-EAPyPAYf0j6CoI1G4gGB6oMyMqfC2h0zfJFYnGioAbW8yezPdcoIiI/s400/Demo-Serikat-Rakyat-Miskin-Indonesia.jpg" style="cursor: pointer; display: block; height: 246px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 368px;" /></a><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="font-style: italic;">per Maret 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan </span></span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="font-style: italic;">bahwa orang miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang</span></span></span></div>
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Baginya sebuah negara di dunia ini bisa menjadi besar dan ternama bukan karena agama-agama yang dianut rakyatnya. Tapi karena otak rakyaknya, otak yang diasah, otak yang mampu melahirkan sains, teknologi, dan kemampuan berpikir lintas zaman. “Itu yang harus kita perjuangkan untuk Indonesia. Otak masyarakat harus kita asah dan bina dengan melibatkan semua unsur penyelenggara pendidikan, baik di lingkungan pemerintah maupun di lingkungan non-pemerintah. Negara akan menjadi besar dan sukses, jika rakyatnya menguasai ilmu pengetahuan sebagai fokus sentralnya,” ungkapnya meyakinkan. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">PATRON mencoba menggali lebih dalam apa yang akan dilakukan IR sebagai seorang bebas. Demikian petikan wawancaranya. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;"> </span><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Sekarang Anda bukan seorang pendeta lagi. Apa yang akan Anda lakukan?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Saya mau fokus di hari-hari mendatang dalam hidup saya pada dua bidang, yaitu sains dan ekonomi. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Apa menariknya dua bidang ilmu yang Anda katakan itu?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Saya berharap kalau rakyat Indonesia makin banyak yang mampu berpikir ilmiah, menguasai banyak ilmu pengetahuan, ke depannya bangsa kita bisa tampil di dunia internasional dengan lebih terhormat dan berpengaruh. Bisa saja nanti sekian warganegara Indonesia muncul sebagai penemu sains atau teknologi baru. Karena itu, saya ingin ikut menyumbangkan kemampuan untuk menciptakan generasi muda Indonesia di masa depan yang mampu bersaing dan bertarung di dunia internasional, khususnya di bidang sains. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">B<span style="font-style: italic;">ida</span>ng sains yang Anda maksud itu seperti apa?</span></span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Banyak. Misalnya, menjadi penemu atau perumus teori-teori ilmu pengetahuan yang baru dan penginvensi teknologi. Saya sudah hampir dua tahun ini mendalami sains melalui buku-buku yang saya baca. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Lalu bagaimana Anda mengimplementasikannya kepada masyarakat? </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Melalui tulisan-tulisan saya. Saya sangat meminati sains fisika, astrofisika, kosmologi, astronomi, neurosains, neuroteologi, sains evolusi dan biologi sintetis, dan sudah memiliki sejumlah buku mutakhir yang berkaitan dengan sains. Dari bacaan-bacaan ini, saya menulis makalah-makalah, dan mencoba mengurai, mempresentasikan dan mendiskusikan topik-topik sains dengan teman-teman saya di berbagai kelompok kajian sains. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Di bidang ekonomi, apa yang Anda akan tawarkan? </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Kondisi ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia hingga saat ini jelas terlihat masih belum baik. Saya mau berpartisipasi di dalam usaha-usaha intelektual untuk mengembangkan ekonomi bangsa dengan berusaha mengangkat derajat ekonomi sebagian bangsa kita, melalui diskusi-diskusi rasional tentang ekonomi domestik masyarakat kita sendiri maupun masyarakat global. Sumbangan yang akan saya berikan bersifat intelektual, bukan bersifat material, sebab sudah tak mungkin lagi dalam waktu dua puluh tahun ke depan saya akan berubah menjadi seorang konglomerat besar Indonesia yang mencintai rakyat. Ternyata itu semua tampak tidak sulit dilakukan. Buku-buku yang saya beli, saya baca, lalu saya pahami dengan cepat. Sebuah buku ekonomi mutakhir yang saya telah beli berjudul <span style="font-style: italic;">Capitalism 4.0: The Birth of a New Economy in the Aftermath of Crisis</span>, karangan Anatole Kaletsky, dan diterbitkan pada 2010 oleh penerbit PublicAffairs. Pandangan-pandangan ekonomi mutakhir bisa saya kaji dan uji, lalu saya tawarkan kepada masyarakat melalui tulisan-tulisan saya. Bidang agama saya tinggalkan sama sekali, meskipun saya sendiri menghayati suatu spiritualitas yang <span style="font-style: italic;">beyond theistic religions</span>, spiritualitas yang melampaui semua agama teistik </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Perlu Anda ketahui, dalam bidang ekonomi, saya sekali lagi tidak memposisikan diri sebagai praktisi, tetapi sebagai pemikir. Tetapi saya sekarang ini bisa bebas berimajinasi tanpa akan dilabeli sesat oleh gereja: kalau saja Dewi Lakhsmi memang memberi saya sangat banyak kekayaan, dan atas bantuan sang Dewi dalam dua puluh tahun ke depan saya berubah menjadi seorang konglomerat Indonesia, saya tentu akan terjun juga ke dalam dunia praktis pemberdayaan ekonomi sebagian rakyat Indonesia. Pada saat sekarang ini, saya melihat bahwa yang bisa saya lakukan hanyalah bertukar pikiran, dengan mengikuti perkembangan di Barat, karena segala bidang ilmu pengetahuan berkembangnya di Barat. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Tadi Anda mengatakan akan meninggalkan kajian-kajian soal agama, sementara bidang ini sudah Anda dalami puluhan tahun. Maksud Anda sebenarnya apa? </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Bagi saya sekarang, sekali lagi, agama adalah urusan privat antara manusia dengan Tuhannya, urusan privat yang dapat dilakukan dengan cara jungkir balik, tegak, tidur, berbalik arah, atau membungkuk, atau pun terlentang, dengan mata terbuka atau dengan mata tertutup. Terserah masing-masing. Saya tidak mau mencampuri lagi. Entah agama akan dipakai sebagai sebuah justifikasi kekerasan atau sebuah justifikasi perdamaian, saya tak mau perduli lagi. Saya hanya mau mengatakan, saya menghormati agama Anda. Silahkan beragama seperti yang anda yakini dan hayati. Itulah yang seharusnya terjadi dalam dunia modern: agama menjadi urusan sangat privat, tidak dibawa masuk ke ranah sosial kebudayaan atau ke ranah politik. Sekali lagi agama itu urusan privat. Saya menghormati semua orang yang beragama dan juga orang yang tidak beragama. </span><br /><span style="font-family: georgia;"> </span><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Tetapi kan tidak semua orang bisa memahami itu. Agama bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia merupakan sesuatu yang sakral. Sedikit saja ada perbedaan, bisa berkelahi sampai bunuh-bunuhan. Bagaimanapun juga Anda kan seorang teolog yang berpikiran liberal. Kenapa Anda justru meninggalkan kajian agama? Bukankah pemikiran-pemikiran Anda mengenai toleransi, pluralisme dan multikulturalisme sangat dibutuhkan masyarakat? </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Oh, kalau tentang toleransi, pluralisme dan multikulturalisme sudah banyak orang yang bisa memberi pandangan, bahkan Pak Presiden SBY juga pasti memiliki pandangan-pandangan agung tentang semua itu. Minta saja beliau berbicara tentang agama-agama dalam koridor penegakan HAM, demokrasi dan norma-norma hukum formal. Saya sudah lama menekuni agama, selama tiga dekade, dan sekaranglah saatnya saya mundur dari dunia agama. Kalau ada kasus-kasus kriminal yang dilakukan atas nama agama, itu bukan urusan saya. Itu urusan negara dan aparat keamanan untuk membereskannya. Negara kita dibangun berdasarkan <span style="font-style: italic;">the Rule of Law</span>, berdasarkan Norma Hukum formal fundamental, bukan norma hukum rimba. Jadi sekali lagi saya sudah mengambil jarak dari agama dan membiarkan setiap orang memilih sendiri cara beragamanya sebagai pilihan pribadi. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Nampaknya Anda begitu kecewa dengan agama?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Oh, sama sekali tidak. Bukan kecewa. Tidak ada gunanya mencampuri agama orang lain. Itu saja kesimpulan saya sekarang. Selain itu, kita tentu semua sudah tahu, dalam zaman sains dan teknologi modern yang terus berrevolusi, agama-agama tradisonal akan semakin tidak signifikan, tersudut dan kalah, kendatipun agama-agama ini bisa tampil semakin garang, totalitarian dan agresif. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Sekarang ini ada sebagian orang yang memilih tidak beragama karena agama dianggap sebagai sumber konflik. Menurut Anda?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Anda sudah menyatakan hal yang benar, bahwa agama memang merupakan sebuah sumber konflik. Karena alasan itulah, saya juga sudah meninggalkan kajian agama. Pada sisi lain, hingga saat ini saya sendiri masih berdoa sebagai pribadi. Cuma doa saya adalah doa kontemplatif meditatif. Tak mungkin saya meninggalkan Yesus, sebab sudah selama dua dekade saya menerjunkan diri ke dalam bidang kajian Yesus historis. Lima tahun studi di luar negeri, di Eropa, saya lakukan hanya untuk mencari Yesus sejarah. Cuma perspektif saya tentang Yesus berbeda diametral dari perspektif kebanyakan orang Kristen. Kalau bagi kekristenan, kematian Yesus adalah sesuatu yang terpenting, maka bagi saya justru kehidupan Yesus itulah yang terpenting. Terserah penuh pada orang Kristen kalau mereka masih mau menghayati penebusan dosa lewat kematian Yesus. Tetapi hormatilah juga keyakinan saya pribadi, yang saya bangun di atas bukti-bukti ilmiah, bahwa kehidupan Yesus itulah yang dapat berdampak signifikan pada perubahan moralitas seorang manusia. Kehidupan setiap manusia jelas jauh lebih penting dari kematiannya.</span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Berdoa kepada siapa Anda?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Kepada Yesus pertama-tama. Cuma, sekali lagi, doa saya adalah doa kontemplatif meditatif. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Anda masih mempercayai Yesus?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Saya ulangi, bagi saya, dilihat dari kehidupannya, Yesus tetap hidup sampai sekarang. Itu saja. Anda juga sekarang bisa mengalami suasana dihadiri orang-orang besar zaman lampau kendatipun mereka semua sudah meninggal, misalnya ketika Mahatma Gandhi masih anda yakini membimbing Anda, atau ketika Martin Luther King masih mengilhami Anda, dan, khususnya, ketika Yesus terus mengilhami saya. Kalau Dewi Lakhsmi Anda yakini hidup, maka konsentrasi meditatif pada sang Dewi akan berdampak signifikan pada kehidupan Anda sekarang, seperti diklaim terjadi pada kehidupan setiap orang Hindu. Saya tidak pernah mengatakan <span style="font-style: italic;">good bye</span> pada Yesus. Saya punya dua blog di Internet yang saya peruntukkan untuk menampilkan sosok Yesus. Anda tak boleh lupa, keahlian saya adalah kajian tentang Yesus sejarah. Fokus saya pada Yesus berada dalam dua ranah, yakni ranah kajian sejarah dan ranah kehidupan spiritual. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Ternyata Anda masih beriman ya?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Ya, saya masih beriman, dalam koridor <span style="font-style: italic;">post-religious.</span> </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Apakah sekarang Anda masih hadir di kebaktian gereja?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Tidak. Saya hanya berdoa kontemplatif saja di rumah sendiri. Kalau saya hadir, saya selalu tak memperoleh apapun dari khotbah-khotbah yang disampaikan para pendeta gereja. Khotbah-khotbah mereka semuanya klise dan tak memuaskan intelek dan kalbu saya. Kalau intelek saya tak puas, maka demikian juga hati saya, juga sebaliknya. Akal dan hati berjalan harmonis dalam diri saya. Akal dan hati berproses di organ otak yang sama.</span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Cara berdoa kontemplatif?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Caranya sederhana, ya dengan menjadikan figur Yesus (dan juga figur-figur lain) suatu titik konsentrasi ketika saya berkontemplasi meditatif. Sifat-sifat Yesus yang saya sukai, saya beri simbol atau tanda atau gambar tertentu dalam bayangan saya. Misalnya, dia berbela rasa, bisa ikut merasakan penderitaan orang lain. Sifat bela rasa ini saya beri simbol sebuah hati merah. Simbol ini saya bayangkan ketika berdoa. Dan sambil membayangkan dan mengarahkan pikiran ke titik itu terus-menerus, dalam pikiran saya muncul terus kata-kata cinta kasih, cinta kasih dan cinta kasih.<br /><br />Sugesti cinta ini masuk ke dalam relung-relung organ otak saya, dan terpeta di situ. Dengan sengaja saya memasukkan ke dalam neuron-neuron otak nilai-nilai kebajikan universal, seperti kebajikan, cinta kasih, kesabaran, rasionalitas, keteguhan, kesehatan, bela rasa, dan lain sebagainya. Dengan latihan meditasi sekian lama itulah sekarang saya memandang tidak ada gunanya mendiskusikan agama orang lain. Saya sekarang dapat mendorong orang untuk menerjunkan diri ke dalam dimensi spiritualitas, bukan dimensi religiositas, jika mereka mendesak saya untuk menunjukkan kepada mereka suatu jalan menuju pencerahan dan cinta.<br /><br />Meditasi ini membawa saya kepada suatu kesadaran yang makin diperdalam untuk tidak lagi membela diri terhadap orang-orang yang terus menghakimi dan berlaku keras terhadap saya. Anda tahu, saya mengalah ke depannya karena saya sedang menemukan sebuah jalan yang lebih agung, menuju pencerahan dan cinta. Saya ingin menjadi seperti Siddharta Gautama. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Dengan Anda tak lagi berdiskusi tentang agama, katanya Anda mulai ditinggalkan pengikut-pengikut Anda?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Ah, jangan suka percaya pada kata orang. Saya ingin tegaskan, dari awal masuk dan kerja di gereja dulu, saya tidak punya dan tidak mau membangun pengikut apapun. Saya kini hanya membangun sebuah komunitas, dan semua anggota komunitas ini adalah teman terhadap sesamanya. Tidak ada guru, tak ada murid; tak ada pemimpin dan tak ada orang yang dipimpin; tak ada yang dituakan dan tak ada pengikut. Komunitas ini setiap dua bulan sekali sekarang bertemu untuk membahas sebuah buku bermutu. Komunitasnya kami beri nama Komunitas Progresif Indonesia, disingkat KIFA. Komunitas ini inklusif, pluralis, intelektual dan non-sektarian. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Buku apa yang sedang Anda persiapkan sekarang? </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Sekarang saya sedang menyiapkan sebuah buku yang tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi menyangkut dokumen-dokumen tua dari umat-umat Kristen perdana di Eropa. Buku ini akan terbit dan tidak ada hubungannya dengan kekristenan, tapi akan berguna bagi orang yang ingin mengetahui lebih jauh tentang betapa majemuknya dunia keagamaan kuno pada masa abad-abad pertama di Eropa. Buku ini pasti tidak akan digunakan untuk ibadah dan sebagainya. Isi buku ini enam dokumen besar di luar Perjanjian Baru, yang pernah dipakai di dalam komunitas-komunitas Kristen perdana yang tidak ortodoks dulu. Buku saya ini tidak ada hubungannya dengan gereja-gereja sekarang. Buku ini hanya berisi atau relevan untuk kajian-kajian sejarah kekristenan saja. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Jadi, Anda sudah tidak mau lagi mengkritik soal-soal agama?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Saya tidak mau lagi mengkritik semua agama, termasuk agama Kristen. Fokus saya sekarang adalah dunia sains dan dunia ekonomi, seperti sudah saya nyatakan di atas.</span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Tapi Anda dulu begitu bersemangat bahkan sangat keras mengkritik agama dan gereja terutama pada doktrinnya yang Anda anggap tidak relevan. Kok Anda bisa berubah cepat seperti itu. Ada apa dengan Anda? </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Semangat itu sekarang sudah hilang dari diri saya, dan saya telah ganti dengan ketenangan berpikir dan ketenangan bermeditasi. Tidak ada gunanya berbicara kepada orang-orang yang sudah terpaku mati pada agamanya sendiri, sehingga pemikiran agama dalam perspektif lain tidak bisa mereka lihat. Sekali lagi, agama-agama tradisional sekarang ini sedang menuju ke kebinasaan mereka, kendatipun sekarang muncul dengan garang dan agresif. Saya tak merasa terbeban lagi untuk mengingatkan kaum beragama akan bahaya kemandulan agama-agama tradisional. Biar tuhan masing-masing agama yang bekerja keras, bukan saya. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Berarti Anda gagal dan kalah memperjuangkan pemikiran Anda?</span><br /><span style="font-family: georgia;"><br />Bukan. Tidak ada kalah atau menang di sini. Saya tidak sedang berperang. Saya tidak mau lagi mengurusi keyakinan keagamaan orang lain. Itu saja. Pemikiran saya tak pernah terhenti, dan kini sedang masuk menjelajah dunia sains dan dunia ekonomi. Anda pantau saja terus. Sekarang ini saya sedang menerjemahkan sebuah buku klasik ekonomi yang sangat penting, karangan F. A. Hayek, terbitan tahun 1944, berjudul <span style="font-style: italic;">The Road to Serfdom</span>, yang akan diterbitkan oleh Freedom Institute dengan judul lain pemberian saya, yakni <span style="font-style: italic;">Ekonomi Liberal Versus Ekonomi Sosialis</span>. Saya sangat serius dengan bidang ekonomi. </span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Intinya, Anda saat ini sudah menarik diri dari diskusi atau perdebatan tentang agama?</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Ya. Bagi saya sebuah negara di dunia bisa menjadi besar dan ternama bukan karena agama. Tapi karena otak rakyatnya terasah, sehingga mampu berpikir saintifik dan mampu melahirkan sains, teknologi, dan kemampuan berpikir lintas zaman. Itu yang harus kita perjuangkan untuk Indonesia. Otak masyarakat harus kita bina dengan melibatkan semua unsur pelaksana pendidikan, di lingkungan pemerintah maupun di lingkungan non-pemerintah. Sebuah negara akan menjadi besar dan berpengaruh kuat di dunia internasional, jika rakyatnya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagai fokus sentral, dan makmur ekonominya. Karena itulah, sains dan ekonomi menjadi fokus kehidupan saya sekarang dan seterusnya.</span><br /><br /><span style="font-family: georgia; font-style: italic; font-weight: bold;">Jadi, bukan karena agama sebuah negara bisa jadi besar dan terhormat. Begitu? </span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Agama boleh-boleh saja, tetapi hanya sebatas pada wilayah privat. Saya kini menempuh jalur spiritualitas, bukan jalur religiositas. Thanks atas waktu anda mewawancarai saya. Semoga Majalah Patron bisa langgeng. </span><br /><span style="font-family: georgia;"> </span><br /><span style="font-family: georgia;">(*) Wawancara ini telah terbit di <span style="font-style: italic;">Majalah Patron</span> edisi 1, April 2011, hlm. 18-21. </span></span><br />
<div style="font-family: georgia; text-align: right;">
<span style="font-size: 100%;"><br /><br /></span></div>
Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-83726981870973115692011-02-10T00:39:00.003+07:002013-12-03T05:43:57.521+07:00Doktrin tentang Surga dan Neraka<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOB3YzurPOIEH1TYBEx-zxQSqmJx-GyoEnaj8ZGeTpT6tdygo8X0imLqNKh4TIF2zdBjVuv4tAyfgXnmjAkIHLvfdW7DT-Hcd7S3IHCR4jQ3ngtE2qjNGRmBObJBQKLi9-eSqocwi1gYw/s1600/heaven+and+hell+1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="255" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOB3YzurPOIEH1TYBEx-zxQSqmJx-GyoEnaj8ZGeTpT6tdygo8X0imLqNKh4TIF2zdBjVuv4tAyfgXnmjAkIHLvfdW7DT-Hcd7S3IHCR4jQ3ngtE2qjNGRmBObJBQKLi9-eSqocwi1gYw/s320/heaven+and+hell+1.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><i>surga sejuk ke atas, neraka panas ke bawah </i></span></span></span></span></div>
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Konsep</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> tent</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">ang
surga dan neraka dalam tradisi keagamaan Yahudi-Kristen muncul dengan
lengkap pertama kali dalam Kitab Daniel yang ditulis pada abad kedua
S.M., ketika bangsa Yahudi sedang mengangkat senjata melawan
pemerintahan lalim raja Syria Antiokhus IV Epifanes yang sedang
melancarkan politik helenisasi besar-besaran atas negeri Israel.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Jadi,
konsep surga dan neraka diciptakan pada awalnya oleh suatu komunitas
keagamaan atau suatu bangsa beragama yang sedang ditindas suatu bangsa
asing, dan mereka tak memiliki kekuatan militer yang unggul. Akibatnya
mereka mengalami banyak kekalahan, dan tidak sedikit dari antara mereka
mati dalam banyak perlawanan yang tampak sia-sia. Nah, para tokoh
keagamaan mereka, yang juga bertanggungjawab dalam kehidupan politik dan
militer, menyusun konsep tentang surga dan neraka, baik berupa doktrin
maupun berupa kisah-kisah kejuangan para martir. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Ada dua tujuan dalam mereka menyusun doktrin tentang surga dan neraka. Pertama, untuk membangun suatu semangat tempur sampai titik darah penghabisan dalam diri para pejuang. Kepada para pejuang ini, lewat doktrin surga dan neraka dan kisah-kisah para martir, dijanjikan bahwa kendatipun mereka akan mati dalam perang, mereka harus jangan menyerah, sebab sekalipun mereka mati mereka akan diberi pahala masuk surga sesudah mati syahid. Janji pahala surga ini, dalam suatu perang, sangat efektif untuk membangun suatu semangat tempur sampai titik darah penghabisan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Bangsa beragama yang terancam kalah ini dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar: Mengapa Allah mereka diam saja, dan tampak kalah juga ketika berhadapan dengan musuh mereka? (Bagi bangsa beragama di zaman dulu, kalau bangsa ini kalah perang, berarti Allah mereka juga kalah.) Nah, sebagai tujuan kedua, pertanyaan besar ini dijawab dengan doktrin tentang neraka: Jangan takut dan jangan kehilangan kepercayaan, sebab akan tiba saatnya, ketika zaman berakhir tak lama lagi, semua musuh mereka akan dengan adil dibalas oleh Allah dengan membuang mereka semua ke dalam api neraka, yang akan memanggang mereka selamanya. Doktrin tentang hukuman di neraka adalah sebuah doktrin tentang kebencian yang tak bisa hilang, tetapi dipelihara sampai ke alam baka.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Karena ada janji surga dan ancaman neraka, doktrin tentang surga dan neraka umumnya dilengkapi beberapa doktrin lain: doktrin-doktrin tentang kiamat (berakhirnya sejarah dunia), tentang bencana sejagat, tentang kebangkitan orang mati, tentang pengadilan di akhir zaman, tentang figur sang Hakim jagat raya, dan tentang kitab kehidupan yang di dalamnya tercatat biografi orang per orangan selama mereka hidup di Bumi, yang akan dijadikan landasan pengadilan di akhir zaman.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Belakangan, doktrin tentang surga dan neraka mengalami pergeseran fungsi, khususnya ketika doktrin ini tetap dipercaya dan dipegang meskipun umat tidak sedang perang. Doktrin ini berubah fungsi menjadi sebuah doktrin yang digunakan para rohaniwan untuk mengontrol perilaku umat orang per orangan. Seperangkat aturan moral (</span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">moral code</span><span style="font-family: georgia;">) disusun, seperangkat doktrin dibangun, dan seperangkat ritual ditetapkan, untuk diikuti dan dijalankan umat tanpa bertanya. Para rohaniwan mengingatkan mereka dengan keras: Jika </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">moral code</span><span style="font-family: georgia;"> dan seperangkat doktrin dan ritual ini tidak diikuti dan dijalankan sepersisnya, orang yang melawan ini akan masuk neraka abadi. Sebaliknya, anggota umat yang menaati semuanya akan menerima pahala surga. Jelas, dengan bisa mengontrol perilaku dan keyakinan umat, para rohaniwan ini tetap memegang kendali atas seluruh komunitas, dan mereka tetap bisa menjadi </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">leader</span><span style="font-family: georgia;"> dengan kedudukan politik yang kuat, yang dapat memberi mereka banyak keuntungan lain (ekonomi, hak istimewa, hak menetapkan doktrin, hak menentukan kebenaran atau kesalahan, hak menghakimi, dan lain-lain).</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Jadi, doktrin tentang surga dan neraka adalah sebuah doktrin politis religius, yang semula disusun untuk kepentingan perang, dan kemudian untuk mengendalikan perilaku dan kehidupan umat oleh para rohaniwan ketika doktrin ini tetap dipegang dalam konteks bukan perang.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Kalau ditanya, apakah surga dan neraka betulan akan ada dan dialami sesudah kematian, jawabnya adalah: seandainya manusia hidup terus dalam rupa roh sesudah kematian fisik di muka Bumi, maka roh yang tak memiliki tubuh, indra dan otak sama sekali tak akan bisa merasakan entah nikmat surga atau pun siksa neraka. Surga dan neraka sesudah kematian hanya ada dalam doktrin, dalam kisah, dan tidak ada dalam realitas apapun. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Orang bisa beranggapan, kalau doktrin tentang surga dan neraka sesudah kematian tak diajarkan, kejahatan di muka Bumi akan semakin meningkat. Anggapan ini salah, karena beberapa alasan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pertama, kekuasaan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman di muka Bumi ada pada pemerintah suatu negara. Jadi, untuk mengurangi atau menekan angka prevalensi kejahatan di muka Bumi, hukum positif dalam suatu negara harus dibangun, ditegakkan dan diberlakukan dengan konsekwen dan konsisten pada semua orang tanpa pilih bulu. Kalau ada orang bisa lolos dari jerat hukum, misalnya karena pemerintahan di dalam suatu negara lemah, buruk dan korup, jalan keluarnya bukanlah menakut-nakuti rakyat dengan doktrin tentang api neraka, melainkan membereskan hukum dalam negara itu dengan sungguh-sungguh. Kini, dalam era globalisasi, yang mengikat manusia di suatu negara bukan hanya hukum positif nasional, tetapi juga hukum internasional; dan yang ada bukan hanya lembaga pengadilan dalam negeri, tetapi juga lembaga pengadilan internasional. Sudah banyak terjadi, seorang yang lolos dari jerat hukum di negerinya sendiri akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman di luar negeri.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Kedua, perlu kita ketahui bahwa dalam zaman modern ini jumlah orang yang tak lagi bisa menerima doktrin tentang surga dan neraka sangat banyak, di antara mereka termasuk orang-orang yang potensial melakukan kejahatan. Kalau orang zaman modern ditakuti-takuti hanya dengan sebuah doktrin keagamaan tentang hukuman di neraka, dan hukum positif dalam suatu negara tak ada atau dihapuskan, jelas kejahatan di dunia akan semakin meningkat.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Ketiga, ketaatan yang ditimbulkan oleh doktrin tentang api neraka adalah ketaatan yang tak dewasa, tak </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">mature</span><span style="font-family: georgia;">, tak keluar dari kesadaran nurani sendiri, tetapi muncul karena rasa takut yang besar. Doktrin tentang hukuman di neraka melahirkan bukan </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">conscience</span><span style="font-family: georgia;">, nurani, melainkan </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">fear</span><span style="font-family: georgia;">, ketakutan. Untuk membangun suatu masyarakat yang warganya taat hukum dan tak melakukan kejahatan, yang dibutuhkan adalah pembinaan moralitas bertahap dan terus-menerus untuk menghasilkan nurani yang fungsional, </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">mature</span><span style="font-family: georgia;"> dan </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">responsible</span><span style="font-family: georgia;">. Dalam rangka membangun suatu moralitas individual dan sosial semacam ini pendekatan “reward and punishment” dipakai. Doktrin tentang ancaman api neraka tak akan menghasilkan </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">conscience </span><span style="font-family: georgia;">yang fungsional, </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">accountable</span><span style="font-family: georgia;"> dan </span><span style="font-family: georgia; font-style: italic;">mature</span><span style="font-family: georgia;"> dalam diri warga masyarakat, melainkan akan menghasilkan suatu masyarakat yang penuh ketakutan yang tak membangun.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Keempat, kalau orang baru mau hidup beragama dan bermoral dengan baik hanya jika mereka ditakut-takuti ancaman hukuman di api neraka, kehidupan bermoral dan beragama semacam ini berada baru pada tahap kanak-kanak, bukan tahap dewasa. Kita tahu umumnya kanak-kanak akan baru mau belajar dengan baik jika kepadanya diiming-imingi hadiah permen atau sebuah boneka, atau bahkan kalau kepadanya diperlihatkan sebilah rotan yang siap dipukulkan ke pantatnya. Orang yang beragama baru pada tahap kanak-kanak ini, yakni beragama secara egoistik dan dipenuhi ketakutan, akan memakai agamanya sebagai alat untuk mencapai kepuasan pribadinya saja, dan untuk mendatangkan kesusahan pada orang lain. Seorang anak sangat senang jika boneka milik kakaknya atau boneka milik temannya direbut untuk diberikan kepadanya, dan dia tak akan perduli kalau kakaknya atau temannya itu jadi menangis sedih.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Kelima, doktrin tentang hadiah surga dan hukuman di neraka sesudah kematian menghasilkan orang beragama yang melihat kehidupan yang bermakna hanya ada di alam baka setelah kematian. Bagi mereka, kehidupan di Bumi sekarang ini hanya sementara, hanya untuk dilintasi, tak bermakna penuh, bahkan maya saja. Orang beragama yang berpandangan semacam ini bisa tak akan perduli pada banyak persoalan dan penyakit sosial di dunia masa kini, dan tak menyumbang apapun dalam usaha global memerangi banyak kejahatan. (*)</span></span><br />
<div style="text-align: right;">
<br />
<br />
<br /></div>
Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-40818518751972678212011-01-01T17:54:00.003+07:002013-12-03T22:31:22.590+07:00Ringkasan Buku Stephen Hawking, The Grand Design<span style="font-family: georgia;">Hello. Di bawah ini sebuah ringkasan buku Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, <span style="font-style: italic;">The Grand Design </span>(New York: Bantam Books, 2010). Diringkas oleh Ioanes Rakhmat. Buku ini telah dibedah dalam acara diskusi buku yang diadakan oleh Freedom Institute, Jalan Proklamasi No 41, Jakarta Pusat, pk. 19.00-22.00 WIB, 17 Desember 2010. Buku ini terdiri atas delapan bab; ringkasan setiap babnya diberikan di bawah ini (dengan setiap judul bab dipertahankan dalam bahasa Inggris). </span><br />
<br />
<span style="font-family: georgia;">Silakan di<span style="font-style: italic;">-copy-paste</span> untuk keperluan pribadi. Terjemahan Indonesia buku ini (penerjemahnya saya tak kenal) terbit di awal Januari 2011, dengan penerbitnya PT Gramedia Pustaka Utama. Salam</span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj80siUU_LtUTc6BWXzhutCuW6aGHb6W-UEgmLV3SUZtgqe_9k7qQoaI_xVeufCslUpAFHcGnX9Xcw6NZs8Nk5DPNVYhAHLjmwjaqLf1N6PA3SJ_UqcIx358Yv9K_AClgE9JrxJ9xjkzAQ/s1600/Grand+Design+cover2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj80siUU_LtUTc6BWXzhutCuW6aGHb6W-UEgmLV3SUZtgqe_9k7qQoaI_xVeufCslUpAFHcGnX9Xcw6NZs8Nk5DPNVYhAHLjmwjaqLf1N6PA3SJ_UqcIx358Yv9K_AClgE9JrxJ9xjkzAQ/s400/Grand+Design+cover2.jpg" width="262" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">(1) <span style="font-weight: bold;">The Mystery of Being</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Menyangkut pertanyaan-pertanyaan mengenai jagat raya, menurut SH dan LM, “filsafat sudah mati”, karena apa yang dipikirkan para filsuf tidak sejalan dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sains modern, khususnya fisika.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<div style="text-align: left;">
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pendekatan yang dipakai SH dan LM adalah realisme-yang-bergantung-pada-model (<span style="font-style: italic;">model-dependent realism</span>). Pendekatan ini didasarkan pada gagasan bahwa otak kita menafsirkan input data yang berasal dari organ indrawi kita dengan membuat suatu model tentang dunia. Jika dua teori atau model fisika memprediksi dengan akurat peristiwa-peristiwa yang sama, teori atau model yang satu tidak dapat dikatakan lebih riil dari yang lainnya; melainkan kita bebas menggunakan model mana yang paling cocok.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">M-theory (suatu jaringan berbagai teori)</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Bagi SH dan LM, “M-theory” adalah teori atau model yang menjadi puncak dan merangkumi semua teori fisika yang pernah ada (dari Plato ke teori klasik Newton ke teori-teori quantum modern), teori atau model pamungkas untuk menjelaskan seluruh jagat raya, teori atau model untuk segala sesuatu (“the ultimate theory of everything”), yang mencakup semua gaya yang ada dalam jagat raya (gaya gravitasi, gaya elektromagnetik, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah) dan memprediksi setiap observasi yang dapat kita buat. M-theory menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai jagat raya. Menurut teori ini, jagat raya kita bukanlah satu-satunya jagat raya, melainkan ada banyak jagat raya yang diciptakan dari ketiadaan. Penciptaan banyak jagat raya tidak memerlukan intervensi suatu makhluk supernatural atau allah; melainkan muncul dengan sendirinya dari hukum fisika, terprediksikan oleh sains.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Tiga pertanyaan</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam buku GD, kedua penulisnya berusaha menjawab 3 pertanyaan “mengapa” (bukan hanya “bagaimana”): Mengapa ada sesuatu ketimbang tidak ada apapun? Mengapa kita ada? Mengapa seperangkat hukum yang khusus dan bukan hukum yang lainnya?</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">(2) <span style="font-weight: bold;">The Rule of Law</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam bab ini SH dan LM menelusuri kemunculan dan perkembangan kesadaran saintifik manusia dalam “periode klasik” (mulai kira-kira tahun 500 SM) yang menyingkirkan pemikiran mitologis atau teologis atas jagat raya: Thales dari Miletus (ca. 624 SM-ca. 546 SM) dari Ionia, sebagai orang pertama yang mengajukan suatu konsep bahwa jagat raya ini diatur bukan oleh para dewa, tetapi oleh hukum-hukum alam yang dapat dipahami dan dijelaskan melalui observasi dan nalar; Pythagoras (ca. 580 SM-ca. 490 SM); Archimedes (ca. 287 SM-ca. 212 SM); Anaximander (ca. 610 SM-ca. 546 SM), Empedocles (ca. 490 SM-ca. 430 SM); Demokritus (ca. 460 SM-ca. 370 SM) yang memperkenalkan konsep atom (kata Yunani, yang artinya “tak dapat dipotong”); Aristarkhus (ca. 310 SM-ca. 230 SM) sebagai orang pertama yang berpendapat bahwa Bumi bukanlah pusat sistem planetari kita, tetapi Bumi dan planet-planet lain mengorbit Matahari yang jauh lebih besar.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tetapi pemikiran Yunani yang sudah dimulai sekitar tahun 500 SM ini hanya berpengaruh selama beberapa abad saja karena berbagai alasan. Pertama, teori-teori yang dikembangkan para pemikir Ionian tampak tidak memberi tempat pada kemauan bebas atau tujuan atau pada konsep tentang dewa-dewa yang mencampuri kerja jagat raya. Kedua, mereka belum menemukan metode saintifik; teori-teori mereka tidak dikembangkan dengan pendasaran pada verifikasi eksperimental. Ketiga, pada masa itu belum dibuat pembedaan antara aturan-aturan manusia dan hukum-hukum alam. Keempat, kalkulasi matematis dan pengukuran yang akurat sulit dilaksanakan pada zaman kuno.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tampillah sejumlah pemikir yang menolak pemikiran-pemikiran Ionian. Beberapa di antaranya dapat disebutkan. Epikurus (341 SM-270 SM) menolak atomisme yang diperkenalkan Demokritus. Aristoteles juga menolak konsep tentang atom karena dia tidak bisa menerima kalau manusia terdiri atas objek-objek yang tak bernyawa atau tak berjiwa. Pemikiran heliosentrisme Aristarkhus ditolak selama berabad-abad, dan baru muncul kembali dan diterima secara umum ketika Galileo Galilee (1564-1642) menghidupkannya kembali hampir dua puluh abad sesudahnya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pada abad ketigabelas, filsuf Kristen Thomas Aquinas (ca. 1225-1274) memasukkan kembali allah yang sudah dikeluarkan para pemikir Ionian, ketika dia menyatakan, “Sudahlah jelas bahwa benda-benda tak bernyawa mencapai tujuan mereka bukan secara kebetulan, melainkan karena suatu maksud…. Karena itu, pastilah ada suatu hakikat personal yang cerdas yang olehnya segala sesuatu dalam alam ditata menuju tujuannya.” </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Bahkan astronom besar Jerman, Johannes Kepler (1571-1630), percaya bahwa planet-planet memiliki persepsi indrawi dan dengan sadar mengikuti hukum-hukum gerak yang ditangkap oleh ‘pikiran’ mereka. Pada tahun 1277, Uskup Tempier dari Paris, yang bertindak atas perintah Paus Yohanes XXI, menerbitkan sebuah daftar 219 kekeliruan atau bidah yang harus dikutuk, di antaranya adalah gagasan bahwa alam mengikuti hukum-hukum tertentu, karena gagasan ini dinilai berkonflik dengan kemahakuasaan Allah.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Konsep modern</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Konsep modern tentang hukum-hukum alam muncul di abad ketujuhbelas. Tampaknya Johannes Kepler adalah seorang saintis pertama yang memahami terminologi "hukum-hukum alam" dalam pengertian sains modern, meskipun dia mempertahankan suatu pandangan animistik mengenai objek-objek fisik. Galileo menyingkapkan banyak hukum alam, dan mempertahankan sebuah konsep penting bahwa observasi adalah dasar sains dan bahwa tujuan sains adalah menyelidiki hubungan-hubungan kwantitatif yang ada antara fenomena fisika.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tetapi orang pertama yang dengan eksplisit dan dengan kuat merumuskan konsep tentang hukum-hukum alam sebagaimana kita memahaminya adalah René Descartes (1596-1650). Descartes percaya bahwa semua fenomena fisikal harus dijelaskan dari sudut tabrakan antara massa-massa yang bergerak, yang diatur oleh tiga hukum (pendahulu hukum-hukum gerak Newton yang terkenal). Dia menegaskan bahwa hukum-hukum alam berlaku di semua tempat dan di segala waktu, dan menyatakan dengan eksplisit bahwa ketaatan pada hukum-hukum ini tidak berarti bahwa benda-benda yang bergerak memiliki pikiran.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Menurut Descartes, Allah dapat dengan kemauannya sendiri mengubah kebenaran atau kesalahan proposisi-proposisi moral atau teorem-teorem matematis, tetapi tidak dapat mengubah alam. Dia percaya bahwa Allah menjadikan hukum-hukum alam tetapi tidak memiliki pilihan dalam hukum-hukum ini; Allah menetapkan hukum-hukum ini karena hukum-hukum ini, sebagaimana kita alami, adalah satu-satunya hukum-hukum yang mungkin. Baginya, tidak perduli bagaimana materi diatur pada permulaan jagat raya, lambat laun suatu dunia yang identik dengan dunia kita akan berevolusi. Menurutnya, sekali Allah membuat jagat raya ini jalan, Allah selanjutnya meninggalkan jagat raya ini sendirian sama sekali.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Isaac Newton (1643-1727) mengambil posisi yang serupa, dengan beberapa kekecualian. Konsep-konsep Newton mengenai suatu hukum saintifik dengan tiga hukum geraknya, dan hukum gravitasinya yang dengannya orang dapat menjelaskan orbit-orbit Bumi, bulan dan planet-planet, dan juga fenomena seperti pasang surut air laut, adalah konsep-konsep yang diterima secara luas sebagai konsep-konsep saintifik modern. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam dunia sehari-hari, di mana kecepatan-kecepatan gerak benda-benda yang kita temui berada jauh di bawah kecepatan cahaya, hukum-hukum Newton merupakan hukum-hukum sebab berlaku pada kondisi ini; tetapi hukum-hukum Newton harus dimodifikasi jika objek-objek bergerak dengan kecepatan-kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Meskipun Newton mengajukan konsep-konsep saintifik modern, dia percaya juga bahwa Allah dapat dan telah mencampuri kerja jagat raya.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Tiga pertanyaan</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Jika alam diatur oleh hukum-hukum, muncul tiga pertanyaan: (1) Dari mana asal-usul hukum-hukum ini? (2) Apakah ada kekecualian-kekecualian apapun terhadap hukum-hukum ini, yakni mukjizat-mukjizat? (3) Apakah hanya ada satu perangkat hukum-hukum yang mungkin?</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Jawaban tradisional yang diberikan kepada pertanyaan pertama (yakni jawaban Kepler, Galileo, Descartes, dan Newton) adalah bahwa hukum-hukum alam diciptakan oleh Allah; namun jawaban ini sebenarnya tidaklah lebih dari sebuah definisi tentang Allah sebagai suatu penubuhan atau pengejawantahan hukum-hukum alam. Bagi SH dan LM, memakai Allah sebagai suatu jawaban terhadap pertanyaan pertama hanyalah mengganti satu misteri dengan satu misteri lainnya: Maka, timbul pertanyaan pengganti: Dari mana Allah berasal? Siapa yang menciptakan Allah?</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Determinisme saintifik</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Terhadap pertanyaan kedua, SH dan LM menjawab berdasarkan determinisme saintifik.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Laplace (nama lengkapnya Pierre-Simon, marquis de Laplace, 1749-1827) adalah orang pertama yang dengan jelas mempostulatkan determinisme saintifik: jika keadaan jagat raya pada satu waktu diterima, maka seperangkat lengkap hukum-hukum akan dengan sepenuhnya menentukan baik masa depannya maupun masa lampaunya. Karena masa lampau dan masa depan segala sesuatu ditentukan oleh hukum-hukum alam, maka tidak terbuka kemungkinan bagi adanya mukjizat-mukjizat atau adanya suatu peran aktif Allah.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Determinisme saintifik adalah jawaban saintifik bagi pertanyaan kedua, dan sesungguhnya merupakan dasar bagi semua sains modern, sebuah prinsip yang diklaim SH&LM sebagai prinsip penting bagi seluruh buku GD. Tulis mereka, “sebuah hukum saintifik bukanlah sebuah hukum saintifik jika hukum ini hanya berlaku kalau suatu hakikat supernatural memutuskan untuk tidak mencampurinya.”</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Adakah kehendak bebas?</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Apakah determinisme saintifik juga berlaku bagi manusia, sehingga tidak ada kehendak bebas pada manusia (dan semua makhluk hidup lainnya)? Pemahaman kita atas basis molekuler dari biologi memperlihatkan bahwa proses-proses biologis diatur oleh ilmu fisika dan ilmu kimia dan karena itu tunduk pada determinisme saintifik, seperti juga halnya dengan orbit planet-planet. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Eksperimen-eksperimen mutakhir dalam neurosains mendukung pandangan bahwa otak fisikal kitalah, yang bekerja dengan mengikuti hukum-hukum sains, menentukan tindakan-tindakan kita, bukan suatu agensi yang berada di luar hukum-hukum itu. Jadi, sukar untuk membayangkan bagaimana kehendak bebas akan dapat beroperasi jika perilaku kita ditentukan oleh hukum-hukum fisika, sehingga tampaklah bahwa kita ini tidak lebih daripada mesin-mesin biologis dan bahwa kehendak bebas hanyalah sebuah ilusi.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Teori efektif</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tetapi karena tubuh manusia terdiri atas ribuan trilyun trilyun molekul yang harus diperhitungkan, dan ada banyak variabel yang ikut bekerja, maka dalam prakteknya sangat sulit bahkan mustahil memprediksi hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh kerja hukum-hukum alam di dalam diri manusia, yang menentukan perilaku manusia. Karena sangat tidak praktis menggunakan hukum-hukum fisika sebagai suatu landasan untuk menentukan atau memprediksi perilaku manusia, maka dipakai apa yang dinamakan teori efektif (<span style="font-style: italic;">effective theory</span>). </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam fisika, suatu teori efektif adalah sebuah kerangka atau sebuah perancah yang diciptakan sebagai model bagi fenomena yang diobservasi tanpa menggambarkan dengan rinci semua proses yang mendasarinya. Misalnya, kita tidak dapat memerinci dengan persis persamaan-persamaan yang mengatur interaksi gravitasi dari setiap atom dalam tubuh seseorang dengan setiap atom dalam Bumi. Tetapi untuk kepentingan praktis, gaya gravitasi di antara seseorang dan Bumi dapat digambarkan hanya dalam beberapa bilangan saja, seperti total massa seseorang. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Demikian juga, kita tidak dapat memerinci persamaan-persamaan yang mengatur perilaku atom-atom yang rumit dan molekul-molekul, tetapi kita telah mengembangkan sebuah teori efektif yang dinamakan ilmu kimia yang menyediakan sebuah penjelasan yang memadai tentang bagaimana atom-atom dan molekul-molekul berperilaku di dalam reaksi-reaksi kimiawi tanpa memperhitungkan setiap rincian interaksi ini. Dalam hal manusia, karena kita tidak dapat memerinci persamaan-persamaan yang menentukan perilaku kita, kita menggunakan teori efektif bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Kajian atas kehendak kita, dan atas perilaku kita yang muncul dari kehendak kita, adalah ilmu psikologi.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Terhadap pertanyaan ketiga di atas, SH dan LM merujuk ke Plato dan Aristoteles yang, seperti Descartes dan kemudian Einstein, percaya bahwa hukum-hukum alam ada karena “keharusan”, maksudnya, hukum-hukum ini ada karena hukum-hukum inilah satu-satunya hukum-hukum yang secara logis bermakna. Galileo mengamati, hukum-hukum alam inilah satu-satunya hukum-hukum alam yang alam jalankan pada dirinya sendiri, bukan harus ada karena alasan-alasan logis saja.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">(3) <span style="font-weight: bold;">What Is Reality? </span> </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Persepsi kita atas realitas jagat raya tidak pernah lepas dari keterlibatan diri kita melalui observasi di dalam proses pembentukan persepsi itu. Kita membentuk sebuah model tertentu atas realitas yang sejalan dengan dan menjelaskan persepsi kita atas realitas itu. Inilah yang disebut <span style="font-style: italic;">model-dependent realism</span>: gagasan bahwa suatu teori fisika atau gambaran tentang dunia adalah sebuah model (umumnya bersifat matematis) dan seperangkat aturan yang menghubungkan unsur-unsur model dengan observasi-observasi.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Bukan hanya di dalam sains kita membentuk model-model, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Realisme-yang- bergantung-pada-model berlaku bukan hanya pada model-model saintifik, tetapi juga pada model-model mental yang sadar dan yang tak sadar, yang kita ciptakan untuk menafsirkan dan memahami dunia sehari-hari. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tidak ada kemungkinan untuk menyingkirkan orang yang mengobservasi (yaitu kita) dari persepsi kita tentang dunia ini, yang diciptakan melalui proses pengindraan kita dan melalui cara kita berpikir dan bernalar. Persepsi kita, dan karenanya observasi-observasi yang padanya kita mendasarkan teori-teori kita, tidaklah langsung, melainkan dibentuk oleh semacam lensa, yakni struktur interpretif yang dibentuk oleh otak kita. Beberapa contoh model fisika dapat dikemukakan.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Geosentrisme Ptolemeus (ca. 85-ca. 165), yang diikuti antara lain oleh Aristoteles (yang karena alasan mistikal percaya bahwa Bumi harus menjadi pusat jagat raya), dan yang diadopsi oleh Gereja Katolik dan dipegang sebagai sebuah doktrin resmi selama empat belas abad, adalah sebuah model kosmologis. Model ini kemudian berhadapan dengan model heliosentrisme yang pada tahun 1543 diajukan oleh Kopernikus dalam bukunya <span style="font-style: italic;">De revolutionibus orbium coelestium </span>(<span style="font-style: italic;">On the Revolutions of the Celestial Spheres</span>). </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Menurut SH dan LM, orang dapat menggunakan kedua gambaran kosmologis ini sebagai sebuah model jagat raya, sebab observasi-observasi kita atas angkasa luar dapat diterangkan dengan mengasumsikan entah Bumi atau Matahari sebagai benda langit yang diam, yang diedari benda-benda langit lainnya. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Sebuah model lama (yang kemudian digantikan oleh sebuah model lain yang lebih cocok dengan observasi) adalah model yang memandang jagat raya ini statis, tidak berubah ukurannya, sebagaimana dipertahankan kebanyakan saintis pada tahun 1920-an. Tetapi, di tahun 1929, Edwin Hubble menerbitkan observasi-observasinya yang menunjukkan jagat raya ini mengembang, <span style="font-style: italic;">expanding</span>. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tentu saja Hubble tidak langsung mengamati kalau jagat raya ini mengembang. Dia mengobservasi cahaya yang dipancarkan galaksi-galaksi. Cahaya ini membawa suatu tanda tangan yang khas, yakni spektrum cahaya, yang terbentuk berdasarkan komposisi masing-masing galaksi, yang berubah dengan suatu jumlah yang dikenal jika galaksi ini bergerak terkait dengan diri kita sebagai pengamat. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Karena itu, dengan menganalisis spektra galaksi-galaksi yang jauh, Hubble dapat menentukan kecepatan-kecepatan mereka. Dia berharap untuk menemukan galaksi-galaksi yang menjauh dari kita sama banyaknya dengan galaksi-galaksi yang mendekati kita. Tetapi yang ditemukan Hubble tidak demikian, melainkan bahwa hampir semua galaksi bergerak menjauh dari kita, dan semakin jauh mereka, semakin cepat gerakan mereka. Hubble menyimpulkan bahwa jagat raya mengembang.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Syarat sebuah model yang baik</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Sebuah model dinilai baik jika model ini: (a) sederhana dan cerdas (elegan); (b) berisi sedikit unsur yang acak dan dapat disesuaikan; (c) sejalan dengan dan menjelaskan semua observasi yang ada; (d) membuat prediksi yang rinci mengenai observasi-observasi pada masa yang akan datang yang dapat menolak atau menyalahkan model ini jika observasi-observasi ini tidak dihasilkan.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">(4) <span style="font-weight: bold;">Alternative Histories</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Teori-teori saintifik klasik seperti teori-teori Newton dibangun di atas suatu perancah atau kerangka yang merefleksikan pengalaman sehari-hari, yang di dalamnya objek-objek material memiliki suatu eksistensi individual, dapat ditempatkan di lokasi-lokasi yang pasti, bergerak mengikuti jalan-jalan yang pasti, dan seterusnya. Tetapi ketika kita telah mengembangkan teknologi kita dan memperluas ruang kisaran fenomena yang kita dapat observasi, sampai ke dunia atomik atau dunia sub-atomik, kita mulai menemukan bahwa alam ini bertindak dengan cara-cara yang makin kurang sejalan dengan pengalaman kita sehari-hari dan karenanya dengan intuisi kita.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Ternyata apa yang berlangsung dalam dunia atomik atau dunia sub-atomik, tidak bisa lagi dijelaskan oleh teori-teori fisika klasik Newton. Atom-atom dan molekul-molekul individual beroperasi dengan suatu cara yang sangat berbeda dari pengalaman kita sehari-hari. Ketika teori-teori fisika Newton tidak bisa lagi menjelaskan hal-hal yang diobservasi para saintis dalam dunia atomik/sub-atomik, prinsip-prinsip fisika quantum dikembangkan dalam beberapa dekade awal abad XX, dengan mengetengahkan skema konseptual yang sama sekali lain, skema yang di dalamnya posisi suatu objek, jalan yang ditempuhnya, dan bahkan masa lalu dan masa depannya, tidak dapat ditentukan dengan persis. Fisika quantum adalah sebuah model baru mengenai realitas yang memberi kita sebuah gambaran mengenai jagat raya dengan makin lengkap.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Ada beberapa fitur penting dari aspek-aspek fisika quantum yang digunakan SH dan LM untuk mendasarkan argumen-argumen dalam buku mereka. Pertama, dualitas gelombang/partikel: partikel-partikel materi berperilaku seperti sebuah gelombang. Kedua, prinsip ketidakpastian yang dirumuskan Werner Heisenberg pada tahun 1926. Menurut prinsip ini, ada keterbatasan-keterbatasan pada kemampuan kita untuk serentak mengukur suatu data, seperti posisi dan kecepatan (velositas) suatu partikel. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Menurut prinsip ketidakpastian ini, jika anda mengalikan ketidakpastian posisi suatu partikel dengan ketidakpastian momentumnya (=massa-nya dikali kecepatannya), hasilnya tidak pernah dapat lebih kecil dari suatu kuantitas yang sudah ditentukan dengan pasti, yang disebut konstan Planck. Intinya: Semakin persis anda mengukur kecepatan suatu partikel, semakin kurang persis anda dapat mengukur posisinya, demikian juga sebaliknya. Ketiga, prinsip yang menyatakan bahwa jika suatu sistem diamati, maka sistem ini akan harus mengubah jalannya. Menurut fisika quantum, anda tidak dapat “hanya” mengamati sesuatu, maksudnya bahwa jika anda membuat suatu pengamatan, anda harus berinteraksi dengan objek yang sedang anda amati. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam bingkai prinsip ketidakpastian quantum, hasil-hasil dari suatu proses fisika tidak dapat diprediksi dengan pasti karena hasil-hasil ini tidak ditentukan dengan pasti, tak perduli berapa banyak informasi yang kita dapatkan atau berapa kuat kemampuan komputasi kita. Jika keadaan awal (“initial state” atau “initial condition”) suatu sistem diperhitungkan, maka alam menentukan masa depannya melalui suatu proses yang pada dasarnya tidak pasti. Dengan kata lain, alam tidak menentukan hasil dari suatu proses atau eksperimen apapun, bahkan di dalam situasi-situasi yang paling sederhana sekalipun. Melainkan, alam memungkinkan sejumlah hasil akhir yang berbeda, dengan masing-masing memiliki suatu kemungkinan tertentu untuk terwujud. Memakai parafrasis atas ungkapan Einstein, seolah Allah melempar dadu sebelum memutuskan hasil dari setiap proses fisika.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Suatu bentuk baru determinisme saintifik</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Apa yang baru dikemukakan dalam alinea di atas tampak seolah merongrong gagasan bahwa alam diatur oleh hukum-hukum; tetapi sebenarnya tidak demikian. Melainkan hal ini membawa kita kepada suatu keadaan untuk menerima suatu bentuk baru determinisme saintifik. Jika keadaan awal suatu sistem pada suatu waktu diperhitungkan, maka hukum-hukum alam menentukan kemungkinan-kemungkinan (probabilities) masa depan dan masa lampau yang beranekaragam ketimbang menentukan satu masa depan dan satu masa lampau dengan pasti. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Kemungkinan-kemungkinan di dalam teori-teori quantum berbeda jika dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan dalam fisika Newton atau dalam pengalaman sehari-hari, karena mencerminkan suatu keacakan fundamental di dalam alam. Model quantum mengenai realitas mencakup prinsip-prinsip yang berkontradiksi bukan hanya dengan pengalaman sehari-hari kita, tetapi juga dengan konsep intuitif kita mengenai realitas. </span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Sejarah-sejarah alternatif</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam teori quantum, khususnya dalam suatu pendekatan terhadap teori quantum yang dinamakan “sejarah-sejarah alternatif” (<span style="font-style: italic;">alternative histories</span>), jagat raya dipandang tidak memiliki hanya satu eksistensi atau hanya satu sejarah atau hanya satu masa lampau tunggal, tetapi setiap versi yang mungkin dari jagat raya berada serentak dalam apa yang dinamakan suatu superposisi quantum (<span style="font-style: italic;">a quantum superposition</span>). Fisika quantum menyatakan bahwa tak perduli berapa luas dan menyeluruh observasi kita atas atas masa kini (jagat raya), masa lampau (yang tak terobservasi), seperti juga masa depan, tidaklah pasti dan ada hanya sebagai suatu spektrum kemungkinan-kemungkinan. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">(5) <span style="font-weight: bold;">The Theory of Everything</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">“Teori tentang segala sesuatu” yang disarankan para saintis merupakan suatu teori puncak yang sejalan dengan teori quantum, yang merangkumi empat gaya dalam jagat raya:</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pertama, <span style="font-style: italic;">gaya gravitasi</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Hukum gravitasi Newton, yang dipublikasi tahun 1687, menyatakan bahwa setiap objek dalam jagat raya menarik setiap objek lainnya dengan suatu kekuatan yang sebanding atau proporsional dengan massanya.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tetapi, oleh Albert Einstein, yang melakukan penelitian dari 1905 sampai 1916, teori gravitasi Newton diganti dengan sebuah teori baru gravitasi yang disebut teori relativitas umum (<span style="font-style: italic;">general relativity theory</span>): “ruang-dan-waktu” (sebagai suatu dimensi keempat selain dimensi-dimensi “atas-bawah”, “depan-belakang” dan “kiri-kanan”) tidaklah datar, tetapi melengkung atau menceruk dan terdistorsi oleh massa dan energi di dalamnya.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam teori gravitasi Einstein, objek-objek bergerak pada suatu geodesik, yakni jarak terpendek di antara dua titik pada suatu permukaan atau ruang yang melengkung. Teori relativitas umum adalah suatu model tentang jagat raya yang sangat berbeda, yang memprediksi efek-efek seperti gelombang-gelombang gravitasi dan lubang-lubang hitam; dengan demikian, teori ini mengubah fisika menjadi geometri.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">[Sebelumnya, di dalam suatu makalah yang ditulis tahun 1905, yang berjudul “Zur Elektrodynamik bewegter Körper” (“Tentang Elektrodinamika Benda-benda Bergerak”), Einstein memperkenalkan suatu teori yang dinamakan teori relativitas khusus, <span style="font-style: italic;">special relativity theory</span>, yang menyatakan bahwa pengukuran waktu bergantung pada si pengamat yang melakukan pengukuran itu; dengan demikian, waktu tidak bisa mutlak, sebagaimana dipikirkan Newton sebelumnya, atau dengan kata lain, tidaklah mungkin untuk memberikan kepada setiap peristiwa waktu yang setiap pengamat akan setujui. Ruang dan waktu saling merangkul.] </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Kedua, <span style="font-style: italic;">gaya elektromagnetik</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Gaya ini bekerja sebagai gaya gravitasi, dengan suatu perbedaan penting bahwa dua muatan listrik atau dua magnit dari jenis yang sama menolak satu sama lain, sedangkan dua muatan yang tak sejenis atau dua magnit yang tidak sejenis saling menarik. Gaya elektrik dan gaya magnetik jauh lebih kuat dari gaya gravitasi, tetapi kita biasanya tidak memperhatikan kedua gaya ini dalam kehidupan sehari-hari karena suatu tubuh makroskopik berisi muatan elektrik positif dan negatif yang jumlahnya hampir sama. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Hal ini berarti bahwa gaya elektrik dan gaya magnetik di antara dua tubuh makroskopik hampir membatalkan satu sama lain, tidak seperti gaya-gaya gravitasi yang semuanya berkombinasi. (James Clerk Maxwell, seorang fisikawan Skotlandia, pada tahun 1860-an, berhasil memperlihatkan secara matematis bahwa gaya elektrik dan gaya magnetik adalah manifestasi-manifestasi dari satu entitas fisika yang sama, yakni medan elektromagnetik; dengan demikian, dia telah berhasil menyatukan elektrika dan magnetika ke dalam satu gaya, gaya elektromagnetik).</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Ketiga, <span style="font-style: italic;">gaya nuklir lemah</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Gaya ini menyebabkan radioaktivitas dan memainkan suatu peran vital dalam formasi elemen-elemen bintang-bintang dan jagat raya pada tahap dininya. Kita tidak bersentuhan dengan gaya ini dalam kehidupan sehari-hari.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Keempat, <span style="font-style: italic;">gaya nuklir kuat</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Gaya ini menyatukan proton dan neutron di dalam nukleus sebuah atom. Gaya ini juga menyatukan proton dan neutron itu sendiri, yang perlu terjadi karena keduanya terbuat dari partikel-partikel yang lebih kecil, yakni <span style="font-style: italic;">quark</span>. Gaya nuklir kuat adalah sumber energi bagi matahari dan daya nuklir, tetapi kita tidak bersentuhan langsung dengannya. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">SH dan LM membuat beberapa catatan berkaitan dengan teori-teori di atas. Jika kita mau memahami perilaku atom-atom dan molekul-molekul, kita memerlukan suatu versi quantum atas teori elektromagnetisme Maxwell; dan jika kita ingin memahami jagat raya pada tahap dininya (<span style="font-style: italic;">the early universe</span>), ketika semua materi dan energi dalam jagat raya terhimpun padat dalam suatu volume yang kecil, kita harus memiliki sebuah versi quantum atas teori relativitas umum. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam fisika quantum, jagat raya dapat memiliki sejarah apapun yang mungkin, masing-masing dengan amplitudo intensitas dan probabilitasnya sendiri. Kita dengan demikian harus menemukan versi-versi quantum atas semua hukum alam; teori-teori semacam ini disebut teori-teori medan quantum (<span style="font-style: italic;">quantum field theories</span>).</span></span><br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span>
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span>
<br />
<div style="text-align: center;">
<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgu0IhzhMTHTdVWZ6vXfDg6L7MkU9scNw86ck0UwGDsL5EyxRAZUVSAYcb39-Hr9utnH65wH5a8Rpy_gY4eIf_kUoCrAGepAb4TyV-c_CTFN9hUqwVj3X_ap0SIgxaheosd0krqemcS1qw/s1600/Feynman+Diagram.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5557180772515350786" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgu0IhzhMTHTdVWZ6vXfDg6L7MkU9scNw86ck0UwGDsL5EyxRAZUVSAYcb39-Hr9utnH65wH5a8Rpy_gY4eIf_kUoCrAGepAb4TyV-c_CTFN9hUqwVj3X_ap0SIgxaheosd0krqemcS1qw/s400/Feynman+Diagram.jpg" style="cursor: pointer; display: block; height: 324px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 400px;" /></a><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Ini salah satu Diagram Feynman yang sangat termashyur. Richard Phillips Feynman (11 Mei 1918–15 Februari 1988) adalah salah seorang peletak dasar dan teoretikus agung fisika quantum, khususnya elektrodinamika quantum. Dia seorang saintis kebangsaan Amerika, dan juga seorang pemain drum, berjiwa eksentrik dan bebas ... I like his freedom and intelligence...</span>.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span style="font-style: italic;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span style="font-style: italic;">Quantum electrodynamics</span> (QED)</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Versi quantum atas medan elektromagnetik dinamakan <span style="font-style: italic;">quantum electrodynamics</span> (QED) atau elektrodinamika quantum, yang dikembangkan pada tahun 1940-an oleh Richard Feynman dan para saintis lainnya, dan QED ini telah menjadi sebuah model bagi semua teori medan quantum. Kalau dalam teori-teori klasik gaya-gaya ditransmisikan oleh medan-medan (<span style="font-style: italic;">fields</span>), dalam teori medan quantum medan-medan gaya digambarkan terbuat dari aneka ragam partikel elementer yang dinamakan boson, yakni partikel yang membawa gaya, yang terbang ke depan dan ke belakang di antara materi-materi partikel, sehingga gaya-gaya ditransmisikan. </span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Partikel-partikel materi dinamakan fermion. Elektron dan quark adalah contoh-contoh fermion. Foton, atau partikel cahaya, adalah sebuah contoh boson. Gaya elektromagnetik ditransmisikan oleh boson. Dalam apa yang dinamakan Diagram Feynman, digambarkan cara-cara yang mungkin ditempuh elektron ketika satu sama lain menyebar melalui gaya elektromagnetik. Dalam diagram ini, garis-garis lurus tak putus menggambarkan elektron-elektron, sedangkan garis-garis berombak/keriting menggambarkan foton. </span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Gaya elektrolemah</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pada 1967, Abdus Salam dan Steven Weinberg tanpa bergantung satu sama lain mengusulkan sebuah teori yang mempersatukan elektromagnetisme dengan gaya nuklir lemah, dan gaya yang dipersatukan ini dinamakan gaya elektrolemah.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span style="font-style: italic;"> </span></span></span></div>
</div>
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span style="font-style: italic;">Quantum chromodynamics </span>(QCD)</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Versi quantum atas gaya nuklir kuat disebut <span style="font-style: italic;">quantum chromodynamics</span> (QCD) atau kromodinamika quantum. Menurut QCD, proton, neutron, dan banyak partikel materi elementer lain terbuat dari quark, yang memiliki suatu sifat yang jelas yang para fisikawan sebut sebagai warna (karena itulah muncul nama <span style="font-style: italic;">chromodynamics</span>), yang tak ada hubungannya dengan warna yang kasat mata. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">QCD memiliki kebebasan asymptotik (<span style="font-style: italic;">asymptotic freedom</span>), maksudnya adalah bahwa gaya-gaya kuat yang terdapat di antara elemen-elemen quark volumenya kecil ketika elemen-elemen quark ini dekat satu sama lain, tetapi bertambah besar ketika quark berjauhan satu sama lain, seolah semua quark terhubung dengan pita-pita karet. Kebebasan asymptotik ini menjelaskan mengapa kita tidak melihat quark yang terisolasi dalam alam dan tidak dapat memproduksinya di dalam laboratorium.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span style="font-style: italic;"> </span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span style="font-style: italic;">Grand unified theory</span> (GUT)</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Setelah menggabung gaya nuklir lemah dan gaya elektromagnetik, para fisikawan di tahun 1970-an mencari suatu jalan untuk memasukkan daya nuklir kuat ke dalam suatu teori gabungan. Dalam hal ini, ada sejumlah teori yang dinamakan <span style="font-style: italic;">grand unified theory</span> atau GUT, teori besar penyatuan, yang mempersatukan gaya nuklir kuat dengan gaya nuklir lemah dan gaya elektromagnetik, yang bagian terbesarnya memprediksi bahwa proton haruslah membusuk/lenyap rata-rata setelah 10 pangkat 32 tahun. Ini adalah suatu usia yang sangat lama, mengingat jagat raya saja berusia hanya 10 pangkat 10 tahun.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Karena bukti-bukti yang diperoleh dari observasi-observasi sebelumnya gagal juga mendukung GUT, maka kebanyakan fisikawan mengadopsi suatu teori ad hoc yang dinamakan model standard, yang mencakupi teori gabungan gaya-gaya elektrolemah dan QCD sebagai sebuah teori gaya-gaya kuat. Tetapi di dalam model standard ini, gaya elektrolemah dan gaya nuklir kuat bertindak sendiri-sendiri dan belum sungguh-sungguh dipersatukan. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Model standard sangat sukses dan sejalan dengan semua bukti yang didapat dari observasi sekarang ini, tetapi pada dasarnya tidak memuaskan karena, selain belum berhasil menyatukan gaya elektrolemah dan gaya nuklir kuat, juga belum mencakup gaya gravitasi. Terbukti sangat sulit memadukan gaya nuklir kuat dengan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah; tetapi masalah ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan masalah menyatukan gaya gravitasi dengan tiga gaya lainnya, atau dengan masalah yang lebih besar lagi dalam menciptakan suatu teori gravitasi quantum yang berdiri sendiri.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Fluktuasi quantum: tak ada ruang yang sama sekali kosong</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Alasan mengapa suatu teori gravitasi quantum terbukti sulit untuk diciptakan berkait dengan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Berkaitan dengan prinsip ini, nilai suatu medan dan besaran angka perubahannya memainkan peran yang sama seperti yang dimainkan posisi dan kecepatan suatu partikel. Semakin akurat hal yang satu ditentukan, dapat semakin kurang akurat untuk hal yang lainnya. Salah satu akibat penting dari hal ini adalah bahwa tidak ada ruang yang sama sekali kosong. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Halnya demikian karena ruang kosong berarti bahwa baik nilai suatu medan maupun besaran angka perubahannya persis nol. Karena prinsip ketidakpastian tidak memungkinkan nilai-nilai medan dan besaran angka perubahan sama persis, ruang tidak pernah kosong. Setiap ruang dapat memiliki suatu energi minimum yang dinamakan vakum. Tetapi keadaan vakum ini bergantung pada apa yang dinamakan <span style="font-style: italic;">quantum jitter</span> (fluktuasi quantum) atau <span style="font-style: italic;">vacuum fluctuation</span>, yaitu suatu kondisi di mana partikel-partikel dan medan-medan gaya bervibrasi atau berfluktuasi di dalam dan keluar dari suatu eksistensi. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Fluktuasi vakum dapat dipikirkan sebagai pasangan-pasangan partikel yang muncul bersamaan pada suatu waktu, bergerak terpisah, lalu menyatu lagi dan saling melenyapkan. Partikel-partikel ini dinamakan partikel-partikel virtual. Tidak seperti partikel nyata, partikel virtual tidak dapat diobservasi langsung dengan sebuah detektor partikel. Namun, efek-efek tidak langsung dari partikel virtual, seperti perubahan kecil di dalam energi orbit elektron, dapat diukur, dan sejalan dengan prediksi-prediksi teoretis dengan tingkat akurasi yang luar biasa. Masalahnya adalah bahwa partikel-partikel virtual memiliki energi, dan karena pasangan partikel-partikel virtual ini ada dalam suatu jumlah tak terbatas, partikel-partikel ini memiliki suatu jumlah energi tanpa batas. Menurut teori relativitas umum, ini berarti bahwa partikel-partikel virtual dapat melengkungkan jagat raya sampai ke suatu ukuran kecil tak terbatas.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Supergravitasi dan supersimetri</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pada tahun 1976, para fisikawan mengusulkan apa yang dinamakan supergravitasi. Prefiks “super” ditambahkan bukan karena dianggap teori gravitasi quantum ini dapat betul-betul bekerja, melainkan mengacu pada sejenis simetri yang dimiliki teori ini, yang dinamakan supersimetri. Dalam fisika, suatu sistem dikatakan memiliki suatu suatu simetri jika sifat-sifatnya (properties) tidak terpengaruh oleh suatu transformasi tertentu seperti merotasikannya di dalam ruang atau mengambil gambar cerminnya. Supersimetri adalah sejenis simetri yang lebih halus yang tidak dapat dihubungkan dengan suatu tranformasi ruang biasa. Salah satu implikasi penting dari supersimetri adalah bahwa partikel-partikel gaya dan partikel-partikel materi, dan dengan demikian gaya dan materi, sesungguhnya adalah dua sisi dari satu hal yang sama. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Kongkretnya, ini berarti bahwa setiap partikel materi, misalnya sebuah quark, harus memiliki suatu partikel mitra berupa suatu partikel gaya, dan setiap partikel gaya, seperti foton, harus memiliki suatu partikel mitra berupa sebuah partikel materi. Dalam kenyataannya, partikel-partikel mitra ini belum berhasil diamati. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Namun berbagai kalkulasi yang telah dibuat para fisikawan mengindikasikan bahwa partikel-partikel mitra yang bersanding dengan partikel-partikel yang kita amati haruslah seribu kali lebih massif dari massa proton, jika malah bukan lebih berat lagi. Ini terlalu berat bagi partikel-partikel semacam ini untuk dapat dilihat di dalam eksperimen apapun yang telah dilakukan, tetapi diharapkan partikel-partikel semacam ini akan akhirnya dapat diciptakan di dalam <i>Large Hadron Collider</i> di Genewa. Kebanyakan saintis percaya bahwa supergravitasi mungkin sekali adalah jawaban yang benar terhadap masalah menyatukan gaya gravitasi dengan gaya-gaya lainnya. </span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Teori dawai (string theory)</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Konsep supersimetri sebetulnya bermula beberapa tahun sebelumnya ketika para teoretikus mempelajari suatu teori yang belum matang, yang dinamakan teori dawai, string theory. Menurut teori ini, partikel-partikel bukanlah berbentuk butiran-butiran (<span style="font-style: italic;">points</span>), melainkan pola-pola (<span style="font-style: italic;">patterns</span>) vibrasi yang memiliki panjang tetapi tidak mempunyai tinggi atau lebar, seperti helai-helai dawai yang ketipisannya tak terbatas. Banyak versi teori dawai; tetapi semuanya konsisten hanya jika ruang-waktu memiliki sepuluh dimensi, ketimbang biasanya hanya empat. Sepuluh dimensi kedengarannya sangat menantang, tetapi hanya betul-betul menjadi masalah kalau anda lupa di mana anda memarkir kendaraan anda. Jika memang ada sepuluh dimensi, kenapa kita tidak melihat dimensi-dimensi lainnya? </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Menurut teori dawai, dimensi-dimensi lainnya ini melengkung atau melipat masuk ke angkasa luar, atau ke ruang internal (<span style="font-style: italic;">internal space</span>), dalam ukuran yang sangat kecil. Suatu masalah lagi dalam teori-teori dawai adalah bahwa tampaknya ada sedikitnya lima teori dan jutaan cara dimensi-dimensi lainnya ini melengkung masuk ke dalam ruang internal, sehingga menyulitkan para teoretikusnya yang mau mempertahankan bahwa teori dawai adalah teori unik tentang segala sesuatnya. Kini para fisikawan yakin bahwa teori-teori dawai yang ada lima versi dan teori supergravitasi hanyalah pendekatan-pendekatan yang berbeda dari suatu teori yang lebih mendasar, yang masing-masing valid di dalam situasi-situasi yang berbeda.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">M-theory, dan 10 pangkat 500 jagat raya yang berbeda</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Teori yang lebih mendasar itu dinamakan M-theory, dengan “M” dapat merupakan singkatan dari “master”, “miracle” atau “mystery”. M-theory bukanlah sebuah formulasi teori tunggal, melainkan sebuah jaringan (<span style="font-style: italic;">network</span>) yang merangkai teori-teori lainnya. Pengharapan tradisional para saintis untuk menemukan sebuah teori tunggal mengenai jagat raya tak dapat dipertahankan lagi, sebab ternyata tidak ada satu formulasi tunggal teori tentang segala sesuatu. Bisa jadi, untuk menggambarkan jagat raya kita harus menggunakan teori-teori yang berbeda di dalam situasi-situasi yang berbeda. Setiap teori dapat memiliki versinya sendiri mengenai realitas; dan menurut realisme yang bergantung pada model, setiap teori tentang jagat raya dapat diterima sejauh teori-teori ini sejalan dengan prediksi-prediksi teori-teori ini ketika semuanya bertumpangtindih.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">M-theory memiliki beberapa sifat yang kita sudah ketahui. Pertama, teori ini memiliki sebelas dimensi ruang-waktu, bukan sepuluh seperti dipertahankan dalam teori-teori dawai. Kedua, teori ini dapat memuat bukan hanya dawai-dawai yang bervibrasi, tetapi juga partikel-partikel butiran, membran dua dimensi, tutul tiga dimensi, dan objek-objek lain yang lebih sulit digambarkan, dan menguasai bahkan lebih banyak dimensi ruang, sampai sembilan. Objek-objek ini dinamakan <span style="font-style: italic;">p-brane</span> (p-dimensi ruang-waktu) (dengan p berkisar dari nol sampai sembilan).</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam M-theory, dimensi-dimensi ruang-waktu lainnya itu (di luar dimensi-dimensi panjang, lebar dan tinggi) tidak dapat dilengkungkan dengan segala cara apapun. Matematika teori ini membatasi cara melengkungkan dimensi-dimensi ruang internal. Bentuk persis ruang internal menentukan baik nilai-nilai konstan fisika, seperti muatan elektron, maupun sifat interaksi di antara partikel-partikel elementer.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Hukum-hukum di dalam M-theory memungkinkan adanya jagat-jagat raya yang berbeda, dengan hukum-hukum yang berbeda, yang dapat kita observasi, bergantung pada bagaimana ruang internal dilengkungkan. M-theory memiliki solusi-solusi yang memungkinkan adanya banyak ruang internal yang berbeda, mungkin sebanyak 10 pangkat 500, yang berarti teori ini membuka kemungkinan bagi adanya 10 pangkat 500 jagat raya yang berbeda, dengan masing-masing memiliki hukum-hukumnya sendiri. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">(6) <span style="font-weight: bold;">Choosing Our Universe</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam bab 6 ini, SH dan LM memberi jawab atas pertanyaan mengapa ada sebuah jagat raya, dan mengapa jagat raya ini berjalan sebagaimana sekarang ada.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Uskup Ussher, uskup agung seluruh Irlandia yang menjabat dari 1625 sampai 1656, dengan memakai Alkitab sebagai landasannya, telah menghitung usia jagat raya dan menempatkan asal mula jagat raya sepersisnya pada 27 Oktober 4004 SM. Sedangkan menurut sains modern, jagat raya sendiri muncul sangat jauh lebih awal, kira-kira 13,7 miliar tahun yang lalu, dan manusia adalah ciptaan yang belum lama ini ada.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">The big bang, “dentuman besar”</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Bukti saintifik pertama yang sebenarnya bahwa jagat raya ini memiliki suatu permulaan muncul tahun 1920-an, ketika Edwin Hubble melakukan observasi-observasi atas jagat raya dengan memakai teleskop 100 inchi di Gunung Wilson, di kawasan bebukitan di atas Pasadena, California. Seperti sudah dikemukakan di atas, dengan menganalisis spektrum cahaya yang dipancarkan galaksi-galaksi, Hubble dapat menetapkan bahwa hampir semua galaksi bergerak menjauh dari kita, dan semakin jauh galaksi-galaksi ini berada semakin cepat gerakan mereka. Pada 1929 dia mempublikasi suatu hukum yang berhubungan dengan besaran angka gerak menjauh galaksi-galaksi itu dari kita, dan menyimpulkan bahwa jagat raya mengembang, <span style="font-style: italic;">expanding. </span>Bukan alam semestanya sendiri yang mengembang, melainkan jarak di antara dua titik di dalam jagat raya yang makin bertambah besar. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Seorang astronom Universitas Cambridge, Arthur Eddington, di tahun 1931, membuat sebuah metafora untuk menggambarkan jagat raya yang mengembang. Eddington mengvisualisasi jagat raya sebagai suatu permukaan sebuah balon yang terus mengembang, dan semua galaksi sebagai titik-titik pada permukaan balon itu. Metafora ini dengan jelas menggambarkan mengapa galaksi-galaksi yang jauh bergerak tambah jauh dengan lebih cepat ketimbang galaksi-galaksi yang dekat.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Penemuan Hubble bahwa jagat raya mengembang membawa kita pada suatu pemahaman bahwa di masa yang sangat lampau jagat raya pastilah lebih kecil ukurannya. Sesungguhnya jika kita bertolak ke masa lampau, maka pada masa itu semua energi dan materi di dalam jagat raya terkonsentrasi di dalam suatu kawasan yang sangat kecil, yang densitas (kepekatan) dan temperaturnya tak terbayangkan besarnya, dan jika kita bertolak cukup jauh ke masa lampau maka ada suatu waktu ketika semuanya berawal, yakni peristiwa yang kini kita namakan <span style="font-style: italic;">the big bang</span>, “dentuman besar”. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Alexander Friedmann, seorang fisikawan dan matematikawan Russia, di tahun 1922, dengan berdasar pada persamaan matematis Einstein, mengajukan sebuah model jagat raya yang berawal dengan ukuran nol lalu mengembang sampai gaya gravitasi memperlambatnya, dan akhirnya membuatnya surut menimpa dirinya sendiri. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pada tahun 1927, seorang professor fisika dan imam Katolik Roma, Georges Lemaître, mengajukan sebuah gagasan yang serupa: jika anda menelusuri sejarah jagat raya ke belakang, ke masa lampaunya, jagat raya ini makin kecil dan makin kecil sampai anda tiba pada suatu peristiwa penciptaan, apa yang sekarang kita namakan <span style="font-style: italic;">the big bang</span>. Istilah “big bang” sendiri diciptakan oleh astrofisikawan Cambridge yang bernama Fred Hoyle pada tahun 1949, sebagai suatu istilah atau deskripsi ejekan. Hoyle sendiri percaya pada suatu jagat raya yang selamanya mengembang.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Fase pertama mengembangnya jagat raya dinamakan oleh para fisikawan sebagai <span style="font-style: italic;">inflasi</span>. Pada saat inflasi kosmologis ini, jagat raya mengembang dengan suatu faktor yang sangat besar, setara dengan sebuah koin berdiameter 1 cm yang tiba-tiba meledak sampai mencapai sepuluh juta kali lebar galaksi Bima Sakti. Hal ini tampaknya melanggar hukum relativitas (khusus) yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat bergerak lebih cepat dari cahaya; tetapi batas kecepatan itu tidak berlaku bagi pengembangan ruang jagat raya sendiri. Pengembangan atau ekspansi jagat raya yang disebabkan oleh inflasi tidaklah seluruhnya seragam. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Bukti-bukti natural lainya yang membenarkan adanya “dentuman besar” pada awal mula terbentuknya jagat raya adalah adanya radiasi gelombang mikro kosmik yang melatarbelakangi dan memenuhi seluruh jagat raya (CMBR= <i>Cosmic Microwave Background Radiation)</i>. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Selain itu, para astronom juga telah menemukan sidik-sidik jari lainnya yang mendukung gambaran tentang <span style="font-style: italic;">the big bang</span> sebagai suatu jagat raya awal yang kecil dan panas. Sebagai contoh, selama menit-menit pertama, jagat raya lebih panas ketimbang pusat suatu bintang yang tipikal. Selama periode ini seluruh jagat raya bertindak selaku suatu reaktor fusi nuklir. Reaksi nuklirnya berhenti ketika jagat raya mengembang dan cukup mendingin. Menurut teori, ketika ini terjadi jagat raya yang dihasilkan adalah jagat raya yang terdiri terutama atas hidrogen, tetapi juga 23 persen helium, dengan jejak-jejak lithium (semuanya adalah elemen-elemen yang lebih berat yang tercipta belakangan, di dalam bintang-bintang). Kalkulasi ini ternyata sejalan dengan jumlah helium, hidrogen, dan lithium yang diobservasi manusia. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Teori relativitas umum Einstein, teori quantum, dan the big bang</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Teori relativitas umum Einstein memprediksi bahwa ada suatu titik dalam waktu di mana temperatur, densitas, dan peringkat lengkungan/kurvatura jagat raya semuanya tak terbatas (<span style="font-style: italic;">infinite</span>), suatu situasi yang oleh para matematikawan dinamakan suatu singularitas. Bagi seorang fisikawan, ini berarti bahwa teori Einstein gagal pada titik ini dan karenanya tidak dapat digunakan untuk memprediksi bagaimana jagat raya dimulai, tetapi dapat digunakan hanya sejauh berkaitan dengan ihwal bagaimana jagat raya berevolusi sesudahnya. Selain itu, teori relativitas umum tidak memperhitungkan struktur skala kecil dari materi, yang diatur oleh teori quantum. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Fisika quantum bisa diterapkan pada jagat raya pada saat terjadinya the big bang karena jika kita mundur cukup jauh ke waktu masa lampau, jagat raya sangat kecil, sekecil ukuran Planck, yakni sepermilyar trilyun-trilyun centimeter, yang merupakan ukuran yang dapat diperhitungkan oleh teori quantum. Dengan demikian, meskipun kita masih belum memiliki suatu teori quantum yang lengkap, kita sungguh tahu bahwa asal usul jagat raya adalah suatu peristiwa quantum. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Karena itu, teori relativitas umum harus diganti oleh suatu teori yang lebih lengkap yang bisa menjelaskan “initial state”, keadaan awal, yang melahirkan <span style="font-style: italic;">the big bang</span>. Dalam hal ini, SH&LM melihat bahwa jika kita mau mundur dengan lebih jauh ke dalam waktu masa lampau dan mau memahami asal usul jagat raya, kita harus mengombinasikan teori relatitivitas umum dan teori quantum. Untuk mengetahui bagaimana teori gabungan ini bekerja, kita perlu mengerti prinsip bahwa gravitasi mencerukkan (<span style="font-style: italic;">warp</span>) ruang dan waktu. </span></span><br />
<br />
<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtbQoaH_JwIghc09Le_Y2pufSnYnC4f8szwL0ylgPXKa76-qsYW0qmblqJOpoxKVgyaGuZQJWBbIpg4IMLGpI2yGZO1D-ABSFvAZj1983ZL-TcPLQcgK6D8ynYAEhkwtMsbf-XOXQvHyk/s1600/Massive+bodies+warp+spacetime.+Image+courtesy+NASA.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5590676980797421618" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtbQoaH_JwIghc09Le_Y2pufSnYnC4f8szwL0ylgPXKa76-qsYW0qmblqJOpoxKVgyaGuZQJWBbIpg4IMLGpI2yGZO1D-ABSFvAZj1983ZL-TcPLQcgK6D8ynYAEhkwtMsbf-XOXQvHyk/s400/Massive+bodies+warp+spacetime.+Image+courtesy+NASA.jpg" style="cursor: pointer; display: block; height: 294px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 400px;" /></a><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">Materi yang sangat masif mencerukkan (</span><span style="font-size: small;">warping<span style="font-style: italic;">) ruang-waktu, alhasil gravitasi tercipta</span></span></span></div>
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><br />Materi dan energi mencerukkan ruang, sehingga mengubah jalannya objek-objek. Menceruknya ruang dalam jagat raya memperpanjang atau memperpendek jarak di antara titik-titik dalam ruang, mengubah geometri atau bentuknya, dalam suatu cara yang dapat diukur dari dalam jagat raya. Demikian juga, materi dan energi mencerukkan waktu; menceruknya waktu memperpanjang atau memperpendek interval waktu dengan suatu cara yang analogis. Pencerukan (<span style="font-style: italic;">warpage</span>) ruang dan waktu menyebabkan dimensi waktu “bercampur” dengan dimensi ruang; kedua dimensi ini saling mengait dan saling mengunci.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Percampuran atau kesalingmengaitan antara waktu dan ruang ini penting di dalam jagat raya pada awalnya dan merupakan kunci untuk memahami permulaan waktu.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Meskipun teori relativitas umum Einstein menyatukan waktu dan ruang sebagai dimensi ruang-waktu dan melibatkan suatu percampuran tertentu ruang dan waktu, waktu masih berbeda dari ruang, dan keduanya memiliki suatu permulaan dan suatu akhir atau jika tidak demikian keduanya akan berlangsung abadi. Tetapi, kalau kita tambahkan efek-efek teori quantum kepada teori relativitas umum, maka dalam kasus-kasus yang ekstrim pencerukan dapat terjadi dengan sangat besar sehingga waktu berperilaku seperti sebuah dimensi lain dari ruang. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pada permulaan jagat raya, secara efektif ada empat dimensi ruang dan tidak ada dimensi waktu. Ini berarti bahwa kalau kita memandang mundur jauh ke belakang dalam waktu, ke permulaan jagat raya, waktu sebagaimana kita kenal tidak ada! Kita harus menerima bahwa gagasan-gagasan lazim kita tentang ruang dan waktu tidak berlaku bagi jagat raya pada awalnya sekali. Ini berada di luar pengalaman kita, tetapi tidak di luar imajinasi kita, atau matematika kita.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Kesadaran bahwa waktu dapat berperilaku seperti sebuah arah lain dari ruang mengharuskan kita membuang masalah tentang waktu mempunyai sebuah permulaan, dengan cara yang sama kita membuang adanya sisi pinggir dunia yang melengkung. Anggaplah permulaan jagat raya seperti Kutub Selatan Bumi, dengan derajat-derajat garis lintangnya berperan sebagai waktu. Kalau kita bergerak ke utara, lingkaran-lingkaran garis lintang konstan, yang menggambarkan ukuran jagat raya, akan bertambah. Jagat raya dimulai sebagai suatu titik di Kutub Selatan, tetapi Kutub Selatan sama dengan titik lain manapun. Pertanyaan apa yang terjadi sebelum permulaan jagat raya menjadi sebuah pertanyaan yang tak bermakna, karena tidak ada apapun di sebelah selatan Kutub Selatan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam gambaran ini, ruang-waktu tidak memiliki batas. Dengan cara yang sama, ketika kita menggabungkan teori relativitas umum dengan teori quantum, pertanyaan apa yang terjadi sebelum permulaan jagat raya menjadi sebuah pertanyaan yang tak bermakna. Gagasan ini bahwa sejarah-sejarah haruslah merupakan permukaan-permukaan yang tertutup tanpa batas disebut kondisi tanpa batas.</span></span><span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%; font-style: italic;"><span style="font-family: georgia;">Jagat raya, karena fluktuasi quantum, ada dari ketiadaan</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Selama berabad-abad banyak orang, termasuk Aristoteles, percaya bahwa jagat raya harus selalu ada untuk menghindari soal bagaimana jagat raya dibangun. Orang lain percaya bahwa jagat raya mempunyai permulaan, dan menggunakannya sebagai sebuah argumen untuk menerima keberadaan Allah. Tetapi kesadaran bahwa waktu berperilaku seperti ruang menyajikan sebuah alternatif. Alternatif ini menyingkirkan keberatan yang sudah ada sangat lama terhadap jagat raya yang memiliki sebuah permulaan, bahkan juga berarti bahwa permulaan jagat raya diatur oleh hukum-hukum sains dan tidak perlu dibuat bergerak oleh suatu allah.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Jadi, permulaan jagat raya adalah suatu peristiwa quantum. Seperti sudah ditulis di atas tentang “sejarah-sejarah alternatif” dalam teori quantum, jagat raya tidak memiliki sejarah masa lampau tunggal, tetapi, dalam kenyataannya, ada banyak jagat raya dan masing-masing memiliki seperangkat berbeda hukum-hukum fisikanya dan sejarahnya sendiri-sendiri, dan semua jagat raya ini ada dengan spontan, dimulai dengan setiap cara yang mungkin. Gagasan ini disebut oleh sejumlah orang sebagai konsep multiverse.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Gambaran tentang jagat raya yang tercipta spontan dari fisika quantum menyerupai pembentukan gelembung-gelembung uap air di dalam air yang mendidih. Banyak gelembung kecil bermunculan, lalu lenyap lagi. Gelembung-gelembung kecil ini menggambarkan jagat-jagat raya kecil yang mengembang tetapi luruh lagi ketika masih dalam ukuran mikroskopis. Gelembung-gelembung kecil ini menggambarkan jagat-jagat raya alternatif yang mungkin ada, tetapi tidak berlangsung cukup lama untuk berkembang menjadi galaksi-galaksi dan bintang-bintang, apalagi kehidupan cerdas. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tetapi beberapa gelembung kecil akan tumbuh cukup besar sehingga mereka luput dari keruntuhan kembali. Mereka akan berlangsung terus untuk mengembang pada suatu besaran angka kecepatan yang terus makin bertambah dan akan membentuk gelembung-gelembung uap yang dapat kita lihat. Fluktuasi quantum (lihat di atas) bermuara pada penciptaan jagat-jagat raya kecil dari ketiadaan. Sedikit dari antaranya mencapai suatu ukuran kritis, lalu mengembang lewat inflasi kosmologis, membentuk galaksi-galaksi, bintang-bintang, dan, sedikitnya dalam satu kasus, makhluk cerdas seperti kita. Kita semua adalah produk dari fluktuasi-fluktuasi quantum dalam jagat raya yang sangat awal. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">(7) <span style="font-weight: bold;">The Apparent Miracle</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Gagasan bahwa jagat raya dirancang untuk mengakomodasi umat manusia muncul dalam teologi-teologi dan mitologi-mitologi yang berasal dari ribuan tahun lalu hingga sekarang ini di banyak tempat di muka Bumi. Dalam kebudayaan Barat, Perjanjian Lama, khususnya kisah tentang penciptaan, ditafsirkan memuat gagasan tentang rancangan atau desain yang dibuat Allah dalam rangka memelihara manusia sebagai puncak semua ciptaan. Gagasan Kristen tentang adanya desain ilahi dalam jagat raya kuat dipengaruhi Aristoteles yang percaya “pada suatu dunia alamiah yang cerdas yang berfungsi menurut suatu desain yang seksama.” </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Teolog Kristen dari Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, memakai gagasan Aristoteles mengenai tatanan dalam alam untuk mempertahankan keberadaan Allah. Penemuan yang relatif mutakhir yang memperlihatkan bahwa sangat banyak hukum alam, dan faktor-faktor lingkungan (<span style="font-style: italic;">environmental factors</span>) dalam sistem matahari kita (misalnya kita hidup dalam suatu “Goldilocks zone”, zona yang dapat ditinggali manusia), yang dengan ekstrim telah “disetel dengan pas” (<span style="font-style: italic;">fine tuned)</span> sehingga menghasilkan suatu jagat raya yang bersahabat dengan manusia untuk mereka dapat hidup di planet Bumi, dapat membuat orang kembali ke gagasan lama bahwa desain yang agung ini adalah pekerjaan suatu desainer atau perancang agung. Belakangan ini di Amerika Serikat gagasan lama ini muncul kembali dalam apa yang dikenal sebagai gagasan “intelligent design”, dengan sang desainernya tentu adalah Allah.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Tetapi sains modern tidak menjawab demikian. Adanya multiverse, ketimbang universe, membuat kita harus memandang habitat kosmik kita (yakni seluruh jagat raya yang dapat diamati) hanyalah salah satu saja dari banyak habitat kosmik lainnya, sama seperti sistem matahari kita adalah satu sistem bintang saja dari antara bermilyar-milyar sistem bintang dalam galaksi kita saja, belum lagi sistem-sistem bintang di banyak galaksi lain yang tak terhitung banyaknya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">“Fine tuning” dalam hukum-hukum alam yang manusia dapat observasi dapat dijelaskan dengan mengacu ke multiverse, yang memungkinkan anggapan bahwa “fine tuning” juga dapat ditemukan di jagat-jagat raya lainnya, dalam multiverse yang majemuk. Gagasan tentang multiverse bukanlah suatu gagasan yang ditemukan untuk menjelaskan keajaiban “fine tuning”, tetapi merupakan suatu konsekwensi kondisi tanpa batas (yang sudah disebut di atas) dan banyak teori kosmologi modern lainnya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Jika ini benar, maka <span style="font-style: italic;">prinsip antropik kuat</span> (bahwa fakta kita ada/hidup menimbulkan pembatasan-pembatasan bukan hanya pada lingkungan kita, tetapi juga pada bentuk dan isi yang mungkin dari hukum-hukum alam itu sendiri) dapat dengan efektif dipandang ekuivalen dengan <span style="font-style: italic;">prinsip antropik lemah</span> (bahwa fakta kita ada/hidup membatasi karakteristik jenis lingkungan yang di dalamnya kita menemukan diri kita sendiri), sehingga menempatkan “fine tuning” hukum-hukum fisika pada landasan yang sama dengan faktor-faktor lingkungan yang juga “fine tuned”. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Banyak orang selama berabad-abad pada zaman mereka mengasalkan keindahan dan kompleksitas alam raya pada pekerjaan Allah, sebab mereka tampaknya tidak punya penjelasan-penjelasan saintifik atas fenomena alam ini. Tetapi sama seperti Charles Darwin dan Wallace menjelaskan bagaimana desain yang tampaknya ajaib dari bentuk-bentuk kehidupan dapat muncul tanpa intervensi suatu makhluk agung supernatural, konsep multiverse dapat menjelaskan “fine tuning” hukum-hukum fisika tanpa memerlukan adanya suatu pencipta yang baik hati yang telah membuat jagat raya demi kebaikan dan keuntungan buat manusia. </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">(8) <span style="font-weight: bold;">The Grand Design</span></span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam bab penutup ini, SH dan LM menjelaskan <i>The Game of Life</i> yang diinvensi pada tahun 1970 oleh seorang matematikawan muda di Cambridge yang bernama John Conway. Game ini sebenarnya bukan sebuah game (karena dalam game ini tidak ada pemain dan tidak ada yang kalah atau yang menang), melainkan seperangkat hukum yang mengatur suatu jagat raya dua dimensi. Game ini dipakai SH dan LM sebagai sebuah contoh yang dapat membantu kita memikirkan soal-soal mengenai realitas dan ciptaan.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam Game ini, jagat raya yang ditampilkan adalah suatu jagat raya yang deterministik, maksudnya: sekali anda mulai membangun suatu konfigurasi awal, atau kondisi inisial/awal, hukum-hukum dalam jagat raya ini menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Dengan memperhitungkan kondisi awal manapun, hukum-hukum ini melahirkan generasi demi generasi. Jagat raya yang dibayangkan Conway adalah suatu bangunan empat persegi, seperti papan catur, tetapi melebar tanpa batas ke segala arah. Sebagaimana dalam jagat raya kita, dalam The Game of Life realitas anda bergantung pada model yang anda gunakan.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Conway dan murid-muridnya menciptakan dunia ini karena mereka ingin mengetahui apakah suatu jagat raya yang lengkap dengan aturan-aturan mendasarnya, sesederhana seperti yang mereka definisikan, dapat berisi objek-objek yang cukup kompleks untuk mereplikasi diri. Conway dan murid-muridnya ingin tahu, apakah dalam dunia The Game of Life ada objek-objek campuran yang akan melahirkan objek-objek lainnya yang sejenis setelah hanya mengikuti hukum-hukum yang berlaku dalam dunia itu selama beberapa generasi. Bukan hanya mereka dapat mendemonstrasikan bahwa hal itu mungkin, tetapi mereka juga bahkan berhasil memperlihatkan bahwa suatu objek semacam itu, dalam arti tertentu, cerdas. Mereka menunjukkan bahwa campuran besar bangunan segi empat yang mereplikasi diri itu adalah “mesin-mesin cerdas universal”. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Hal ini berarti bahwa bagi kalkulasi apapun yang sebuah komputer dalam dunia fisikal kita dapat pada prinsipnya jalankan, jika mesin ini diberi input yang cocok (yakni, menyediakannya lingkungan dunia The Game of Life yang cocok), maka beberapa generasi kemudian mesin ini akan berada pada suatu keadaan yang dari dalamnya suatu output dapat dibaca yang sesuai dengan hasil kalkulasi komputer itu. Contoh The Game of Life Conway menunjukkan bahwa seperangkat sederhana hukum-hukum pun dapat menghasilkan fitur-fitur kompleks yang serupa dengan fitur-fitur kehidupan cerdas.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Pada dua halaman terakhir bab penutup, SH dan LM bertanya, bagaimana seluruh jagat raya dapat diciptakan dari ketiadaan? Tidak lain, karena ada suatu hukum seperti gravitasi (selain karena adanya fluktuasi quantum seperti telah diulas di atas). Benda-benda langit seperti bintang-bintang dan lubang-lubang hitam tidak dapat ada hanya dari ketiadaan; tetapi seluruh jagat raya dapat. Karena ada suatu hukum seperti gravitasi, jagat raya dapat dan akan menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan, dalam suatu cara yang telah diurai dalam bab 6 buku GD. Penciptaan spontan adalah alasan mengapa ada sesuatu ketimbang tidak ada apapun, mengapa jagat raya ada, dan mengapa kita ada. Tidak perlu melibatkan Allah untuk menyalakan “kertas sentuh biru” dan membuat jagat raya jalan.</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"> </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Dalam dua alinea terakhir buku GD, kedua penulisnya menyinggung kembali M-theory, dan menegaskan bahwa M-theory adalah teori gravitasi supersimetris yang paling umum dan merupakan satu-satunya kandidat bagi suatu teori lengkap mengenai jagat raya. Jika teori ini dikonfirmasi oleh observasi, maka ini akan merupakan suatu kesimpulan yang sukses dari suatu penyelidikan yang sudah berlangsung lebih dari 3000 tahun. Di dalam M-theory inilah kita menemukan <span style="font-style: italic;">the grand design.</span> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">Peringkas: Ioanes Rakhmat</span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><br />Kelapa Gading, Jakarta </span></span><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;">17 Desember 2010</span></span><br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span>
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span>
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></div>
Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-28613105168854345202010-12-05T19:57:00.003+07:002010-12-05T20:08:44.428+07:00Sekularisasi dan Desekularisasi<span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >oleh Ioanes Rakhmat**<br /><br />Sekitar tahun 1950-an dan 1960-an, para sejarawan dan sosiolog agama, serta para pakar ilmu politik, mengajukan apa yang dengan longgar dilabelkan sebagai “teori sekularisasi.” Gagasan kunci teori ini, yang menyatakan bahwa modernitas menyebabkan kemunduran peran agama di dalam masyarakat dan di dalam pikiran orang perorangan, bahkan dapat ditelusuri ke belakang, ke kritik para pemikir era Pencerahan terhadap agama, yang dikenal sebagai laisisme (dari kata Perancis <span style="font-style: italic;">laїcité</span>). Namun, pada pihak lain, ada juga sekian sosiolog agama yang mempertahankan bahwa sekularisasi adalah suatu produk kebudayaan yang berasal dari tradisi luas Yudeo-Kristen, yang menjadi suatu landasan unik bagi demokrasi sekuler./1/<br /><br />Dalam dua sampai tiga dasawarsa terakhir abad XX, teori sekularisasi kelihatan tak lagi dipertahankan oleh kebanyakan para sosiolog agama, dan fokus analisis berganti pada fenomena desekularisasi yang ternyata melanda hampir seluruh bagian dunia kecuali Eropa (Barat dan Tengah). Dewasa ini, kalaupun teori sekularisasi tetap dipertahankan, konsepnya sudah diperhalus, dikembangkan dan diperinci lebih jauh sehingga tetap dapat dipakai dalam menganalisis hubungan-hubungan antara modernitas dan agama.<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLdrXHmzzrZlHMNqtbW3vBlQAkdPqCVtmHo0_nlBMnMNAbJDy7dKS-f1w7FKJ8sldyIjlAZF_gq8DO2otsX_ZH6y3eyW79ky38r6Ww5qJ-Jpv_ES6777bdl8cr_oSaXt4TRpshxD7Jm4E/s1600/Desekularisasi+dunia.....jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 256px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLdrXHmzzrZlHMNqtbW3vBlQAkdPqCVtmHo0_nlBMnMNAbJDy7dKS-f1w7FKJ8sldyIjlAZF_gq8DO2otsX_ZH6y3eyW79ky38r6Ww5qJ-Jpv_ES6777bdl8cr_oSaXt4TRpshxD7Jm4E/s320/Desekularisasi+dunia.....jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5547184031913704274" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">Welcome, desecularization! </span><br /></div><br /><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >Tulisan ini pertama mau menyoroti teori sekularisasi yang dijabarkan oleh beberapa sosiolog agama, seperti Peter L. Berger, Steve Bruce, Karel Dobbelaere, José Casanova, Danièle Hervieu-Léger, Pippa Norris dan Ronald Inglehart. Sesudah itu, tema desekularisasi akan dikemukakan, dengan fokus pada tulisan-tulisan Peter L. Berger, Rodney Stark dan Roger Finke, dan Talal Asad. Sesudah menguraikan dua tema ini, makalah ini ditutup dengan suatu analisis evaluatif umum atas beberapa pokok penting dalam teori sekularisasi yang di antaranya ada yang dikaitkan dengan kultur sosial keindonesiaan dewasa ini.<br /></span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" ><br /><br />I. <span style="font-weight: bold;">Berbagai teori sekularisasi</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" ><br /><span style="font-weight: bold;">Peter L. Berger</span><br /><br />Peter L. Berger adalah salah seorang sosiolog agama yang pada tahun 1960-an telah mendeskripsikan teori sekularisasi, khususnya dalam bukunya <span style="font-style: italic;">The Sacred Canopy</span>./2/ Kepada <span style="font-style: italic;">New York Times</span> di tahun 1968, Berger mengatakan bahwa “pada abad XXI, orang-orang yang percaya pada agama mungkin ditemukan hanya di dalam sekte-sekte kecil, yang berkelompok bersama untuk melawan suatu kebudayaan sekuler global.”/3/<br /><br />Bagi Berger, sekularisasi adalah suatu “proses melalui mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan”. Dia bertanya, proses-proses dan kelompok-kelompok sosio-kultural mana yang telah berfungsi sebagai sarana-sarana atau mediator-mediator bagi terjadinya sekularisasi. Dia mencatat berbagai macam faktor sebagai pendorong sekularisasi, antara lain: peradaban manusia sebagai suatu keseluruhan yang menyebar keseluruh dunia; dinamika yang ditimbulkan oleh kapitalisme industrial; gaya hidup yang ditimbulkan oleh produksi industrial; pengaruh dari ilmu pengetahuan modern yang meresap ke berbagai sektor kehidupan sosial; infrastruktur praktikal di dalam kehidupan sosial.<br /><br />Dari banyak faktor, faktor yang merupakan akar dan benih sekularisasi adalah tradisi keagamaan Barat, khususnya tradisi keagamaan biblis Yudaisme yang melalui kekristenan, khususnya tradisi Kristen Reformatoris Kalvinis, telah menjadi fondasi-fondasi peradaban modern. Berger menegaskan, dunia modern, dengan sekularisasinya, dapat ditafsirkan sebagai “suatu realisasi dari roh Kristen” dan “Protestantisme telah memainkan suatu peran khas di dalam menegakkan dunia modern.”<br /><br />Kontras dengan Gereja Roma Katolik yang kehidupan praktis dan ritual keagamaannya masih dipenuhi aura kekeramatan dan pesona magis dunia transendental, kehidupan Gereja Protestan Kalvinis telah mengalami “disenchantment of the world” (<span style="font-style: italic;">Entzauberung der Welt</span>), telah “kehilangan kekeramatan (atau pesona magis) dunia ini”; orang-orang Prostestan tinggal di dalam suatu dunia yang numinositas-nya telah diambil darinya, dunia yang “bereft of numinosity”. Tidak ada malaikat-malaikat, tidak ada orang-orang kudus dan Bunda Maria sebagai perantara-perantara keselamatan, tidak ada roti dan anggur yang berubah menjadi daging dan darah Kristus, yang semuanya menghubungkan dunia imanen (dunia kodrati) dengan dunia transendental (dunia adikodrati) di mana Allah berada.<br /><br />Bagi orang Protestan Kalvinis, Allah begitu tinggi, jauh di atas sana, transenden, suci tidak tertandingi oleh siapapun dan apapun yang ada di dalam dunia. Sebaliknya, manusia, dalam kaca mata orang Protestan Kalvinis, adalah makhluk fana dan hina yang telah jatuh ke dalam dosa, makhluk pendosa, dan karena itu terpisah dan terputus sama sekali dari Allah yang Maha Suci dan transenden. Hanya ada ada satu penghubung antara Allah dan manusia, yakni firman Allah, dalam arti firman yang menyatakan bahwa pemulihan hubungan (antara Allah dan manusia) hanya mungkin terjadi karena “rakhmat semata-mata,” <span style="font-style: italic;">sola gratia</span> (seperti menjadi pengakuan iman Protestan Lutheran). Ketika penghubung satu-satunya ini dipatahkan, karena sudah tidak “plausible” (= tidak masuk akal) lagi, maka terpisahlah dunia imanen dari dunia transenden selama-lamanya; maka, dunia kodrati sungguh-sungguh telah “bereft of numinosum” dan menjadi realitas empiris duniawi semata-mata, “God is dead”. Ketika ini terjadi, maka realitas empiris ini menjadi terbuka terhadap penetrasi rasional dan sistematik, baik dalam pemikiran maupun dalam aktivitas, yang kita hubungkan dengan sains modern dan teknologi. Langit kini kosong tanpa malaikat, terbuka untuk diintervensi oleh para astronom, dan akhirnya, oleh para astronot. Maka, proses sekularisasi pun dimulailah.<br /><br />Berger menandaskan, pandangan bahwa dunia ini sudah kehilangan pesona magis dan kekeramatannya, karena mengalami desakralisasi dan demitologisasi, telah tersekularisasi, sudah dimulai dalam Perjanjian Lama, kitab suci agama Yahudi, agama yang dipenuhi oleh motif-motif transendentalisasi (Allah itu Esa, di atas sana, tidak terjangkau), historisasi (namun, Allah yang adikodrati itu, bekerja dalam sejarah Israel, menuntut respons umat, dan membuat ikatan perjanjian, berith, dengannya) dan rasionalisasi etika (anti-magis: umat diperkenan Allah bukan karena melakukan praktek-praktek magis, tetapi karena melaksanakan Taurat Allah).<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Steve Bruce</span><br /><br />Dalam bukunya yang ditulis tahun 1996, <span style="font-style: italic;">Religion in the Modern World</span>,/4/ Bruce menjabarkan dengan jelas apa yang dilihatnya sebagai hubungan-hubungan yang esensial antara munculnya modernitas dan hilangnya bentuk-bentuk tradisional kehidupan keagamaan. Seperti Peter L. Berger, Steve Bruce juga melihat bahwa Protestantisme yang lahir pada masa Reformasi di abad XVI, yang ikut mempercepat timbulnya individualisme dan kemenangan rasionalitas, telah mengubah watak agama dan tempatnya dalam dunia modern. Dunia modern yang dimaksudkan Bruce adalah dunia kehidupan yang dilandaskan pada kultur egalitarian dan politik demokrasi, yakni dunia Barat.<br /><br />Ihwal bagaimana individualisme dan rasionalitas berkorelasi dalam melahirkan sekularisme, diungkap oleh Bruce demikian, “Individualisme mengancam basis komunal kepercayaan dan perilaku keagamaan, sedangkan rasionalitas menyingkirkan banyak tujuan agama dan membuat banyak kepercayaannya tak masuk akal lagi.”/5/ Keduanya, individualisme dan rasionalitas, bersama-sama membentuk watak kebudayaan Barat modern, yang prosesnya berlangsung lama dan rumit. Bersamaan dengan itu, pranata-pranata keagamaan juga berevolusi, dan dalam proses evolusioner ini, yang memakan waktu tiga sampai empat abad dalam sejarah Eropa, gereja dan sekte-sekte akhirnya berubah menjadi denominasi dan kultus (<span style="font-style: italic;">cult</span>), yakni bentuk-bentuk organisasi keagamaan yang mencerminkan individualisme yang semakin berkembang dalam kehidupan keagamaan. Ketika ini terjadi, gereja yang universal, sebagai “kubah suci” (terminologi Peter L. Berger) yang merangkumi dan menaungi segalanya, lenyap, dan sebagai gantinya sekularisme muncul dan menyingkirkan agama ke wilayah privat saja.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Karel Dobbelaere</span><br /><br />Bagi Karel Dobbelaere,/6/ sekularisasi adalah suatu proses dalam masyarakat di dalam mana suatu sistem keagamaan yang transenden dan mencakup segalanya disusutkan menjadi suatu subsistem dari masyarakat yang ada bersama subsistem-subsistem lainnya; proses ini membuat klaim-klaim agama tentang pencakupan segalanya di dalam dirinya kehilangan relevansinya. Dengan demikian, lembaga agama termarjinalisasi dan terprivatisasi.<br /><br />Dobbelaere berteori bahwa sekularisasi terjadi karena di dalam masyarakat telah berlangsung perubahan-perubahan struktural, yang membuat sistem besar pengelolaan atau manajemen masyarakat disubdivisikan ke dalam subsistem-subsistem yang lebih kecil namun rasional, yang masing-masing memainkan fungsi sendiri-sendiri (ekonomi, polity, famili, pendidikan, sains). Subsistem-subsistem ini berfungsi dengan sangat terspesialisasi dan terdiferensiasi, dan keadaan ini menghasilkan organisasi-organisasi yang makin bertambah rasional. Masyarakat menjadi tersegmentasi ke dalam sejumlah domain kelembagaan, yang fungsional, rasional dan otonom. Subdivisi-subdivisi, diferensiasi, segmentasi, spesialisasi dan individuasi fungsi-fungsi dalam masyarakat hanya bisa berlangsung kalau ada nilai-nilai civik inti yang melandasi dan menyemangati, yakni libertas dan equalitas. Tetapi karena tidak semua orang memiliki keahlian-keahlian yang diperlukan (meskipun ada nilai equalitas), maka di dalam subsistem-subsistem itu diperlukan orang-orang yang profesional. Siapa saja yang memiliki profesionalitas, boleh berfungsi dalam suatu subsistem yang cocok.<br /><br />Dobbelaere menandaskan, “karena itu, kita dapat berbicara mengenai sekularisasi hanya di dalam masyarakat yang di dalamnya suatu proses diferensiasi telah dijalankan untuk memisahkan beberapa domain kelembagaan, misalnya, domain politik dari domain agama.”/7/ Katanya lagi, “semakin tinggi peringkat diferensiasi fungsional, maka sekularisasi akan semakin bertambah-tambah― ini berarti agama akan pertama-tama kehilangan atau berkurang dampaknya terhadap penentuan aturan-aturan yang mengatur domain-domain kelembagaan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, aturan-aturan keagamaan tradisional, atau norma-norma yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, akan semakin digantikan oleh norma-norma sekuler atau betul-betul tersingkir, menjadi tidak dapat dipakai di dalam subsistem-subsistem pendidikan, keluarga, polity, ekonomi, dan sains, yang berbeda-beda.”/8/<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">José Casanova</span><br /><br />Dalam bukunya yang ditulis tahun 1994, <span style="font-style: italic;">Public Religions in the Modern World</span>,/9/ José Casanova mengajukan lima studi kasus mengenai hubungan modernitas dan agama: dua kasus dari Eropa, dua kasus dari Amerika Serikat, dan satu kasus dari Amerika Latin. Baginya, paradigma sekularisasi tetap merupakan sebuah kerangka teoretis utama yang melaluinya ilmu-ilmu sosial dapat memandang dan menjelaskan relasi-relasi yang ada antara agama dan modernitas. Dia tidak melihat perlunya teori sekularisasi ditinggalkan atau dianggap telah tidak relevan lagi; melainkan, baginya, konsep tentang sekularisasi perlu diperhalus atau dibuat lebih rinci agar dapat tetap digunakan untuk melakukan suatu analisis yang lebih akurat terhadap agama-agama dalam dunia modern di berbagai belahan dunia. Dalam banyak hal, analisis-analisis sosiologis Casanova bertumpu pada karya-karya berpengaruh Karel Dobbelaere, misalnya dalam pemahamannya mengenai diferensiasi kawasan-kawasan sekuler yang menjadi bagian dari konsep tentang sekularisasi.<br /><br />Kerancuan dan keanekaragaman yang membingungkan di dalam konsep sekularisasi timbul, menurut Casanova, karena konsepnya sendiri. Konsep sekularisasi dengan demikian perlu dijernihkan terlebih dulu sebelum perdebatan dapat dilangsungkan lebih jauh. Dia memperinci konsep sekularisasi. Dia menyatakan dalam bukunya: “Sebuah tesis penting dan premis teoretis utama karya ini adalah bahwa apa yang biasanya dipandang sebagai suatu teori tunggal tentang sekularisasi sebetulnya terdiri atas tiga proposisi yang berbeda, asimetris dan tak terintegrasi, yakni:<br /></span><ul style="font-family:georgia;"><li><span style="font-size:100%;">sekularisasi sebagai diferensiasi wilayah-wilayah sekuler, yang membedakan wilayah-wilayah ini dari pranata-pranata dan norma-norma keagamaan;<br /></span></li><li><span style="font-size:100%;">sekularisasi sebagai kemunduran kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan;<br /></span></li><li><span style="font-size:100%;">dan sekularisasi sebagai marjinalisasi agama ke suatu wilayah yang terprivatisasi.<br /></span></li></ul><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >Jika premis ini benar, maka pembedaan analitis ini haruslah bermuara pada berakhirnya debat yang tak produktif tentang sekularisasi, yakni hanya ketika para sosiolog agama mulai memeriksa dan menguji validitas masing-masing tiga proposisi ini dengan satu sama lain tidak bergantung.”/10/ </span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span style="font-size:100%;"><br /><span style="font-family:georgia;">Ada dua poin penting yang dihasilkan dari studi-studi kasus yang dilakukan Casanova. Pertama, sekularisasi sebagai diferensiasi adalah inti penting dari teori sekularisasi. “Diferensiasi dan emansipasi kawasan-kawasan sekuler dari pranata-pranata dan norma-norma keagamaan tetap merupakan suatu trend struktural modern yang umum.”/11/ Meskipun demikian, modernitas tidaklah harus berarti suatu reduksi dalam peringkat kepercayaan dan praktek keagamaan; dan juga tidaklah mengakibatkan agama harus seluruhnya tersingkir ke wilayah privat. Sebenarnya, dalam bukunya itu Casanova bermaksud bukan hanya untuk menemukan tetapi juga untuk mengafirmasi suatu peran publik yang absah bagi agama di dalam dunia modern, termasuk Eropa modern. Poin keduanya adalah: gereja-gereja yang telah melawan diferensiasi struktural gereja dan negara, khususnya gereja-gereja negara di Eropa, adalah gereja-gereja yang telah menginsafi bahwa sangatlah sulit untuk berhadapan dengan tekanan-tekanan yang timbul dari gaya kehidupan modern. Akibatnya, vitalitas keagamaan menjadi jauh mundur dalam kebanyakan negara Eropa modern. Ketimbang sebagai suatu hasil yang tak terhindar dari modernitas, kemunduran ini sebetulnya muncul dari pengaturan-pengaturan khusus yang telah dibuat dalam penataan hubungan gereja dan negara yang menguasai sejarah Eropa. Fenomena ini adalah suatu fenomena Eropa, yang dapat dijelaskan dengan suatu penjelasan Eropa, dan bukan sebuah contoh mengenai suatu hubungan aksiomatis antara modernitas dan sekularisasi dalam dunia secara keseluruhan. </span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:georgia;" >Danièle Hervieu-Léger</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Hervieu-Léger, seorang sosiolog Perancis terkemuka, dalam sebuah karyanya, <span style="font-style: italic;">Religion as a Chain of Memory</span>, berupaya untuk mengidentifikasi dan memperhalus perangkat konseptual teoretis yang diperlukan dalam usaha memahami agama dalam dunia modern./12/ Dalam Bagian 3, bab 7 bukunya ini, dia menyatakan bahwa “sekularisasi adalah suatu krisis memori kolektif”, dengan memakai Katolisisme Perancis sebagai sampelnya. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Baginya, setiap individu yang mempercayai suatu agama, individu ini, dan juga orang-orang lain dalam komunitas keagamaannya, terikat oleh suatu <span style="font-style: italic;">chain</span>, suatu mata rantai, yang membuatnya menjadi suatu bagian atau seorang anggota dari komunitasnya, bukan hanya komunitasnya pada masa kini, tetapi juga komunitasnya pada masa lampau dalam sejarah dan komunitasnya pada masa yang akan datang. Mata rantai terpenting yang mengikat dirinya dengan komunitasnya (dulu, kini dan di masa depan) adalah tradisi religius atau “memori kolektif” komunitasnya ini. Fondasi atau basis paling mendasar dari eksistensi sebuah komunitas keagamaan adalah memori kolektif ini, memori yang menjadi suatu otoritas yang melegitimasi keberadaan komunitas ini. Jika memori kolektif ini dengan kuat bertahan, suatu komunitas keagamaan memiliki suatu perangkat kognitif yang membuatnya mampu menghadapi berbagai krisis dalam kehidupannya dan dengan demikian menjadikannya dapat tetap religius. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dengan titik tolak ini, Hervieu-Léger berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat modern, khususnya masyarakat-masyarakat Eropa modern, menjadi makin kurang religius, atau makin sekuler, bukan karena mereka bertambah rasional, tetapi karena mereka makin kurang mampu mempertahankan memori kolektif mereka yang mendasari dan mengabsahkan keberadaan mereka sebagai komunitas-komunitas keagamaan. Masyarakat yang telah kehilangan memori kolektif tradisional mereka adalah suatu masyarakat yang, memakai istilah Hervieu-Léger sendiri, sedang menderita amnesia, <span style="font-style: italic;">an amnesiac society</span>; dan dalam keadaan sakit kehilangan memori ini, mereka tidak mampu menemukan elemen-elemen alternatif untuk menggantikan memori kolektif mereka yang sangat menentukan pembentukan masyarakat ini dulu dalam sejarah. Tetapi masih ada sebuah sisi lainnya. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Seperti sudah diulasnya juga dalam bukunya sebelumnya,/13/ Hervieu-Léger menandaskan bahwa bentuk-bentuk tradisional kehidupan keagamaan dalam masyarakat-masyarakat modern pada dasarnya telah terkorosi. Sementara modernitas memang mengikis dan memakan basis keagamaan dari masyarakat, pada pihak lain masyarakat ini tetap membuka ruang-ruang atau sektor-sektor yang hanya bisa diisi oleh agama. Oleh Hervieu-Léger, ruang-ruang ini dinamakan ruang-ruang “utopia”; dan menurutnya, terbukanya ruang-ruang utopia ini adalah suatu manifestasi besar dari inovasi-inovasi keagamaan yang dapat dibuat oleh masyarakat ketika menghadapi modernitas dan sekularisasi. Di dalam ruang-ruang utopia inilah agama tetap bertahan, kendatipun masyarakat sudah sekuler.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Orang perorangan dalam masyarakat modern yang sudah tersekularisasi didorong untuk terus mencari jawab, mencari solusi, dan membuat kemajuan; aktivitas kognitif dan kultural semacam ini sudah merupakan bagian yang semakin wajar dalam pengalaman manusia modern. Tetapi ihwal apakah semua aktivitas ini akan mencapai tujuannya, tetap merupakan hal yang problematis, sebab horison di depan yang orang modern kejar selalu bergerak menjauh. Kalau halnya demikian dalam pengalaman eksistensial kehidupan modern, begitu juga dalam usaha orang beragama dalam membuka ruang-ruang utopia yang sudah disebut di atas. Utopia senantiasa melampaui dan berada di atas realitas sehari-hari. Semakin suatu proyek modernitas berhasil direalisasi (artinya: semakin sekuler suatu masyarakat), semakin besar pula tandingannya yang berbentuk ruang-ruang utopia itu. Di sinilah terletak sebuah paradoks modernitas: dalam bentuk-bentuk sosiologis historisnya, modernitas menyingkirkan kebutuhan akan agama dan rasa beragama (yang sudah hilang dari memori kolektif masyarakat, sebagai amnesia); tetapi, di lain pihak, dalam bentuk-bentuk utopianya modernitas tetap perlu bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan keagamaan, kebutuhan-kebutuhan akan suatu masa depan yang religius. </span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:georgia;" >Pippa Norris dan Ronald Inglehart</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dalam bagian awal buku mereka, yang berjudul <span style="font-style: italic;">Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide</span> (ditulis tahun 2004), Norris dan Inglehart menulis, “Apakah Comte, Durkheim, Weber, dan Marx sama sekali telah keliru di dalam kepercayaan mereka tentang kemunduran agama di dalam masyarakat-masyarakat yang terindustrialisasi? Apakah pandangan sosiologis yang menguasai abad XX ini secara menyeluruh menyesatkan? Apakah perdebatannya telah selesai? Kami pikir tidak demikian. Berbicara tentang memakamkan teori sekularisasi adalah prematur.”/14/ Norris dan Inglehart tidak ragu sedikitpun bahwa teori sekularisasi tradisional perlu dibarui. Bagi mereka sudah jelas bahwa agama tidak lenyap dari dunia, dan tampaknya mungkin juga tak akan pernah lenyap. Kendatipun demikian, konsep sekularisasi menangkap suatu bagian penting dari apa yang sedang berlangsung. Mereka mengajukan suatu versi perbaikan atas teori sekularisasi tradisional. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dalam “revised theory” yang mereka ajukan, penekanan mereka berikan pada ihwal sejauh mana orang dapat memiliki suatu perasaan bahwa kehidupan mereka berlangsung dengan aman, suatu perasaan bahwa mereka memiliki suatu “sekuritas eksistensial”, suatu perasaan bahwa kehidupan mereka dapat tetap bertahan dan cukup aman, dan kedua hal ini (ketahanan dan keamanan kehidupan) diyakini terjamin begitu saja. Mereka menegaskan bahwa religiositas merupakan sesuatu yang tetap penting dan dirasakan paling kuat justru di kalangan penduduk yang rentan, khususnya di antara orang-orang yang hidup di dalam negara-negara yang lebih miskin, yang sedang menghadapi risiko-risiko yang mengancam ketahanan kehidupan pribadi. Mereka berpendapat, perasaan bahwa seseorang itu rentan terhadap risiko-risiko fisikal, sosial, ekonomis dan personal adalah suatu faktor kunci yang mendorong munculnya religiositas, dan menunjukkan bahwa proses sekularisasi—yaitu suatu erosi sistematis atas praktek-praktek, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan keagamaan—telah berlangsung paling jelas di antara sektor-sektor sosial yang paling makmur, yang hidup di dalam negara-negara yang berkelimpahan dan aman. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kendatipun ada bukti-bukti bahwa seorang yang hidup kaya raya dan berkelimpahan dapat sangat fanatis dalam beragama (misalnya Osama bin Laden), namun ada bukti yang sangat berlimpah yang menunjukkan hal sebaliknya: orang yang mengalami risiko-risiko ego-tropis selama masa formatif mereka (yang menjadi ancaman langsung bagi diri mereka sendiri dan keluarga-keluarga mereka) atau risiko-risiko sosio-tropis (yang menjadi ancaman langsung bagi komunitas mereka) condong akan jauh lebih religius ketimbang orang-orang yang tumbuh dewasa di bawah kondisi-kondisi yang lebih aman, menyenangkan dan lebih dapat diprediksi. Dalam masyarakat-masyarakat yang relatif aman, sisa-sisa agama tidak mati dan lenyap. Dalam banyak survei, kebanyakan orang Eropa masih mengungkapkan kepercayaan formal mereka terhadap Allah, atau mengidentifikasi diri mereka sebagai orang-orang Protestan atau orang-orang Katolik dalam bentuk-bentuk yang resmi. Tetapi di dalam masyarakat-masyarakat ini kepentingan dan vitalitas agama, dan pengaruhnya yang tetap ada atas ihwal bagaimana orang menjalani kehidupan sehari-hari, telah secara bertahap mengalami pengikisan. Menurut keduanya, “kesenjangan yang makin meluas antara masyarakat yang sakral dan masyarakat yang sekuler di seluruh dunia akan mendatangkan konsekwensi-konsekwensi penting bagi politik dunia, dengan menaikkan peran agama pada agenda internasional.”/15/ </span><br /><span style="font-family:georgia;"> </span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:georgia;font-size:100%;" >II.<span> Desekularisasi</span></span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:georgia;" >Peter L. Berger</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kalau di tahun 1960-an Peter L. Berger menjadi salah seorang pendukung teori sekularisasi, empat dasawarsa sesudahnya, di dalam sebuah tulisannya yang berjudul <span style="font-style: italic;">The Desecularization of the World</span> (terbit 1999), dia menyatakan bahwa dunia pada masa kini “beragama dengan hebat sama seperti sebelumnya” (“as furiously religious as it ever was”). Tulisnya selanjutnya, “Ini berarti seluruh korpus literatur yang ditulis para sejarawan dan ilmuwan sosial yang dengan longgar dilabelkan sebagai ‘teori sekularisasi’ pada dasarnya salah.”/16/ Menulis di ujung abad XX, Berger menandaskan, “Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa dunia pada abad XXI akan kurang beragama dibandingkan dunia pada masa kini”./17/ Kalaupun ada sejumlah kecil sosiolog agama yang berusaha mempertahankan teori sekularisasi, Berger menyebut mereka sebagai para sosiolog “pertahanan terakhir” (<span style="font-style: italic;">last-ditch defense</span>) yang berteori bahwa modernisasi sesungguhnya mendatangkan sekularisasi, dan kebangkitan besar keagamaan pada masa kini merupakan suatu pertahanan terakhir dari agama-agama yang tidak dapat berlangsung lama, sebab akhirnya sekularitas akan menang. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Meskipun demikian, Berger mengakui bahwa pada masa kini kekuatan sekularisasi tetap bekerja dan “berinteraksi dengan kekuatan kontra-sekularisasi.”/18/ Desekularisasi paling nyata dalam Islam dan kekristenan evangelikal yang dalam penilaian Berger merupakan dua agama yang bangkit paling dinamis dalam dunia masa kini. Penyebab utama desekularisasi di lihat Berger ada di dalam psikologi: modernitas condong merongrong kepastian-kepastian yang selama ini diyakini dan diterima begitu saja dari agama-agama, yang dinilai telah memelihara dan menenteramkan manusia di sepanjang sejarah mereka. Hilangnya kepastian tidaklah bisa ditolerir oleh jiwa manusia; karena itu, gerakan-gerakan keagamaan yang mengklaim sanggup memberikan kepastian hidup memiliki daya tarik yang sangat besar. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Di lain pihak, dalam pengamatan Berger, Eropa Barat (dan Eropa Tengah) merupakan suatu kekecualian, sebab di sana sekularisasi bukan menghilang, tetapi tetap kuat. Dalam penilaiannya, di Eropa Barat teori sekularisasi lama tampak masih tetap berlaku. Kekecualian kedua berupa suatu subkultur elitis internasional yang terdiri atas orang-orang yang telah menerima pendidikan tinggi gaya Barat, khususnya dalam bidang humanitas dan ilmu-ilmu sosial, yang memiliki pemikiran dan gaya hidup yang sudah tersekularisasi. Subkultur elitis inilah pembawa dan pendukung utama nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan era Pencerahan yang sekuler progresif, dan mereka sangat berpengaruh di bidang pendidikan, media dan hukum. Dalam sebuah tulisan lainnya yang ditulis tahun 2008, berjudul “Religious America, Secular Europe?”, Berger menulis, “Kebanyakan bagian dunia dewasa ini dicirikan oleh suatu ledakan gerakan-gerakan keagamaan yang fanatik dan bersemangat. Eropa adalah suatu kekecualian geografis terhadap ciri ini…. Kekecualian lainnya bersifat sosiologis, yakni adanya kalangan cendekiawan lintas-bangsa yang sangat tersekularisasi.”/19/ Tak pelak lagi, tulis Berger, “teori sekularisasi adalah suatu ekstrapolasi, suatu penarikan kesimpulan dari situasi Eropa yang diterapkan ke bagian-bagian lain dunia ini— suatu generalisasi yang dapat dimengerti tetapi akhirnya tidak valid.” </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dalam tulisan tahun 2008-nya ini Berger memerinci faktor-faktor apa saja yang membuat Eropa (khususnya Eropa Barat dan Eropa Tengah, dan lebih khusus lagi negara-negara Eropa yang didominasi Protestantisme) tetap sekuler kendatipun di belahan-belahan dunia lainnya, khususnya Amerika Serikat, arus desekularisasi atau religiositas sangat kuat. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pertama, di Eropa gereja-gereja besar pada umumnya secara resmi dibangun oleh negara sehingga gereja-gereja di sana adalah gereja negara. Kalau masyarakat tidak menyukai negara, ketidaksukaan ini tak terhindarkan lagi juga diarahkan kepada gereja. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kedua, kendatipun ikatan antara gereja dan negara diperlemah setelah Revolusi Perancis, masyarakat Eropa terus saja memandang gereja-gereja sebagai suatu jenis pelayanan publik oleh negara, dan hal ini berakibat pada kelambanan atau ketidakmampun gereja-gereja di Eropa untuk terlibat persaingan demi pertumbuhan di dalam kompetisi pasar bebas keagamaan dalam masyarakat yang dicirikan oleh pluralisme. Keadaannya berbeda di Amerika Serikat, di mana bukan hanya gereja-gereja, tetapi juga sekte-sekte dan denominasi-denominasi berfungsi sebagai lembaga-lembaga yang ke dalamnya orang masuk secara sukarela. Sebagai “voluntary associations”, gereja-gereja di sana dengan bebas masuk ke dalam persaingan pasar bebas keagamaan dalam era pluralisme dewasa ini, dan hal ini menjadi salah satu penyebab sekularisasi tidak melanda Amerika Serikat yang sistem pemerintahannya memberlakukan hubungan terpisah antara gereja dan negara. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ketiga, Pencerahan yang berlangsung di Eropa, yang dapat dilihat terwakili oleh Pencerahan di Perancis (dan bukan oleh Pencerahan di Inggris), memiliki ciri anti-klerikal yang tajam, dan juga anti-Kristen dengan sangat terbuka. Versi Pencerahan Perancis yang semacam ini disimbolkan oleh pekik Voltaire yang terkenal: “Hancurkan sang keburukan!” (<span style="font-style: italic;">écrasez l’infâme</span>), maksudnya: Hancurkan Gereja Katolik! Walaupun Revolusi Perancis gagal mencapai apa yang diteriakkan Voltaire, namun pemisahan antara gereja dan negara yang terjadi di tahun 1905 menunjukkan kalangan progresif dan anti-klerikal di Perancis, yang mengusung “ideologi nalar”, telah mendapatkan suatu kemenangan yang sangat menentukan, dengan mengalahkan kalangan konservatif dan Gereja Katolik. Setelah gereja dipisahkan dari negara, maka Republik Perancis menjadi sebuah Republik sekuler, sebuah Republik <span style="font-style: italic;">laїque</span>, sebuah Republik yang telah dibersihkan sama sekali dari semua simbolisme keagamaan. Ideal <span style="font-style: italic;">laїcite</span> Perancis berpengaruh kuat pada pemikiran dan praktek demokratis di seluruh benua Eropa dan juga di Amerika Latin. Republik Perancis kini mengklaim monopoli ideologis yang sebelumnya dipegang gereja. Berbeda dari versi Pencerahan Perancis, versi Pencerahan Amerika, yang mengusung “politik kebebasan”, tidak berciri anti-klerikal dan juga tidak anti-Kristen. Dengan demikian, Pencerahan Amerika tidak dapat berfungsi sebagai suatu legitimasi bagi sekularitas entah di dalam negara atau di dalam masyarakat. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Keempat, sejalan dengan masing-masing versi Pencerahan di Perancis dan di Amerika Serikat yang berbeda satu sama lain, kalangan intelektual Perancis memainkan suatu peran penting sebagai pembawa ideal-ideal, cita-cita dan gagasan-gagasan Pencerahan yang sekuler. Di Amerika Serikat keadaannya berbeda, sebab di negara ini sejak awal masyarakatnya komersial dan karenanya pragmatis dan tidak menunjukkan suatu penghormatan terhadap kalangan cendekiawan yang dikenal sebagai “kelas yang suka mengoceh”. Suatu ejekan diarahkan ke kalangan intelektual Amerika: “Jika Anda sangat cerdas, mengapa Anda tidak kaya raya?” Namun, belakangan kalangan intelektual Amerika “terEropanisasi” dalam sikap mereka terhadap agama dan hal-hal lain, namun mereka juga harus berbantahan dengan kalangan populer yang sangat kuat memusuhi mereka, dan ada relatif sedikit intelektual Amerika yang akhirnya memihak kalangan yang semula memusuhi mereka.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kelima, kalangan intelektual mendefinisikan hal-hal apa saja yang termasuk dan yang tak termasuk “kebudayaan kalangan atas terpelajar” (<span style="font-style: italic;">high culture</span>); kalangan inilah yang di Eropa telah menciptakan suatu <span style="font-style: italic;">high culture</span>. Orang-orang di luar kalangan intelektual mendapatkan ciri dan tanda kebudayaan mereka dari kalangan intelektual ini. Di Eropa, untuk menjadi modern, untuk memiliki suatu wawasan kebudayaan yang berorientasi ke masa depan dan bukan berorientasi mundur ke masa lampau, orang harus menjadi sekuler. Modern berarti sekuler. Hal ini tidak terjadi di Amerika Serikat, setidaknya sampai waktu belakangan ini, ketika kalangan intelektual Amerika mengalami Eropanisasi, seperti baru ditulis di atas, yakni mulai sekitar tahun 1950-an dan memuncak di tahun 1970-an. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Keenam, ada dua wahana kelembagaan di Eropa yang menyebarkan gagasan-gagasan Pencerahan dari kalangan intelektual ke penduduk umumnya; dua wahana ini tidak ada di Amerika Serikat. Wahana pertama adalah sistem pendidikan yang dikontrol oleh negara secara terpusat. Kasus paling jelas tentang ini adalah Perancis: di negara sekuler ini kurikulum dikendalikan oleh menteri pendidikan di Paris, korpus para guru dilatih di lembaga-lembaga negara dan dari situ menyebar ke seluruh negara. Ketika pendidikan primer dan sekunder menjadi pendidikan wajib, para guru ini memiliki kekuasaan yang sebelumnya mereka tak miliki untuk mendidik anak-anak di dalam sekularitas yang tercerahkan. Model penyelenggaraan pendidikan di seluruh negara Eropa lainnya sangat dekat dengan model pendidikan di Perancis, ketimbang dengan model pendidikan di Amerika Serikat yang baru belakangan ini dikendalikan oleh pemerintah lokal. Wahana kedua adalah partai-partai politik dan serikat-serikat pekerja yang sekarang ini tumbuh pesat karena peran yang dimainkan di dalamnya oleh kalangan cendekiawan yang mendukung berbagai ideologi Kiri dengan kecondongan kuat ke arah sekularisme. Subkultur ini, yang tak ada analoginya di Amerika Serikat, dengan sadar diri mengambil posisi anti-klerikal dan anti-Katolik. Konflik antara kalangan Kiri sekuler dan kalangan Kanan religius paling kuat berlangsung di negara-negara Katolik di Eropa, kendatipun ada juga analogi-analoginya yang kurang tajam di lingkungan Protestan.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ketujuh, tidak seperti di Amerika Serikat, di Eropa gereja-gereja tidak menjadi tanda-tanda kelas sosial (<span style="font-style: italic;">markers of class</span>) sehingga orang Eropa tidak membutuhkan gereja untuk menandakan status dan peringkat sosial ekonomi mereka. Di Amerika Serikat, denominasi yang sangat majemuk berkombinasi dengan mobilitas geografis yang tinggi sehingga menghasilkan suatu sistem unik simbolisme kelas. Dengan demikian, di dalam setiap komunitas Amerika berkembang suatu sistem pemeringkatan gereja-gereja yang secara langsung bersentuhan dengan status dan kelas sosial anggota-anggota gereja. Di Amerika, ada konvergensi antara agama dan kelas sosial, sesuatu yang tidak ada analoginya di Eropa. Selain itu, di Amerika gereja-gereja etnis juga tumbuh dengan marak karena mereka harus melakukan pelayanan dan pertolongan kepada kalangan imigran yang masuk, yang memiliki etnisitas yang sama dengan etnisitas kebanyakan anggota gereja yang melayani. Jadi, ada identifikasi antara etnisitas dan agama, yang analoginya tidak ditemukan di Eropa, kalaupun ada hanya sedikit. </span><br /><span style="font-family:georgia;"> </span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:georgia;" >Talal Asad</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dalam buku yang ditulis tahun 2003, <span style="font-style: italic;">Formations of the Secular</span>,/20/ Talal Asad antara lain melakukan analisa evaluatif atas teori sekularisasi yang dirumuskan José Casanova dalam bukunya yang sudah dirujuk di atas, <span style="font-style: italic;">Public Religions in the Modern World</span>. Menurut Talal Asad, teori sekularisasi yang dikembangkan Casanova terbukti seluruhnya salah atau paling sedikit mengalami rongrongan. Asad menulis tiga unsur yang membangun teori sekularisasi yang, sebagaimana sudah ditulis di atas, dikembangkan Casanova, yang merupakan unsur-unsur penting dalam membangun modernitas, yakni: (1) diferensiasi struktural ruang-ruang sosial yang makin bertambah, yang mengakibatkan pemisahan agama dari politik; (2) privatisasi agama di dalam kawasannya sendiri; (3) kemunduran signifikansi sosial dari kepercayaan, komitmen dan pranata-pranata keagamaan. Dari tiga unsur ini, ternyata hanya unsur pertama dan unsur ketiga yang dinyatakan Casanova terbukti benar, sedang unsur yang kedua (privatisasi agama) ternyata tak terjadi. Namun dalam pandangan Asad, seluruh unsur dalam teori sekularisasi Casanova gagal terpenuhi, sebagaimana diuraikan berikut ini. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Asad menyatakan, “Banyak pengamat masa kini mempertahankan bahwa ledakan agama politis secara global di dalam masyarakat-masyarakat modern dan yang sedang menuju modern membuktikan bahwa tesis sekularisasi salah. Para pembela teori sekularisasi umumnya berkilah bahwa fenomena ini hanyalah menunjukkan adanya suatu perlawanan luas terhadap modernitas dan suatu kegagalan proses modernisasi. Respons ini menyelamatkan tesis sekularisasi dengan membuatnya normatif: supaya suatu masyarakat menjadi modern, masyarakat ini harus sekuler, dan untuk menjadikannya sekuler, masyarakat ini harus menyingkirkan agama ke wilayah-wilayah nonpolitis karena penataan semacam ini esensial bagi masyakarat modern.”/21/ Asad mengakui bahwa Casanova dalam bukunya itu memang menolak normativitas teori sekularisasi dan tautologi yang diperlihatkan Asad ini. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Bagi Casanova, deprivatisasi agama bukanlah suatu penolakan terhadap teori sekularisasi jika deprivatisasi ini terjadi dalam cara-cara yang konsisten dengan persyaratan mendasar terbentuknya masyarakat modern, termasuk pemerintahan demokratis. Dengan kata lain, kendatipun privatisasi agama di dalam wilayahnya sendiri adalah bagian dari apa yang dimaksud dengan sekularisasi, privatisasi ini bukanlah bagian esensial dari modernitas. Yang menjadi argumen di sini adalah ihwal apakah deprivatisasi keagamaan mengancam modernitas atau tidak, bergantung pada bagaimana agama menjadi suatu pranata publik, menjadi suatu pranata yang terdeprivatisasi. Jika suatu agama memajukan konstruksi masyarakat sipil (seperti di Polandia) atau memajukan debat publik di sekitar isu-isu liberal (seperti di Amerika Serikat), maka agama politis ini seluruhnya sejalan dengan modernitas. Sebaliknya, jika suatu agama politis berusaha merongrong masyarakat sipil (seperti di Mesir) atau kebebasan individu (seperti di Iran), maka agama politis ini seseungguhnya suatu pemberontakan terhadap modernitas dan nilai-nilai universal zaman Pencerahan. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Tetapi posisi Casanova ini dinilai Asad bukanlah suatu posisi yang sepenuhnya koheren. Sebab, Asad bertanya, jika peran yang absah dari agama yang sudah terdeprivatisasi dijalankan dengan efektif, maka apa yang terjadi dengan unsur-unsur lain dalam teori sekularisasi Casanova, yakni unsur yang pertama dan unsur yang ketiga yang dinyatakan Casanova bertahan? </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Menurut Asad, ketika agama menjadi suatu bagian integral dari politik modern, agama tidak akan mengambil sikap tidak perduli terhadap debat tentang bagaimana ekonomi bangsa harus dijalankan, atau terhadap debat mengenai proyek-proyek keilmuan mana yang harus didanai dari dana publik, atau terhadap debat tentang apa yang harus menjadi tujuan-tujuan lebih luas dari suatu sistem pendidikan nasional. Masuknya agama dengan cara yang sah ke dalam perdebatan-perdebatan ini menghasilkan “blasteran” (<span style="font-style: italic;">hybrid</span>) modern, akibatnya prinsip diferensiasi struktural (bahwa agama, ekonomi, pendidikan, dan sains ditempatkan di dalam wilayah-wilayah sosial yang otonom) tidak lagi dapat dipertahankan. Dengan demikian, tandas Asad, unsur pertama teori sekularisasi Casanova gagal terpenuhi. Lebih jauh, mengingat bahwa masuknya agama ke dalam perdebatan politis akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang efektif, dan bahwa komitmen-komitmen yang fanatis muncul dari perdebatan-perdebatan ini, maka jadi kurang masuk akal jika orang mengukur signifikansi sosial dari agama hanya berdasarkan indeks berapa banyak orang yang mengunjungi gereja. Dengan demikian, unsur ketiga dari tesis sekularisasi Casanova tak terpenuhi.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Mengakhiri analisisnya, Asad menegaskan bahwa jika teori sekularisasi makin tampak tidak masuk akal dalam pandangan banyak orang, hal ini terjadi bukan hanya karena agama dewasa ini memainkan suatu peran vital di dalam dunia modern bangsa-bangsa, tetapi juga karena kategori-kategori “agama” dan “politik” ternyata berhubungan satu sama lain dengan lebih dalam ketimbang yang kita pikirkan, suatu penemuan yang terjadi bersamaan dengan pemahaman kita yang makin bertumbuh mengenai kekuatan-kekuatan negara-bangsa yang modern. Konsep sekularisasi tak dapat bekerja tanpa gagasan tentang agama. </span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:georgia;" >Rodney Stark dan Roger Finke</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Stark dan Finke, dalam buku mereka yang ditulis tahun 2000, berjudul <span style="font-style: italic;">Acts of Faith: Explaining the Human Side of Religion</span>,/22/ menggarisbawahi satu hal yang menurut mereka merupakan satu-satunya prediksi dari teori sekularisasi, yakni lenyap atau matinya kepercayaan keagamaan dan kesalehan pribadi orang perorangan ketika modernitas memasuki semua bidang kehidupan. Pada bagian akhir bab 3 buku mereka (yang diberi judul “Secularization, R.I.P”), keduanya menandaskan, “Setelah hampir tiga abad kegagalan telak nubuat-nubuat dan misrepresentasi baik atas masa lampau maupun atas masa kini, tampaknya sudah waktunya untuk membawa doktrin sekularisasi ke makam teori-teori yang gagal, dan di sana berbisik, ‘Requiescat in pace.’”/23/ Ketimbang teori sekularisasi, menurut keduanya, yang “diperlukan adalah suatu korpus teori untuk menjelaskan variasi keagamaan, untuk memberitahu kita kapan dan mengapa beranekaragam aspek keberagamaan bangkit dan tumbang, atau stabil. Dalam hal ini, teori sekularisasi tidak berguna sama seperti suatu elevator hotel tak berguna apabila hanya bisa turun.”/24/</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Mengenai teori sekularisasi, kedua pengkaji agama ini mengajukan beberapa catatan, di antaranya berikut ini. Pertama, teori sekularisasi selalu ditempatkan di dalam suatu kerangka teoretis yang lebih luas dari teori modernisasi, dan tak pernah berdiri sendiri. Menurut teori sekularisasi, ketika modernisasi berlangsung, yakni ketika industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi berkembang, maka religiositas harus menurun. Sejarah telah memperlihatkan bahwa modernisasi adalah suatu proses yang relatif konstan, gradual dan panjang; proses modernisasi tidak berlangsung turun naik. Jika sekularisasi adalah suatu hasil dari proses modernisasi atau salah satu aspeknya, maka sekularisasi tidak berlangsung turun naik, melainkan juga akan memperlihatkan trend kemunduran religius yang berlangsung relatif konstan, gradual dan jangka panjang, sejalan dengan trend serupa yang bergerak naik ke atas di dalam aspek-aspek modernisasi seperti perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan pendidikan. Kalau modernisasi adalah suatu kurva yang bergerak ke atas, linier dan jangka panjang, maka sekularisasi dianggap mengikuti jejak kurva ini secara timbal-balik, yakni membentuk suatu kurva linier, jangka panjang dan bergerak ke bawah. Dengan demikian, “teori sekularisasi tidak sejalan entah dengan stabilitas (jumlah penganut agama) atau dengan pertambahan: teori sekularisasi memerlukan suatu pola kemunduran keagamaan yang umum dan berlangsung jangka panjang.”/25/ Dengan demikian, tidak otomatis bahwa suatu modernisasi yang berlangsung di suatu negara akan langsung menjadikan penduduk negara itu sekuler; baik modernisasi dan sekularisasi memerlukan suatu waktu yang panjang, berlangsung gradual dan relatif konstan. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kedua, meskipun teori sekularisasi pada dasarnya, menurut Stark dan Finke, memprediksi lenyapnya kepercayaan dan kesalehan religius individu, belakangan ini muncul berbagai usaha dari para sosiolog agama untuk menyelamatkan teori sekularisasi dengan memasukkan aspek-aspek baru yang ditekankan dalam teori sekularisasi yang dibarui, berhubung ada fakta-fakta di lapangan yang tidak menyenangkan, yang tidak mendukung teori sekularisasi yang diformulasikan pada awal kemunculannya. Belakangan ini, sebagai sebuah versi makronya, sekularisasi disamakan dengan deinstitusionalisasi, seperti dalam pandangan Karel Dobbelaere yang sudah diulas di atas dan dalam pandangan David Martin./26/ Deinstitusionalisasi mengacu kepada suatu kemunduran atau lenyapnya kekuasaan sosial dari institusi keagamaan berhubung di dalam masyarakat telah bermunculan berbagai lembaga sosial lain yang sudah terdiferensiasi dan terspesialisasi, khususnya lembaga-lembaga politik dan pendidikan, yang tidak berada di bawah kendali dan dominasi lembaga-lembaga keagamaan sebelumnya. Jika teori sekularisasi belakangan ini mengganti fokusnya pada deinstitusionalisasi dan bukan pada kesalehan keagamaan individu yang terbukti di lapangan tidak lenyap kendatipun modernisasi sedang berlangsung, revisionisme semacam ini, bagi Stark dan Finke, “bukan hanya secara historis salah, tetapi juga tidak jujur.”/27/ Keduanya mempersoalkan sebuah pernyataan yang dibuat Karel Dobbelaere bahwa “keberagamaan orang seorang bukanlah sebuah indikator yang sah dalam mengevaluasi proses sekularisasi.”/28/ </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ketiga, berbagai jenis teori sekularisasi mengajukan sebuah klaim, tersirat di dalam semua jenis teori ini dan tersurat di dalam kebanyakan teori, bahwa dari antara semua aspek modernisasi, sains modern adalah suatu aspek yang mendatangkan akibat-akibat paling mematikan bagi agama. Dalam perspektif ini, era Pencerahan dipandang telah melahirkan suatu pandangan rasional terhadap dunia ini yang didasarkan pada standard bukti empiris, pengetahuan ilmiah mengenai fenomena alamiah, dan penguasaan atas jagat raya melalui teknologi. Sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, sedikitnya tiga sosiolog agama mempertahankan argumen rasionalis ini, yakni Peter L. Berger, David Martin dan Brian R. Wilson./29/ </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Lilliane Voyé dan Karel Dobbelaere di tahun 1993 menjelaskan bahwa karena sains modern adalah “suatu perspektif yang sepenuhnya sekuler tentang dunia ini” dan telah menguasai banyak kurikulum pendidikan, maka hal ini berakibat pada “desakralisasi isi pembelajaran dan pandangan dunia para pelajar.” Lebih lanjut, Voyé dan Dobbelaere mengklaim bahwa “keberhasilan sains menyingkirkan semua jenis antropomorfisme dari pemikiran kita telah mengubah konsep tradisional tentang ‘Allah sebagai suatu pribadi’ menjadi suatu kepercayaan pada suatu daya-kehidupan, suatu kuasa roh, dan hal ini juga telah dengan bertahap memunculkan agnostisisme dan ateisme—yang menjelaskan kemunduran praktek-praktek religius dalam jangka panjang.”/30/ Tetapi, menurut Stark dan Finke, adalah suatu keyakinan yang salah jika orang percaya bahwa sains modern akan menyingkirkan agama sebagai takhayul dan membuat para saintis menjadi relatif tidak religius. Bagi mereka, para saintis tetap religius sebagaimana orang lain manapun, dan adalah suatu mitos jika orang beranggapan bahwa agama dan sains tidak sejalan. Mereka juga mengklaim telah menunjukkan dengan data empiris bahwa “konflik antara agama dan sains pada dasarnya adalah fiktif, dan bahwa para saintis tidaklah kentara irreligius.”/31/ </span><br /><br /><br /><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" ><span style="font-weight: bold;">III. Penutup</span></span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Setelah mencermati semua uraian di atas tentang teori sekularisasi dan tentang desekularisasi dunia pada umumnya (kecuali Eropa Barat dan Eropa Tengah), pada bagian penutup ini, tiga poin penting mau diajukan dan disoroti melalui pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pertama, apakah betul bahwa tradisi kegamaan Yudeo-Kristen, khususnya tradisi kekristenan Reformatoris Protestan, adalah tradisi yang di atasnya dibangun modernitas yang menimbulkan sekularisasi, dan yang di dalamnya juga sains modern, sebagai bagian sangat menentukan dari proses sekularisasi, dilahirkan? Peter L. Berger, Steve Bruce, David Martin, Brian R. Wilson, adalah para sosiolog agama yang menjawab pertanyaan ini dengan positif. Rodney Stark dan Roger Finke dapat juga dimasukkan ke dalam kelompok para sosiolog ini kendatipun keduanya menolak jika sains modern dipandang sebagai suatu unsur penting dalam teori sekularisasi yang mendatangkan akibat paling mematikan bagi agama. Lilliane Voyé dan Karel Dobbelaere justru memandang sains modern telah menyingkirkan suatu konsep teologis antropomorfis yang dipertahankan dalam tradisi keagamaan Yudeo-Kristen, lalu melahirkan agnostisisme dan ateisme. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kebanyakan orang Kristen masa kini juga akan memberi sebuah jawaban positif yang sama terhadap pertanyaan di atas. Perhatikan sebuah kutipan berikut: “Sebagaimana suatu generasi baru para sejarawan, sosiolog, filsuf sains telah buktikan, agama alkitabiah bukanlah musuh sains melainkan matriks intelektual yang pertama-tama memungkinkan munculnya sains. Tanpa wawasan-wawasan kunci yang kekristenan jumpai terpelihara dalam Alkitab dan menyebar ke seluruh Eropa, sains tidak akan pernah ada…. Bukti ini tak dapat diperdebatkan: Ini adalah teologi rasional baik dari Abad Pertengahan Katolik maupun Reformasi Protestan—yang diilhami oleh kebenaran-kebenaran implisit dan eksplisit yang diwahyukan dalam Alkitab Yahudi— yang bermuara pada penemuan-penemuan sains modern.”/32/ Dan juga sebuah kutipan lain berikut ini: “Kepercayaan pada rasionalitas Allah tidak hanya bermuara pada metode induktif tetapi juga pada kesimpulan bahwa jagat raya ini diatur secara rasional oleh hukum-hukum yang dapat ditemukan. Asumsi ini sangat penting dan vital bagi riset saintifik karena di dalam suatu dunia pagan atau dunia politeistik, yang melihat dewa-dewanya sering terlibat dalam perilaku yang irasional dan cemburuan di dalam suatu dunia yang non-rasional, setiap investigasi sistematis atas dunia yang semacam ini akan tampak sia-sia. Hanya dalam pemikiran Kristen, yang mendalilkan ‘eksistensi suatu Allah tunggal, sang Pencipta dan Pengatur jagat raya, yang berfungsi di dalam suatu cara yang secara normal dan tertata dapat diprediksi,’ adalah mungkin bagi sains untuk ada dan beroperasi.”/33/</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Tetapi Richard Carrier, pakar pengkaji sains dalam dunia kuno dan kekristenan, telah merontokkan semua jawaban di atas yang memandang kekristenan sebagai satu-satunya pranata keagamaan yang bertanggungjawab bagi kelahiran sains modern. Dalam tulisannya yang berjudul “Christianity Was Not Responsible for Modern Science”, Carrier menunjukkan bahwa sains modern justru memiliki pijakan yang kuat di dalam pandangan dunia pagan yang menjadi konteks luas kelahiran kekristenan perdana, bukan di dalam kekristenan sendiri. Carrier menulis, “Kekristenan menguasai penuh seluruh dunia Barat dari abad kelima sampai abad kelima belas, namun di dalam jangka waktu seribu tahun itu tidak terjadi Revolusi Saintifik. Suatu penyebab yang gagal menghasilkan akibat yang diprediksikan, meskipun terus-menerus aktif selama seribu tahun, biasanya dipandang sebagai penyebab yang ditolak, bukan dikonfirmasikan.”/34/ Carrier menyimpulkan, antara lain, bahwa “[N]ilai-nilai yang diperlukan bagi kemajuan sains, yakni merangkul keingintahuan sebagai suatu kebajikan moral, mengangkat empirisisme ke status otoritas tertinggi di dalam semua perdebatan tentang fakta, dan menghargai pengejaran kemajuan” dipegang oleh banyak pagan kuno “dengan sangat kuat dan terus-menerus sehingga mereka semuanya membuat kemajuan-kemajuan yang sinambung di dalam penemuan-penemuan dan metode-metode saintifik. Kontras dengan itu, Kekristenan untuk waktu yang lama tidak pernah menghargai nilai-nilai ini, dan malah dalam banyak kasus mengutuk nilai-nilai ini.”/35/ Tandas Carrier, “[G]agasan baru ini bahwa Kekristenan bukan hanya bertanggungjawab tetapi juga diperlukan bagi munculnya sains modern pastinya adalah sebuah gagasan delusional. Suatu delusi menjadi patologis ketika kepercayaan ini dipertahankan dengan keyakinan mutlak bahkan di hadapan bukti yang kuat dan meyakinkan yang menyatakan hal sebaliknya.”/36/</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kedua, apakah betul, seperti dipertahankan Rodney Stark dan Roger Finke, bahwa para saintis modern sama religiusnya dengan orang lain manapun, dan bahwa tidak ada konflik apapun antara sains modern dan agama (Kristen)? Munculnya kalangan yang secara ideologis memegang suatu pandangan dunia yang dapat dilabelkan sebagai “the new atheism”, yang dimulai oleh Sam Harris, seorang neurosaintis, yang menulis sebuah buku berjudul <span style="font-style: italic;">The End of Faith</span> (terbit 2004),/37/ menunjukkan bahwa pada awal abad XXI ini para saintis yang menyatakan identitas mereka sebagai ateis mulai bermunculan dan mempublikasi pandangan-pandangan saintifik mereka. Nama-nama berikut ini dan buku-buku yang mereka telah tulis masuk ke dalam “gerakan” para saintis modern yang dapat digolongkan sebagai “new atheists” dan ideologi mereka sebagai “the new atheism”: Michael Onfray yang menulis buku berjudul <span style="font-style: italic;">Atheist Manifesto: The Case Against Christianity, Judaism, and Islam</span> (orisinal dalam bahasa Perancis terbit 2005; terjemahan Inggrisnya terbit 2007);/38/ Richard Dawkins, seorang biologiwan yang terkenal, yang menulis buku <span style="font-style: italic;">The God Delusion</span> (terbit 2006);/39/ Christopher Hitchens yang menulis buku <span style="font-style: italic;">God Is Not Great</span> (terbit 2007);/40/ dan seorang fisikawan terkenal yang cerdas, Victor J. Stenger, yang telah menulis buku-buku <span style="font-style: italic;">Has Science Found God? </span>(terbit 2003),/41/ <span style="font-style: italic;">God: The Failed Hypothesis</span> (terbit 2007),/42/ <span style="font-style: italic;">Quantum Gods</span> (terbit 2009),/43/ dan <span style="font-style: italic;">The New Atheism: Taking a Stand for Science and Reason</span> (terbit 2009),/44/ dan John W. Loftus yang mengedit buku bagus <span style="font-style: italic;">The Christian Delusion: Why Faith Fails</span> (terbit 2010)./45/ </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Hampir semua orang yang namanya disebut di atas adalah orang-orang yang menunjukkan dalam kajian-kajian saintifik mereka bahwa kalau seorang saintis itu konsisten bergerak dalam jalur pemikiran dan argumentasi saintifik, sang saintis ini kemungkinan sangat besar akan menjadi seorang ateis terbuka. Jangan dianggap mereka sedikit jumlahnya. Richard Dawkins menyatakan, “[K]alangan ateis jumlahnya jauh lebih banyak, khususnya di antara kalangan elitis yang terdidik, ketimbang yang disadari orang banyak.”/46/ Sekaligus juga mereka menunjukkan bahwa sains modern tidak bisa sejalan dengan agama; keduanya berkonflik. Victor J. Stenger khususnya, dalam bukunya <span style="font-style: italic;">God: The Failed Hypothesis</span>, telah menguji keberadaan Allah adikodrati sebagai sebuah hipotesis melalui metode pengkajian saintifik dengan ditopang bukti-bukti empiris. Hasilnya: Stenger mendapati bahwa hipotesis bahwa Allah itu ada, tidak berhasil dibuktikan kebenarannya sama sekali; jadi, sebuah hipotesis yang gagal. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ketiga, mungkinkah dalam kultur sosial masyarakat Indonesia sekularisasi dapat berlangsung dengan deras dan memasuki semua lini kehidupan ketika Indonesia sedang bergerak untuk menjadi sebuah negara modern, sementara umat-umat beragama di negeri ini, khususnya Islam (85 % dari totalitas penduduk Indonesia), masih sangat terikat dengan memori kolektif mereka? Untuk bisa mengalami arus deras sekularisasi mereka perlu, seperti diteorikan oleh Danièle Hervieu-Léger, menjadi komunitas-komunitas yang mengalami amnesia, lupa akan memori kolektif mereka, memori yang menyatukan mereka dengan nenek-moyang religius mereka dulu, kini dan di masa depan, sekaligus mengabsahkan keberadaan mereka. Mengingat umat Islam di Indonesia sebagian terbesar berwatak tradisional dan sangat terikat dengan Tanah Arab (dalam hal ini, apakah Muslim NU suatu kekecualian?), mustahil atau sangat sulit bagi mereka untuk menjadi umat yang menderita amnesia, penyakit “positif” hilang ingatan, yang menjadi suatu pintu masuk sekularisasi. Selain itu, jika teori sekularisasi yang diperbaiki oleh Pippa Norris dan Ronald Inglehart digunakan, yang sangat menekankan “sekuritas eksistensial”, makin sulit lagi untuk Indonesia menjadi sebuah negara modern yang tersekularisasi, mengingat sebagian terbesar penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan sehingga rentan terhadap segala macam ancaman yang dapat merongrong dan menghancurkan ketahanan kehidupan mereka. Kalangan miskin lebih memilih datang kepada Allah dan para rohaniwan dan para dukun, ketika mereka sakit, ketimbang harus pergi ke dokter dengan kewajiban membayar jasa sang dokter dan membeli obat-obat yang harganya mahal! Lebih jauh lagi, jika memang benar rasionalisme adalah suatu unsur terpenting untuk sebuah bangsa bisa menjadi bangsa yang modern dan sekuler, Indonesia makin tampak lebih sulit lagi untuk menjadi modern dan sekuler, sebab bagian terbesar penduduk Indonesia boleh dikata memakai 99 persen dari waktu mereka untuk beragama dulu, baru sesudah itu 1 persen untuk memakai akal budi dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari. Ringkas kata, Indonesia masih sangat jauh dari modernitas dan sekularisme, jika kedua hal ini dipantau pada bagian terbesar rakyat Indonesia. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Meskipun demikian tidak berarti sekularisasi sama sekali belum memasuki Indonesia. Kalau kita memakai teori sekularisasi yang dirumuskan oleh Karel Dobbelaere dan José Casanova yang memakai diferensiasi dan segmentasi fungsi-fungsi pranata-pranata sosial dalam masyarakat, yang memunculkan wilayah-wilayah sosial yang tak didominasi norma-norma agama sama sekali, sebagai ciri penting suatu masyarakat sekuler, maka Indonesia harus dinyatakan sudah mengalami sekularisasi. Diferensiasi, spesialisasi dan segmentasi fungsi-fungsi sosial sudah diterapkan dalam banyak struktur manajerial kenegaraan dan pemerintahan serta dalam lembaga-lembaga swasta di Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi, bisnis dan penataan struktural masyarakat. Selain itu, seperti diteorikan oleh Peter L. Berger, di Indonesia dijumpai banyak subkultur elitis yang sudah tersekularisasi, yang anggota-anggotanya telah menerima pendidikan Barat modern, dan karenanya menjadi pengusung dan pejuang ideal-ideal, gagasan-gagasan, cita-cita dan nilai-nilai era Pencerahan di Eropa. Subkultur elitis di Indonesia ini bukan hanya terdiri dari para ilmuwan yang berwawasan Barat modern, tetapi juga para agamawan yang mengusung dan memperjuangkan ide-ide liberalisme, sekularisme, pluralisme, multikulturalisme, rasionalisme, ekonomi pasar bebas, hukum internasional, dan penegakan HAM. </span><br /><span style="font-family:georgia;"> </span><br /><span style="font-family:georgia;"> </span><br /><span style="font-family:georgia;">---------</span><br /><span style="font-family:georgia;">** Ioanes Rakhmat adalah seorang kritikus agama dan teologi, dan belakangan ini mulai juga mengarahkan perhatiannya pada perkembangan sains modern dan implikasinya bagi agama-agama. Alamat email: ioanes27@yahoo.com. No HP 081314755566. Makalah ini disampaikan pada acara diskusi Komunitas Salihara, Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 2 Desember 2010, bertema Agama dan Sekularisme di Ruang Publik. </span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-family:georgia;" >Catatan-catatan</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/1/ Uraian tentang konsep dan sejarah trajektori dua jenis sekularisme ini— yang pertama disebut laisisme, yang menghendaki agama disingkirkan sama sekali dari politik, dan yang kedua disebut sekularisme Yudeo-Kristen yang memandang tradisi Yudeo-Kristen sebagai suatu fondasi unik tatanan publik yang sekuler dan pranata-pranata politis demokratis—lihat Elizabeth Shakman Hurd, <span style="font-style: italic;">The Politics of Secularism in International Relations </span>(Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2008) 23-45. Dalam buku ini, Shakman Hurd “memeriksa cara-cara trajektori khusus sekularisme dikonstruksi secara sosial di dalam situasi dan kondisi historis yang khusus dan menafsirkan konsekwensi-konsekwensi politis dari cara-cara ini bagi hubungan-hubungan internasional” (h. 28). </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/2/ Peter L. Berger, <span style="font-style: italic;">The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion</span> (New York: Doubleday & Company, 1969 [1967]) 109-125. Gagasan bahwa bangkitnya suatu pandangan dunia rasional telah merongrong fondasi iman kepada suatu dunia adikodrati, hal-hal yang misterius, dan magi, sangat kuat dipengaruhi oleh Max Weber melalui tulisannya, <span style="font-style: italic;">The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism</span>. Diterjemahkan oleh T. Parsons (New York: Scribner’s, 1930 [1904]; London & New York: Routledge Classics, 2001, cetak ulang 2006, dengan introduksi dari Anthony Giddens); idem, <span style="font-style: italic;">The Sociology of Religion </span>(Boston: Beacon Press, 1993 [1922]).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/3/ Peter L. Berger, “A Bleak Outlook Is Seen for Religion” dalam <span style="font-style: italic;">New York Times</span>, April 25, 1968, 3. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/4/ Steve Bruce, <span style="font-style: italic;">Religion in the Modern World: From Cathedrals to Cults</span> (Oxford: Oxford University Press, 1996).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/5/ Steve Bruce, <span style="font-style: italic;">Religion in the Modern World</span>, 230.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/6/ Karel Dobbelaere, “The Secularization of Society? Some Methodological Suggestions”, dalam Jeffrey K. Hadden & Anson Shupe (eds.), <span style="font-style: italic;">Secularization and Fundamentalism Reconsidered: Religion and the Political Order</span> (New York: Paragon House, 1989) 27-44. Lihat juga Karel Dobbelaere, “Secularization: A Multidimensional Concept”, dalam <span style="font-style: italic;">Current Sociology</span> 29/2 (1981); idem, “Secularization Theories and Sociological Paradigms: A Reformulation of the Private-public Dichotomy and the Problem of Social Integration”, dalam <span style="font-style: italic;">Sociological Analysis</span> 46 (4) (1985) 377-387; idem, “Some Trends in European Sociology of Religion: The Secularization Debate” dalam <span style="font-style: italic;">Sociological Analysis</span> 48(2) (1987) 107-137; idem, “Towards an Integrated Perspective of the Process Related to the Descriptive Concept of Secularization” dalam <span style="font-style: italic;">Sociology of Religion</span> 60(3) (1999) 229-247. Pendapat bahwa diferensiasi fungsional telah melahirkan sekularisasi, telah dipertahankan sebelumnya oleh Émile Durkheim, <span style="font-style: italic;">The Elementary Forms of the Religious Life</span> (New York: Free Press, 1995 [1912]).</span><br /><span style="font-family:georgia;"> </span><br /><span style="font-family:georgia;">/7/ Dobbelaere, “The Secularization of Society?”, 29.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/8/ Dobbelaere, “The Secularization of Society?”, 38.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/9/ José Casanova, <span style="font-style: italic;">Public Religions in the Modern World </span>(Chicago: University Chicago Press, 1994).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/10/ José Casanova, <span style="font-style: italic;">Public Religions</span>, 211. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/11/ José Casanova, <span style="font-style: italic;">Public Religions</span>, 212. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/12/ Danièle Hervieu-Léger, <span style="font-style: italic;">Religion as a Chain of Memory</span>. Penerjemah Simon Lee (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 2000). Judul asli: <span style="font-style: italic;">La religion pour memoire</span> (Paris: Cerf, 1993).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/13/ Danièle Hervieu-Léger, <span style="font-style: italic;">Vers un nouveau Christianisme</span> (Paris: Cerf, 1986). </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/14/ Pippa Norris dan Ronald Inglehart, <span style="font-style: italic;">Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide </span>(Cambridge, etc.: Cambridge University Press, 2004; cetak ulang 2005) 4. Ketika keduanya menyatakan terlalu prematur untuk menyatakan teori sekularisasi harus sudah dimakamkan, mereka menolak pendapat Rodney Stark dan Roger Finke (lebih jauh, lihat catatan 22 dan 23 di bawah).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/15/ Norris dan Inglehart, <span style="font-style: italic;">Sacred and Secular</span>, 26.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/16/ Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview” dalam Peter L. Berger, ed., <span style="font-style: italic;">The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics </span>(Washington, D.C.: Ethics and Public Policy Center, 1999) 2 [1-18]. Tulisan Berger ini adalah sebuah pengadaptasian dari tulisan asli sebelumnya, yang terbit di <span style="font-style: italic;">The National Interest</span> no. 46, Winter 1996/97, Washington, D.C. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/17/ Peter L. Berger, “The Desecularization of the World”, 12.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/18/ Peter L. Berger, “The Desecularization of the World”, 7.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/19/ Peter L. Berger, “Religious America, Secular Europe?” dalam Peter L. Berger, Grace Davie, dan Effie Fokas (eds.), <span style="font-style: italic;">Religious America, Secular Europe? A Theme and Variations </span>(Surrey/Burlington: Ashgate Publishing Limited, 2008) 10 [9-21]. Grace Davie telah melakukan suatu kajian sosiologis yang kuat terhadap kasus Eropa sebagai suatu kekecualian dari desekularisasi dunia; lihat bukunya <span style="font-style: italic;">Europe: The Exceptional Case: Parameters of Faith in the Modern World</span> (London: Darton, Longman and Todd, 2002).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/20/ Talal Asad, <span style="font-style: italic;">Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity</span> (Stanford, California: Stanford University Press, 2003) 181-201. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/21/ Talal Asad, <span style="font-style: italic;">Formations of the Secular</span>, 181 f.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/22/ Uraian bagian ini diangkat dari Rodney Stark dan Roger Finke, <span style="font-style: italic;">Acts of Faith: Explaining the Human Side of Religion</span> (Berkeley, etc.: University of California Press, 2000) 57-79. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/23/ Stark dan Finke, <span style="font-style: italic;">Acts of Faith</span>, 79. Lihat juga Rodney Stark, “Secularization, RIP” dalam <span style="font-style: italic;">Sociology of Religion</span> 60 (3) (1999) [249-273].</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/24/ Stark dan Finke, <span style="font-style: italic;">Acts of Faith</span>, 78.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/25/ Stark dan Finke, <span style="font-style: italic;">Acts of Faith</span>, 68.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/26/David Martin, <span style="font-style: italic;">A General Theory of Secularization</span> (New York: Harper & Row, 1978).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/27/ Stark dan Finke, <span style="font-style: italic;">Acts of Faith</span>, 60.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/28/ Dobbelaere, “Towards an Integrated Perspective of the Processes Related to the Descriptive Concept of Secularization: A Position Paper”, h. 9. Makalah ini dibacakan pada pertemuan tahunan Society for the Scientific Study of Religion di tahun 1997. Kutipan diambil dari Stark dan Finke, <span style="font-style: italic;">Acts of Faith</span>, 60. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/29/ Argumen rasionalis ini dikembangkan sekitar tahun 1960-an dan 1970-an antara lain oleh Peter L. Berger dalam bukunya <span style="font-style: italic;">The Sacred Canopy</span>, David Martin dalam bukunya <span style="font-style: italic;">A General Theory of Secularization</span>, dan Brian R. Wilson dalam bukunya <span style="font-style: italic;">Religion in Secular Society</span> (Harmondsworth, Middlesex, U.K.: Penguin Books, 1966).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/30/ Lilliane Voyé dan Karel Dobbelaere, “Roman Catholicism: Universalism at Stake” dalam <span style="font-style: italic;">Religions sans frontières?</span> Disunting oleh Roberto Cipriani. (Rome: Dipartimento per l’informazione e editorial, 1994) 95 [83-113]. Kutipan diambil dari Stark dan Finke, <span style="font-style: italic;">Acts of Faith</span>, 60 f. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/31/ Stark dan Finke, <span style="font-style: italic;">Acts of Faith</span>, 72. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/32/ Robert Hutchinson, “The Biblical Origins of Modern Science”, dalam <span style="font-style: italic;">The Politically Incorrect Guide to the Bible</span> (Washington, DC: Regnery, 2007) 139.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/33/ Alvin Schmidt, “Science: Its Christian Connections” dalam <span style="font-style: italic;">Under the Influence: How Christianity Transformed Civilization</span> (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2001) 221.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/34/ Richard Carrier, “Christianity Was Not Responsible for Modern Science” dalam John W. Loftus, ed., <span style="font-style: italic;">The Christian Delusion: Why Faith Fails</span>. Kata pengantar oleh Dan Barker (Amherst, New York: Prometheus Books, 2010) 397 [396-419].</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/35/ Richard Carrier, “Christianity Was Not Responsible for Modern Science”, 413.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/36/ Richard Carrier, “Christianity Was Not Responsible for Modern Science”, 412.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/37/ Sam Harris, <span style="font-style: italic;">The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason</span> (New York: W.W. Norton and Company, 2004).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/38/ Michael Onfray, <span style="font-style: italic;">Atheist Manifesto: The Case Against Christianity, Judaism, and Islam </span>(E.T., New York: Arcade Publishing, 2007).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/39/ Richard Dawkins, <span style="font-style: italic;">The God Delusion</span> (London, etc.: Bantam Press, 2006).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/40/ Christopher Hitchens, <span style="font-style: italic;">God Is Not Great: How Religion Poisons Everything</span> (New York: Twelve Hachette Book, 2007).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/41/ Victor J. Stenger, <span style="font-style: italic;">Has Science Found God? The Latest Result in the Search for Purpose in the Universe</span> (Amherst, New York: Prometheus Books, 2003). </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/42/ Victor J. Stenger, God: <span style="font-style: italic;">The Failed Hypothesis— How Science Shows That God Does Not Exist</span> (Amherst, New York: Prometheus Books, 2007). </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/43/ Victor J. Stenger, <span style="font-style: italic;">Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness</span> (Amherst, New York: Prometheus Books, 2009).</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/44/ Victor J. Stenger, <span style="font-style: italic;">The New Atheism: Taking a Stand for Science and Reason</span> (Amherst, New York: Prometheus Books, 2009). </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/45/ John W. Loftus, ed., <span style="font-style: italic;">The Christian Delusion: Why Faith Fails.</span> Kata pengantar Dan Barker. (Amherst, New York: Prometheus Books, 2010). </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">/46/ Richard Dawkins, <span style="font-style: italic;">The God Delusion</span>, 4.</span><br /><br /><br /><br /></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-17832261584420440572010-12-02T03:45:00.006+07:002010-12-02T04:00:39.670+07:00Keingintahuan Melahirkan Sains<span style="font-size:100%;">Oleh Ioanes Rakhmat </span><br /><div style="text-align: left;font-family:georgia;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >C</span>uriosity </span>atau keingintahuan adalah suatu dorongan kognitif dasariah dalam diri manusia yang membuat manusia dapat menemukan pengetahuan. Keingintahuan ini terpatri dalam neuron-neuron organ otak manusia. Titik awal lahirnya sains adalah keingintahuan. </span><br /><br /><div style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPhqpu7F_OPElM__h7JrcWY_RVexI4u7i1CC8XNSFGCW30QwsYj4DUhkP9fpphneQ5jMk-SR-cwGFpC3KV3fHNDzIOZ_h227zqDuQUzVkqIyhcCpJN9aShd2Jy0JloRzlYcASgb2JRFD4/s1600/curiosity+boy+and+girl.....bmp"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 267px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPhqpu7F_OPElM__h7JrcWY_RVexI4u7i1CC8XNSFGCW30QwsYj4DUhkP9fpphneQ5jMk-SR-cwGFpC3KV3fHNDzIOZ_h227zqDuQUzVkqIyhcCpJN9aShd2Jy0JloRzlYcASgb2JRFD4/s400/curiosity+boy+and+girl.....bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5545819557140554914" border="0" /></a><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-style: italic;font-size:100%;" >Grace, boleh aku tahu punyamu seperti apa? </span><br /><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-style: italic;font-size:100%;" >Boleh kok, Dave! Nih, lihat saja.</span><br /></div><span style="font-size:100%;"><br />Karena ingin tahu apakah betul Bumi ini bulat seperti bola, seorang penjelajah laut kebangsaan Portugis, Ferdinand Magellan (1480- 1521), dalam dua kesempatan terpisah melakukan dua pelayaran sirkumnavigasi dari dua arah yang berlawanan, yang akhirnya memberi suatu bukti positif pertama bagi dunia sains bahwa planet Bumi ini berbentuk bulat. Magellan pernah menyatakan, “Gereja mengatakan bahwa Bumi ini datar, tetapi aku tahu bahwa Bumi bulat, sebab aku sudah melihat bayangannya pada Bulan, dan aku lebih percaya pada sebuah bayangan ketimbang pada gereja.” </span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Karena ingin tahu isi angkasa luar yang pada malam hari tampak dipenuhi bintang-bintang yang benderang, manusia sudah sejak beberapa abad lalu membuat berbagai jenis alat peneropong bintang yang diberi nama teleskop. </span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Pada zaman modern ini kita memiliki sebuah teleskop antariksa yang diberi nama Teleskop Antariksa Hubble, dari nama seorang astronom Edwin Hubble. Setelah diluncurkan ke orbitnya pada 1990 dan setelah mengalami reparasi terakhir tahun 2009, Teleskop Antariksa Hubble diharapkan akan berfungsi sampai sedikitnya tahun 2014 ketika penggantinya, Teleskop Antariksa James Webb, siap diluncurkan. Dengan menggunakan Teleskop Hubble, para astrofisikawan modern dapat dengan tepat menentukan antara lain angka kecepatan ekspansi jagat raya </span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Jauh sebelum era teleskop antariksa, pada awal abad ketujuh belas, Galileo Galilee (1564-1642), sebagai salah seorang astronom terkenal kebangsaan Italia, sudah membuat sebuah teleskop pembiasan cahaya untuk mengamati sejumlah planet dalam tata surya, seperti Jupiter (dengan empat satelit terbesarnya), Venus, Saturnus, Neptunus, bahkan juga untuk mengamati bintik-bintik Matahari dan galaksi Bima Sakti. </span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Pengamatan Galileo yang kontinu atas satelit-satelit Jupiter telah menciptakan suatu revolusi dalam astronomi yang bergema hingga kini: sebuah planet dengan planet-planet yang lebih kecil yang mengorbit padanya tidak cocok dengan prinsip-prinsip kosmologi Aristotelian yang memandang sebuah benda langit harus mengitari planet Bumi. Penemuan Galileo, lewat teleskopnya, atas fase-fase penuh planet Venus adalah sumbangannya yang paling empiris, praktis dan berpengaruh bagi peralihan dari geosentrisme ke heliosentrisme. </span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Menurut Stephen Hawking, “Galileo, mungkin lebih dari orang lain manapun, bertanggungjawab bagi kelahiran sains modern.” Bagi Albert Einstein, Galileo adalah Bapak sains modern. Tetapi, jauh sebelum pengakuan dari dua fisikawan modern ini, pada tahun 1615 Galileo yang mendukung model heliosentris Kopernikan diadukan ke Inkwisisi Gereja Roma Katolik (GRK); dan pada Februari 1616 GRK mengutuk heliosentrisme sebagai suatu pandangan yang “salah dan bertentangan dengan Alkitab.” Karena bukunya yang berjudul Dialog Mengenai Dua Sistem Dunia Yang Utama (terbit 1632), Galileo diadili oleh Inkwisisi GRK dan dia selanjutnya “diduga keras sebagai bidah”, dan sebagai akibatnya dia sampai akhir kehidupannya dikenakan tahanan rumah. Kurang lebih tiga setengah abad kemudian, pada 31 Oktober 1992, Paus Yohannes Paulus II mengakui bahwa GRK telah salah dalam menangani kasus Galileo. Pada Maret 2008 Vatikan merehabilitasi Galileo dengan mendirikan sebuah patung Galileo di dalam tembok-tembok Vatikan. Tetapi Galileo, sayangnya, tidak tahu bahwa GRK akhirnya merehabilitasi namanya. </span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Dua nama besar di atas, Ferdinand Magellan dan Galileo Galilee, adalah contoh orang yang karena keingintahuan yang besar telah melakukan eksplorasi dan observasi saintifik atas alam dan jagat raya. Setelah melakukan eksplorasi dan observasi, mereka mendapatkan pengetahuan yang ternyata bertentangan dengan kepercayaan institusi gereja pada zaman mereka masing-masing. Magellan lebih percaya pada bentuk bayangan Bumi di Bulan yang terlihat pada waktu gerhana, yang menunjukkan Bumi bulat, ketimbang pada gereja yang menyatakan Bumi datar. Galileo mempertahankan model kosmologis heliosentrisme ketimbang model geosentrisme yang dipertahankan gereja pada zamannya, yang mengakibatkan dirinya menderita sampai akhir hayatnya.</span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Gereja yang menolak pandangan-pandangan sains tentang berbagai hal dalam kosmos yang merontokkan pandangan-pandangan kitab suci tentang hal-hal yang sama, sebetulnya adalah gereja yang ingin mematikan keingintahuan manusia tentang segala sesuatu yang mengitarinya, yang ada di dekat dirinya maupun yang jauh. Mematikan keingintahuan sama dengan menghancurkan otak suatu makhluk cerdas yang namanya manusia, homo sapiens. </span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Ternyata sikap gereja yang negatif terhadap keingintahuan manusia yang mendorong manusia untuk mengonstruksi sains bukan baru muncul di abad keenambelas dan abad ketujuhbelas saja. Jauh sebelumnya, seorang Bapak Gereja Barat yang terkenal, Santo Augustinus dari Hippo (354-430), yang tinggal di Propinsi Afrika yang dikuasai Roma, telah dengan terbuka menyatakan hal berikut ini: “Ada suatu bentuk godaan lain, bahkan lebih penuh dengan bahaya. Godaan ini adalah penyakit yang dinamakan keingintahuan. Keingintahuan inilah yang mendorong kita untuk mencoba sesuatu dan untuk menemukan rahasia-rahasia alam, yakni rahasia-rahasia yang berada di luar jangkauan pemahaman kita, yang membuat kita tidak mendapatkan hal apapun dan yang manusia harus tidak ingin mempelajarinya.” </span><br /><br /><span style="font-size:100%;">Jauh sebelum era Agustinus, pada abad kesepuluh SM, penulis kisah Taman Eden dalam kitab Kejadian 2-3 dalam Alkitab Ibrani, telah juga menyatakan bahwa keingintahuan Hawa dan pasangannya, Adam, telah mendorong mereka memetik dan memakan buah pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat. Bagi si penulis teks kitab suci ini, tindakan Adam dan Hawa ini adalah sesuatu perlawanan dan pemberontakan kepada Allah dan hukum-hukum-Nya. Orang dapat bertanya, Bagaimana mungkin mendapatkan pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat dipandang sebagai suatu perlawanan kepada Allah yang harus diganjar dengan penderitaan dan kematian, kecuali sang Allah ini adalah suatu allah yang menginginkan manusia, ciptaan-Nya, fitrah-Nya, tetap pandir dan tak berpengetahuan selamanya? </span><br /><br /><div style="text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Agama di mana-mana dan sejak dulu, melalui para agamawan yang taat, memang mempertahankan dan menjaga misteri-misteri alam dan kehidupan. Hanya dengan cara inilah mereka dapat terus mengendalikan umat yang mereka pimpin. Sebaliknya, sains terus memanggil manusia untuk memakai keingintahuan mereka untuk mengeskplorasi dan mengobservasi alam dan jagat raya, sehingga secara bertahap dan progresif manusia akan makin dekat pada kebenaran yang makin menyingkapkan diri. Barangsiapa mencari kebenaran, cintailah sains dan petiklah buah-buah pohon pengetahuan dengan berani!</span><br /><br /><div style="text-align: right;"><div style="text-align: left;"><span style="font-size:100%;">(Tulisan ini sudah terbit di <span style="font-style: italic;">Koran Tempo</span> edisi Minggu, 28 November 2010, halaman A21. Atau klik link ini <a href="http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/28/Ide/index.html">http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/28/Ide/index.html</a>)</span><br /><br /><div style="text-align: right;"><br /></div></div></div></div></div>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-11404981812914297302010-10-31T23:55:00.009+07:002010-11-03T16:59:18.413+07:00Problem Teodise (7): Penderitaan Dialami Karena Manusia Tidak Taat? Atau Karena Hukum dan Peraturan Allah Salah?<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMTZ6WiBlOhH4x6X9YC_vpHTLZgMSAyNBvqRhNiiAHRUFtW8VgLSSbjIShsBA-eirRPL4nR4bplihhxZyE0dCyNvrieHXNXej7AXClVV-Na93H2KqLBcbp3JEVGpGcDi3yofFq92fNxOg/s1600/Expelled+from+Eden.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 182px; height: 482px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMTZ6WiBlOhH4x6X9YC_vpHTLZgMSAyNBvqRhNiiAHRUFtW8VgLSSbjIShsBA-eirRPL4nR4bplihhxZyE0dCyNvrieHXNXej7AXClVV-Na93H2KqLBcbp3JEVGpGcDi3yofFq92fNxOg/s400/Expelled+from+Eden.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5535002243523635506" border="0" /></a><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Dalam</span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"> agama-agama teistik umumnya diajarkan bahwa jika seorang mukmin menaati perintah dan kehendak Allah dengan sungguh-sungguh, maka kehidupan si mukmin ini akan baik, terpelihara, sejahtera dan selamat. Sebaliknya, jika seseorang tidak menaati kehendak dan perintah Allah, maka kehidupannya akan penuh dengan keburukan, bencana, kesusahan dan akhirnya kematian. Dalam <span style="font-style: italic;">Tenakh </span>Yahudi ada sebuah teks yang dengan terang menyatakan hal ini; teksnya berbunyi demikian,<br /><blockquote><span style="font-style: italic;">Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Dia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiup angin. Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan </span>(Mazmur 1:1-6)</blockquote>Jadi jelas, menurut teks suci di atas, ketaatan dan sikap tunduk pada Allah mendatangkan kebahagiaan dalam kehidupan, sedangkan perlawanan dan ketidaktaatan pada-Nya mengakibatkan penderitaan dalam kehidupan. Ini adalah sebuah kepercayaan universal dalam semua agama teistik. Orang beragama yang saleh dan berhasil dalam kehidupan seringkali menegaskan dan mempersaksikan apa yang diyakini sebagai kebenaran ini; dan mereka terdorong untuk menasihati orang lain untuk juga mengikuti jalan kehidupan mereka yang penuh dengan ketaatan kepada Allah supaya kehidupan menjadi sukses dalam segala hal.<br /><br />Dalam lingkungan kekristenan dewasa ini dikenal apa yang namanya “teologi sukses” dan “teologi anak raja.” Menurut teologi sukses, jika seorang menaati semua kehendak dan hukum Allah, maka hidup orang itu dijamin pasti sukses dalam segala bidang kehidupan, khususnya sukses dalam bisnis apapun yang dijalankannya. Lalu, menurut teologi anak raja, jika seorang Kristen terus-menerus menempatkan Yesus sebagai sang Raja mereka satu-satunya dan menjalankan segala perintahnya tanpa bertanya, maka Yesus sebagai sang Raja yang mahakaya, pemilik langit dan Bumi, akan pasti memberikan kekayaan dan kedudukan terhormat kepada orang ini. Tentu saja dua macam “teologi” ini laku keras di arena persaingan keras bisnis injil di kota-kota besar, dan dipercaya dengan begitu naïf oleh kebanyakan warga gereja yang ingin selalu meraih sukses dan kekayaan.<br /><br />Tentu saja hal yang bertolakbelakang dari hal yang baru dikemukakan di alinea di atas juga banyak ditemukan, yakni seorang yang sudah sangat saleh dan taat dalam kehidupannya terhadap hukum dan perintah Allah yang ditulis dalam kitab suci agamanya ternyata tidak mengalami keberhasilan dan kebahagiaan, melainkan kegagalan dan penderitaan dalam kehidupannya. Hal yang bertolakbelakang ini sudah pernah disoroti dalam salah satu tulisan dari serangkaian tulisan tentang teodise ini, misalnya ketika figur Ayub dalam kitab Ayub dijadikan fokus perhatian.<br /><br />Ihwal yang sekarang mau ditinjau adalah apakah suatu tindak ketidaktaatan dan perlawanan kepada Allah harus mengakibatkan nestapa, penderitaan, kesusahan dan bencana dalam kehidupan manusia. Tentu banyak orang akan langsung menyatakan bahwa hal ini adalah sesuatu yang sudah jelas, lumrah dan normal, jadi tak perlu dipermasalahkan lagi. Dalam kehidupan suatu negara saja, kata mereka, setiap warganegara yang tak menaati hukum dan peraturan yang sah akan dikenai suatu hukuman oleh negara untuk menimbulkan efek jera pada dirinya dan menjadi suatu peringatan bagi setiap warganegara lainnya. Begitu juga, kanak-kanak yang suka membandel dan melawan orangtua sudahlah pantas, kata mereka, jika dihukum untuk memberi pelajaran supaya jera. Tetapi justru di sini terletak persoalannya: Bagaimana halnya jika hukum dan peraturan negara yang berlaku itu salah, tidak manusiawi dan bengis? Bagaimana halnya jika peraturan yang ditegakkan oleh orangtua salah atau tidak manusiawi dan mematikan kebebasan kanak-kanak? Terhadap hukum dan peraturan yang semacam ini, apakah patut setiap warganegara atau setiap anak menaatinya dengan naïf dan membuta?<br /><br />Pertanyaan-pertanyaan yang sama juga dapat diajukan kepada semua hukum dan peraturan yang diklaim, dalam kitab-kitab suci kuno, sebagai hukum dan peraturan yang berasal dari Allah sebagai pencipta dan penetapnya. Apakah pantas suatu Allah menjatuhkan suatu hukuman kepada seorang yang melawan dan melanggar hukum dan peraturan atau kehendak Allah ini karena hukum, peraturan dan kehendak Allah ini dipandang orang ini salah, tidak manusiawi, bengis dan menghambat pertumbuhan kesadaran dan pengetahuannya? Apakah tepat jika kepada orang semacam ini Allah menimpakan kutuk dan penderitaan, yang dijatuhkan Allah hanya dengan maksud diri sang Allah ini tetap berwibawa dan otoritatif meskipun sang Allah ini telah bertindak dengan sangat keliru? Banyak orang akan segera memberi reaksi bahwa tidaklah mungkin jika Allah bisa bertindak salah, keliru, tidak manusiawi, bengis dan menghambat pertumbuhan kesadaran dan pengetahuan manusia, karena Allah itu, kata mereka, mahakasih. Kepada mereka yang berkeberatan seperti ini, saya persilakan membaca kembali seluruh kitab suci agama mereka, khususnya kitab-kitab suci agama-agama monoteistik, dengan teliti dan dengan suara hati yang jujur. Dalam rangka itu, marilah sekarang kita soroti sebuah kisah penting dalam Perjanjian Lama, yakni kisah tentang Adam dan Hawa (Kejadian 3:1-24).<br /><br />Dalam <span style="font-style: italic;">Epik Gilgamesh </span>(disusun pada millennium ketiga S.M.), dikisahkan tentang suatu figur yang bernama Enkidu, yang dibesarkan bersama-sama binatang buas di hutan-hutan liar. Konon pada suatu hari seorang perempuan menggodanya dengan kemolekan tubuhnya; dan Enkidu takluk pada godaan perempuan ini, dan sebagai hasilnya Enkidu berubah menjadi bijaksana dan memperoleh pengetahuan manusia di dalam hatinya. Perempuan itu berkata kepadanya, “Engkau kini bijaksana, Enkidu, dan sekarang engkau telah menjadi seperti suatu dewa.” Tetapi pada akhirnya, epik ini mengisahkan, Enkidu mendapatkan dirinya telah dikutuk oleh sang dewi agung dan dia harus mati dalam rasa malu yang besar. Jelas, <span style="font-style: italic;">Epik Gilgamesh</span> telah menjadi suatu sumber sastrawi bagi kisah tentang Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian, dengan variasi di sana-sini dibuat oleh si penyusun kisah tentang Adam dan Hawa ini.<br /><br />Kita tahu, Tuhan Allah telah melarang Adam dan Hawa memetik dan memakan buah pohon pengetahuan yang tumbuh di tengah Taman Eden, dengan ancaman bahwa pada waktu mereka memakannya mereka berdua akan mati. Ketika seekor ular membujuk Hawa untuk memakan buah itu dan sang ular ini menyingkap suatu rahasia bahwa dia akan menjadi seperti Allah jika memakannya, yakni memiliki pengertian dan tahu membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk, Hawa pun memetik dan memakan buah pohon pengetahuan itu dan memberikannya juga kepada Adam yang juga ikut memakannya. Ancaman Allah tidak terjadi, sebab mereka berdua tidak mati seketika pada waktu mereka memakan buah pohon pengetahuan itu. Tetapi sebagai akibat perbuatan mereka melanggar aturan yang Allah sudah tetapkan untuk mereka di taman itu, Allah menjatuhkan sekian kutuk dan hukuman kepada mereka bahwa selanjutnya kehidupan mereka akan sulit dan penuh penderitaan sampai mereka pada akhirnya mati. Kata Tuhan Allah kepada Hawa, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan dia akan berkuasa atasmu” (Kejadian 3:16). Kepada Adam, Tuhan Allah menyatakan, “… Dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3:17-19).<br /><br />Tentu saja kita tahu bahwa seluruh kisah tentang Taman Eden ini adalah sebuah fiksi etiologis, fiksi yang disusun (pada abad ke-10 S.M.) untuk memberi suatu penjelasan mitologis tentang <span style="font-style: italic;">asal-usul</span> penderitaan yang dialami manusia, baik pria maupun wanita. Dan kita yang sudah mengenal pengetahuan modern tentu saja memandang etiologi ini sangat naïf, karena mengasalkan semua kerja berat, keluh kesah, penderitaan dan kematian manusia di sepanjang zaman pada satu pelanggaran yang dibuat Adam dan Hawa terhadap larangan Allah dulu di awal kehidupan manusia di muka Bumi. Selain itu, tidak semua orang memandang nenek moyang pertama mereka adalah Adam dan Hawa yang dikisahkan dalam Perjanjian Lama dan Alquran. Berbagai suku bangsa di dunia mempunyai kisah-kisah etiologis etnis sendiri-sendiri tentang nenek moyang pertama mereka dan apa yang nenek moyang ini telah perbuat pada awal kehidupan manusia di muka Bumi.<br /><br />Bagaimana pun juga, kisah etiologis tentang Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian ini mau menegaskan satu hal, yakni penderitaan timbul karena manusia tidak menaati perintah, hukum, ketetapan dan larangan Allah. Dalam rangka teodise, dapat ditegaskan bahwa Allah memang mahakasih, tetapi Allah juga adalah Allah yang mau menegakkan suatu kehidupan yang berdisiplin, sehingga manusia dikehendaki Allah ini harus selalu menaati semua hukum dan perintah-Nya. Pendek kata, bagi Allah ini, siapapun yang melanggar hukum dan perintah Allah, orang itu pantas mengalami penderitaan! Bagi teologi yang legalistik semacam ini, teologi yang menempatkan kedaulatan dan hukum-hukum Allah di atas segala-galanya, penderitaan terjadi karena ulah manusia sendiri! Allah tidak bersalah dalam terjadinya penderitaan manusia; seluruh kesalahan ada pada manusia! Bahkan, dalam alur pemikiran teologis semacam ini, berbagai bencana alam pun dilihat sebagai wahana dan media Allah menghukum manusia yang tidak taat!<br /><br />Tetapi, sebuah pertanyaan penting harus diajukan kepada Allah penghukum semacam ini: Apakah pantas jika Allah menjatuhkan penghukuman kepada Adam dan Hawa karena mereka berdua telah memakan buah pohon pengetahuan? Bukankah buah pohon ini telah membuat mereka memiliki pengertian dan kebijaksanaan hidup yang memampukan mereka tahu membedakan hal yang baik dari hal yang buruk, hal yang benar dari hal yang salah? Bukankah untuk bisa mengusahakan dan memelihara tempat kehidupan mereka, yakni Taman Eden, sebagaimana Allah perintahkan (Kejadian 2:15), Adam dan Hawa memerlukan <span style="font-style: italic;">wisdom</span>, hikmat dan pengertian? Jika demikian, bukankah sudah seharusnya Allah mempersilakan bahkan harus mendorong Adam dan Hawa memetik dan memakan buah pohon pengetahuan itu, dan bukan malah sebaliknya melarang mereka? Mengapa Allah ironisnya ingin mereka berdua tetap bodoh, dungu dan hanya membebek saja pada perintah dan hukum Allah, sementara perintah dan hukum Allah ini salah, tidak bijaksana, tidak manusiawi dan mematikan pertumbuhan kesadaran dan pengetahuan manusia, pengetahuan moral paling sedikit?<br /><br />Jadi, harus kita simpulkan, bahwa Adam dan Hawa telah bertindak benar ketika mereka melanggar perintah dan larangan Allah dengan mereka memetik dan memakan buah pohon pengetahuan. Penderitaan mereka terjadi kemudian bukan karena ketidaktaatan mereka, tetapi karena perintah, hukum dan larangan Allah salah, keliru, tidak manusiawi, menghambat kemajuan manusia dan merusak tatanan nilai-nilai moral yang seharusnya. Perintah dan hukum Allah yang semacam ini harus ditolak, dan bahkan diri Allah yang memberi perintah dan hukum semacam ini harus juga dilawan dan ditolak. Jika demikian, kesalahan bukan ada di pundak Adam dan Hawa, tetapi di pundak Allah sendiri. Bukan penghukuman dan penderitaan serta kematian yang seharusnya diterima Adam dan Hawa, tetapi pujian dari Allah, kebahagiaan, keberhasilan dan kehidupan.<br /><br /></span></span><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpC9vEZve-VRkBTswL71cK70jiX2dHDj4vuFvEu7gNJx21Rav1G4XBQxS69hK8uJcn5hSUFa-0aZxGNpQe33zdPQPrvB2Bs6r9ENS76tM0FO1UrXCqJZYI886T18x60MsOxoRWz2CKwDw/s1600/abraham-and-isaac-on-mount-moriah.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 253px; height: 381px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpC9vEZve-VRkBTswL71cK70jiX2dHDj4vuFvEu7gNJx21Rav1G4XBQxS69hK8uJcn5hSUFa-0aZxGNpQe33zdPQPrvB2Bs6r9ENS76tM0FO1UrXCqJZYI886T18x60MsOxoRWz2CKwDw/s320/abraham-and-isaac-on-mount-moriah.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5535003586654245458" border="0" /></a><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Ada sebuah kisah lain dalam kitab Kejadian yang relevan untuk disinggung di akhir uraian ini, yakni kisah tentang Abraham yang diminta Allah mengurbankan Ishak, anaknya (Kejadian 22:1-14). Kita tahu, Abraham total menaati permintaan atau perintah Allah ini, meskipun pada akhirnya, di saat-saat genting, dia tidak jadi menyembelih Ishak karena ternyata Allah “hanya” mengujinya dan memberi seekor hewan sebagai suatu kurban pengganti. Apapun juga yang terjadi pada akhirnya, permintaan dan perintah Allah semacam ini kepada Abraham adalah suatu permintaan dan perintah yang salah, edan, tak waras, tak manusiawi dan tak etis, yang tak pantas sama sekali dikeluarkan oleh suatu Allah yang mahapengasih dan mahapenyayang. Hanya orang yang terperangkap dalam delusi saja, yang membuatnya tidak bisa berpikir sehat lagi dan tidak bisa melihat kenyataan dengan kesadaran penuh, akan menundukkan diri kepada permintaan dan perintah Allah yang jahat dan keji semacam ini. Jika permintaan Allah ini adalah suatu ujian, ujian ilahi semacam ini adalah suatu ujian yang sangat edan, tak waras, yang hanya bisa disampaikan oleh suatu Allah yang tidak waras. Allah yang tak waras, sama sekali tak perlu ditaati oleh siapapun, bahkan harus ditentang dan dilawan oleh setiap mukmin yang mau hidup dengan dituntun oleh akal sehat dan pengetahuan yang benar.<br /><br />Jika Abraham hidup pada zaman modern sekarang ini, pasti Abraham akan ditangkap oleh aparat keamanan sebelum dia sempat mengurbankan Ishak (tentu jika ada pihak ketiga yang telah mencium rencana ini dan telah melaporkannya kepada aparat penegak hukum), lalu akan disidik dengan suatu tuduhan telah berencana untuk membunuh anaknya sendiri. Jika pembunuhan atas Ishak telah terjadi, Abraham pasti akan ditangkap lalu diadili dan pasti dijatuhkan hukuman mati, sementara sang Allah yang ditaatinya akan tentu saja berdiam diri. Banyak orang yang karena beriman sangat menggebu-gebu kepada Allah mereka atau kepada hukum-hukum yang dipercaya mereka dibuat oleh Allah mereka ini, sudah tidak tahu lagi bahwa iman keagamaan apapun, berapapun besarnya dan betapapun mulia dalam pandangan mereka sendiri, selalu memiliki batas-batas yang tak boleh dilampaui jika mereka mau hidup sehat, benar dan bermoral dalam suatu masyarakat yang di dalamnya hukum positif negara diberlakukan dan harus ditaati semua warga.<br /><br />Kesimpulannya: Dalam rangka menggumuli teodise, yakni pergumulan tentang keadilan dan kasih Allah di tengah penderitaan berat kaum mukmin, kita harus berpandangan bahwa penderitaan manusia bisa muncul bukan karena kesalahan mereka melanggar hukum, perintah dan ketetapan Allah, tetapi karena hukum, perintah dan ketetapan Allah ini salah, keliru, tidak tepat, tidak manusiawi, jahat dan keji, sehingga seharusnya tidak perlu ditaati manusia. Dengan tidak menaati hukum, perintah dan ketetapan Allah yang semacam ini, seharusnya bukan penderitaan dan kematian yang dialami manusia, tetapi kebahagiaan dan kehidupan. Tidak selalu penderitaan itu terjadi karena kesalahan manusia, tetapi bisa karena kesalahan Allah yang dipercaya umat beragama. Untuk mengurangi penderitaan manusia, sudah seharusnya manusia berani membangun sikap kritis terhadap semua hukum dan peraturan yang dipercaya berasal dari Allah dan dicatat dalam kitab-kitab suci.<br /><br />by Ioanes Rakhmat<br /><br /><br /></span></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-4650022559090069272010-09-10T23:37:00.020+07:002010-09-24T20:19:45.879+07:00Mengapa Agama Harus Dikaji Secara Saintifik?<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"></span></span><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiftgCFM1lhet2f8YmDVjICnOqcRJnNF_-idR1tJELH2T6QMRbRqsrXtWLvWVlWIuQl6kinasx_Tyu40zqUMdXpJAFmszSVyddlfFDH0hed2Jut6EqH0uFqWobkRR1gRcP9C8JIZC7_vOI/s1600/Surgery+table.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 275px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiftgCFM1lhet2f8YmDVjICnOqcRJnNF_-idR1tJELH2T6QMRbRqsrXtWLvWVlWIuQl6kinasx_Tyu40zqUMdXpJAFmszSVyddlfFDH0hed2Jut6EqH0uFqWobkRR1gRcP9C8JIZC7_vOI/s400/Surgery+table.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5515325221496265282" border="0" /></a><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 102, 102);">Agama sudah kegemukan dengan klaim supernatural. </span><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 102, 102);">Karena itu, sudah saatnya agama diletakkan di atas meja bedah sains</span><br /></div><br />(Tulisan ini terbit juga di <span style="font-style: italic;">Koran Tempo</span>, edisi Jumat, 24 September 2010, hlm. A10, atau klik <a href="http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/09/24/Opini/krn.20100924.212624.id.html">link ini</a> untuk melihatnya.)<br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Belakangan ini di banyak bagian dunia, para agamawan dari berbagai macam agama sedang berusaha kuat untuk memasukkan pengaruh dan pandangan-pandangan keagamaan mereka sebanyak-banyaknya ke dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara mereka, dan bahkan dunia luas pada umumnya. Pandangan-pandangan keagamaan yang bercorak fundamentalistik literalis skripturalis malah sedang dipaksakan di banyak tempat untuk menggantikan penjelasan-penjelasan sains modern mengenai banyak hal yang menyangkut kehidupan makhluk-makhluk di Planet Bumi, asal-usulnya, serta asal-usul alam semesta dan isi seluruh kosmos. Para agamawan yang sedang berperang dengan sains modern malah sedang berjuang untuk merebut kendali atas perjalanan dunia dan kehidupan manusia dan masa depan semua makhluk dari tangan para saintis. Menghadapi situasi semacam ini, sudah saatnya orang mulai memikirkan untuk menyelidiki dan menilai agama-agama dari sudut sains. Berikut ini enam pertimbangan yang dapat diajukan mengenai mengapa agama-agama perlu dibedah oleh pisau tajam sains. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pertama, agama bukanlah suatu fakta suprarasional atau supernatural, tetapi suatu fakta sosial antropologis, karena setiap agama memiliki minimal 5 unsur sosiologis antropologis berikut: (a) ada suatu komunitas sosial (<span style="font-style: italic;">community</span>); (b) ada berbagai ritual yang dijalankan (<span style="font-style: italic;">cult</span>); (c) ada sekumpulan kitab atau dokumen yang dipandang suci oleh komunitas sosial (<span style="font-style: italic;">canon</span>); (d) ada sekumpulan doktrin yang dirumuskan secara sosial dan dinyatakan sebagai syahadat (<span style="font-style: italic;">creed</span>); (e) ada sekumpulan kaidah moral yang disusun bersama (<span style="font-style: italic;">code</span>). Semua komunitas keagamaan di muka Planet Bumi ini memiliki lima unsur sosial antropologis ini; jadi setiap agama adalah sebuah fakta sosial antropologis yang umum dalam dunia ini. Sebagai suatu fakta sosial antropologis, setiap agama terbuka untuk dipelajari dan diselidiki oleh para ilmuwan sosial yang banyak jenisnya. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kedua, setiap orang beragama adalah seorang manusia kongkret, bukan seorang manusia bayangan. Sebagai seorang manusia kongkret, setiap orang beragama memiliki rasionalitas yang timbul karena kerja organ otak. Karena beriman adalah juga suatu kemampuan yang bersumber pada otak manusia (kecuali si manusianya mengklaim beriman dengan jantung atau lever-nya!), dan pasti melibatkan rasionalitasnya, maka setiap klaim keagamaan atau keimanan apapun harus juga bisa diselidiki secara rasional, untuk melihat apakah rasionalitas dan organ otak si orang beragama sehat dan normal. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ketiga, karena seorang beragama mengklaim pengalaman spiritual mereka dengan sang Tuhannya sangat kongkret dan riil, dan sekian mukjizat juga diklaim dialami dengan kongkret, dan semua pengalaman ini berlangsung dalam dunia riil sehari-hari (bukan dalam mimpi!), maka semua pengalaman spiritual dan semua klaim tentang mukjizat harus terbuka juga untuk diselidiki, dipelajari dan dinilai menurut kaidah-kaidah penyelidikan saintifik. Tanpa penyelidikan saintifik atas semua klaim tentang mukjizat, mukjizat yang diklaim banyak terjadi akan membuat suatu masyarakat hancur berantakan karena semua orang secara bertahap akan kehilangan rasionalitas mereka. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Keempat, karena semua kitab suci agama apapun lahir dalam dunia riil (bukan dalam dunia antah berantah!), dan ditulis oleh manusia yang bertangan dan berotak (bukan oleh jin-jin atau malaikat-malaikat yang tidak kelihatan dan tidak bertangan dan tak berotak!), maka semua pesan kitab suci apapun dan semua klaim tentang kejadian historis apapun dan tentang tokoh apapun di dalam setiap kitab suci apapun harus bisa diselidiki dan dijelaskan secara saintifik. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kelima, sebagaimana semua klaim sains suatu saat bisa kedapatan keliru dan bisa salah (lalu diperbaki dengan pengajuan bukti-bukti baru dan teori-teori baru yang lebih handal), maka klaim imaniah apapun, termasuk klaim imaniah tentang adanya satu atau banyak Allah supernatural yang tak kelihatan, harus juga dipandang sebagai klaim-klaim sementara, atau lebih tepat sebagai klaim-klaim hipotetikal yang memerlukan penyelidikan lebih jauh untuk dapat diverifikasi atau difalsifikasi secara saintifik. <span style="font-style: italic;">God</span> selalu merupakan sebuah hipotesis! Jika seorang beragama menolak klaim-klaim imannya (tentang keberadaaan suatu Allah atau tentang mukjizat atau tentang hal lain apapun) diselidiki secara saintifik, maka klaim-klaim ini harus dinyatakan sebagai klaim-klaim apologetik dan dogmatis yang tak memiliki nilai kebenaran apapun; dan karenanya harus dipandang hanya sebagai klaim-klaim <span style="font-style: italic;">mumbo jumbo</span>, klaim-klaim omong kosong saja. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Keenam, mengingat kitab-kitab suci agama-agama juga berisi ajaran-ajaran dan kisah-kisah yang keras dan buruk, yang membela pertumpahan darah dan perang antarmanusia, yang mendesakkan banyak nilai moralitas primitif yang bertabrakkan dengan nilai-nilai moral modern yang humanistik dan demokratis, yang mempertahankan pandangan-pandangan tentang kosmos dan kehidupan yang bertabrakkan dengan pandangan-pandangan sains modern, maka sangatlah riskan jika Planet Bumi dan jagat raya diserahkan begitu saja untuk dijelaskan, diatur dan diurus oleh para agamawan. Karena itu, untuk memperlihatkan bahwa kemampuan para agamawan sangat patut diragukan jika mereka mau mengurusi Planet Bumi ini, maka sudah saatnya kini isi perut agama-agama juga diselidiki, dipelajari, dan dinilai secara saintifik oleh para ilmuwan yang membela penyelidikan-penyelidikan yang empiris objektif atas fenomena sosial antropologis yang dinamakan agama. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Nah, dengan enam pertimbangan di atas, harus dinyatakan sekaranglah saatnya agama apapun diletakkan di atas meja bedah para ilmuwan modern, untuk dilihat jantung, hati dan otak, serta isi perut yang sebenarnya dari apa yang dinamakan agama. Pada sisi lain, hanya dengan lulus dari ujian operasi di meja bedah saintifik sebuah agama layak dipertahankan dan dikembangkan dalam dunia modern. Jika tidak lulus, tempat agama yang sebenarnya adalah museum.</span><br /><br /><br /></span><div style="text-align: right;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">by Ioanes Rakhmat</span><br /></span><br /><br /><br /></div>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-47411107234484336282010-08-27T14:15:00.008+07:002010-08-27T17:50:21.043+07:00Ferdinand Magellan: Bumi Bulat, Bukan Ceper!<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigNInnpw0rc-XmPOeeGdNtVp06vd8tbJSAlCyAMVQmEj-DTXZnqwLc6vbAe3gST5Olzj6OMLUq0fN-AqYMLCqKbrZqq1ix67AM-7xuy0MIObZoms93XIXr_TfOmquIBYgP_9WeV3fG4C8/s1600/Planet+Earth+1.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 316px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigNInnpw0rc-XmPOeeGdNtVp06vd8tbJSAlCyAMVQmEj-DTXZnqwLc6vbAe3gST5Olzj6OMLUq0fN-AqYMLCqKbrZqq1ix67AM-7xuy0MIObZoms93XIXr_TfOmquIBYgP_9WeV3fG4C8/s320/Planet+Earth+1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5509986127082823282" border="0" /></a><span style="color: rgb(255, 255, 0); font-style: italic;">pelayaran keliling bola bumi Ferdinand Magellan memberi bukti pertama </span><br /><span style="color: rgb(255, 255, 0); font-style: italic;">bagi sains bahwa Bumi berbentuk bulat, bukan ceper</span><br /></div><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><span style="font-style: italic;"></span></span><blockquote><span style="font-family:georgia;"><span style="font-style: italic;">“The church says the earth is flat, but I know that it is round, for I have seen the shadow on the moon, and I have more faith in a shadow than in the church.” </span>(Ferdinand Magellan)</span> <span style="font-family:georgia;"><br /><span style="font-style: italic;"><br />“Gereja berkata bahwa Bumi ceper, tetapi saya tahu bhw Bumi bulat, sebab saya sudah melihat bayangannya pada Bulan, dan saya lebih percaya kepada sebuah bayangan ketimbang kepada gereja”</span> (Ferdinand Magellan)</span></blockquote> <span style="font-family:georgia;"><span style="font-weight: bold;font-size:100%;" >F</span>erdinand Magellan (c. 1480- 27 April 1521) dilahirkan di Sabrosa, Portugal utara, tetapi kemudian mendapatkan kewarganegaraan Spanyol karena mau bekerja di bawah perintah Raja Charles I dari Spanyol untuk menyelidiki suatu rute pelayaran ke arah barat menuju “kepulauan rempah-rempah” (kepulauan Maluku di Indonesia sekarang). Ekspedisi Magellan yang berlangsung dari 1519 sampai 1522 adalah ekspedisi pertama yang mengarungi Samudera Atlantik masuk ke Samudera Pasifik (yang waktu itu dinamakan “laut damai” oleh Magellan karena airnya yang tenang) melewati Selat Magellan, lalu menyeberangi untuk pertama kalinya Samudera Pasifik. Ekspedisi ini juga adalah ekspedisi pertama lewat laut yang berhasil mengelilingi bola Bumi (= pelayaran sirkumnavigasi), meskipun Magellan sendiri tidak sempat menyelesaikan seluruh perjalanan laut ini karena dia terbunuh dalam Perang Maktan di Filipina. Namun, Magellan dalam suatu pelayaran sebelumnya ke arah timur berhasil sampai ke Semenanjung Melayu, sehingga dialah penjelajah laut pertama yang berhasil melintasi semua garis bujur bola bumi.<br /></span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFYcLDjYQyPTvoyQc2gI1Zt540_ZG_7ivTWZOZsaasayjhK_tqb4ngeEbW9z_JP4tpcJ9cRAbxzucm1Cqiy93W4PF5zRPmvsU6DqT_lo0_a6vbnmAMR-w0aZWpLQVXd4kfS28_I2MIFs0/s1600/magellanmap.png"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 166px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFYcLDjYQyPTvoyQc2gI1Zt540_ZG_7ivTWZOZsaasayjhK_tqb4ngeEbW9z_JP4tpcJ9cRAbxzucm1Cqiy93W4PF5zRPmvsU6DqT_lo0_a6vbnmAMR-w0aZWpLQVXd4kfS28_I2MIFs0/s320/magellanmap.png" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5509985257799686642" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 255, 0);">rute penjelajahan laut Ferdinand Magellan</span> </div><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br />Dari 237 orang yang berlayar dengan menggunakan 5 kapal laut, hanya 18 yang berhasil menyelesaikan sirkumnavigasi dan balik kembali ke Spanyol pada 1522 dipimpin navigator Basque yang bernama Juan Sebastián Elcano, yang mengambil alih komando ekspedisi setelah kematian Magellan. Tujuh belas orang tiba di Spanyol belakangan: 12 orang ditangkap oleh Portugis di Kape Verde beberapa minggu sebelumnya dan di antara 1525 dan 1527, dan lima orang berhasil selamat di kapal Trinidad.<br /><br />Ferdinand Magellan pada masanya membuktikan kepada dunia dan kepada semua yang menolak gagasannya bahwa orang dapat berlayar mengelilingi Bumi karena planet biru ini bulat seperti bola. Pelayarannya memberikan bukti positif pertama <span style="font-style: italic;">bagi sains</span> bahwa Bumi ini bulat.<br /><br />Para pecinta Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, kerap berkeras bahwa orang pada zaman Perjanjian Lama ditulis sudah berpandangan bahwa Bumi ini bulat seperti bola. Sebagai sebuah teks bukti, mereka biasanya mengacu ke Yesaya 40:22, yang dalam Alkitab Terjemahan Baru LAI memuat frasa “bulatan bumi”. Kata Ibrani dalam teks Yesaya ini, yang diterjemahkan dengan “bulatan”, adalah חוּג (<span style="font-style: italic;">chug</span>), dan kata ini tidak tepat jika diterjemahkan dengan “bulatan”, melainkan harus “lingkaran” atau “cakram”. Bandingkan kata Ibrani yang sama dalam Terjemahan Baru LAI dalam Ayub 22:14 (“lingkaran langit”) dan Amsal 8:27 (“kaki langit”). Yang dimaksud dengan <span style="font-style: italic;">chug</span> dalam Yesaya 40:22 adalah suatu bentuk lingkaran cakram yang tipis, bukan suatu bentuk bola padat.<br /><br />Juga harus diingat bahwa ketika orang yang hidup pada zaman Alkitab ditulis memandang Bulan dan Matahari di angkasa, mereka belum mampu berpikir bahwa kedua benda langit ini berbentuk bola, sebab yang langsung tampak kelihatan oleh mereka (dan juga oleh kita sekarang) dari Bumi adalah baik Bulan maupun Matahari berbentuk sebagai sebuah piring atau sebuah cakram tipis. Selain itu, mereka juga belum mampu berpikir bahwa kalau Bumi berbentuk bulat seperti bola, air laut di belahan belakang atau di belahan bawah bola Bumi tidak akan tumpah atau jatuh ke bawah. Kita yang hidup pada zaman modern saja, yang sudah mengenal daya gravitasi bumi, mampu berpikir bahwa air laut di belahan bumi lainnya tidak akan tumpah. Begitu juga, kalaupun Aristoteles melihat bayangan Bumi pada Bulan ketika terjadi gerhana, mungkin sekali dia tidak membayangkan Bumi ini berbentuk bola, tetapi, paling jauh, berbentuk sebuah piring atau sebuah lingkaran cakram tipis.<br /><br /></span></span><div style="text-align: left;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Beberapa abad sebelum Masehi, astrologi sudah berkembang luas di Babilonia, dan sistem penangggalan yang membagi satu minggu dalam tujuh hari sudah dikenal, dan sistim penanggalan inilah yang diambil alih oleh para penulis Kejadian 1:1-2:4a (Mazhab Imamat/Priester) ketika mereka mengasalkan sistem penanggalan ini pada penciptaan yang Allah mereka telah lakukan selama enam hari dengan hari ketujuh sebagai hari istirahat buat Tuhan Allah ini. Tidak jelas juga apakah dalam astrologi yang sudah berkembang ini, orang Babilonia sudah mampu memandang Bumi, Bulan dan Matahari serta semua planet lain yang sudah dikenal pada masa itu berbentuk bulat seperti bola. </span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Begitu juga, kalaupun Aristoteles melihat bayangan Bumi pada Bulan ketika terjadi gerhana, mungkin sekali dia tidak membayangkan Bumi ini berbentuk bola, tetapi, paling jauh, berbentuk sebuah piring atau sebuah lingkaran cakram tipis. Sebelum Aristoteles, seorang filsuf besar yang bernama Sokrates pada abad 4 SM sudah berpendapat bahwa Bulan itu terdiri atas bebatuan dan karang, sementara Ortodoksi Athena berpandangan bahwa Bulan adalah Dewa yang harus disembah. Kita tahu, pada 399 SM Sokrates menerima penghukuman mati dengan meminum racun di sebuah penjara negara di Athena dengan salah satu tuduhannya adalah bahwa dia mengajarkan ajaran-ajaran baru yang bertentangan dengan Ortodoksi Athena.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Kalaupun pada beberapa abad Sebelum Masehi sudah ada keyakinan bahwa Bumi, Bulan dan Matahari berbentuk bulat seperti bola, keyakinan ini tentu baru sebagai sebuah hipotesis yang belum terbukti secara empiris. Bahkan pada abad pertama, penulis teks Kisah Para Rasul pun masih berpikir bahwa Bumi ini memiliki “ujung” sehingga ditulislah olehnya sebuah perintah pekabaran Injil “sampai ke ujung Bumi” (KPR 1:8). Bahkan pada masa Ferdinand Magellan hidup (abad 15-16), Gereja Katolik Roma masih berpandangan bahwa Bumi ini ceper, sebuah pandangan yang justru dilawan olehnya. </span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Jadi, berterimakasihlah kepada Magellan, karena dialah orang pertama yang membuktikan bahwa Bumi ini berbentuk sebuah bola, yang di permukaannya darat dan samudera tertata dalam suatu keseimbangan alamiah. </span></span><br /></div><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /><br /></span></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-60966983029441746162010-08-22T04:18:00.020+07:002010-08-25T23:42:49.107+07:00Problem Teodise (6): Penderitaan Muncul Karena Allah Jahat dan Memihak!<span style="font-style: italic;font-size:100%;" ><span style="font-family:georgia;"></span></span><blockquote><span style="font-style: italic;font-size:100%;" ><span style="font-family:georgia;">Bahkan kisah tentang penjatuhan tulah kesepuluh hanya pantas dipandang sebagai suatu takhayul tentang suatu Allah yang brutal dan sadistik</span></span></blockquote><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">T</span></span>eodise adalah suatu kepercayaan pada keadilan, kemahabaikan dan kemahakuasaan Allah YME terhadap umat yang menyembah-Nya. Dalam mencari problem teodise, adakah sesuatu yang relevan, yang dapat muncul dari kisah-kisah keluaran dari Mesir dalam kitab Keluaran? </span></span><br /><div style="text-align: left;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br />Umumnya para pemakai Perjanjian Lama dengan tidak kritis memandang kisah eksodus dari Mesir beserta kisah-kisah sebelumnya tentang penimpaan sepuluh tulah kepada orang Mesir dalam kitab Keluaran 7-14 sebagai kisah-kisah nyata tentang Allah yang maha kuasa yang telah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan konon selama 430 tahun di tanah Mesir (12:40). Di lingkungan gereja-gereja di Indonesia, tidak sedikit pendeta atau pastor atau pekabar injil memakai kisah-kisah eksodus ini dalam khotbah-khotbah mereka dalam ibadah memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada setiap tanggal 17 Agustus. Meskipun sebetulnya sama sekali tidak ada kesejajaran antara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam bagian kitab Keluaran ini dan perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan dari tangan imperialis Belanda, para pengkhotbah itu terus saja memakai kisah-kisah ini dalam khotbah-khotbah 17 Agustusan mereka! </span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyJX5tNmEcBy5JWI6Q7mwPaEyTn0X2PdzXDtq9WOP0qltP_jllhg7jJJrfvAyz2xpoKo06VUQCr96GPHHBHK_fbHDrwVb_VfgtZD8MxH4MwVl__mlLmPlswLH8zQB_FViIMs-cufUCPtI/s1600/imbalance.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 296px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyJX5tNmEcBy5JWI6Q7mwPaEyTn0X2PdzXDtq9WOP0qltP_jllhg7jJJrfvAyz2xpoKo06VUQCr96GPHHBHK_fbHDrwVb_VfgtZD8MxH4MwVl__mlLmPlswLH8zQB_FViIMs-cufUCPtI/s320/imbalance.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5507977684192431090" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 255, 0);font-size:100%;" ><span style="font-family:georgia;">problem Allah yang berat sebelah dalam teodise</span></span><br /></div><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br />Banyak pakar kajian kritis biblika dengan tepat meragukan bahkan menolak sama sekali historisitas semua peristiwa yang diceritakan dalam bagian kitab Keluaran ini, mulai dari penjatuhan sepuluh tulah sampai penyeberangan Laut Merah. Kalau orang membaca dengan teliti kisah penyeberangan Laut Merah ini, dia akan menemukan bahwa penyebab Laut Merah terbelah dua adalah “angin timur yang bertiup dengan keras” (14:21). Pikirkan saja minimal teks 14:21 ini. Jika air laut yang sangat besar volumenya, dan tentu saja juga dalam, bisa dibelah dua oleh angin timur ini semalam suntuk, kekuatan angin ini tentu sangat dahsyat. Nah, logika kita menyatakan, di tengah terjangan angin timur yang sangat dahsyat ini mustahil orang Israel (konon berjumlah 600.000 lelaki, belum termasuk anak-anak dan perempuan!) bisa dengan tenang dan mudah menyeberangi Laut Merah yang sudah terbelah dua! Jika mereka nekad masuk ke dalam terjangan dahsyat angin ini, mereka pasti akan ditiup terbang melayang bak daun-daun kering lalu jatuh dan mati! Jadi, dengan sedikit memikirkan bagian teks ini saja kita sudah bisa menyimpulkan bahwa kisah penyeberangan ini adalah suatu kisah fiktif. </span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /><br />Figur Musa dalam kisah-kisah ini—khususnya dalam kisah tentang pembelahan air Laut Merah menjadi dua sehingga seluruh orang Israel bisa melintasi laut ini dengan berjalan di tanah kering (Keluaran 14:15-31)— ditampilkan sebagai sosok heroik tiada taranya. Tak salah jika para ahli memandang seluruh kisah eksodus ini sebagai suatu <span style="font-style: italic;">epik suci </span>yang ditulis bukan dengan tujuan untuk melaporkan suatu peristiwa sejarah faktual, melainkan untuk mengagungkan Nabi Musa sebagai sang nabi pemerdeka bangsa Israel dari kekuasaan orang Mesir yang telah terlalu lama menindas dan menyepelekan mereka. Kita tak perlu mencari-cari berbagai penjelasan alternatif untuk bisa menerima kisah-kisah ini sebagai kisah-kisah sejarah, misalnya, seperti diusulkan beberapa penafsir, bahwa yang orang Israel seberangi bukanlah Laut Merah, <span style="font-style: italic;">the Red Sea</span>, tetapi <span style="font-style: italic;">the Reed Sea</span>, Laut Alang-alang (Alkitab TB LAI: Laut Teberau) yang dangkal, yang pada waktu sedang surut dapat diseberangi dengan sangat mudah. </span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi07CYw991aFJ-cp1LSk1jR4jdFzMFJVLFGv9kIFNtb4ITtuB-ArggXBg-UDQH_rFqmg3-lV6Si8IBTwnXaZ4NiFTP6PYiWFnYf1gIS0m0T8jYbRpPPdGNNcewTKA6VzwvE6DkFOksLOLs/s1600/YHWH+god+of+war.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 239px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi07CYw991aFJ-cp1LSk1jR4jdFzMFJVLFGv9kIFNtb4ITtuB-ArggXBg-UDQH_rFqmg3-lV6Si8IBTwnXaZ4NiFTP6PYiWFnYf1gIS0m0T8jYbRpPPdGNNcewTKA6VzwvE6DkFOksLOLs/s320/YHWH+god+of+war.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5507979139865518002" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);font-size:100%;" ><span style="font-family:georgia;">YHWH, Tuhan pencemburu yang berperang bagi Israel</span></span><br /></div><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br />Ya, kisah-kisah eksodus dari Mesir ini memberitakan tentang YHWH bangsa Israel sebagai Tuhan pembebas dan penolong yang telah berkarya dengan kemahakuasaan-Nya membawa Israel keluar dari tanah perbudakan. Nabi Musa dalam kisah-kisah ini tampil sebagai sang hero Israel tanpa tandingan selamanya, yang melalui kepemimpinannya dan kemampuannya membuat banyak mukjizat, Allah telah memerdekakan bangsa Israel dari cengkeraman tangan bangsa Mesir dan menjadikan mereka suatu bangsa merdeka yang kelak akan memiliki tanah sendiri. Oleh Allah sendiri, Nabi Musa “diangkat sebagai Allah bagi Firaun” (7:1). Ya, dalam kisah-kisah ini Allah tampil sebagai Allah yang maha baik dan maha kuasa yang telah melepaskan bangsa Israel dari penderitaan dan nestapa berat, yang dilukiskan telah “berperang melawan Mesir” demi membela orang Israel (14:14, 25). Jelas, dalam situasi dibela dan ditolong oleh Allah semacam ini, <span style="font-style: italic;">tidak ada problem teodise bagi bangsa Israel</span>: YHWH mereka adalah YHWH yang mahakuasa, mahaadil, mahabaik dan mahapembebas, Tuhan yang telah memerdekakan mereka dari azab perbudakan. </span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /><br />Tetapi, jangan sekali-kali diabaikan, <span style="font-style: italic;">bagi orang Mesir</span>, keluarnya bangsa Israel dari tanah mereka harus mereka bayar dengan begitu banyak penderitaan berat, mulai dari tulah pertama (seluruh air di Mesir berubah menjadi darah) sampai tulah kesepuluh (berupa kematian seluruh anak sulung orang Mesir dan seluruh anak sulung binatang)! YHWH Israel dilukiskan menjadi sang Dalang dari semua penderitaan bangsa Mesir! Tentu saja kisah-kisah penjatuhan sepuluh tulah itu <span style="font-style: italic;">terlalu</span> fantastis untuk dapat diterima sebagai kisah-kisah sejarah faktual. Bahkan kisah tentang penjatuhan tulah kesepuluh hanya pantas dipandang sebagai suatu takhayul tentang suatu Allah yang brutal dan sadistik: Allah melewati rumah-rumah orang Israel karena pada kedua tiang pintu dan ambang atasnya telah diborehi darah anak domba jantan sehingga seluruh anak sulung orang Israel luput dari kematian; tetapi sebaliknya sang malaikat elmaut memasuki rumah-rumah orang Mesir karena rumah-rumah ini tidak ditandai oleh darah anak domba jantan lalu membunuh semua anak sulung Mesir, anak sulung manusia dan anak sulung hewan. </span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /><br />Pertanyaan pentingnya bukanlah apakah betul semua kisah eksodus ini kisah dongeng, melainkan: Apakah kita harus dengan senang memegang suatu teodise yang membuat kita yakin dan percaya bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang mahakuasa, mahakasih, mahaadil dan mahapenolong, sementara untuk membuat kita mengalami semua kebaikan, kemahakuasaan, keadilan dan kasih Allah ini , sang Allah ini harus berlaku keras, jahat, keji dan penuh nafsu membunuh terhadap orang lain yang kita tidak senangi, yang kita nilai telah berbuat jahat dan tidak adil kepada kita? Orang lain ini bisa orang yang kita cap telah sesat dalam beragama, bisa orang yang menganut suatu paham ideologis berbeda, bisa umat beragama lain, bisa seorang homoseksual, bisa suku lain, atau pun bangsa lain. Apakah kita harus menerima suatu Allah yang <span style="font-style: italic;">memihak</span> seseorang atau suatu bangsa tertentu, tetapi <span style="font-style: italic;">menjahati, menghancurkan dan membunuh</span> seseorang lain atau suatu bangsa lain? Inilah sisi lain yang kelam dari satu mata uang logam teodise! </span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPzYMovTteV_CYD6G8yA7zrpQ7p_9vSFSREDYo37qlA68hUb5HIDrmKt5wbJt7yULuO0A9XXr2t6S20xmIleKFXSS7gonlyGrVzeKOckWF4Ze3btZjzSAkW1BFExtN5XXSGXbB-wGaUKw/s1600/Mars+dewa+perang+bangsa+Romawi2.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 229px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPzYMovTteV_CYD6G8yA7zrpQ7p_9vSFSREDYo37qlA68hUb5HIDrmKt5wbJt7yULuO0A9XXr2t6S20xmIleKFXSS7gonlyGrVzeKOckWF4Ze3btZjzSAkW1BFExtN5XXSGXbB-wGaUKw/s320/Mars+dewa+perang+bangsa+Romawi2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5507979272379412834" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);font-size:100%;" ><span style="font-family:georgia;">Mars (Ares), dewa perang bangsa Romawi, </span></span><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);font-size:100%;" ><span style="font-family:georgia;">konon dialah sang ayah Romulus dan Remus, para pendiri Roma</span></span><br /></div><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /></span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Tentu saja, karakter Allah yang semacam ini <span style="font-style: italic;">bukan</span> diwahyukan, tetapi dikonsep oleh seseorang atau oleh suatu umat yang telah mengalami suatu kenyataan bahwa lawan-lawannya atau lawan-lawan umat ini telah kalah telak dalam suatu peperangan yang dilangsungkan di dalam nama Allah ini. Allah semacam ini dikonsep sebagai suatu Allah suku tertentu, yang menolak dan membenci suku-suku asing, dan yang akan mendatangkan penderitaan dan kebinasaan pada suku-suku asing ini jika mereka berbuat tidak adil terhadap suku atau umat milik-Nya sendiri. </span>Dalam pengonsepan teologi yang jelek semacam ini, alam dan semua fenomenanya pun digambarkan <em>memihak</em> umat kesayangan Allah semacam ini, dan <em>melawan</em> musuh-musuh mereka.</span><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br />Dan Allah xenofobis semacam ini makin terlalu jahat dan keji jika Dia dipandang sebagai sang Aktor utama yang membuat bangsa asing lainnya dan khususnya sang raja bangsa asing ini mengeraskan hati untuk terus berbuat tidak adil dan tidak baik terhadap bangsa atau umat kepunyaan Allah ini. Keadaan seperti ini terjadi pada Firaun, Raja Mesir, yang hatinya konon telah “dikeraskan oleh Allah” bangsa Israel dan mengakibatkan dia tidak mau melepaskan bangsa Israel meninggalkan tanah Mesir (Keluaran 7:3, 13; 8:15; 9:12; 10:1, 27; 11:10; 14:8; 14:17) sehingga ada suatu alasan untuk sang Allah ini berlaku jahat kepada seluruh orang Mesir! Apakah jalan diplomasi yang telah gagal harus diakhiri dengan suatu peperangan dan pertumpahan darah yang dilakukan oleh atau atas nama Allah bangsa Israel sendiri?<br /><br />Kita harus tak puas dan harus tidak setuju pada suatu teodise yang di dalamnya Allah diubah menjadi suatu Allah suku atau Allah bangsa tertentu, yang dengan keji melenyapkan suatu suku atau bangsa lain yang Dia tidak sukai! Kita pada zaman sekarang dalam era globalisasi memerlukan bukan lagi suatu Allah suku, tetapi suatu Allah yang mengasihi seluruh umat manusia di muka bumi, suatu Allah yang <span style="font-style: italic;">bukan</span> Allah partikular <span style="font-style: italic;">tetapi</span> Allah yang universal. Allah yang universal semacam ini, yang menyayangi seluruh bangsa manusia, adalah Allah yang dipercaya si penulis kitab Yunus dalam kanon Perjanjian Lama (lihat khususnya Yunus 4:10-11). </span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /><br />Jika kita harus berpijak pada suatu moralitas universal yang membela kehidupan semua orang di seluruh muka Planet Bumi, maka kita harus berada di pihak<span style="font-style: italic;"> korban</span>; dan dari sudut pandang para korban, Allah sukuistik semacam ini harus dinilai sebagai suatu allah yang jahat dan keji, yang mendatangkan penderitaan dan kebinasaan atas orang-orang yang tidak berada di pihak-Nya dan tidak berada di pihak umat yang dibela-Nya. </span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Allah yang memihak semacam ini, adalah Allah yang menjadi sumber penderitaan dan azab umat manusia. Kalau semula bangsa Israel adalah korban perbudakan oleh pemerintah Mesir, maka ketika Allah mereka berpihak kepada mereka, mereka pun mengorbankan bangsa Mesir! Tindakan saling mengorbankan adalah suatu lingkaran setan yang harus diputus. Bukan tindakan semacam ini yang perlu kita lakukan, melainkan tindakan <span style="font-style: italic;">mencari dan mewujudkan rekonsiliasi </span>terus-menerus antar pihak-pihak yang bersengketa. Suatu Allah sukuistik harus tidak boleh dibiarkan ikut campur dalam proses rekonsiliasi ini.<br /><br />Orang yang taat beragama dan yang percaya pada teodise seringkali lupa bahwa ada orang lain yang dia telah buat menderita, sengsara dan binasa, dan perbuatan jahatnya ini dia legitimasi dengan suatu teologi tentang Allah yang berada di pihaknya dan yang melawan dan berperang terhadap orang lain yang dia tidak sukai, dan yang memberi dia kemenangan dan keselamatan di atas kekalahan dan kebinasaan orang lain! Teodise semacam ini sudah seharusnya dibuang jauh-jauh, dan agama yang mengajarkannya harus dikritik dengan keras dan ditolak. Parahnya, dengan menjamur dan menguatnya fundamentalisme religius di mana-mana, teodise semacam ini laku keras dan terus melahirkan orang beragama yang dikuasai nafsu untuk melumat dan membunuh orang lain yang berbeda atau yang dinilainya telah merugikan dirinya, sementara sangat meyakini bahwa Allahnya penuh kemurahan dan cinta kepada dirinya sendiri. Sebuah ironi, kekonyolan dan kedunguan yang timbul dari suatu teodise yang tidak seimbang!<br /><br /><br />by Ioanes Rakhmat<br /><br /><br /></span></span> <span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"> </span></span> </div>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-22251158449937294452010-05-05T09:31:00.005+07:002010-08-27T14:30:59.518+07:00Problem Teodise (5): Penderitaan Timbul Supaya Allah Dimuliakan?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlsj5nAb-t59SFEtDoJVBcN4Slj-7PgmboBfhhP8TKo1xY8pAckWunKkngrBRve91r1NR4GnXbYvOgNcJZF6SCweZWUyZmXEv_Nz8vS3BgoV6N_GhazszA7VmKINSMG1rNgTX5JTB7ggo/s1600/Yesus+menyembuhkan+mata+orang+buta.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 193px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlsj5nAb-t59SFEtDoJVBcN4Slj-7PgmboBfhhP8TKo1xY8pAckWunKkngrBRve91r1NR4GnXbYvOgNcJZF6SCweZWUyZmXEv_Nz8vS3BgoV6N_GhazszA7VmKINSMG1rNgTX5JTB7ggo/s320/Yesus+menyembuhkan+mata+orang+buta.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5467609539438645138" border="0" /></a><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Jalan selanjutnya y</span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">ang telah diusulkan untuk mengatasi problem teodise adalah memandang penderitaan ditimpakan allah karena allah ini mau kekuasaan dan kemuliaannya dinyatakan melalui dan di dalam penderitaan manusia dan dengan demikian manusia akan mengakui kekuasaan dan kemuliaan allah ini.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dalam Injil Yohanes kita temukan sebuah episode di mana Yesus dikisahkan memecahkan problem teodise dengan sudut pandang ini. Bacalah Yohanes 9. Dituturkan di situ bahwa ketika murid-murid Yesus melihat seorang buta sejak lahirnya, mereka bertanya kepada Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga dia dilahirkan buta?” (ayat 2). Pertanyaan ini menunjukkan pemahaman mereka bahwa penderitaan timbul karena dosa manusia, seperti telah diulas sebelumnya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Tetapi Yesus menjawab mereka dengan suatu sudut pandang yang sama sekali lain, katanya, “Bukan dia dan juga bukan orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (ayat 3). Lalu Yesus dengan cara-cara tertentu mencelikkan mata orang yang buta sejak lahir ini. Jadi, “pekerjaan-pekerjaan Allah” yang dimaksudkan Yesus adalah tindakan-tindakan Allah yang penuh kuasa, yang sanggup mendatangkan mukjizat kesembuhan. Melalui mukjizat penyembuhan mata orang yang buta sejak lahir ini, Yesus tentu berharap orang banyak, dan khususnya si buta yang telah disembuhkan itu, akan mengakui kekuasaan allah lalu memuliakannya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Apakah jalan keluar ini telah menyelesaikan problem teodise? Hemat saya, sama sekali tidak, malah menimbulkan persoalan-persoalan baru.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pertama, kalau allah mendatangkan penderitaan kepada manusia supaya manusia mengakui kekuasaan allah lalu memuliakan diri allah ini di dalam penderitaannya ini, maka perilaku allah ini ibarat perilaku seorang ayah yang karena ingin kekuasaannya dan kehormatan atau kemuliaannya diakui anak-anaknya, ayah ini menyiksa anak-anaknya atau membawa anak-anaknya dengan paksa ke dalam penderitaan. Ayah macam apakah ini? Ya, jelas, ayah semacam ini bukanlah ayah yang baik, tetapi ayah yang karena gila kehormatan diri menjadi kejam. Allah semacam ini juga ibarat seorang raja lalim yang karena ingin rakyatnya mengakui kedaulatannya dan mau memuliakan dirinya, raja ini melakukan segala sesuatu yang dapat menyengsarakan rakyatnya. Sang raja ini berpikir dengan keliru bahwa kalau rakyatnya terus menerus disengsarakan olehnya, rakyatnya ini akan ketakutan kepadanya lalu tunduk tanpa daya. Anak atau rakyat yang diperlakukan dengan kejam oleh seorang ayah atau oleh seorang raja tentu akan lebih mungkin melawan dan memberontak ketimbang patuh. Jadi, jalan keluar ketiga ini ternyata malah menjadikan allah bukan sebagai sang bapak atau sang monarkh yang adil, bijaksana dan pengasih dan penyayang, melainkan sebagai sang bapak atau sang monarkh yang kejam dan sewenang-wenang.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kedua, pemecahan ketiga ini problematis karena membuat orang yang sedang menderita bukan dengan rasional dan realistik mencari jalan-jalan sendiri untuk mengatasi penderitaannya, melainkan dengan pasif menunggu allah membuat mukjizat untuk melepaskan dirinya sepenuhnya dari penderitaan. Orang yang beriman kepada allah dengan segenap hati dan percaya total pada adanya mukjizat, <span style="font-style: italic;">seringkali</span> mengabaikan kenyataan kehidupan dan tidak mau memakai otaknya untuk berpikir dengan benar. Ketika mukjizat yang ditunggu-tunggunya tidak terjadi, si mukmin yang sedang menderita ini kebanyakan malah bukan tunduk menghormati allah melainkan akhirnya mulai mengutuki allahnya. Selain itu, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan modern, semakin banyak orang tidak lagi mempercayai bahwa mukjizat itu dapat terjadi. Orang modern percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam alam ini tidak bisa melanggar hukum-hukum alam, kapanpun dan di manapun juga. Jadi tidak mungkin terjadi bahwa orang yang kedua matanya buta sejak lahir itu tiba-tiba menerima sepasang mata baru yang sehat walafiat karena kekuasaan allah. Sepasang mata bayi yang sehat saja, kita tahu, harus berproses melewati waktu panjang sebelum dapat digunakan untuk melihat dengan terang dan baik. Untuk mata bisa memahami objek yang dilihatnya, mata juga memerlukan proses edukasi yang memakan waktu panjang juga, yang harus dijalani si pemilik mata.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ketiga, kita tahu kemampuan psikis dan fisikal manusia untuk menanggung penderitaan itu terbatas. Memang ada orang yang daya tahan psikis dan fisikalnya luar biasa besar ketika sedang menghadapi penderitaan dan deraan kehidupan. Tetapi, pada umumnya kebanyakan orang tidak dapat tahan lama-lama menanggung penderitaan. Penderitaan yang terlalu lama dialami dan terlalu menyiksa lebih mungkin membuat orang mengalami gangguan kejiwaan, lalu menjadi penghuni rumah sakit jiwa, ketimbang makin sanggup memuji allah.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Nah, dengan tiga alasan di atas cukuplah saya menyatakan bahwa problem teodise tidak dapat diselesaikan sekalipun orang mau menyatakan bahwa lewat penderitaan orang saleh allah mau menyatakan kekuasaan dan kemuliaannya.<br /><br /><br /><br /></span></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-55695499685356084292010-04-17T14:41:00.005+07:002010-04-30T12:42:28.884+07:00Problem Teodise (4): Penderitaan Timbul Karena Dosa Manusia<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Mengapa manusia, bahkan manusia yang sangat saleh, menderita dalam dunia ini kendatipun ada Allah yang dipercaya maha kasih, maha adil, dan maha kuasa? Jawaban yang keempat adalah: penderitaan itu dialami manusia sebagai suatu hukuman Allah atas dosa manusia. Karena manusia berdosa, maka Allah menghukum manusia dengan menimpakan kepadanya penderitaan dalam berbagai bentuk dan dalam berbagai tingkatan. Jadi di sini, penderitaan dipahami berasal dari suatu allah penghukum.<br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoBzK-yzyoQysSODVA6X0f9JM7UtZcx7MLHoRmZDC_b-tbSkP5I7rQWOsX514_Op-NVeCrrKmhESx-pqD7S6d9eJO7dH-viMsB4uNwtpMLlYE3egzY90YHxXDv1UQ_r_fS1fPQdvmwZSo/s1600/Bahtera+Nuh+dan+bianglala.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 238px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoBzK-yzyoQysSODVA6X0f9JM7UtZcx7MLHoRmZDC_b-tbSkP5I7rQWOsX514_Op-NVeCrrKmhESx-pqD7S6d9eJO7dH-viMsB4uNwtpMLlYE3egzY90YHxXDv1UQ_r_fS1fPQdvmwZSo/s320/Bahtera+Nuh+dan+bianglala.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5461009707717668194" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">Bahtera Nuh dan bianglala:<br />allah penyelamat sekaligus allah penghukum!</span><br /></div><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">Kita semua tahu mitos tentang banjir besar atau air bah yang melanda seluruh bumi pada zaman Nabi Nuh. Bacalah sekali lagi Kejadian 7-9. Sebelum air bah ini didatangkan, Allah konon berkata kepada Nuh, demikian, “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi” (Kejadian 6:13). Bayangkan, semua makhluk telah melakukan tindakan dosa berupa kekerasan! Karena dosa berbuat kekerasan ini, semua makhluk mau dilenyapkan sang allah penghukum ini, bahkan sang Allah pemurka ini juga mau melenyapkan bumi! Penderitaan yang membinasakan ini ditimpakan oleh Allah kepada semua makhluk, bukan hanya kepada manusia, dan bahkan kepada bumi yang sebetulnya sebagai sebuah benda mati tidak bisa berbuat dosa. Di seluruh Alkitab, tidak ada kisah lain yang mendongengkan pembinasaan yang sekejam ini oleh Allah atau yang lebih kejam dari yang ditimpakan kepada generasi Nuh. Lupakan Nuh yang katanya sangat saleh; fokuskan pikiran pada segala makhluk dan bumi yang segera mau dibinasakan allah! Yang dibinasakan dan dihukum mati oleh allah jauh, jauh lebih banyak daripada yang diselamatkan! </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Kita tidak boleh berkata, ya kan sudah pantas kalau Allah menghukum segenap manusia, bahkan segenap makhluk, karena semua makhluk ini, kecuali Nuh, sudah berbuat dosa! Mengapa kita tidak boleh berkata seperti itu? Mengapa kita tidak boleh mempertahankan teodise dengan memandang penderitaan manusia sebagai sesuatu yang timbul karena dosa manusia terhadap allah? Ada tiga alasannya. </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Pertama, kalau Allah itu memang maha pengasih (seperti dipertahankan dalam teodise), maka Allah ini juga harus mengasihi manusia yang berdosa, bukan membinasakannya. Juga, kalau Allah maha adil, dia harus memberi peluang pada manusia berdosa untuk berubah menjadi baik, sebab keadilan Allah juga mengharuskan Allah menyelidiki segala penyebab yang membuat manusia berbuat dosa, dan menangani penyebab-penyebab ini sebagai akar yang menyebabkan manusia berbuat dosa.</span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Kedua, dengan berkata seperti itu, kita akan memandang semua orang yang terkena bencana dan penderitaan sebagai manusia berdosa atau manusia durhaka, padahal banyak penderitaan dan bencana dialami manusia di dunia ini bukan karena kesalahan manusia itu sendiri, melainkan karena sebab-sebab lain yang berada di luar kekuasaan mereka untuk mengelakkannya, misalnya karena kecelakaan atau bencana alam yang dahsyat yang menimpa baik orang yang saleh maupun orang yang tidak saleh, atau karena perbuatan jahat orang lain. </span><span style="font-family:georgia;"><br /><br />Ketiga, kalau kita berpandangan seperti itu, maka kita akan mempertahankan terus konsep tentang suatu allah yang kejam dan penghukum. Konsep tentang Allah yang kejam dan penghukum ini sudah tidak sesuai dengan filsafat pendidikan modern dan psikologi pembangunan mental manusia. Dalam pandangan modern, seorang yang bersalah atau berdosa, dalam peringkat relatif tinggi atau peringkat relatif rendah, bukan harus dibinasakan atau dibunuh melalui penghukuman mati, melainkan harus <span style="font-style: italic;">di-re-edukasi</span>, <span style="font-style: italic;">di-re-formasi</span>, lalu <span style="font-style: italic;">diresosialisasi</span>. Kita dulu menyebut penjara, sekarang tidak lagi, melainkan menyebutnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus sebagai suatu tempat untuk reedukasi, reformasi dan resosialisasi manusia yang melanggar norma-norma umum hidup bermasyarakat yang beradab.</span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Jadi, mempertahankan teodise dengan mengasalkan penderitaan manusia pada diri suatu allah penghukum atas manusia yang berdosa, menimbulkan persoalan serius pada konsep manusia tentang allah. Dalam teodise yang semacam ini, allah menjadi allah penghukum, dan allah yang semacam ini jauh kalah baik jika dibandingkan manusia modern yang mau melakukan reedukasi, reformasi lalu resosialisasi terhadap warga masyarakat yang sudah menyimpang dari kaidah-kaidah bermasyarakat yang beradab.</span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Jelas, kita sulit menerima konsep tentang suatu allah penghukum dan pembinasa manusia yang berdosa. Allah yang semacam ini lebih banyak dikonsep oleh manusia primitif yang belum mengenal filsafat pendidikan humanistis dan psikologi modern pembangunan mental dan akhlak manusia.</span></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-7916635711192315792010-04-04T13:10:00.004+07:002010-08-27T14:29:19.208+07:00Problem Teodise (3): Penderitaan sebagai "Kawah Candradimuka"<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS1hDvyhPiE8GcaYOy8DIK4uLLNa8dvlRJFO2us13ChSBakW8Tn8NjKsYuH_XG3anzdF9uUPnz4Ks-mrRpKOGZ26vNp9tyPbOeYrXFkI7b-IYh1zOJL2LOq_11IV_a2J-AAE4cbYi2LQ0/s1600/gatot-kaca.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 275px; height: 367px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS1hDvyhPiE8GcaYOy8DIK4uLLNa8dvlRJFO2us13ChSBakW8Tn8NjKsYuH_XG3anzdF9uUPnz4Ks-mrRpKOGZ26vNp9tyPbOeYrXFkI7b-IYh1zOJL2LOq_11IV_a2J-AAE4cbYi2LQ0/s400/gatot-kaca.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5456163605650997218" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">Gatot Kaca, putera Bima dan Dewi Arimbi.<br />Konon Gatot Kaca digodok di Kawah Candradimuka</span><br /></div><br /><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >Problem ketiga teodise muncul ketika orang beragama menyatakan bahwa seorang mukmin mengalami penderitaan karena dia sedang mengalami ujian atau pencobaan allah lewat penderitaannya itu. Penderitaan berat ini bisa ditimpakan oleh allah sendiri langsung kepadanya atau bisa juga oleh suatu perantara lain yang dipakai allah untuk mengujinya.<br /><br />Dalam sudut pandang ini, penderitaan berat dilihat sebagai suatu “Kawah Candradimuka” yang ke dalamnya seorang mukmin dilemparkan untuk menggodoknya menjadi seorang mukmin yang tangguh setelah dia lulus ujian dan penggodokan. Dalam kebudayaan berbagai suku bangsa ada banyak kisah sejenis kisah Kawah Candradimuka. Konon, menurut epik Mahabharata, Kawah Candradimuka adalah kawah tempat para dewa merebus Gatotkaca sampai dia jadi bak bertulang besi, berotot kawat, dan kebal terhadap segala senjata, bahkan bisa terbang pula seperti sebuah pesawat Jet. Dalam kisah-kisah tentang dunia persilatan dari negeri Tirai Bambu, sang suhu konon sengaja menggojlok calon muridnya dengan memberi tugas-tugas sangat berat yang semula kelihatannya tak ada hubungannya dengan ilmu silat yang sedang dicari si calon murid. Ternyata semua tugas berat yang sebetulnya sangat mendera si calon murid, mulai dari memikul dua tong air besar bolak-balik sekian puluh kali setiap hari dari sebuah sumur ke suatu tempat lain yang jauh, sampai makan hanya boleh satu kali sehari berupa segenggam nasi, adalah semacam Kawah Candradimuka tempat penggodokan mental dan jasmani si calon murid sebelum dia belajar ilmu silat yang sebenarnya.<br /><br />Tentu kita sepakat bahwa di dalam Perjanjian Lama terdapat sebuah kitab yang seluruhnya sebenarnya adalah sebuah narasi fiktif tentang teodise, yang menggambarkan penderitaan sebagai suatu ujian terhadap kesalehan seseorang. Yakni Kitab Ayub. Konon Ayub adalah seorang yang “saleh, jujur, takut akan tuhan dan menjauhi kejahatan” (1:1,8; 2:3), dan tidak ada seorang lain pun di bumi yang seperti dia (1:8b; 2:3). Tuhan allah sangat memuji diri Ayub di hadapan Iblis. Tetapi Iblis berpendapat lain; menurutnya Ayub dapat sangat saleh karena dia mendapat banyak sekali berkat material dari allah dan karena allah juga selalu membentenginya. Iblis menantang allah untuk mengambil kembali semua berkat material ini dari Ayub, bahkan juga mengambil nyawa semua anaknya, yakni tujuh putera dan tiga puteri. Jikalau allah melakukan hal ini, maka, kata Iblis, Ayub akan pasti mengutuki allah (1:11).<br /><br />Lalu allah mengizinkan Iblis untuk melenyapkan semua kepunyaan Ayub, kecualinya nyawanya sendiri. Ternyata allah benar, penderitaan berat kehilangan semua miliknya tidak membuat Ayub mengutuki allah. Ditulis bahwa “dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh allah berbuat yang kurang patut” terhadap dirinya (1:22). Jadi, Ayub lulus ujian berat, dan imannya semakin teruji dan tergodok. Dalam kedukaan dan perkabungannya, Ayub sanggup berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dan dengan telanjang pula aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan juga yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (1:21).<br /><br />Iblis ternyata tidak berhenti di situ saja. Kali lain, ketika Iblis berada di hadapan allah dan allah kembali memuji-muji Ayub (2:3), Iblis menyatakan bahwa jika allah mengulurkan tangan dan menjamah tulang dan daging Ayub, maka Ayub akan pasti mengutuki allah (2:5). Kali ini kembali allah menyerahkan diri Ayub ke dalam kekuasaaan Iblis, kecuali nyawa Ayub. Maka Iblis pun menimpakan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batok kepalanya (2:7). Melihat keadaan yang menimpa Ayub ini, yang terus-menerus menggaruk-garuk badannya dengan sekeping beling sambil duduk di tengah-tengah abu, isteri Ayub berkata, “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah allahmu dan matilah!” (2:9). Dengan luar biasa Ayub menjawab isterinya, katanya, “Engkau berbicara seperti seorang perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10).<br /><br />Tetapi setelah itu, ketika ketiga sahabatnya mendatangi Ayub dan membuka percakapan panjang dengannya, Ayub anehnya berubah total. Sahabat-sahabat Ayub mempertahankan bahwa allah selalu benar dan selalu adil dalam setiap tindakannya terhadap orang-orang yang saleh, karena allah selalu bermaksud mendidik mereka (5:17), dan bahwa tidak seorang pun dapat “menyelami batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa” (11:7; 37:23). Dalam pandangan mereka, allah akan membinasakan orang-orang fasik, dan bukan orang saleh, dan penderitaan yang menimpa Ayub terjadi karena dosa Ayub yang besar (22:1-10). Tetapi bagi Ayub, ketiga temannya ini adalah “tabib-tabib palsu” (13:4), para “penghibur sialan” (16:2) yang berkata-kata dengan “tipu daya” (21:34), yang sedang “menghina dan menyiksa dirinya” (19:3).<br /><br />Di hadapan mereka, Ayub mulai mengutuki hari kelahirannya (3:1-12). Ayub meminta agar allah segera melepaskan tangannya dan menghabisi nyawanya (6:9). Ayub bertanya apa dosa yang telah diperbuatnya kepada allah sehingga allah menjadikan dirinya sasarannya (7:20). Kata Ayub, orang “yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan Allah” (9:22). Tetapi Ayub membantah allah, katanya, “Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beperkara dengan aku” (10:2, 7), dan menegaskan dengan yakin bahwa dirinya benar, tidak bersalah dan tidak berdosa (13:18, 23; 31:1-40). Ayub menyatakan allah bermaksud membunuh dirinya, tetapi dia menyatakan bahwa dia mau membela perilakunya di hadapan allah (13:15). Dalam penderitaannya Ayub melihat bahwa Allah sedang “menerkam dan memusuhinya” (16:9; 19:11) dan “merobek-robek dan menyerang dirinya” (16:14). Di hadapan para pembela allah itu, Ayub menegaskan bahwa “allah telah berlaku tidak adil dan telah menebarkan jala” terhadap dirinya (19:6; 27:2) dan telah meninggalkannya (29:5) serta telah menghancurkan dan membawanya kepada maut (30:22-23), sementara orang-orang fasik dibiarkan allah hidup dalam kemakmuran, kesenangan dan keamanan dan berumur panjang (21:1-15). Karena itu, Ayub menyatakan pemberontakannya terhadap Allah yang semacam ini (23:2).<br /><br />Nah, sekarang kita perlu bertanya, apakah penderitaan berat yang dizinkan allah ditimpakan kepada Ayub oleh Iblis telah berfungsi sebagai Kawah Candradimuka, yang menggodok dan semakin mematangkan kesalehan Ayub kepada Allah? Apakah setiap penderitaan berat sebagai suatu ujian dan cobaan dari allah akan pasti dapat ditanggung seorang mukmin dalam batas-batas kekuatannya, seperti dikatakan oleh Rasul Paulus di dalam Perjanjian Baru bahwa “pencobaan-pencobaan yang kamu alami adalah pencobaan-pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab allah setia dan karena itu dia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu” (1 Korintus 10:13 )? Ternyata tidak!<br /><br />Dalam penderitaannya, Ayub memberontak kepada allah! Iman dan kesalehannya hancur lebur ketika didapatinya allah begitu kejam terhadap dirinya. Bukankah Ayub memang berhak “berontak” dan “mengutuki” allah karena allah telah sampai hati menyebabkan sepuluh anak kandungnya tewas dengan mengerikan? (1:18-19). Allah yang mengizinkan Iblis menghancurkan seluruh kehidupan Ayub dirasakan oleh Ayub sendiri sebagai suatu allah yang telah menyerang dan menghancurkan dirinya. Baginya, allah yang semacam ini bukan lagi allah yang maha pengasih dan maha penyayang dan maha pelindung. Allah yang semacam ini adalah allah yang tidak bermoral, yang tidak tahu membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk; dan karena sifatnya yang tidak bermoral ini, allah yang semacam ini tidak bisa merasakan betapa buruk dan kejinya penderitaan berat yang dialami Ayub atas izin dan kehendaknya!<br /><br />Kesimpulannya: memandang suatu penderitaan berat sebagai sebuah ujian iman dan kesalehan yang dikenakan allah terhadap seorang mukmin memerlukan suatu konsep tentang allah yang tidak bermoral dan suka bertindak sewenang-wenang. Betapa tidak! Ayub telah menjadi seorang korban dari allah yang suka bermain-main dengan Iblis sebagai simbolisasi kejahatan dan kondisi kehidupan tanpa moralitas! Tentu seorang mukmin bisa menjadi lebih dewasa lewat kesulitan-kesulitan yang dialami dalam kehidupannya. Kita tentu setuju dengan hal ini. Tetapi apa yang dialami Ayub bukanlah sekedar suatu kesulitan yang bisa makin mendewasakan dirinya, tetapi sebuah bencana, deraan dan kehancuran total kehidupan yang didatangkan allah yang semula disembahnya!<br /><br />Anda yang mengenal Kitab Ayub mungkin akan berkeberatan terhadap kesimpulan di atas, dengan menyatakan bahwa pada akhirnya allah tokh memulihkan kesehatan Ayub dan mengembalikan dua kali lipat semua kekayaan yang pernah dimilikinya, termasuk memberikannya kembali sepuluh anak (42:7-17). Keberatan semacam ini dapat dijawab dengan dua poin berikut. Pertama, tuturan Ayub 42:7-17 ini tidak bisa dijadikan sebagai suatu alasan untuk mengabaikan dan menihilkan penderitaan berat Ayub dan perlawanannya sebelumnya kepada allah ketika dia menderita sakit luar biasa dan telah kehilangan segalanya. Sebuah tindak malpraktek seorang dokter tetap harus membuat dirinya dituntut secara hukum kendatipun si pasien yang menjadi korban kemudian tertolong! Kedua, penulis Kitab Ayub mau mempertahankan sebuah teodise bahwa allah yang maha kuasa, maha berdaulat dan maha perkasa atas segenap ciptaannya berhak menimpakan penderitaan kepada Ayub (38:1-41:25) karena penderitaan berat dari allah dimaksudkan allah untuk mendidik Ayub, dan Ayub dipaksa harus bisa menerima tindakan allah ini (42:1-7). Bagi si penulis Kitab Ayub, problem teodise tidak ada, sebab allah yang mahakuasa berhak berbuat apa saja, termasuk bertindak keji, terhadap semua ciptaannya, termasuk terhadap manusia yang beriman kepadanya. Jika memang demikian, ini adalah suatu teodise yang sangat mengerikan dan gagal mempertahankan sifat maha kasih allah, dan sebaiknya jika suatu agama mengajarkan teodise semacam ini, orang yang berpikiran sehat tidak perlu memeluk agama jenis ini.<br /><br /><br /><br /></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-45864697868567237342010-03-29T00:15:00.009+07:002010-03-29T00:43:35.424+07:00Problem Teodise (2): Penderitaan Muncul Karena Allah Bersembunyi!<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwfPnBA9Hm8rz4tqdwlIbBFT-V6XNZ0rHluyCMVcBCzU4Od2h9d6JBoFDwtrS8MdHnQEHcGVVFzMLlqYcffO2f4cMBSODYtVzXXSm6nZvqWGRv2f6RqmXpWs1wweRHhPLJW0OWjADUUVs/s1600/240px-Elie_Wiesel_Jan+2009.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 240px; height: 284px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwfPnBA9Hm8rz4tqdwlIbBFT-V6XNZ0rHluyCMVcBCzU4Od2h9d6JBoFDwtrS8MdHnQEHcGVVFzMLlqYcffO2f4cMBSODYtVzXXSm6nZvqWGRv2f6RqmXpWs1wweRHhPLJW0OWjADUUVs/s320/240px-Elie_Wiesel_Jan+2009.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5453737044246596370" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">Elie (=Eliezer) Wiesel, novelis termashyur, di bln Januari 2009. </span><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">Kata Wiesel, ketika jutaan orang Yahudi dibunuh di kamp-kamp konsentrasi Nazi </span><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">dalam era PD II, Allah Yahudi telah ikut terbunuh sehingga bangsa Yahudi disengsarakan </span><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">tanpa Allah penolong</span><br /></div><br /><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >Sebuah jalan keluar lain dari problem teodise dapat ditemukan dalam gambaran Alkitab tentang Allah yang <span style="font-style: italic;">menyembunyikan diri </span>dari kehidupan orang saleh. Selama Allah masih bersama dengan orang saleh, Allah berfungsi sebagai suatu benteng atau sebuah perisai yang melindungi mereka dari segala penderitaan, penganiayaan dan semua musuh (lihat antara lain 2 Samuel 22:2-4; Mazmur 18:3-4; Yeremia 16:19a). Jika Allah menyingkir dari orang saleh, maka orang saleh ini rentan diserang oleh kekuatan-kekuatan jahat kodrati maupun adikodrati, yang membuat mereka tersiksa dan teraniaya.<br /><br />Dari kisah fiktif dalam Perjanjian Lama tentang Ayub yang sangat saleh, kita tahu bahwa penderitaan menerpa Ayub tak habis-habisnya ketika Allah <span style="font-style: italic;">menyingkir </span>dari kehidupan Ayub dan Setan dibiarkan Allah berkuasa atas dirinya (Ayub 1:12; 2:6). Selama Ayub masih dalam penjagaan dan perlindungan allah, Ayub sukses besar dan makmur dalam segala segi kehidupannya. Ketika Allah menarik diri dan menjauh dari Ayub, sekian azab menghancurkan seluruh kehidupan Ayub.<br /><br />Penulis Mazmur 89:47-52 dengan berat mengeluh bahwa dia menerima berbagai macam penghinaan dari segala bangsa ketika Allah <span style="font-style: italic;">bersembunyi </span>dari dirinya terus-menerus. Penulis Mazmur 10:1 bertanya kepada Allah, “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, Ya TUHAN, dan <span style="font-style: italic;">menyembunyikan </span>diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?”<br /><br />Dalam suatu momen kegiatannya selaku seorang nabi Allah, nabi Yesaya sampai menyatakan bahwa Allah telah <span style="font-style: italic;">menyembunyikan</span> diri-Nya (Yesaya 45:15), mungkin karena bangsa Israel tidak bisa melihat bagaimana Allah mereka bekerja, sehingga mereka tidak bisa melihat tangan Allah Yang Maha Esa (45:5, 14) sedang menggerakkan Koresh, Raja Persia, sebagai Mesias pilihan Allah sendiri (44:28; 45:1, 13).<br /><br />Menurut penulis Injil Markus, ketika Yesus menanggung azab di kayu salib, di manakah Allah yang Yesus biasa panggil dengan akrab sebagai sang Abba, sang Bapa? Menurut penulis injil ini, ketika Yesus mengerang kesakitan di kayu salib, Allah telah meninggalkan dirinya, sehingga Yesus pun menderita sendirian. Dalam kesakitannya, Yesus berteriak keras kepada Allahnya ini, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, yang artinya, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Markus 15:34). Yesus sengsara di kayu salib <span style="font-style: italic;">karena Allah telah menyingkir darinya</span>. Seandainya Allah masih bersama Yesus, dia tidak akan mati disalibkan. Yesus di sini, dalam tuturan Markus, terperangkap dalam sebuah problem teodise: Mengapa Allah meninggalkan orang yang saleh seperti dirinya ini sehingga dia menderita?<br /><br />Pada waktu bangsa Yahudi dianiaya dan dibantai oleh rezim Hitler yang berkuasa atas negeri Jerman dari 1933 sampai 1945 selama Perang Dunia II, orang Yahudi bergumul amat sangat di mana Allah mereka berada. Sekian jawaban diberikan oleh bangsa Yahudi, oleh para ahli teologi mereka. Kita kenal Elie Wiesel. Dia adalah seorang Yahudi yang selamat dari Holokaus setelah masuk ke kamp-kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, Buna, Buchenwald dan Gleiwitz, yang kemudian termashyur di dunia melalui novel-novelnya, khususnya melalui satu novel pertamanya tentang Holokaus yang berjudul <span style="font-style: italic;">Night</span>, dan seorang peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada 1986. Apa kata Wiesel tentang di mana Allah berada ketika jutaan orang Yahudi dianiaya, disengsarakan dan dibunuh oleh Nazi? Dalam suatu bagian novel <span style="font-style: italic;">Night</span> ini, Wiesel bukan hanya menyatakan Allah tersembunyi, tetapi Allah sungguh-sungguh <span style="font-style: italic;">telah terbunuh.</span> Tulisnya, “Tak kan pernah kulupakan momen-momen itu yang telah <span style="font-style: italic;">membunuh Allahku</span> dan jiwaku dan mengubah mimpi-mimpiku menjadi debu.” Ya, bagi Wiesel, Allah telah tiada, karena terbunuh, sehingga bangsa Yahudi menderita azab besar tanpa penolong!<br /><br />Dengan menyatakan bahwa Allah tidak hadir, bahwa Allah menjauh, bahwa Allah bersembunyi, bahwa Allah telah terbunuh, maka penderitaan yang menimpa orang-orang saleh jelas tidak dapat diasalkan pada diri Allah ini. Penderitaan dialami orang saleh bukan karena Allah yang menimpakannya kepada mereka. Bukan! Tetapi karena ada kekuatan-kekuatan lain yang dengan bebasnya menyengsarakan umat, tanpa bisa dihentikan oleh Allah karena Allah memang sedang tidak hadir di tempat ketika penderitaan menerjang umat Allah. Apakah argumen semacam ini berhasil mengatasi problem teodise, dan tidak menimbulkan sejumlah problem lain? Hemat saya, tidak, berdasarkan beberapa alasan berikut.<br /><br />Pertama, kalau Allah bisa tersembunyi, bisa tidak hadir, bisa tiada, maka hilanglah sifat maha hadir dan maha penolong Allah yang sebetulnya ingin dipertahankan dengan kuat dalam teodise.<br /><br />Kedua, kalau Allah bisa tidak hadir, dan sebagai ganti diri-Nya ada kekuatan-kekuatan lain yang jahat, yang sedang berkuasa atas diri umat Allah, maka hilanglah juga sifat maha kuasa Allah.<br /><br />Ketiga, kalau karena Allah bersembunyi umat menjadi sengsara atau rentan terhadap serangan penderitaan, maka Allah yang semacam ini dapat diibaratkan sebagai seorang ayah yang tidak bertanggungjawab, tega hati dan pengecut, yang lari bersembunyi ketika anak-anaknya sedang atau akan dianiaya orang-orang jahat. Konsep tentang Allah yang semacam ini sama sekali tidak bisa diperdamaikan dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial yang mau ditegakkan dalam suatu masyarakat yang bertanggungjawab.<br /><br />Keempat, orang ateis adalah orang yang menyatakan bahwa Allah tidak ada. Kalaupun para agamawan berpendapat bahwa Allah memang ada pada diri-Nya sendiri, orang ateis tidak memerlukan Allah ini sebagai sang pelindung maha kuasa mereka. Dari 6, 78 milyar penduduk dunia dalam dekade pertama abad XXI ini, 1,1 milyar adalah orang ateis. Apakah semua orang ateis dalam jumlah sangat besar ini dengan demikian tidak terlindung dan karenanya akan selalu didera kekuatan-kekuatan jahat sehingga mereka sengsara? Kenyataannya tokh tidak demikian! Artinya: ketidakhadiran Allah tidak otomatis akan menimbulkan penderitaan bagi manusia. Manusia pada dirinya sendiri dan melalui sains dan teknologi dapat melindungi diri dari banyak bentuk penderitaan. Ketidakhadiran Allah malah bisa membuat orang makin mandiri, makin dewasa dan makin tegar dalam menjalani kehidupan dalam dunia ini.<br /><br />Kelima, jika seorang saleh menginginkan kehidupannya terbebas dari segala bentuk penderitaan dengan terus-menerus meminta Allah tetap hadir untuk melindungi dirinya, maka bisa terjadi si orang saleh ini akan menolak semua bentuk perlindungan dan pertolongan yang dapat diupayakan manusia melalui sains dan teknologi modern. Banyak sekali orang saleh di dunia ini dengan fanatik (baca: dengan bodoh) menolak pertolongan medis apapun karena mereka hanya bergantung pada Allah mereka melalui doa-doa dan ritual-ritual mereka untuk kesembuhan penyakit mereka atau penyakit sanak famili mereka. Akibatnya, ya dari antara mereka atau dari antara sanak famili mereka banyak yang mati karena “iman” yang bodoh dan tidak cerdas! Supaya hal buruk ini tidak terjadi, orang beriman perlu menyadari dan menerima bahwa “iman kepada Tuhan” itu memiliki batas-batas yang tidak boleh dilewati, jika mereka menginginkan kehidupan yang sehat.<br /><br />Keenam, ihwal hadir atau tidak hadirnya Allah sebetulnya bukan ditentukan oleh diri Allah itu sendiri, tetapi ditentukan sendiri oleh manusia secara subjektif dalam teologi yang dikonsepnya sendiri. Bisa terjadi dalam suatu bencana dahsyat, seorang mukmin akan mengklaim bahwa dia merasa Allah ada di tengah kehidupannya, sementara seorang mukmin lainnya akan menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan dirinya. Jadi, hemat saya, daripada memperdebatkan apakah Allah hadir atau Allah absen di dalam suatu kesulitan yang sedang menimpa manusia, jauh lebih konstruktif jika kita semua mau bertindak secara rasional untuk mengatasi berbagai macam penderitaan yang sedang menimpa umat manusia melalui berbagai macam kerja nyata kita di dalam masyarakat.<br /><br />Ketujuh, jika kehadiran dan penyertaan Allah dipercaya sebagai sumber semua kemakmuran, kesenangan dan keberhasilan, maka konsep teologis semacam ini bisa berbahaya buat kehidupan etis manusia. Bahayanya di mana? Bahayanya: orang bisa berpura-pura melupakan bahwa harta kekayaan yang mereka miliki sebenarnya bersumber dari tindak pidana korupsi atau perbuatan melanggar hukum lainnya; lalu, sebagai gantinya, mereka akan mengklaim bahwa semua harta kekayaan dan sukses mereka itu diperoleh sebagai berkat-berkat Allah yang maha baik dan maha hadir dalam kehidupan mereka. Jadi, di sini teologi dibuat untuk melegitimasi perbuatan tidak bermoral.<br /><br />Itulah tujuh masalah yang muncul jika problem teodise mau diselesaikan dengan konsep tentang Allah yang tersembunyi atau tidak hadir.</span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-48022044866480609982010-03-21T15:30:00.010+07:002011-07-06T21:33:45.349+07:00Problem Teodise (1): Penderitaan Berasal dari Setan<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXHZdCfQJmCDz0vTgZMrDT3B2px4zEAflwTKpYH9d5aoQu6gEB8eRJV5b0yLgpgsZU-TKQGNbFg_uYL9xFtUNg-rZumzkq5IC6wFLPzAuwQ8MlQuj-5ka_tSqOtYhCFWOwfHS89FU6PE0/s1600-h/Satan+and+God+---+mondo.godisdoppel16_small.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 182px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXHZdCfQJmCDz0vTgZMrDT3B2px4zEAflwTKpYH9d5aoQu6gEB8eRJV5b0yLgpgsZU-TKQGNbFg_uYL9xFtUNg-rZumzkq5IC6wFLPzAuwQ8MlQuj-5ka_tSqOtYhCFWOwfHS89FU6PE0/s320/Satan+and+God+---+mondo.godisdoppel16_small.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5451001985095712258" border="0" /></a><span style="color: rgb(255, 0, 0);font-family:georgia;font-size:100%;" ><span style="font-style: italic;">Setan Versus Allah, Ataukah Setan Dan Allah?</span></span><br /></div><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" ><br />Saya mau menyoroti teodise dalam beberapa tulisan. Saya mulai dengan pengertian teodise. Istilah </span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >“</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >teodise</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >”</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" > dibentuk dari dua kata Yunani: <span style="font-style: italic;">theos </span>(allah) dan <span style="font-style: italic;">dikē </span>(keadilan). Jadi, teodise adalah doktrin tentang keadilan allah.<br /><br />Orang yang menganut teodise mempercayai bahwa allah yang mahakuasa, maha pengasih dan maha penyayang dan maha adil, akan senantiasa berbuat adil dan penuh cinta kepada kaum mukmin yang percaya total kepadanya. Bagi mereka, menyembah allah yang semacam ini akan menyebabkan mereka terhindar dari keburukan, nestapa, penderitaan dan bencana.<br /><br />Tetapi... keyakinan mereka ini bertabrakan dengan kenyataan kehidupan yang mereka lihat di sekitar mereka dan di dalam kehidupan mereka sendiri. Ternyata ada banyak penderitaan dialami orang saleh. Malah orang jahat bertambah makmur dalam kehidupan mereka. Kenyataan kehidupan yang semacam ini membuat mereka bergumul, dan lahirlah dari pergumulan mereka ini apa yang disebut <span style="font-style: italic;">the theodicy problem</span>, problem teodise: Bagaimana allah masih tetap bisa dipercayai sebagai allah yang maha pengasih dan penyayang, maha kuasa dan maha adil, sementara kenyataan kehidupan sangat bertentangan dengan apa yang mereka harapkan diberikan allah ini kepada dunia dan khususnya kepada orang-orang saleh.<br /><br />Problem teodise hanya muncul dalam agama-agama monoteistik yang tidak memberi tempat kepada satu (atau lebih) hakikat adikodrati lainnya di samping allah yang maha esa dan maha kuasa. Konsep keesaan allah atau tawhid ini dipertahankan kuat-kuat ketika suatu umat beragama monoteistik tidak sedang menghadapi penganiayaan atau penderitaan berat yang ditimpakan oleh suatu pemerintahan dunia yang jahat dan kejam.<br /><br />Tetapi konsep keesaan tuhan atau tawhid semacam ini diubah secara radikal ketika umat sedang menghadapi suatu penganiayaan dan deraan berat yang tak tertahankan, yang ditimpakan atas mereka oleh suatu pemerintahan lalim yang sedang berkuasa di dunia. Konsep keesaan allah atau tawhid ini, dalam situasi penderitaan berat semacam ini, diubah oleh umat minimal menjadi konsep <span style="font-style: italic;">diteisme dualistik kosmik</span>. Dalam konsep ini dibayangkan ada suatu kekuatan lain adikodrati, di samping allah yang maha esa, yang sedang berkuasa di dalam dunia ini, yang sedang melawan allah yang maha esa. Dengan demikian, ada dua penguasa adikodrati dalam kosmos yang sedang bertarung satu sama lain, penguasa jahat melawan penguasa baik. Konsep ini disebut diteisme dualistik kosmik.<br /><br />Berbagai umat beragama memberi nama berbeda-beda kepada penguasa adikodrati jahat lainnya ini yang sedang melawan tuhan yang maha kuasa. Umat agama-agama monoteistik umumnya memberi nama Setan atau Iblis kepada hakikat adikodrati tandingan allah yang maha kuasa ini. Umat Hindu memberinya nama Siva. Para penganut Zoroastrianisme memberinya nama Ahriman, yang terpersonifikasi sebagai Angra Mainyu, sang ilah jahat yang sedang melawan sang ilah baik yang diberi nama Spenta Mainyu (mediator allah yang maha kuasa, yang diberi nama Ahura Mazda). Dalam tradisi biblis Kristen, dikenal nama Antikristus sebagai sang penguasa jahat yang sedang melawan Yesus Kristus.<br /><br />Nah, dengan diajukannya konsep diteisme dualistik kosmik ini (bahwa di dalam kosmos atau jagat raya ini terdapat dua kekuatan adikodrati yang sedang bertarung satu sama lain) sebagian problem teodise dipecahkan. Ketika orang bertanya, mengapa ada penderitaan dalam dunia ini, mengapa orang saleh dianiaya, sebuah jawaban sudah tersedia: penderitaan itu ada karena ada sang penguasa jahat di dalam kosmos ini yang menjadi sumber semua penderitaan manusia.<br /><br />Jadi, penderitaan dan kesengsaraan timbul bukan karena perbuatan allah yang maha kuasa, maha kasih dan maha penyayang, melainkan karena perbuatan keji sang penguasa jahat tandingan allah yang maha baik. Dengan demikian, sifat maha baik dan maha kasih allah berhasil dipertahankan. Tetapi, pada pihak lainnya, muncul sebuah problem lain: jika memang ada satu (atau lebih) penguasa jahat dalam kosmos ini, yang bisa melawan dan menandingi allah, maka tawhid dan sifat maha kuasa allah terongrong bahkan ditiadakan. Ya, itulah memang akibat dari diajukannya konsep diteisme dualistik kosmik. Masalah ini tentu sudah dipikirkan oleh para pencetus konsep diteisme dualistik kosmik ini. Mereka sudah memiliki jalan keluarnya.<br /><br />Dalam keyakinan para pendukung diteisme dualistik kosmik, sang penguasa supernatural jahat itu hanya berkuasa <span style="font-style: italic;">sementara</span> dalam dunia ini. Sang penguasa adikodrati yang kejam ini tidak dibiarkan allah yang maha kuasa dan maha baik untuk berkuasa selamanya dalam kosmos ini. Pada <span style="font-style: italic;">akhir zaman</span>, ketika dunia dan sejarah manusia berakhir, sang penguasa jahat ini akan dikalahkan oleh allah yang maha kuasa dan maha baik dalam suatu pertempuran kosmik di kawasan adikodrati. Bukan hanya dikalahkan, tetapi juga sang penguasa jahat ini beserta segenap antek insaninya dalam dunia, akan mengalami pembalasan allah habis-habisan, minimal setimpal dengan kejahatan dan kekejian yang mereka pernah lakukan terhadap umat allah. Mereka akan dibelenggu, dirantai dan dipenjarakan dalam neraka kekal sampai selamanya. Pada sisi lain, suatu <span style="font-style: italic;">dunia baru</span> diciptakan allah yang maha baik dan maha adil untuk umat yang pernah disengsarakan dan didera sang penguasa jahat dan antek-antek insaninya.<br /><br />Para pengonsep diteisme dualistik kosmik berbeda pandangan ketika mereka membayangkan bentuk dunia baru ini. Ada yang membayangkan dunia baru ini berada di luar sejarah, di kawasan supernatural, dan sama sekali tidak ada kaitannya lagi dengan dunia lama. Pandangan ini paling umum dipegang.<br /><br />Namun ada juga yang memandang dunia baru ini sebagai suatu kelanjutan dan penyempurnaan dunia lama di kawasan kodrati, dunia baru yang sudah dibersihkan dari segala kejahatan dan penderitaan yang pernah dilakukan dan didatangkan sang penguasa jahat yang kini sudah dikalahkan dan sedang dihukum selamanya di kawasan adikodrati.<br /><br />Bagaimanapun juga, kedua sudut pandang ini sama-sama meyakini bahwa dunia yang sekarang didiami manusia sudah tidak bisa diharapkan lagi, sehingga harus diganti dengan dunia yang sempurna sepenuhnya, yang akan didatangkan allah yang maha kuasa dan maha pengasih.<br /><br />Nah, semua konsep yang sudah diulas di atas disebut <span style="font-style: italic;">apokaliptisisme</span>. Kata ini berasal dari kata Yunani “apokalipsis”, yang artinya “wahyu” atau “penyingkapan ilahi”. Disebut demikian karena semua hal yang akan terjadi di akhir zaman, mulai dari ihwal kapan akhir zaman tiba, ihwal dikalahkannya segala penguasa jahat di dalam suatu pertempuran kosmik sampai pada ihwal pembalasan allah dan kedatangan dunia baru, diketahui umat hanya lewat wahyu atau penyingkapan ilahi yang disampaikan oleh allah sendiri atau oleh seorang malaikat perantara kepada seorang nabi yang berasal dari antara umat.<br /><br />Ya, apokaliptisisme bisa menyelesaikan problem teodise dengan memunculkan figur Setan atau Iblis atau Antikristus atau Ahriman atau Angra Mainyu sebagai biang keladi semua penderitaan dalam dunia ini, sambil tetap mempertahankan sifat maha adil dan maha baik allah, dan juga dengan memulihkan kembali kemahakuasaan allah pada akhir zaman. Tetapi sekian problem lainnya juga muncul, sebagai berikut.<br /><br />Pertama, diteisme dualistik kosmik atau apokaliptisisme muncul dari <span style="font-style: italic;">pesimisme</span> atau rasa putus asa manusia terhadap keadaan dunia masa kini. Menurut pandangan apokaliptis, dunia sekarang ini, karena sedang dikuasai Setan atau Iblis melalui antek-antek insaninya, sudah sedemikian jahat tak tertolong, sehingga harus dilenyapkan sama sekali dan diganti dengan suatu dunia baru di luar sejarah atau pun di dalam sejarah. Pesimisme atau rasa putus asa umat beragama semacam ini bertentangan dengan usaha sebagian besar umat manusia lainnya, yang terus bekerja dengan penuh pengharapan untuk membuat dunia kita sekarang ini makin lebih baik lagi dari waktu ke waktu melalui kerja keras dan kerja cerdas di dunia sains dan teknologi dan melalui berbagai usaha global lainnya untuk menjadikan planet Bumi ini tempat yang makin baik untuk semua makhluk hidup.<br /><br />Kedua, apokaliptisisme mendambakan dan menjanjikan suatu kehidupan yang seluruhnya adil, baik dan sempurna bagi manusia, entah kehidupan semacam ini dialami dalam dunia ini ataupun akan dialami nanti ketika akhir zaman tiba. Jelas, ini adalah suatu visi yang utopis dan tidak realistik. Dunia yang sempurna semacam ini <span style="font-style: italic;">tidak akan pernah ada</span> bagi manusia kapanpun juga. Dalam realitas kehidupan, kapanpun juga manusia tetap akan hidup dalam kenyataan-kenyataan gabungan antara kebaikan dan kejahatan, keberhasilan dan kegagalan, suka dan duka, cinta dan kebencian, dan seterusnya. Kenyataan-kenyataan gabungan ini adalah kenyataan-kenyataan kodrati, yang terstruktur dalam tata kosmik, dan akan tetap ada sampai selamanya. Ketimbang terhanyut dalam suatu visi eskapisme yang utopis dan tidak realistik, jauh lebih baik jika kita membina diri kita dan diri manusia umumnya untuk dapat hidup dengan lebih baik, lebih berhasil, lebih bersukacita dan lebih menyayangi, dari saat ke saat, sambil tetap tabah ketika menghadapi kenyataan-kenyataan lain yang membuat manusia menderita.<br /><br />Ketiga, apokaliptisisme mendorong kaum mukmin untuk <span style="font-style: italic;">cepat-cepat </span>masuk ke dalam suatu dunia sempurna yang didalamnya Iblis atau Setan atau Antikristus sudah tidak ada atau sudah dikalahkan total, karena mereka sudah tidak tahan hidup dalam dunia sekarang ini, yang tidak memenuhi visi ideologis atau angan-angan utopis religius mereka sendiri. Dorongan ini, kita tahu, banyak kali memunculkan tindakan-tindakan kekerasan seperti terorisme yang bertujuan, pada titik ekstrimnya, untuk melalui perang nuklir sejagat melenyapkan planet Bumi ini yang mereka bayangkan sedang dikuasai si Setan Besar Amerika Serikat atau si Setan Besar Arab Saudi, misalnya.<br /><br />Keempat, apokaliptisisme sebetulnya mengajarkan kaum mukmin untuk <span style="font-style: italic;">terus membenci </span>orang-orang lain yang menyengsarakan mereka, dan terus menyumpahi mereka untuk segera mati dan masuk neraka sebagai bentuk penghukuman allah atas mereka yang seadil-adilnya. Tentu kita bisa memaklumi kalau orang tidak bisa menyetujui atau membenci orang-orang yang berlaku jahat kepada mereka. Kita juga bisa memahami kalau orang menginginkan orang jahat dihukum seberat-beratnya demi keadilan dan demi menimbulkan efek jera pada semua kriminal. Tetapi, suatu ajaran agama yang terus-menerus membuahkan kebencian dan amarah dalam diri kaum mukmin bukanlah ajaran agama yang baik dan sehat, apalagi jika ajaran agama ini membentuk kaum mukmin untuk baru terpuaskan jika dendam mereka kepada orang lain terbalaskan di akhirat, yakni ketika orang jahat dimasukkan ke dalam neraka dan mereka, sebagai orang baik, dimasukkan ke dalam surga.<br /><br />Bukankah ajaran agama yang baik dan sehat adalah ajaran yang membentuk kaum mukmin untuk bisa memaafkan orang-orang yang bersalah sekalipun orang-orang yang bersalah ini telah berlaku sangat jahat terhadap mereka? Selain itu, hati yang terus diisi dengan amarah dan dendam dan sumpah akan membuat manusia tidak pernah bisa hidup sejahtera di dalam dunia ini, dan malah sebaliknya akan membuatnya sakit jiwa dan sakit pikiran terus-menerus.<br /><br />Kelima, para penganut apokaliptisisme melihat Setan atau Iblis, sebagai makhluk rohani yang tidak kasat mata, sebagai sumber semua kejahatan dan penderitaan manusia. Sudut pandang semacam ini membuat mereka gagal atau tidak mau melihat bahwa semua penderitaan dalam dunia ini <span style="font-style: italic;">dapat dicari sebab-sebabnya pada hal-hal duniawi</span>, <span style="font-style: italic;">kodrati</span> <span style="font-style: italic;">dan manusiawi</span>, misalnya karena cara hidup yang salah, karena kondisi alam yang buruk, karena bencana alam, atau karena sistem keamanan masyarakat yang tidak dapat diandalkan, atau karena sistem hukum dan sistem ekonomi serta sistem politik yang tidak baik dan tidak adil dalam suatu negara. Apokaliptisisme mencari keselamatan di dalam dunia yang kiamat, bukan di dalam dunia sekarang ini, yang di dalamnya semua sistem penyelenggara kehidupan perlu diperbaiki sehingga menjadi lebih baik bagi semua orang.<br /><br />Terakhir, keenam, apokaliptisisme menjanjikan penyelesaian suatu perkara kejahatan duniawi di luar sejarah dan di luar dunia <span style="font-style: italic;">yang belum tentu akan pernah ada</span>. Karena terus-menerus menunggu akhir zaman yang diberitakan akan segera terjadi, namun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, kaum mukmin yang dibesarkan dalam pemikiran apokaliptisisme menjadi lupa bahwa sebetulnya penyelesaian atas masalah kejahatan dan penderitaan dalam dunia ini <span style="font-style: italic;">dapat diperoleh dalam dunia ini sekarang ini dengan adil</span>, misalnya melalui pengadilan negara atau pengadilan internasional yang sekarang ini berpusat di Den Haag, Belanda. Apokaliptisisme lahir dalam zaman kuno ketika sistem hukum internasional belum ada, lembaga pengadilan internasional atas kejahatan kemanusiaan di aras global belum dibangun, dan PBB belum didirikan, ketika ada sangat banyak penyakit yang belum dapat diobati, ketika sains dan teknologi belum semaju sekarang ini yang telah terbukti banyak membantu manusia dalam meringankan atau malah mengalahkan penderitaan.</span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-56122287475781715582010-03-10T00:06:00.005+07:002010-03-10T01:04:48.444+07:00Manajemen Pikiran (8)<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix9UU0YZVFeZgjKL8u2gkQAQI4g9UtoBqbwoXF_f-gx9n9jH7WqpKje01fjoEkENQwqNNmj1mWjg553wkmn9RN4sbwtJMLiRSzdn4OGZJ4KXVr0PaGokBRntG56hzXN0i8Sgq0nv-xFz4/s1600-h/human_brain_as_belief_engine.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix9UU0YZVFeZgjKL8u2gkQAQI4g9UtoBqbwoXF_f-gx9n9jH7WqpKje01fjoEkENQwqNNmj1mWjg553wkmn9RN4sbwtJMLiRSzdn4OGZJ4KXVr0PaGokBRntG56hzXN0i8Sgq0nv-xFz4/s320/human_brain_as_belief_engine.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5446694210410184770" border="0" /></a><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-style: italic; font-family: georgia;font-size:100%;" >human brain as belief engine</span><span style="font-family: georgia;font-size:100%;" ><br /></span></div><span style="font-family: georgia;font-size:100%;" ><br />Dalam tulisan tentang manajemen pikiran ini, baiklah perhatian kita arahkan pada dua orang tua zaman dulu yang umumnya sudah kita kenal, yakni Eleazar dan Sokrates. Dari keduanya kita dapat menarik pelajaran bagaimana kita dapat bertahan dengan kesatria ketika kita menghadapi ancaman penderitaan dan kematian, melalui suatu manajemen pikiran.<br /><br /></span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >Kita mulai dengan dua kitab yang ada dalam Deuterokanonika Gereja Katolik Roma, yakni kitab 2 dan 4 Makabe. Kitab 2 Mak</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >abe adalah sebuah dokumen martirologi Yahudi yang ditulis sekitar tahun 125 atau 124 SM, dengan mengambil Pemberontakan Makabe (167-142 SM) melawan raja lalim dari Siria, Antiokhus IV Epifanes, sebagai latar historisnya.<br /><br />Dalam 2 Makabe 6:18-7:42, dan juga dalam 4 Makabe 5-18, dikisahkan tentang ke</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >gigihan seorang tua bijaksana dari kalangan imamat yang bernama Eleazar dan tujuh lelaki bersaudara bersama ibu mereka yang sudah tua dalam melawan sang raja yang sedang melancarkan helenisasi besar-besaran terhadap bangsa Yahudi dan agama serta kebudayaan mereka. Sang raja lalim ini ingin memaksa orang Yahudi meninggalkan kesetiaan mereka terhadap Taurat Yahudi, dan mengadopsi kebudayaan dan gaya hidup Yunani, antara lain ikut makan daging babi dan segala persembahan yang telah diberikan kepada berhala-berhala Yunani serta menyembah sujud pada patung Dewa Dyonisus atau Zeus. Jika mereka melawan kemauan sang raja, mereka akan disiksa dengan sangat kejam sampai mati.<br /><br />Pada kesempatan ini baik kalau kita mengetahui apa sebabnya Eleazar (90 tahun) dapat dengan gigih sampai akhir hayatnya, di hari tuanya, melawan Antiokhus IV Epifanes. Filosofi apa yang dia pegang sehingga dia begitu tangguh? Bagaimana dia me-<span style="font-style: italic;">manage</span> pikirannya sendiri?<br /><br />Dalam 2 Makabe 6:18-7:42, Eleazar dengan sangat mengesankan memberi penjelasan tentang keputusannya untuk menerima kematian sebagai akibat perlawanannya yang gigih terhadap kemauan raja lalim itu (6:23-28). Keputusan Eleazar ini disebut sebagai suatu </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" ><span style="font-style: italic;">logismos asteios </span></span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >atau </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >“</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >nalar kesatria</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >” </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" > (6:23); dan dalam 4 Makabe (1:1; 6:31; 7:4, 16, 21; 13:1; 16:1; 18:1) keputusan ini diistilahkan sebagai </span><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Georgia; panose-1:2 4 5 2 5 4 5 2 3 3; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Georgia","serif"; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Georgia; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Georgia; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;} </style> <![endif]--><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" ><span style="font-style: italic;"> euseb</span></span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" ><span style="font-style: italic;">ēs </span></span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" ><span style="font-style: italic;">logismos</span> atau </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >“</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >nalar</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" > </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >saleh</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >”</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >. Ditegaskan di situ bahwa nalar semacam ini harus mengatur dan mengendalikan baik emosi maupun penderitaan fisik dan keadaan sekarat, sebab, seperti ditulis dalam 4 Makabe 13:3, nalar semacam inilah yang dipuji di hadapan Allah. Jadi, kita paham bahwa untuk mencapai suatu kehidupan yang gigih di tengah penderitaan, nalar atau </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" ><span style="font-style: italic;">logismos </span></span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >harus memegang kendali terhadap emosi, rasa takut dan kecengengan manusia.<br /><br />Bukan kebetulan juga kalau penulis 2 Makkabe menyejajarkan Eleazar dengan Sokrates (70 tahun) yang juga dengan kesatria menerima kematian dengan meminum racun sebagai hukuman baginya yang ditetapkan pengadilan negara yang digelar di Atena pada tahun 399 SM. Sejumlah pakar melihat ada kesejajaran yang disengaja dalam 2 Makabe 6:18-31 antara Sokrates dan Eleazar. Menurut </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >Jonathan A Goldstein</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >, </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >“</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >Tidak ada orang Yunani terpelajar yang akan luput memperhatikan keserupaan antara Eleazar dan Sokrates</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >.”</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" ><br /><br />Dua hero ini, Sokrates dan Eleazar, keduanya sudah gaek, dan mereka memandang sisa kehidupan mereka dapat dengan mudah diambil dari mereka (<span style="font-style: italic;">Apologi</span> 38c; 2 Makabe 6:18, 23-25). Karena itu, rasa takut terhadap kematian tidak dapat membuat mereka menyangkali pendapat dan tindakan mereka (<span style="font-style: italic;">Apologi</span> 28b-d). Sikap mereka ini sejalan dengan sikap mereka dalam kehidupan mereka sebelumnya, sehingga kalau mereka menolak melawan kelaliman akan tampaklah bahwa mereka mengkhianati diri mereka sendiri (<span style="font-style: italic;">Apologi </span>28d-30c, 34b-35b; 2 Makabe 6:22). Karena itu keduanya menolak alternatif </span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >“</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >yang lebih mudah</span><span style="font-family: georgia;font-family:georgia;font-size:100%;" >”</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" ><span style="font-family: georgia;"> ketika mereka berhadapan dengan ancaman hukuman mati (</span><span style="font-style: italic; font-family: georgia;">Apologi</span><span style="font-family: georgia;"> 36b-38b; </span><span style="font-style: italic; font-family: georgia;">Krito</span><span style="font-family: georgia;">; 2 Makabe 6:21-28). Keduanya berpandangan bahwa adalah lebih baik jika mereka pergi ke dunia orang mati demi membela hukum (</span><span style="font-style: italic; font-family: georgia;">Krito</span><span style="font-family: georgia;"> 54b-d; 2 Makabe 6:23). Keduanya berpendapat bahwa meskipun orang dapat luput dari penghukuman oleh manusia, orang tidak dapat luput dari penghukuman ilahi atas perbuatan tidak adil dan jahat yang dilakukannya (</span><span style="font-style: italic; font-family: georgia;">Apologi </span><span style="font-family: georgia;">39a-b; 2 Makabe 6:26). Baik Sokrates maupun Eleazar percaya penuh pada hakim-hakim adikodrati yang akan mereka temui setelah kematian (</span><span style="font-style: italic; font-family: georgia;">Apologi</span><span style="font-family: georgia;"> 41a; 2 Makabe 6:26). Orang-orang lalim yang mengendalikan nasib mereka merasa diserang oleh pembelaan diri keduanya lalu menjatuhkan hukuman mati bagi keduanya (</span><span style="font-style: italic; font-family: georgia;">Apologi </span><span style="font-family: georgia;">38c; 2 Makabe 6:29), dan kematian mereka dimaksudkan oleh keduanya sebagai peringatan dan contoh agung bagi orang lain, baik pada masa kehidupan mereka maupun bagi generasi selanjutnya (</span><span style="font-style: italic; font-family: georgia;">Faedo</span><span style="font-family: georgia;"> 118; 2 Makabe 6:31).</span><br /><br /><span style="font-family: georgia;">Itulah sekelumit filosofi Eleazar dan Sokrates, yang lebih memilih hidup berprinsip daripada menyerah pada kelaliman karena rasa takut pada kematian. Nalar yang benar membuat orang tidak takut menghadapi penderitaan dan kematian. Dengan me-</span><span style="font-style: italic; font-family: georgia;">manage</span><span style="font-family: georgia;"> pikiran kita, kita dapat menempatkan nalar di atas emosi, rasa takut dan kecengengan manusia, sehingga nalar memegang kendali dan, dengan demikian, kita sanggup berperilaku kesatria ketika sedang menghadapi suatu situasi yang dapat membuat kita pengecut dan ketakutan. Nalar kesatria semacam ini hanya ada pada orang-orang besar pembuat sejarah, bukan pada para pelaku terorisme yang ingin mengakhiri sejarah dunia dengan jalan kekerasan. </span><br /></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-34001945109848032732010-02-26T01:07:00.005+07:002010-02-26T09:55:36.309+07:00Manajemen Pikiran (7)<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil4RdzTMkhlloyDdbDUlsYWtw6xc5foFgnkPcp_2E_OgdW1a_2uRPmOLxZ2mQcNccCK4YCZXg73C-dmLrKzzObsCq4Zq49_RmFQp-HzRSyZhojEYnVSjeIOc3FZFXv2LgzEmjHTio6cPo/s1600-h/white+dove+flying+up+up+up.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 315px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil4RdzTMkhlloyDdbDUlsYWtw6xc5foFgnkPcp_2E_OgdW1a_2uRPmOLxZ2mQcNccCK4YCZXg73C-dmLrKzzObsCq4Zq49_RmFQp-HzRSyZhojEYnVSjeIOc3FZFXv2LgzEmjHTio6cPo/s320/white+dove+flying+up+up+up.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5442246622570083394" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">merpati putih, sebuah simbol kesucian</span><br /></div><br /><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >Orang beraga</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >ma umumnya berpendapat bahwa mereka harus hidup suci sepenuhnya di dalam dunia ini. Dalam keyakinan mereka, mereka harus hidup suci seratus persen di dunia ini supaya nanti menerima pahala surga di alam baka setelah kematian. Atau, mereka mau menjalani suatu kehidupan tak bercacat secara moral di dunia ini karena mereka mau menyenangkan tuhan mereka atau mau menghormati perintah-perintah dan ajaran-ajaran sang nabi junjungan mereka yang dulu telah mendirikan agama yang mereka anut sekarang. Bisa juga, mereka mau menjalani kehidupan tanpa noda dan tanpa kesalahan karena kehidupan semacam ini menjadi suatu citra kehidupan ideal yang serius dikejar untuk dicapai oleh setiap mukmin yang menganut agama yang mereka anut, atau karena mereka ingin menjadi bagian dari kelompok elitis para santo dan santa yang disembah dalam agama mereka.<br /><br />Tentu keinginan orang beragama untuk menjalani suatu kehidupan yang sepenuhnya suci di dalam dunia ini karena alasan-alasan di atas patut dihargai dan dihormati oleh siapapun. Tetapi, masalahnya adalah ketika seorang beragama manapun yang memiliki cita-cita moral tinggi untuk hidup suci seratus persen dalam dunia ini mendapati dirinya gagal hidup suci sepenuhnya, orang ini bisa tidak mau mengampuni dirinya sendiri dan bisa terus-menerus mempersalahkan dirinya sendiri. Para ahli ilmu jiwa menyatakan bahwa orang yang terus-menerus mempersalahkan dirinya sendiri akan menjadi orang yang tidak pernah bisa berbahagia selama kehidupannya, dan akan menjadi orang yang tidak bisa menghasilkan hal-hal yang baik apapun baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakatnya. Bahkan jika perasaan bersalah ini dibiarkan menumpuk dan akhirnya mendera batin dan pikiran orang ini dengan sangat kuat, orang ini akan bisa sakit jiwa.<br /><br />Dampak negatif dan menghancurkan semacam ini, yang bisa menimpa seseorang yang memiliki cita-cita moral tinggi untuk menjadi seorang manusia suci sempurna dalam dunia ini, dapat dihindari jika orang ini mau berpikir bahwa hidup suci seratus persen, dengan tanpa cacat moral, adalah sesuatu yang mustahil diwujudkan dan memang tidak diperlukan terjadi. Mengapa demikian? Minimal ada dua alasan.<br /><br />Pertama, kriteria suci atau tidak sucinya suatu tindakan moral itu relatif, sangat bergantung pada nilai religius dan nilai budaya yang dianut, zaman kehidupan si penganut dan konteks sosial kehidupannya. Agama dan budaya yang berbeda, zaman yang berganti, konteks sosial kehidupan yang berubah, akan menyebabkan kriteria suci dan tidak sucinya suatu perbuatan bergeser, berubah dan berganti. Etika dan moralitas itu selalu kontekstual. “Lain lubuk, lain ikannya”, itu kata peribahasa. Dan juga, “Di mana kita berdiri, di situ langit dijunjung.” Di era globalisasi sekarang ini, dengan ancaman-ancaman global yang harus dihadapi bersama oleh seluruh penduduk dunia, orang di mana-mana mengupayakan dicapainya suatu kesepakatan global mengenai nilai-nilai etis moral yang perlu dipertahankan dan diwujudkan oleh umat manusia sedunia. Kendatipun demikian, nyatanya globalisasi sekarang ini menimbulkan banyak reaksi dan perlawanan dari masyarakat lokal, berupa makin menguatnya nilai-nilai religius dan budaya lokal. <br /><br />Kedua, manusia itu sejak dulu, beragama atau tidak beragama, selalu harus belajar ketika mau mencapai kemajuan. Ketika manusia belajar, manusia harus melakukan uji coba ini dan itu. Ketika melakukan uji coba, manusia kerap mengalami kegagalan. Nah, dari kegagalan ini, manusia dapat belajar sesuatu yang berharga untuk dia dapat melangkah lebih jauh dengan lebih arif dan dengan pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Jadi, kesalahan atau kegagalan adalah juga guru yang baik bagi manusia yang mau terus belajar dan berkembang.<br /><br />Melalui kesalahan moral yang direnungkan, manusia belajar sesuatu dan ini akan bisa membuatnya maju lebih jauh lagi dalam prestasi moralnya. Begitu juga, melalui percobaan ilmiah yang gagal, manusia juga bisa melangkah lebih maju lagi dalam pengembangan teori sains dan teknologi ketika kegagalan percobaan ini dipelajari lebih lanjut dengan saksama.<br /><br />Jadi, kegagalan moral untuk hidup suci atau kegagalan percobaan di bidang sains dan teknologi adalah pengalaman-pengalaman berharga yang perlu diterima dengan lega, wajar dan terbuka oleh manusia yang mau belajar. Kesalahan dan kegagalan ini harus dijadikan sebagai sebuah pelajaran untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, berapapun besarnya ongkos yang harus dibayar untuknya.<br /><br />Jadi perlu ditegaskan bahwa orang yang berpikir benar dan terbuka pada kehidupan akan melihat setiap kegagalan sebagai bagian yang wajar dari kehidupannya dan malah sebagai sesuatu yang edukatif, dan karenanya orang itu tidak akan menangisi kegagalannya dalam rasa sesal yang tidak pernah berakhir. Jika demikian halnya, demi kesehatan jiwanya, orang beragama apapun tidak perlu bercita-cita untuk menjadi tokoh moral teragung tanpa noda di antara umatnya, melainkan perlu bersedia sepenuh hati untuk terus belajar baik dari keberhasilannya maupun dari kegagalannya, dan lewat proses pembelajaran ini dapat menjadi manusia yang semakin bijak dan dewasa dalam berpikir dan bertindak. Insan kamil adalah manusia yang dengan rendah hati mau terus belajar. </span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-29044963975802958162010-02-13T12:39:00.008+07:002010-09-23T21:14:44.186+07:00Dua Bahaya dalam Menafsir Yesus dari Nazaret<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4Zsyd4KptTNbJ-In0JP3h53kKlod5UWdB2wa1zgbfRAbX03RKERaWv_RhZPEO3Sz-IqvWNEGTWh5sGGmD6scfCKejSP3bxK3gjUeqy34iCfMzhU961hJZeOeLLiFjlG4x3stMHKQux3U/s1600-h/Jesus+in+a+modern+train.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 241px; height: 256px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4Zsyd4KptTNbJ-In0JP3h53kKlod5UWdB2wa1zgbfRAbX03RKERaWv_RhZPEO3Sz-IqvWNEGTWh5sGGmD6scfCKejSP3bxK3gjUeqy34iCfMzhU961hJZeOeLLiFjlG4x3stMHKQux3U/s320/Jesus+in+a+modern+train.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5437599625471169890" border="0" /></a><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >Ada minima</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >l dua bahaya yang harus disadari dan dihindari ketika orang mau menafsir Yesus dan menjalankan hermeneutik.<br /><br />Pertama, bahaya mengfungsikan sebuah mesin tik manual produksi kota Nazaret abad I sebagai sebuah mesin komputer pribadi (PC) mutakhir abad XXI <span style="font-style: italic;">made in Microsoft</span>. Maksud metafora ini: alam pemikiran kuno yang sudah sangat ketinggalan zaman, alam pemikiran pra-modern dan pra-ilmiah, dipindahkan begitu saja ke zaman modern abad XXI dan dipakai untuk kehidupan manusia dalam zaman modern ini. Ya, hasilnya adalah sesosok Yesus berpakaian Superman yang tampak bingung dan stres, dengan rambut awut-awutan; atau sesosok Yesus yang berubah wajah menjadi berwajah Bill Gates tetapi memakai jubah lusuh abad pertama dan kasut kuno buatan Kapernaum yang sudah rusak; atau sesosok Yesus yang terkesima dan bingung ketika berada di dalam suatu kereta listrik modern.<br /><br />Kedua, bahaya membawa sebuah PC mutakhir abad XXI ke kota kecil Nazaret zaman Yesus dan di kota ini mesin komputer modern ini dipaksa dipakai kendatipun listrik belum ada. Maksud metafora ini: alam pemikiran modern dipaksakan diterima oleh Yesus yang sedang memancing ikan di Danau Genesaret di Galilea. Hasilnya adalah Yesus berpikir bahwa kotak CPU adalah tabut Allah yang ada dalam bait allah; atau, Bill Gates-nya menjadi sangat bingung <span style="font-style: italic;">ngapain</span> dia berada di Nazaret, berjas necis, bersepatu Clarks, datang jauh-jauh dengan memakai mesin waktu ke negeri Yesus dengan membawa seperangkat PC modern.<br /><br />Untuk menghindari kedua bahaya ini (yang juga disebut sebagai bahaya anakronisme pemikiran), ya tidak ada jalan lain selain si penafsir modern, pertama, menjelma menjadi seorang manusia Yahudi abad pertama yang diam di Nazaret dan sedekat mungkin hidup seperti Yesus dan murid-muridnya. Untuk bisa menjelma seperti ini, si penafsir harus memakai antropologi budaya, sosiologi, arkeologi Galilea, ilmu sejarah, dan kritik sastra, sebagai “mesin waktu” yang membawanya masuk ke dunia Yesus abad pertama.<br /><br />Lalu, sebagai langkah kedua, ketika si penafsir sudah balik kembali ke abad XXI, zamannya sendiri, dia harus bersikap kritis dan kreatif terhadap segala hal yang dia telah temukan selama dia menjelma sebagai seorang Yahudi abad pertama. Dia harus memperhadapkan hasil temuannya tentang dunia Yahudi abad pertama dengan sains modern, nilai-nilai modern serta pengalaman kehidupan modern dan bertanya apakah temuannya itu relevan atau tidak relevan dengan kehidupan modern. Jika dia menemukan relevan, ya temuannya ini dapat dipakai; jika dia mendapati tidak relevan, ya temuannya harus disingkirkan, di tempatkan di museum.<br /><br />Dua langkah inilah yang disebut sebagai hermeneutik.<br /></span><div style="text-align: right;"><br /><br /><br /></div>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-5342470362554795632010-02-05T21:45:00.007+07:002010-09-23T21:44:25.521+07:00Sains dan Agama, atau Sains versus Agama?<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivZpOE-tmlIYXnzspusEbwLQfm5A0-VfimU11AejzDPqjlfeKqFoQQuXUPipljhnJnFS77LA1D3rLf1G_qmUNfcIIXD_jVvSyOjexFHGmLaNzt65iKxwq_oWIPp1zw5s-Srx7WwkiWrmY/s1600-h/Science+versus+Religion.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 374px; height: 374px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivZpOE-tmlIYXnzspusEbwLQfm5A0-VfimU11AejzDPqjlfeKqFoQQuXUPipljhnJnFS77LA1D3rLf1G_qmUNfcIIXD_jVvSyOjexFHGmLaNzt65iKxwq_oWIPp1zw5s-Srx7WwkiWrmY/s400/Science+versus+Religion.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5434776516345254994" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">Science Versus Religion</span><br /></div><br /><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >(Tulisan ini telah terbit di <span style="font-style: italic;">Koran Tempo</span>, Jumat, 5 Februari 2010; klik <a href="http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/02/05/Opini/krn.20100205.190046.id.html">di sini</a> untuk melihatnya)<br /><br />Agama mengasalkan segala sesuatu dalam alam ini pada satu (atau lebih) figur adikodrati yang oleh orang beragama di Indonesia dinamakan “tuhan” atau “allah” atau “dewa” yang tidak kelihatan. Figur ini dibayangkan berdiam di kawasan adikodrati yang dinamakan surga, langit, atau kayangan, dan dipercaya kerap berintervensi ke dalam alam (<span style="font-style: italic;">nature</span>) dengan melanggar hukum alam (<span style="font-style: italic;">the laws of nature</span>, atau <span style="font-style: italic;">natural laws</span>), dan menghasilkan apa yang dinamakan mukjizat.<br /><br />Sains sebaliknya mengasalkan segala sesuatu dalam alam ini pada diri alam itu sendiri. Sains menolak keberadaan dunia adikodrati (<span style="font-style: italic;">supernatural world</span>) dan hanya menerima keberadaan dunia kodrati (<span style="font-style: italic;">natural world</span>). Sains menjelaskan segala sesuatu berdasarkan hukum sebab-akibat alamiah yang bisa diobservasi, diselidiki, dijelaskan dengan rasional dan sistematis, serta diperlihatkan dengan empiris dan obyektif. Sains memandang hukum alam sebagai hukum yang abadi dan kerja hukum alam ini dipandang tidak bisa diintervensi secara alamiah oleh makhluk apa pun. Teknologi tidak bisa membatalkan hukum alam, sebab teknologi dibangun dengan mengikuti kerja hukum alam dan banyak di antaranya ditemukan karena manusia mau belajar dari alam dan hukum-hukumnya. Teknologi rekayasa genetik yang sekarang sudah dioperasikan juga tidak melanggar hukum alam.<br /><br />Agama dibangun di atas sebuah (atau lebih) dogma keagamaan yang diformulasikan bukan dengan cara ilmiah, melainkan berdasarkan kepercayaan atau iman saja. Isi iman keagamaan tidak bisa dibuktikan secara empiris obyektif tetapi diterima begitu saja sebagai kebenaran. Jika seseorang ingin diterima ke dalam suatu komunitas keagamaan, orang ini harus bersedia memutuskan dalam dirinya sendiri (keputusan subyektif) bahwa apa yang diajarkan dan dipegang komunitas ini sebagai dogma adalah suatu kebenaran, tanpa boleh mempertanyakannya.<br /><br />Sains sebaliknya tidak bekerja berdasarkan suatu dogma keagamaan apa pun, melainkan berdasarkan postulat-postulat atau teori-teori yang dibangun secara rasional dan dilahirkan dari sekian upaya observasi, penelitian, sistematisasi, pembuktian, dan uji coba yang empiris. Observasi dan uji coba ini terus-menerus berlangsung sehingga suatu teori atau suatu postulat bisa digugurkan, lalu akan disusun teori dan postulat baru, demikian seterusnya. Kebenaran sains harus obyektif, tidak bisa subyektif menurut selera si ilmuwan, terlepas dari bukti empiris.<br /><br />Agama tidak memerlukan laboratorium uji coba, observasi, dan eksperimentasi, karena agama dibangun hanya berdasarkan kepercayaan pada wahyu ilahi yang dulu diterima dan disebarkan si pendiri agama. Wahyu ini hanya tinggal diterima oleh umat dengan kepercayaan penuh sebagai sesuatu yang otoritatif untuk seluruh bidang kehidupan. Dari wahyu primordial ini diturunkanlah berbagai akidah keagamaan yang harus dipercaya dan ritual religius yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari umat.<br /><br />Sains sebaliknya memerlukan laboratorium untuk observasi, penyelidikan, uji coba, dan eksperimentasi. Kepercayaan membuta tidak mendapat tempat dalam pengembangan sains. Sains modern sudah sangat terspesifikasi sehingga tidak ada satu cabang ilmu modern pun yang dapat mengklaim bisa menjelaskan atau berkuasa atas seluruh bidang kehidupan. Para ilmuwan modern sekarang harus bisa bekerja secara interdisipliner dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban.<br /><br />Agama tidak memberi tempat kepada keraguan terhadap dogma-dogma yang dibangun dalam sejarah umat dan khususnya terhadap wahyu ilahi yang diterima sang pendiri agama dulu, yang dipercaya terekam dalam Kitab Suci. Jika seorang anggota suatu komunitas keagamaan ragu terhadap otoritas wahyu ilahi atau suatu dogma keagamaan, orang ini akhirnya akan dinyatakan sebagai bidah, lalu diekskomunikasi. Dialog dengan para bidah sama sekali tidak dimungkinkan.<br /><br />Sains sebaliknya justru bisa dikembangkan dari waktu ke waktu, karena sains menerima dan mendialogkan dengan serius keraguan terhadap teori-teori atau postulat-postulat yang sudah diterima secara luas sebelumnya (<span style="font-style: italic;">received theories</span>). Keraguan ini tentu saja harus dibeberkan secara ilmiah sebelum dibahas. Dalam sains, keraguan adalah ibu kandung temuan-temuan keilmuan baru.<br /><br />Agama kuat berorientasi ke masa lalu karena umat beragama percaya bahwa, ketika agama mereka dibangun dan disebarkan oleh sang pendiri beserta para murid perdananya dulu, segala sesuatu yang diperlukan untuk membimbing kehidupan sudah diwahyukan atau digariskan. Keraguan terhadap zaman keemasan agama di masa lalu dan terhadap pandangan-pandangan yang dilahirkan di dalamnya dipandang sebagai bahaya dan karena itu harus diberantas.<br /><br />Sains sebaliknya berorientasi ke masa depan, dengan terus-menerus mengkaji teori-teori dan postulat-postulat lama untuk digantikan dengan teori-teori dan postulat-postulat baru yang dilihat akan lebih dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini. Ketidaktepatan suatu teori atau postulat sains adalah sesuatu yang diterima dengan wajar dan malah mendorong upaya ilmiah untuk menemukan teori dan postulat baru.<br /><br />Agama memerlukan suatu figur tunggal karismatis yang tidak boleh digugat dan yang dipercaya memiliki akses langsung ke rahasia-rahasia ilahi yang diungkapkan oleh suatu allah hanya kepadanya. Melawan sang tokoh karismatis ini sama dengan melawan allah, dan akibatnya si pelawan akan terkena kutuk dan penghukuman ilahi.<br /><br />Sains sebaliknya menolak satu figur tunggal karismatis yang tidak bisa digugat. Sains malah mengundang semua orang tanpa pilih bulu untuk menyumbangkan pandangan-pandangan ilmiah mereka, jika mereka mampu dan <span style="font-style: italic;">qualified</span>, demi pengembangan sains dan kebaikan umat manusia. Sains tidak boleh merahasiakan sesuatu, melainkan justru harus menyibak semua rahasia alam dan membuka rahasia-rahasia ini kepada publik untuk diketahui dan dijadikan pengetahuan bersama. Inilah <span style="font-style: italic;">public ethics</span> dan <span style="font-style: italic;">public responsibility</span> dari setiap ilmuwan.<br /><br />Ketika para agamawan menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh sains modern dan tertinggal sebagai “gaps” dalam dunia sains, mereka akan langsung mengisi “gaps” ini dengan suatu figur adikodrati yang dinamakan allah (<span style="font-style: italic;">god</span>). <span style="font-style: italic;">God</span> para agamawan ini dikenal sebagai “god of the gaps” yang tidak disukai para saintis.<br /><br />Sebaliknya, jika para ilmuwan menemukan sesuatu yang tidak dapat mereka jelaskan menurut perspektif sains sekarang, sehingga ada “missing links” atau “gaps” dalam rantai atau bingkai ilmu pengetahuan mereka, mereka tidak akan pernah menunjuk suatu oknum adikodrati yang dinamakan allah sebagai pengisi <span style="font-style: italic;">links </span>atau <span style="font-style: italic;">gaps</span> ini. Mereka hanya akan menyatakan bahwa mereka belum bisa mengisi <span style="font-style: italic;">missing</span> <span style="font-style: italic;">links</span> atau <span style="font-style: italic;">gaps</span> ini sekarang, dan membiarkannya untuk suatu saat dapat dijelaskan oleh sains. Inilah posisi para ilmuwan ketika berhadapan dengan fenomena alam yang disebut para agamawan sebagai mukjizat.<br /><br />Nah, dalam zaman penjelajahan ruang angkasa sekarang ini, jika agama masih mau berfungsi dengan bermakna dan signifikan, agama harus bisa menyesuaikan diri dengan sifat-sifat sains. Menjadi agama yang rasional.<br /></span><div style="text-align: right;"><br /><br /><br /></div>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-23331262184248698222010-01-24T14:42:00.005+07:002010-01-24T15:00:46.086+07:00Penutup: Kekristenan Tanpa Soteriologi Salib!<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid86bBK3hUU7U578C5iTE8bkNs82aFMLdMWk4guifcqn5JbWWEWCkvFZipIwAi7dHm8ELoOf5BrueoqCVk9RcwT7W7CyyDag47ZlQvZcKH0JqnOEg01lPzk0bFaWBCeC5662tc4klz_Q0/s1600-h/Kekejian+yang+menyelamatkan+Torture+that+saves.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 222px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid86bBK3hUU7U578C5iTE8bkNs82aFMLdMWk4guifcqn5JbWWEWCkvFZipIwAi7dHm8ELoOf5BrueoqCVk9RcwT7W7CyyDag47ZlQvZcKH0JqnOEg01lPzk0bFaWBCeC5662tc4klz_Q0/s400/Kekejian+yang+menyelamatkan+Torture+that+saves.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5430209307260136706" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">Kekejian yang mendatangkan keselamatan?</span><br /></div><br /><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >Setiap orang Kristen yang telah berani membaca habis 10 postings tentang <span style="font-style: italic;">Masalah-masalah Dalam Soteriologi Salib</span> dalam blog ini (yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku <span style="font-style: italic;">Membedah Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam</span> [Januari 2010]) pasti akan bertanya: Jika soteriologi salib sebagai inti terpenting dari semua doktrin Kristen telah digugurkan, masih adakah sesuatu lain yang tersisa, yang masih dapat dipegang, untuk seseorang tetap Kristen? Atau orang dapat mengajukan sebuah pertanyaan lain: Apakah si penulis buku ini masih dapat tetap disebut Kristen, masih tetap dapat disebut “orang dalam”, kalau dia berpendapat dan percaya bahwa semua yang ditulisnya ini benar?<br /><br />Kedua pertanyaan ini, pada satu sisi, mempersoalkan apakah yang disajikan dalam buku ini benar sehingga tidak ada sesuatu apa pun dalam soteriologi salib yang masih bisa diselamatkan. Bagi saya sebagai penulis buku ini, semua yang sudah ditulis dalam buku ini tentu saja benar dalam segala segi yang sejauh ini dapat saya perhitungkan. Tetapi, jawaban tuntas terhadap hal yang dipersoalkan ini ditemukan tentu saja jika seorang lain mau menulis sebuah buku tandingan yang isinya secara rasional, cerdas dan autentik mengggugurkan semua argumen rasional, etis teologis, historis, sosiokultural, sosiobiologis dan antropologis, yang saya pakai dalam membedah dan menggugurkan soteriologi salib.<br /><br />Saya tentu akan sangat berterima kasih kepada orang yang, melalui argumen-argumen yang cerdas dan rasional, mampu membuat saya kembali menerima dan memercayai validitas dan makna serta signifikansi soteriologi salib. Tetapi saya tidak optimis bahwa saya akan bisa dikembalikan untuk memercayai dan menganut kembali soteriologi salib; sebab setiap sanggahan terhadap isi buku ini akan pasti saya sanggah lagi dengan autentik dan rasional. Saya percaya, dengan autentisitas dan rasio orang bisa berjumpa dengan yang transenden, jauh melampaui apa yang dapat diberikan oleh dogma keagamaan apa pun.<br /><br />Saya tentu saja mengantisipasi bahwa akan ada orang Kristen yang akan menyatakan atau bersaksi secara emosional bahwa sekalipun secara rasional soteriologi salib telah digugurkan dalam segala seginya, dia tetap bisa memegang dan percaya penuh kepada soteriologi ini sebab soteriologi ini selama ini dan juga kini membuat hatinya tenteram dan bahagia. Jika ini posisi yang diambil orang ini, suatu posisi yang sama sekali tidak menghargai kemampuan dan kebenaran penalaran manusia, biarlah dia tetap terus memegangnya, dan tetap terus mencampakkan akal budinya dan tetap menjadi orang yang terbelah kepribadiannya. Bagi saya sendiri, bagaimana hati bisa tenteram menerima sesuatu yang kebenarannya telah ditolak oleh akal budi? Bagi saya sendiri, mengapa hati harus menjadi musuh akal budi atau sebaliknya? Bukankah, seperti Yesus dalam kitab-kitab injil katakan, beragama dengan autentik adalah beragama dengan segenap rasio dan hati sekaligus?<br /><br />Pada sisi lain, dua pertanyaan pada alinea pertama di atas mengungkapkan suatu kegelisahan eksistensial mendalam orang Kristen: Apakah masih ada sesuatu yang berharga dalam kekristenan yang sekarang mereka kenal jika soteriologi salib tidak dipakai lagi karena tidak valid dalam banyak segi? Apakah masih bisa tetap Kristen jika soteriologi salib ditolak? Apakah masih bisa menjadi pengikut Yesus Kristus jika kematiannya di kayu salib dipandang tidak mendatangkan keselamatan, tidak bersignifikansi dan berefek soteriologis? Kegelisahan eksistensial ini tentu saja saya harus perhatikan dengan sungguh-sungguh, dan sebisa mungkin saya perlu memberi respons yang pas.<br /><br />Dalam bab keempat buku ini (berjudul Jalan Buntu dan Jalan Alternatif), saya sudah menyebut suatu bentuk religiositas yang dihayati oleh sebuah komunitas Yahudi-Kristen yang ada di Syria (dengan Antiokhia sebagai ibu kotanya) pada pertengahan abad pertama Masehi yang secara bertahap (dari tahun 30 sampai tahun 120) menghasilkan <span style="font-style: italic;">Injil Tomas</span>. Pada awalnya, sebelum komunitas Yahudi-Kristen ini mendapat pengaruh doktrinal dari kekristenan yang berkembang di sebelah barat kawasan Yunani-Romawi (kekristenan Barat), mereka tidak memandang kematian Yesus sebagai sesuatu yang sentral dalam sistem kepercayaan mereka, apalagi sampai bermakna dan berefek soteriologis “mendamaikan” (<span style="font-style: italic;">atoning</span>) seperti diajarkan dan dipercayai kekristenan Barat. Komunitas Yahudi-Kristen Syria yang bercorak mistikal ini memberi signifikansi soteriologis bukan pada kematian Yesus, tetapi pada kata-kata atau ucapan-ucapan Yesus, yang jika direnungkan dalam-dalam dan ditemukan maknanya akan memberi kehidupan. Yang mereka tawarkan bukan soteriologi doloris, tetapi soteriologi logosentris. Tawaran ini tentu harus dipertimbangkan dengan serius oleh orang Kristen pada masa kini.<br /><br />Nah, selain dalam <span style="font-style: italic;">Injil Tomas</span> yang berisi sejumlah penting ucapan autentik Yesus, bukankah gereja juga memiliki kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru yang berisi banyak ucapan Yesus? Para pakar yang menyelidiki ucapan-ucapan Yesus, baik yang terdapat dalam <span style="font-style: italic;">Injil Tomas</span> atau dalam tulisan-tulisan ekstrakanonikal lainnya, maupun yang terdapat dalam injil-injil Perjanjian Baru, khususnya dalam apa yang disebut sebagai sumber “Q” yang menjadi salah satu sumber besar bagi Matius dan Lukas ketika mereka menulis injil mereka masing-masing, telah dapat memilah-milah mana ucapan yang benar-benar autentik dari Yesus dan mana yang tidak autentik. Jadi, mengonstruksi soteriologi logosentris kini bukanlah hal yang sulit lagi. Soteriologi logosentris adalah sebuah alternatif berharga untuk seseorang dapat tetap menjadi Kristen, dengan menghayati kata-kata Yesus sebagai kata-kata yang membebaskan, meskipun dia telah melepaskan soteriologi salib yang bersifat doloris.<br /><br />Dari sejumlah tulisan bapak-bapak gereja kekristenan Barat, kita dapat menghimpun sekian fragmen tulisan yang berasal dari tiga injil Yahudi-Kristen yang disusun komunitas-komunitas Yahudi-Kristen perdana pada awal hingga pertengahan abad kedua, yang berdiam di kawasan timur Sungai Yordan dan di banyak kawasan timur Syria. Ketiga injil Yahudi-Kristen ini adalah <span style="font-style: italic;">Injil Orang Ebion</span> (aslinya ditulis dalam bahasa Yunani, isinya kurang lebih sejajar dengan Injil Matius, namun tidak memiliki kisah kelahiran dan silsilah Yesus), <span style="font-style: italic;">Injil Orang Nazorean</span> (aslinya ditulis dalam bahasa Aram, isinya kurang lebih sejajar dengan Injil Matius) dan <span style="font-style: italic;">Injil Orang Ibrani </span>(aslinya ditulis dalam bahasa Yunani, jenisnya serupa dengan Injil Yohanes).<br /><br />Kekristenan Yahudi perdana ini, meskipun tidak dalam segala hal seragam, dapat kita sebut sebagai kekristenan Ebion (dari kata Ibrani <span style="font-style: italic;">ebyon</span> = orang miskin) yang bersama-sama memegang dan mempertahankan sejumlah keyakinan religius dan praktik beragama. Komunitas-komunitas Ebion ini merupakan sisa-sisa dari suatu bentuk kekristenan Yahudi paling tua yang bermula di Yerusalem sebagai gereja induk, yang didirikan oleh Yakobus si Adil, saudara Yesus (lihat Markus 6:3; Galatia 1:19; <span style="font-style: italic;">Injil Orang Ibrani</span> 9.4), bersama para rasul lainnya. Bagi kekristenan Ebion, saksi pertama kebangkitan Yesus bukanlah Petrus atau Maria Magdalena, melainkan Yakobus (<span style="font-style: italic;">Injil Orang Ibrani</span> 9; bdk 1 Korintus 15:7) sebagai soko guru utama Gereja Induk Yerusalem (Galatia 2:9). Dokumen yang menjadi sumber terpenting untuk mengenal kekristenan Ebion ini, di samping tiga injil yang sudah disebut di atas, adalah <span style="font-style: italic;">Pseudo-Klementin </span>(tahun 200 M).<br /><br />Sebagaimana Gereja Induk Yerusalem ini menaati Hukum Taurat Yahudi dengan sangat ketat, kekristenan Ebion juga demikian. Mereka mempertahankan kuat-kuat monoteisme Yahudi. Mereka percaya pada Kitab Suci Ibrani (<span style="font-style: italic;">Tenakh</span>) dan Hukum Taurat sebagai wahyu Allah sejauh Kitab Suci dan Hukum ini sudah dibersihkan dari “penyimpangan-penyimpangan” yang muncul dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa Israel sejak zaman Musa. Mereka beribadah pada hari Sabat, selain pada hari Minggu sebagai Hari Tuhan, dan mereka juga memelihara dan merayakan semua hari suci Yahudi, khususnya perayaan Paskah Yahudi setiap tahun. Kristologi yang mereka pegang berbeda dari kristologi yang umumnya dipegang kekristenan Barat. Mereka menolak doktrin tentang kelahiran perawan. Bagi mereka, Yesus adalah seorang manusia biasa, yang dilahirkan wajar dari seorang ayah dan seorang bunda insani. Yesus diangkat atau diadopsi menjadi Anak Allah pada waktu dia dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Kepercayaan kristologis semacam ini disebut adopsionisme. Yesus mereka pandang juga sebagai Nabi Sejati Allah yang ditugaskan bukan untuk mati di kayu salib untuk menghapus dosa dunia, melainkan untuk mengajar orang Israel untuk hidup benar sesuai dengan apa yang dituntut <span style="font-style: italic;">Tenakh</span> atau Taurat Musa yang “asli” yang dulu telah diberikan kepada Musa di Gunung Sinai, yang sudah dibersihkan dari penyimpangan-penyimpangan yang ada di dalamnya, antara lain dari gambaran tentang Allah yang antropomorfis, dari semua pemakaian kata ganti majemuk orang pertama untuk Allah (“kita”, “kami”). Karena Bait Allah di Yerusalem telah dihancurkan pada tahun 70 M, komunitas Kristen Ebion memandang semua kultus pengurbanan di Bait Allah telah tidak berlaku lagi bagi mereka, bahkan mereka memandang semua ritus ini tidak termasuk bagian asli Hukum Musa.<br /><br />Jadi, kekristenan Ebion adalah suatu bentuk kekristenan Yahudi perdana yang monoteistik murni, yang menghayati keselamatan sebagai sesuatu yang diperoleh melalui ketaatan total pada Taurat Musa. Bagi mereka, semua yang diajarkan oleh Rasul Paulus, yang membebaskan orang Kristen dari kewajiban melaksanakan Taurat Musa, adalah suatu pengkhianatan terhadap agama Yahudi; dan karenanya mereka sangat membenci rasul untuk bangsa-bangsa bukan-Yahudi ini. Jadi sudahlah jelas, pada abad-abad pertama ada bentuk-bentuk kekristenan yang bisa dengan apik dan lancar mengintegrasikan panggilan untuk mengikut Yesus Kristus sebagai sang Mesias dengan panggilan untuk mengamalkan perintah-perintah Taurat Musa. Soteriologi salib bukanlah satu-satunya soteriologi Kristen.<br /><br />Soteriologi nomosentris (= terpusat pada hukum Taurat) yang dihayati komunitas Yahudi-Kristen Ebion ini tentu tidak menarik hati orang Kristen pada umumnya, dulu maupun kini, yang sudah menyerahkan dirinya sepenuh-penuhnya pada soteriologi salib yang diwartakan Rasul Paulus, yang telah membebaskan orang Kristen dari tuntutan Hukum Taurat. Mereka biasanya menilai bahwa karena agama Kristen adalah “agama rakhmat” (<span style="font-style: italic;">religion of grace</span>) yang menawarkan orang untuk menerima rakhmat ilahi melalui iman mereka, dan bukan “agama perbuatan” (<span style="font-style: italic;">religion of work</span>), maka Hukum Taurat tidak berlaku lagi, sebab Hukum ini, jika diikuti, mengharuskan orang berkonsentrasi bukan pada rakhmat ilahi, melainkan pada setiap perbuatannya untuk menjaganya tetap selaras dengan semua tuntutan Taurat. Hemat saya, penilaian ini salah.<br /><br />Dalam sistem kepercayaan Kristen yang dibangun para penulis Perjanjian Baru, perbuatan manusia atau ketaatan pada Taurat juga menentukan keselamatan manusia atau mencirikan apakah seseorang itu sudah berada di dalam kawasan keselamatan atau masih di luar kawasan keselamatan. Tentu pertama-tama saya menunjuk pada kekristenan Yakobus yang dibangun begitu Yesus wafat, yang telah memberikan kepada kita Surat Yakobus dalam Perjanjian Baru, yang di dalamnya dengan kuat dikatakan bahwa “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya mati” (2:17), dan bahwa “iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna” (2:22), dan bahwa “manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (2:24). Selain itu, meskipun Rasul Paulus sangat menekankan iman sebagai jalan untuk orang dibenarkan di hadapan Allah, sang Rasul ini juga menegaskan bahwa pada akhirnya setiap orang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Allah (Roma 2:6-8; 14:12; 2 Korintus 5:10; lihat juga Wahyu 22:12).<br /><br />Selanjutnya, kita juga perlu memerhatikan kekristenan Yahudi lainnya, yang lahir di Mesir pada permulaan era Kristen, akhir tahun 40-an atau awal tahun 50-an abad pertama Masehi, ketika Kaisar Klaudius berkuasa (tahun 41-54). Catatan tertua tentang keberadaan kekristenan Yahudi di Mesir ini ditemukan dalam Kisah Para Rasul 18:24-25, yang menyebut seorang Yahudi yang bernama Apolos yang berasal dari Aleksandria di Mesir, yang telah datang ke Efesus. Ditulis di situ bahwa Apolos “sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci” dan “telah menerima pengajaran dalam Jalan Tuhan” dan “dengan teliti mengajar tentang Yesus.” Dokumen-dokumen tua yang perlu diperhatikan untuk mengenal kekristenan ini adalah <span style="font-style: italic;">Pseudo- Klementin</span> (khususnya <span style="font-style: italic;">Homilies</span> I.9.1; II.4.1), <span style="font-style: italic;">Surat Barnabas</span>, 2 <span style="font-style: italic;">Klemen</span>, <span style="font-style: italic;">Injil Orang Ibrani</span>, <span style="font-style: italic;">Injil Orang Mesir</span>, <span style="font-style: italic;">Epistula Apostolorum</span>, <span style="font-style: italic;">Orakulum Sybill</span>, <span style="font-style: italic;">Testimoni Kebenaran</span> (NHC 9,3), <span style="font-style: italic;">Apokalipsis Petrus</span>.<br /><br />Dalam tulisannya, <span style="font-style: italic;">Historia Ecclesiastica</span>, Eusebius menyimpulkan bahwa kekristenan Yahudi di Mesir “tampaknya berasal dari orang-orang Yahudi dan mengikuti sebagian besar adat-istiadat Yahudi” (II.17.2-3). Kristologi Logos dikembangkan oleh komunitas Kristen Yahudi di Mesir ini; menurut kristologi ini sang Logos tetap sama, tak berubah, dalam bentuk apapun yang dipilihnya untuk dia menampilkan diri (lihat khususnya <span style="font-style: italic;">Epistula Apostolorum</span> 13-14; 17, 28; bdk <span style="font-style: italic;">Orakulum Sybill</span> 6.16-17). Yang penting untuk kita catat adalah bahwa kekristenan Yahudi di Mesir ini, di samping terfokus pada adat-istiadat Yahudi, juga menaruh perhatian besar pada kehidupan Yesus, khususnya pada ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Yesus serta kisah-kisah tentangnya, yang ditarik baik dari dokumen-dokumen kanonik maupun dari dokumen-dokumen apokrif. Perhatian pada kehidupan Yesus ini memenuhi teks keempat dokumen apokrif yang sudah disebut di atas: <span style="font-style: italic;">Epistula Apostolorum</span>, <span style="font-style: italic;">Orakulum Sybill</span>, <span style="font-style: italic;">Testimoni Kebenaran</span> dan <span style="font-style: italic;">Apokalipsis Petrus</span>. Dalam keempat dokumen ini, Rasul Paulus pada dasarnya ditolak; bahkan dalam <span style="font-style: italic;">Apokalipsis Petrus</span> sang rasul diserang. Bahkan bagi penulis <span style="font-style: italic;">Apokalipsis Petrus</span>, berita Rasul Paulus tentang “seorang yang mati”, maksudnya: Yesus Kristus yang disalibkan sebagai jalan mendamaikan Allah dengan manusia, adalah suatu “penyebaran berita yang menyesatkan.” Jelas, soteriologi salib ajaran Rasul Paulus tidak diterima oleh kekristenan Yahudi di Mesir ini.<br /><br />Kalau soteriologi salib terpusat pada azab dan kematian Yesus, atau kita dapat menamakannya soteriologi nekrosentris, soteriologi yang terpusat pada kematian (nekros = mati), kita juga bisa mengembangkan suatu soteriologi yang terpusat pada kehidupan Yesus, soteriologi biosentris. Terpusat pada kehidupan Yesus juga berarti terpusat pada kata-kata dan tindakan-tindakan Yesus. Jadi, baik komunitas Kristen-Yahudi yang melahirkan Injil Tomas maupun komunitas Yahudi-Kristen Mesir sama-sama menghayati suatu soteriologi biosentris. Kita tidak kekurangan bahan untuk membangun suatu soteriologi biosentris untuk menggantikan soteriologi doloris atau soteriologi nekrosentris.<br /><br />Kalau kematian Yesus dilihat dari sudut pandang soteriologi biosentris, kematiannya ini sungguh jadi bermakna dan bersignifikansi lain: kematian Yesus adalah suatu peristiwa paradigmatis yang mulia, berharga dan layak ditanggung, karena merupakan suatu akibat atau risiko dari suatu kehidupan yang dijalani dan diisi dengan tindak kebajikan dan kerahiman ilahi, yang ditujukan kepada sesama manusia! Dengan memandang pada kehidupan dan kematian Yesus sebagai suatu model kejuangan, semua pejuang dan aktivis sosial dan HAM pada masa kini, yang memberikan kehidupan mereka bagi rakyat yang miskin dan tertindas, akan didorong untuk dengan rela dan berani terus-menerus membela rakyat sekalipun berisiko mati dibunuh. Melepaskan soteriologi salib yang doloris, tetapi juga terilhami dan terdorong oleh kematian Yesus untuk bertindak, bukanlah sesuatu yang tidak bisa dilakukan! Tanpa soteriologi salib seseorang masih bisa menjadi seorang Kristen yang tangguh, menjadi pengikut Yesus Kristus yang tidak takut terhadap risiko mati dibunuh di tengah perjuangannya.<br /><br />Jadi, soteriologi salib yang dikonstruksi Rasul Paulus dan penulis-penulis Perjanjian Baru lainnya jelas bukanlah soteriologi tertua satu-satunya yang diwariskan komunitas-komunitas Kristen perdana kepada orang Kristen masa kini. Sudah diperlihatkan di atas, tersedia cukup soteriologi alternatif yang kalau dijalani dan dihayati dengan sungguh-sungguh, seseorang masih bisa tetap Kristen meskipun dia tidak lagi menganut soteriologi salib.<br /><br />Bertolak dari Rasul Paulus, kita masih harus bergerak mundur lebih jauh ke murid-murid perdana Yesus dan bahkan kepada Yesus sendiri. Agama yang Yesus dan para muridnya hayati pasti bukanlah agama seperti yang dibangun Rasul Paulus dan para penulis Perjanjian Baru umumnya, melainkan agama Yahudi atau Yudaisme, persisnya Yudaisme yang disebut sebagai Yudaisme Bait Allah Kedua (<span style="font-style: italic;">second Temple Judaism</span>), Yudaisme yang dianut ketika Bait Allah Kedua (Bait Allah Herodes Agung) belum dihancurkan pada tahun 70 abad pertama Masehi dalam Perang Yahudi I melawan Roma (66-73 M). Nah, penting bagi kita untuk mengetahui apa yang dimaksud dan dialami oleh mereka, Yesus dan para murid perdananya, sebagai keselamatan, dalam konteks religio-kultural Yudaisme ini. Soteriologi jenis apa yang mereka anut dan hayati, yang mereka dapat ambil dan olah dari sistem kepercayaan Yudaisme ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sepenuhnya, perlu dibuat sebuah buku tersendiri yang terfokus pada pengkajian Yesus sejarah (<span style="font-style: italic;">the historical Jesus</span>) dalam konteks Yudaisme Bait Allah kedua.<br /><br />Pada kesempatan ini, saya mau mengingatkan bahwa saya sudah menyatakan bahwa Yesus dari Nazaret menghayati soteriologi teosentris, bahwa soteriologi salib bukanlah soteriologi yang diciptakan dan diajarkannya. Kalau kita memahami dan menghayati Allah sebagaimana Yesus pahami dan kisahkan dalam, antara lain, perumpamaan tentang anak yang hilang, kita masuk ke dalam sebuah pengalaman keselamatan yang terpusat pada Allah, sang Bapa, keselamatan yang teosentris, sebagaimama juga dihayati Yesus. Kalau kita bisa memanggil Allah dengan sebutan akrab yang biasa Yesus pakai, yaitu sebutan “Bapa” (atau “Abba”), sebagaimana termuat dalam Doa Bapa Kami, kita sudah menjadi Kristen meskipun kita tidak lagi memegang soteriologi salib. Di dalam sebutan “Bapa” inilah terkandung sari pati teologi yang secara mendasar dihayati Yesus. <br /><br />Dari kehidupan Yesus, soteriologi biosentris, yang kontras dengan soteriologi nekrosentris, bisa kita bangun. Umumnya orang dikenang dan dikenal bukan karena kematiannya, tetapi karena kehidupannya. Kita perlu mempelajari dan menemukan, melalui kajian mendalam dan meluas, bagaimana Yesus dari Nazaret memahami kehidupannya sendiri, apa visinya tentang kehidupannya sendiri dan tentang kehidupan pada umumnya, dan bagaimana dia menjalani dan mengisi kehidupannya sendiri, dalam hubungannya dengan Allah, Bapanya, dengan sesamanya, dengan alam sekitarnya dan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. Sudah saya tulis di buku ini bahwa Yesus dari Nazaret adalah seorang yang mencintai dan merawat kehidupan, kehidupannya sendiri dan kehidupan orang lain, dan kehidupan dunia ini. Dan, dengan kita mencintai kehidupan, memelihara dan merawat kehidupan, menyembuhkan dan menyehatkan kehidupan, kita menjadi orang yang mengikuti Yesus, menjadi orang Kristen, meskipun kita menolak soteriologi salib yang nekrosentris.<br /><br />Nah, terlihat sudah kalau kekristenan itu sebetulnya memiliki kekayaan soteriologi. Soteriologi salib adalah salah satunya, dan sayangnya juga merupakan suatu soteriologi yang terburuk yang patut dilepaskan dari kesadaran semua orang Kristen. Melepaskan soteriologi salib tidak lantas membuat seseorang kehilangan kekristenannya, malah akan makin mendekatkan dirinya pada Yesus dari Nazaret, pada Allah yang dia percayai yang dipanggilnya “Abba”, dan pada sesama yang dicintainya, pada kehidupan, dan, lebih istimewa lagi, akan makin mendekatkan dirinya kepada dirinya sendiri yang kini dilihatnya berpotensi untuk menyelamatkan dirinya sendiri melalui perbuatan-perbuatannya.<br /><br />Semoga semua hal yang sudah ditulis di atas berhasil meredakan kegelisahan yang barangkali sempat muncul dalam sanubari banyak orang Kristen ketika mereka sedang membaca buku ini, dan belum tuntas sampai pada bagian penutup ini. Semoga juga kalangan Muslim di Indonesia, karena buku ini, menjadi tersadarkan bahwa soteriologi-soteriologi alternatif yang ditawarkan buku ini memperlebar peluang untuk bisa berjalan bersama dengan umat Kristen dalam mengejawantahkan keselamatan bagi kehidupan manusia pada umumnya.<br /><br />Perjalanan masih panjang ke depan. Marilah, kita berjalan terus, berziarah terus, menuju sang Surya pencerah yang masih jauh dari jangkauan.<br /></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-70886623291581667732010-01-16T23:14:00.007+07:002010-01-21T20:42:33.978+07:00Manajemen Pikiran (6)<div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjj6SIsTCcsjSey2sSCJSjnKpTwTk8DgRN54RZDxKSID9Mu6TjQMQoJxL-g483op-oMOSfZzisGQUhdH1vVD2cqsxT7MmqQd_r-6R7vD7jEgyB5Zvtvbu4aWXYDxgaXfHeQbVMK4rymVps/s1600-h/heart_mind_heart+combined.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 347px; height: 347px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjj6SIsTCcsjSey2sSCJSjnKpTwTk8DgRN54RZDxKSID9Mu6TjQMQoJxL-g483op-oMOSfZzisGQUhdH1vVD2cqsxT7MmqQd_r-6R7vD7jEgyB5Zvtvbu4aWXYDxgaXfHeQbVMK4rymVps/s400/heart_mind_heart+combined.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5427372508309851650" border="0" /></a><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 255, 0);font-family:georgia;" >Heart and mind inseparably connected</span></span><br /></div><span style="font-size:100%;"><br /><span style="font-family:georgia;">(Tulisan ini telah terbit di <span style="font-style: italic;">Koran Tempo</span> edisi 21 Januari 2010 hlm. A10 di rubrik Pendapat, dengan judul <span style="font-style: italic;">Iman Adalah Pikiran</span>; atau <a href="http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/01/21/Opini/krn.20100121.188442.id.html">klik di sini</a>.)<br /><br />Orang beragama sejak kecil umumnya diindoktrinasi oleh para rohaniwan dari berbagai agama untuk selalu mengutamakan <span style="font-style: italic;">iman </span>dibandingkan <span style="font-style: italic;">akal budi</span> ketika mereka sedang menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan mereka, atau ketika mereka sedang mencari pengetahuan objektif yang dapat diandalkan bagi kehidupan manusia.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ketika seorang beragama sedang menghadapi suatu kesulitan berat, pengasuh rohaninya umumnya mengajarkannya untuk jangan bergantung pada akal budi sendiri, melainkan harus hanya dengan iman bergantung penuh dan pasrah pada Allah Yang Mahakuasa, dan menyerahkan semua persoalannya kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “iman” dalam hal ini tentu adalah rasa percaya yang dikuat-kuatkannya sendiri dalam hatinya kepada Allah yang dilihat sebagai suatu figur Bapa atau Ibu pelindung dan penolong. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Tentu sikap berpasrah total kepada Allah bisa memberi suatu ketenteraman pada diri orang beragama yang sedang bermasalah berat dan sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Tetapi rasa tenteram yang ditimbulkan oleh kepasrahan total bisa merupakan suatu rasa tenteram yang palsu, keliru dan berbahaya, karena membuat si mukmin tidak mau lagi memikirkan persoalannya dengan sungguh-sungguh dan tidak mau lagi mencari jalan keluar secara rasional. Rasa tenteram yang semacam ini bisa berbahaya bagi dirinya karena menyebabkannya menunda menyelesaikan persoalannya dan membuat persoalannya makin menumpuk, makin rumit, dan makin membelit dan mematikan dirinya dari waktu ke waktu. Rasa tenteram semacam ini tidak produktif karena juga membuatnya bukan makin aktif mencari solusi persoalannya, melainkan membuatnya makin pasif dan akhirnya mematikan semua fungsi kreatif otaknya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Para rohaniwan biasanya juga meminta umat mereka untuk beriman hanya kepada kebenaran Kitab Suci ketika mereka menjumpai konflik atau benturan antara apa yang ditulis dalam Kitab Suci dan apa yang menjadi pandangan sains modern tentang sesuatu hal. Yang dimaksud dengan “beriman” di sini adalah meyakin-yakinkan hati dan pikiran sebisa-bisanya dan sekuat-kuatnya, menyugesti diri sedalam-dalamnya dalam ketakwaan kepada Allah dan kepada suatu akidah keagamaan, bahwa apa yang ditulis dalam Kitab Suci adalah benar sementara yang menjadi pandangan sains modern adalah salah.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">“Beriman” secara demikian juga merugikan dan membahayakan diri si mukmin. Sebab pada satu pihak beriman semacam ini akan mendorong dirinya untuk selalu berupaya berargumentasi dengan cara pseudo-ilmiah untuk mempertahankan bahwa apa yang harfiah ditulis Kitab Suci adalah benar, sedangkan pandangan sains tentang hal yang sama adalah salah. Para pembela dogma kreasionisme dalam berbagai agama dewasa ini adalah contoh orang-orang semacam ini, orang-orang yang atas nama kewibawaan ilahi suatu Kitab Suci menolak pandangan-pandangan astrofisika, kosmologi, Darwinisme dan biologi modern!</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pada pihak lainnya, beriman semacam ini juga akan memaksa si mukmin untuk menjalani kehidupan dalam dua dunia yang berbeda dan berbenturan satu sama lain. Pada satu pihak dia harus hidup dalam suatu “dunia sakral” yang mengharuskannya membela dan mempertahankan mati-matian segala hal yang (dalam keyakinannya) ditulis oleh Allah dalam Kitab Suci. Tetapi pada pihak lainnya, di “dunia sekularnya” dia harus juga menerima pandangan-pandangan sains modern yang bertabrakkan dengan apa yang ditulis dalam suatu Kitab Suci tentang hal yang sama. Pandangan-pandangan sains modern ini diajarkan di sekolahnya dan harus diterimanya jika dia mau menjadi seorang nara didik yang berpikiran normal dan akhirnya bisa lulus dengan baik dari pendidikan formalnya. Inilah suatu bahaya psikologis patologis berupa keterpecahan kepribadian yang dialami setiap mukmin yang tidak bisa menempatkan dengan benar kedudukan suatu Kitab Suci keagamaan yang bukan kitab sains dan yang tidak mengajarkan sains, dan kedudukan sains modern sebagai pemandu kehidupan manusia dalam mencari kebenaran pengetahuan objektif dari berbagai hal yang mengitari kehidupan manusia setiap hari dalam kosmos yang sangat luas. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Untuk menghindari kekeliruan dan bahaya seperti yang sudah digambarkan di atas dalam pendidikan keagamaan, sudah seharusnya kita memandang bahwa iman dan rasio adalah dua hal yang sesungguhnya sama-sama diproses di dalam organ serebral maha penting dalam rongga kepala kita yang melahirkan dan mengatur pikiran kita, dan bahwa karena itu <span style="font-style: italic;">iman adalah pikiran juga</span>. Jadi, jika kita dapati iman seorang mukmin tertentu sebag</span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"></span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">ai iman yang membuta, kita harus memandang iman semacam ini juga sebagai pikiran yang membuta. Pikiran yang membuta adalah pikiran yang tidak di-<span style="font-style: italic;">manage</span> dengan benar menuju suatu pencerahan. Begitu juga, iman yang naif, yang membuat seseorang mengambil sikap “asal percaya saja terhadap apa yang ditulis dalam Kitab Suci!”, adalah juga pikiran yang naif. Pikiran yang naif adalah pikiran yang tidak di-<span style="font-style: italic;">manage</span> dengan kritis dan dengan saksama. Demikian juga, jika iman sekelompok mukmin membawa masyarakat ke dalam bahaya dan menjadikan kehidupan masyarakat tidak sehat, maka kita harus menyatakan bahwa pikiran mereka berbahaya dan sakit, dan pikiran semacam ini membuat masyarakat juga sakit atau dibawa ke dalam bahaya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dengan memandang dan memperlakukan iman sebagai pikiran, maka ketika kita menyatakan suatu ketidaksetujuan atau perlawanan kita terhadap suatu perilaku beriman seorang atau sekelompok orang beragama yang tidak betul atau yang mengancam kesehatan dan keutuhan masyarakat, kita bukan sedang berperkara dengan Allah Yang Mahakuasa yang diklaim melindungi kelompok ini, melainkan dengan pikiran-pikiran insani mereka yang keliru. Mereka keliru karena mereka telah lama diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran yang menyesatkan dan anti-sains, dan yang karenanya membahayakan dan memecahbelah masyarakat dan mengancam peradaban manusia yang dibangun di atas rasionalitas manusia. </span><br /></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-61214430675087257192009-12-11T00:48:00.003+07:002010-02-19T21:13:21.120+07:00Menurut Papa, Masa Depan Yang Ada Harus Dijalani Dengan Tenang dan Dengan Tetap Berpikiran Rasional<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAWqOEOtrSbAOmrZ7n8HlnO6v7nJ1kHkatLWxv-qBa5OB8n0dxoKWpHvyOzUmVayKf1S1Nl5lkOqSRpn7wxm2cZv7nlDEi2JpD4-5CghtBBq0bPe-tdKiGyrvX9PAxh5Du9-yUh62mOt4/s1600-h/Areta.JPEG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 150px; height: 193px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAWqOEOtrSbAOmrZ7n8HlnO6v7nJ1kHkatLWxv-qBa5OB8n0dxoKWpHvyOzUmVayKf1S1Nl5lkOqSRpn7wxm2cZv7nlDEi2JpD4-5CghtBBq0bPe-tdKiGyrvX9PAxh5Du9-yUh62mOt4/s400/Areta.JPEG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5413666265696421682" border="0" /></a><span style="font-style: italic;font-family:georgia;font-size:100%;" >Sebuah pendapat </span><span style="font-style: italic;font-family:georgia;font-size:100%;" >putri Pdt. Ioanes Rakhmat</span> <span style="font-size:100%;"><br /><br /><span style="font-family:georgia;">oleh Areta S. Kh. Rakhmat </span><br /></span> <span style="font-style: italic;font-family:georgia;font-size:100%;" >Siswi kelas 3 SMP Penabur, Jakarta</span><span style="font-size:100%;"><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ayah kami, Ioanes Rakhmat, adalah sosok seorang ayah yang tegas dalam segala sesuatunya. Orangnya rajin, tekun dan sudah berusaha bekerja mencari nafkah sejak beliau masih duduk di bangku sekolah SMA dulu. Beliau adalah orang yang cerdas, berpikiran luas, kritis, dan tak suka dibatasi dalam pemikirannya. Papa tidak sungkan dan sangat gigih dan berani dalam membela pikirannya demi, katanya, kemajuan masyarakat dan demi kebenaran yang kata papa tidak pernah bisa dikuasai seorang pun sepenuh-penuhnya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Papa memiliki banyak prestasi sejak muda dan saat ini telah memperoleh gelar kesarjanaan yang tinggi. Hal tersebut sangatlah mengagumkan. Kami sangat kagum dengan pikirannya yang luas. Kami sungguh mengetahui bahwa pikirannya itu benar, dan kami percaya bahwa yang dilakukan atau ditulis oleh papa kami hanyalah apa yang dianggapnya benar dan tidak mengada-ada. Kami mendukungnya dalam hal itu, dan kami tahu bahwa semua itu benar dari cerita dan wejangan beliau berpanjang lebar, bukan satu atau dua kali, yang disampaikannya teristimewa kalau kami sedang dalam perjalanan pulang dari kota Bandung yang kadang-kadang kami kunjungi dalam satu atau dua bulan sekali. Kami sangat kagum atas pemikirannya yang luas yang suka dibeberkannya kepada kami. Menurut papa banyak sekali hal baik di dunia ini yang sebenarnya dapat dicapai jika semua orang memiliki ilmu pengetahuan yang luas serta cenderung menjalani kehidupan dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan kebaikan.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Menurut beliau, seharusnya segala yang tertera dalam Alkitab itu, jika merupakan fakta, harus bisa ditumpukan pada ilmu pengetahuan. Jadi, bukan hanya sekadar suatu kepercayaan belaka yang tak masuk akal jika dipikirkan dengan logika. Seorang Kristen memang berpegang pada Alkitab sebagai pedomannya, namun menurutnya tak semua hal dalam Alkitab dapat diterima. Ada banyak hal di dalamnya yang memang harus dipikirkan kembali dengan menggunakan aturan logika. Menurut saya itulah cara berpikir seorang pemikir seperti papa. Namun bukan berarti semua orang akan dapat dan harus ikut berpikir sesuai dengan pandangan papa itu. Seorang Kristen sudah sepatutnya mengimani apa yang tertera dalam Alkitab jika apa yang tertera di situ berguna buat kehidupan manusia. Tidak hanya dalam agama Kristen, dalam agama-agama lain yang memiliki Kitab Suci yang berbeda pun seharusnya demikian. Dalam bermasyarakat pun kita tidak boleh membeda-bedakan orang-orang yang berbeda agama, karena sesungguhnya sebagai manusia kita semua ini sama. Menurut saya, tak ada agama yang salah, juga tak ada agama yang paling benar. Masing-masing umat beragama mempunyai satu Allah sendiri yang mereka yakini, yang tidak sama dengan Allah umat beragama lain.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Roda kehidupan memang selalu berputar. Tak mungkin seseorang bisa berada di puncak terus sepanjang kehidupannya. Prinsip itulah yang diyakini dan diterapkan papa dalam menjalani kehidupannya. Jadi, kalaupun sekarang ini beliau harus pensiun dari gereja, hal tersebut tak dijadikannya sebagai suatu beban ataupun suatu hal yang ditakuti. Menurut papa, masa depan yang ada harus dijalani dengan tenang dan dengan tetap berpikiran rasional. Saya menyetujuinya. Demikian pendapat saya untuk menutup tulisan pendek ini. Semoga papa dan warga gereja suka membacanya.</span></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-13538235672073904082009-12-10T00:00:00.003+07:002009-12-10T00:05:26.224+07:00Kita Membutuhkan Lebih Banyak Lagi Sosok seperti Pak Ioanes Sehingga Keberagamaan Yang Kita Jalani Akan Makin Lebih Cerdas, Kritis dan Dinamis . . .<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8hoz7QT3xZA7YYmjMrNmwRlz-g6u0X2jBHF29RP_gCVOxCvRn8mOFPvwT98cqeUyAz_4lB6iiRLwdUcfR4aQX6dV6OtD7_utIOElEDc5fdUbMAJdI3Hdoc4mSmFIraq8u8htvXqWLXiw/s1600-h/Noviany+foto.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 130px; height: 145px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8hoz7QT3xZA7YYmjMrNmwRlz-g6u0X2jBHF29RP_gCVOxCvRn8mOFPvwT98cqeUyAz_4lB6iiRLwdUcfR4aQX6dV6OtD7_utIOElEDc5fdUbMAJdI3Hdoc4mSmFIraq8u8htvXqWLXiw/s400/Noviany+foto.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5413282833346684834" border="0" /></a><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Sebuah opini prib</span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >adi tentang Pak Ioanes Rakhmat </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />oleh Noviany Lucian Thenu </span> <span style="font-style: italic;font-family:georgia;" ><br />Anggota Gereja Kemah Abraham</span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Ketika saya bertemu pertama kali dengan Pak Ioanes Rakhmat di acara kelas midrash Gereja Kemah Abraham asuhan Abuna Jusuf Roni , saya melihatnya sebagai suatu sosok yang tidak takut untuk berpikir kritis dan seorang yang konsisten dalam pemikiran. Sosok pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan di dalam mendorong jemaat untuk lebih membuka wawasan dalam berpikir dan makin bertumbuh dalam iman. Menurut saya, jemaat yang bertumbuh adalah jemaat yang bisa berpikir kritis dan bisa menunjukkan jati diri sebagai orang Kristen melalui perbuatan-perbuatan nyata di tengah masyarakat yang majemuk di negeri Indonesia dewasa ini. </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Salah satu pandangan Pak Ioanes yang membuat saya tertarik adalah bahwa kekristenan Yahudi perdana perlu dikenal dengan benar oleh gereja-gereja di Indonesia sekarang ini. Kenyataannya adalah selama ini informasi dan data mengenai <span style="font-style: italic;">Judeo-Christianity</span> susah ditemukan dalam terjemahan bahasa Indonesia. Dalam sepuluh kali tatap muka kelas midrash yang di bawakan oleh Pak Ioanes, yang berlangsung selama kurang lebih tiga bulan, informasi dan analisis teks-teks kuno tentang kekristenan Yahudi telah diberikannya dengan sistimatis dan mencerahkan. Hemat saya, Pak Ioanes telah berhasil memberi banyak pemaparan yang sangat menarik mengenai konflik-konflik yang terjadi antara para pembela kekristenan Yahudi awal yang mempertahankan Taurat Musa dan Rasul Paulus yang memberitakan suatu injil lain yang membebaskan orang Kristen dari Taurat Musa. </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Semua pengetahuan yang saya dapat tentang kekristenan Yahudi perdana selama pertemuan sepuluh kali itu membuat saya menginsafi bahwa sejak awalnya gereja Kristen itu memang majemuk, tidak satu warna dan tidak satu aliran, dan karenanya tidak ada satu aliran pun yang boleh mengklaim diri sebagai aliran yang terbenar. <br /><br />Melalui Pak Ioanes, saya makin terbina untuk menjadi seorang Kristen yang tidak fanatik, beriman membuta, tetapi menjadi seorang Kristen yang toleran terhadap perbedaan berbagai macam pokok teologis, sambil terus-menerus membentuk jati diri yang makin dewasa yang dicirikan oleh ketenangan bersikap dan keterbukaan pikiran. </span> <span style="font-family:georgia;">Itulah hal berguna yang saya telah terima dari Pak Ioanes, meskipun saya belum lama mengenalnya, sejak beliau akrab dengan Abuna Jusuf Roni.<br /><br />Walaupun tidak dapat dipungkiri juga, kadang kala pemikiran-pemikiran yang dipaparkan Pak Ioanes cukup menggoncangkan kehidupan beragama seseorang, khususnya seseorang yang ingin bertahan mati-matian dalam kepercayaannyan yang lama.<br /><br />Saat ini dan untuk masa yang akan datang, kita membutuhkan lebih banyak lagi sosok seperti Pak Ioanes di Indonesia, sehingga keberagamaan yang kita jalani akan makin lebih cerdas, kritis dan dinamis.</span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Kiranya Tuhan selalu memberikan hikmat dan kebijaksanaan kepada Pak Ioanes Rakhmat sehingga di masa yang akan datang pemikiran-pemikirannya bukan saja membuka cakrawala dan memberikan pencerahan kepada umat Kristen, tetapi juga bisa memperkokoh fondasi-fondasi iman yang dinamis.</span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Selamat memasuki masa emeritasi bagi Pak Ioanes.</span> </span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-23395657927717688452009-12-08T14:49:00.002+07:002009-12-08T14:52:36.052+07:00Bagi Pak Io, Iman Itu Harus Dikoreksi Oleh Akal Budi…. Mengapa?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSemX8Mg24oECIEblTYWJArZkggqqMusn1XhGbu9hr43-v6vkw4tsICj0tKlbS2WNH0grxr8KyDOSjlsDmN-Az8c6NmGRAM05QQucDuxvTw3oSi_A_gKAHQOrloUoWi36IH3GhIHdxMOE/s1600-h/Foto+Hendi+Rusli+%28150X173%29.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 164px; height: 190px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSemX8Mg24oECIEblTYWJArZkggqqMusn1XhGbu9hr43-v6vkw4tsICj0tKlbS2WNH0grxr8KyDOSjlsDmN-Az8c6NmGRAM05QQucDuxvTw3oSi_A_gKAHQOrloUoWi36IH3GhIHdxMOE/s320/Foto+Hendi+Rusli+%28150X173%29.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5412769677981178258" border="0" /></a><span style="font-style: italic;">Sebuah opini seorang sahabat tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat</span> <br /><br />oleh Hendi Rusli,<span style="font-style: italic;"> <br />mahasiswa STT Cipanas</span><br /><br />Rabu siang tanggal 7 Oktober 2009 yang lalu, saya dikejutkan oleh sebuah pesan singkat yang masuk ke HP saya. Kaget sekaligus bangga membaca sebuah SMS dari seorang sahabat yang saya kagumi. Dalam pesan itu, Pak Io (<span style="font-style: italic;">begitu orang menyapanya sebagai tanda keakraban</span>) meminta saya untuk menulis sebuah opini singkat tentangnya untuk buku acara kebaktian emeritasi beliau pada 23 November 2009 yang akan datang. Dengan senang hati saya terima tawaran beliau.<br /><br />Kurang lebih sudah satu setengah tahun saya mengenal Pak Io. Dia dikenal sebagai seorang pemikir Kristen liberal, humanis, dan ahli tafsir Perjanjian Baru. Usia persahabatan yang kami jalani dapat dikatakan masih relatif muda. Namun, sungguh pun demikian kami adalah dua orang teman yang selalu berbagi, saling percaya dan juga saling menyediakan waktu.<br /><br />Beberapa tahun sebelum berkenalan dengan Pak Io, saya telah banyak membaca tulisan-tulisan beliau. Baik dalam jurnal-jurnal teologi, artikel-artikel maupun dalam tulisan-tulisannya di beberapa blognya. Beliau memang sudah cukup dikenal sebagai seorang penerjemah buku dan juga seorang penulis. Pemikiran-pemikiran beliau begitu tajam, sistematis dan kritis. Semua orang yang mau menggunakan nalarnya pasti senang membaca tulisannya.<br /><br />Namun di sisi lain, banyak orang yang berpandangan negatif tentang beliau yang dianggap mereka sebagai seorang yang liberal, tidak beriman, kontroversial dsb. Menurut hemat saya, mereka yang beranggapan demikian sesungguhnya tidak mengenal Pak Io. Siapa yang dapat mengukur iman seseorang? Dan apakah pengalaman iman orang lain harus sama dengan pengalaman iman saya? Atau dengan pengalaman iman Saudara? Tentunya tidak! Bagi Pak Io, iman itu harus dikoreksi oleh akal budi…. Mengapa? Karena iman seseorang dibentuk oleh dogma-dogma keagamaan yang dapat salah, yang seringkali mengkotak-kotakkan, memenjarakan pikiran dan eksklusif, menyingkirkan yang berbeda. Akal budi dapat mengoreksi dan menuntun iman yang membabi-buta, sempit, dan merasa paling unggul, kepada iman yang inklusif, pluralis, terbuka dan universal. Dan Pak Io sudah mencapai tingkat iman yang sedemikian itu. <br /><br />Selama saya mengenal dan bersahabat dengan Pak Io, relasi kami satu sama lain sangat baik. Kependetaan beliau tidak nampak dalam suatu kerangka yang formalistik dan juga tidak dipandangnya sebagai suatu jabatan yang sakral, sebab baginya yang sakral hanya Tuhan seorang; sementara kebanyakan orang membanggakan jabatan kependetaan ini. Gelar doktor dan jabatan kependetaannya tidak menjadi jarak bagi relasi kami, meskipun saya berstatus sebagai seorang mahasiswa di STT Cipanas. Dia menganggap saya setara dengannya, menghargai pendapat saya dan menggembalakan nalar saya supaya saya dapat berpikir kritis.<br /><br />Pemahaman beliau mengenai dogma-dogma yang saya pegang selama ini begitu berbeda. Hal ini sungguh memberi banyak pembaharuan dan pencerahan bagi kehidupan beriman dan bernalar saya. Banyak di antara tulisan-tulisan beliau telah dan sedang mengubah paradigma saya dalam berteologi. Mungkin juga paradigma banyak orang. Kita pun seharusnya perlu belajar seperti beliau, berani berpikir dan menerobos batas-batas dogma yang seringkali mengekang dan memenjarakan nalar kita. Gereja dapat berkembang, dinamis dan terbuka terhadap perubahan dan perkembangan zaman jika para pemimpinnya melakukan hal yang sama.<br /><br />Akhir kata saya mengucapkan selamat kepada Pak Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat yang telah menyelesaikan tugas dan pelayanan strukturalnya di Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat. Semoga pelayanan Bapak selanjutnya dan seterusnya di manapun dan kapanpun dapat menjadi berkat, dirasakan dan membekas pada orang-orang yang Bapak tantang untuk terus-menerus berpikir kritis. Harapan saya, Bapak dapat mengembangkan terus pemikiran-pemikiran Bapak yang mencerahkan untuk menjadikan makin banyak orang (Kristen dan non-Kristen) cerdas beragama, kritis dan progresif. Kiranya Tuhan Memberkati.Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-74224609665902809452009-12-07T15:43:00.004+07:002009-12-07T15:51:00.393+07:00Pak Ioanes ... Hidup dalam Ketegangan antara Fides dan Saeculum<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPxgmwzWgKihQlIIv7HiiI56aq3uxppeQGtRHI75dGLpUItT0URi1iD7xyG_3_414pUvOFp9IaCHTsG6gxPKmuf676nGdZ46HrUNzBgMDva1HEdALvlFcs5gVANdSnKQu-eBY_hNe-47k/s1600-h/Foto+Budiman+Heryanto+%28150X187%29.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 163px; height: 208px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPxgmwzWgKihQlIIv7HiiI56aq3uxppeQGtRHI75dGLpUItT0URi1iD7xyG_3_414pUvOFp9IaCHTsG6gxPKmuf676nGdZ46HrUNzBgMDva1HEdALvlFcs5gVANdSnKQu-eBY_hNe-47k/s320/Foto+Budiman+Heryanto+%28150X187%29.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5412412589616583490" border="0" /></a><span style="font-style: italic;font-size:100%;" ><span style="font-family:georgia;">Sebuah opini seorang rekan tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat </span></span><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;"><br /></span><span style="font-family:georgia;">Budiman Heryanto,</span> <span style="font-family:georgia;"><br /><span style="font-style: italic;">Pendeta GKI dan pembaca blog-blog Ioanes Rakhmat </span></span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Saya pertama kali mengenal Pak Ioanes Rakhmat (IR) waktu masih di SMA lewat majalah Kairos. Saya rutin meminjam majalah itu dari seorang penatua di GKI Guntur Bandung, tempat saya berjemaat. Saya tertarik pada pemikiran Pak IR. Waktu itu dia sedang terlibat debat dengan seorang warga GKI di kolom Surat Pembaca. Artikel serialnya tentang Yesus sejarah selalu saya ikuti. Walau dengan banyak pertanyaan di kepala. </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Keinginan saya menempuh studi teologi semakin terdorong oleh pandangan-pandangan Pak IR. Tapi, ketika saya masuk di tahun 1998 ke suatu sekolah teologi di Jakarta, Pak IR sedang studi di Belanda. Karena itu saya tidak menikmati pengalaman mengeksplorasi teologi biblika bersama Pak IR. Ada kalangan yang menyebut Pak IR seperti Rudolf Bultmann; seorang teolog besar kebangsaan Jerman yang dianggap liberal. Orang mudah menganggap seseorang liberal bahkan sesat tanpa pernah memeriksa secara utuh pemikirannya. Seperti Bultmann yang kadung dicap liberal karena upaya demitologisasi yang disalahpahami sebagai “penghilangan yang sakral, yang misteri, dalam pembacaan Alkitab”. Saya berpikir, pasti GKI bangga memiliki seorang pendeta seperti diri Pak IR. Setahu saya, hanya ada 2 orang penekun kajian Yesus sejarah di Indonesia, yakni Romo Martin Harun, dan Pak IR. </span> <span style="font-family:georgia;"> </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Perjumpaan tatap muka kali pertama saya dengannya terjadi saat dia kembali dari Belanda sekitar tahun 2002. Dia banyak diam dan kami belum saling mengenal. Baru pada tahun 2005 setelah dia merampungkan disertasi doktornya, kami saling mengenal. Lewat disertasinya yang unik bagi saya, saya makin mengenal Pak IR. Dia menantang dan mematahkan teori John Dominic Crossan, pakar Yesus sejarah kenamaan dari Amerika Serikat dan salah seorang pendiri komunitas <span style="font-style: italic;">Jesus Seminar</span>.</span> <span style="font-family:georgia;"> </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Belakangan ini, Pak IR aktif menjadi penerjemah, pembicara dan penulis. Ada tiga blog pribadi di Internet yang dia bangun; dan satu blog kolektif. Blog pertama, <span style="font-style: italic;">The Freethinker Blog</span>, dibangun untuk memublikasikan pemikirannya dalam bidang biblika dan teks-teks keagamaan di luar kanon Alkitab. Blog kedua, <span style="font-style: italic;">The Critical Voice Blog</span>, didirikan untuk memublikasi pemikiran dan keprihatinannya yang lebih meluas di bidang-bidang keagamaan, sosial, politik, sains, seni, dst. Blog ketiga, <span style="font-style: italic;">The Jesus Blog</span>, dia bangun atas dorongan banyak pihak yang ingin mendalami kajian Yesus sejarah dan kajian Yesus kontekstual. Yang terakhir, dia bangun sebuah blog kolektif, <span style="font-style: italic;">The Countertheocracy Blog</span>, yang berhasil menggalang duapuluhan cendekiawan Indonesia yang menghendaki Indonesia tetap majemuk dan mengusung Pancasila dan demokrasi dan bersifat non-teokratis.<br /><br />Ada beberapa tulisan Pak IR yang mempertajam kesadaran orang tentang politik agama yang sedang dijalankan lewat berbagai produk hukum di Indonesia belakangan ini. Pak IR meluaskan visi dan pokok penelitiannya, dari kajian biblika, ke kajian Yesus sejarah, lalu ke kajian kekristenan Yahudi perdana sampai ke kajian politik dan kemanusiaan. Hal ini mengingatkan saya pada pemikiran seorang teolog besar Katolik kebangsaan Belgia, Edward Schillebeeckx, yang menyatakan bahwa teologi adalah suatu janji dan ikatan kepada kehidupan, kepada semua yang menjerit demi kehidupan. </span> <span style="font-family:georgia;"> </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Dengan ini semua, apa yang Pak IR cari? Rupanya dia mencoba menemukan aksentuasi iman dalam ranah sekular, atau malah sebaliknya, menemukan yang sekular dalam ranah keimanan. Seperti ditelaah oleh Charles Taylor, dalam <span style="font-style: italic;">The Secular Age</span> (2008), dalam masyarakat sekular agama tidak pernah benar-benar hilang. Yang terjadi adalah masyarakat sekular hanya melakukan represi terhadap agama. Agama mengendap di bawah permukaan. Teori Sigmund Freud mengenai alam bawah sadar sangat relevan untuk menjelaskan hal ini. Agama itu seperti mimpi buruk yang ditekan ke alam bawah sadar sekularisme. Tetapi pengalaman-pengalaman yang direpresi ke alam bawah sadar sesungguhnya tidak benar-benar terkungkung. Ada momen-momen tertentu di mana pengalaman-pengalaman itu bocor dan mencuat ke luar. Represi terhadap alam bawah sadar selalu merupakan represi yang gagal. Agama yang dipinggirkan dan direpresi selalu menemukan berbagai cara untuk tampil kembali ke permukaan. Tetapi sesuatu yang telah mengalami peminggiran dan represi itu tidak muncul kembali dalam bentuk yang benar-benar sama dengan bentuk sebelumnya. Trend beragama yang muncul dalam era globalisasi ini adalah sesuatu yang lain dari agama sebelumnya. Jonathan Benthall menyebut semua hal ini dengan istilah “para-religion”. <span style="font-style: italic;">Para-religion</span> adalah suatu cara baru presentasi doktrin agama; seolah-olah presentasi ini mengandung karakter sebuah agama tradisional tetapi sesungguhnya berbeda. Barangkali Pak IR memang sedang menggeluti <span style="font-style: italic;">para-religion</span> ini.</span> <span style="font-family:georgia;"> </span> <span style="font-family:georgia;"><br /><br />Pak IR, meskipun tampil tanpa selubung sebagai seorang pemikir liberal, bagaimana pun juga dia adalah seorang gembala gereja. Dia hidup dalam ketegangan antara <span style="font-style: italic;">fides </span>dan <span style="font-style: italic;">saeculum</span>; antara iman dan dunia. Tidak menampik dunia, bahkan memperhitungkannya dengan serius, tetapi tidak juga melepaskan ranah “misteri” dari iman itu sejauh dia memandang misteri ini ada. Selamat memasuki masa emeritasi, Pak IR. Selamat menggembalakan umat dan dunia “dalam kemasan yang baru”.</span></span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3930021113829898297.post-85170932890593888792009-12-05T00:48:00.005+07:002009-12-05T00:55:56.903+07:00Bagi Pak Ioanes… Akal Budi Adalah Sebuah Karunia Yang Tidak Boleh Disia-siakan!<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOajBbrMFRgsMsAuEsvv0GaTXvhdukZn5JxOHMczrSohaMDS190Y6TA1BXFp0ZtJdA49-OL2bWKZF86tMtEuDZnkd7wsc_mRxEJKAkL8Z2_NlOgAUWcZALZyMa6yzxmu7jgI5H2dVeysU/s1600-h/Foto+Demianus+Nataniel+%28150X173%29.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 150px; height: 173px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOajBbrMFRgsMsAuEsvv0GaTXvhdukZn5JxOHMczrSohaMDS190Y6TA1BXFp0ZtJdA49-OL2bWKZF86tMtEuDZnkd7wsc_mRxEJKAkL8Z2_NlOgAUWcZALZyMa6yzxmu7jgI5H2dVeysU/s400/Foto+Demianus+Nataniel+%28150X173%29.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5411439590071964050" border="0" /></a><span style="font-style: italic;font-family:georgia;font-size:100%;" >Sebuah Opini seorang Pendeta GKP Rangkasbitung tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" ><br /><br />Oleh Pdt. Demianus Nataniel<br /><br />Ketika saya tengah menemani anak kami yang sedang berlatih badminton, ada sebuah SMS masuk ke HP saya, yang ternyata berasal dari Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat, seorang pendeta yang saya kenal antara lain melalui tulisan-tulisannya baik yang dipublikasikan lewat surat kabar, majalah, buku-buku, maupun dalam beberapa blog pribadinya di Internet. Pak Ioanes menginformasikan bahwa pada tanggal 23 November 2009 dia akan memasuki masa emeritasi sebagai seorang pendeta GKI Sinode Wilayah Jawa Barat. Berita tersebut tentu membuat banyak pertanyaan muncul karena di gereja tempat saya menjadi pendeta, yakni Gereja Kristen Pasundan, orang yang seusia Pak Ioanes, usia yang relatif masih muda, tidak lazim menerima penghargaan emeritus. Di Gereja Kristen Pasundan faktor yang paling penting untuk menentukan seorang pendeta dapat memasuki masa emeritasi adalah usia. Dan setahu saya hal yang sama juga berlaku di Gereja Kristen Indonesia, tempat Pak Ioanes ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Jadi perayaan emeritasi Pdt. Ioanes Rakhmat kemungkinan adalah suatu perayaan yang luar biasa, dalam arti tidak lazim, atau kalaupun ada pastinya jarang terjadi.<br /><br />Peristiwa yang tampaknya kurang lazim ini mendorong saya membuka kembali tulisan-tulisan yang pernah dibuatnya. Dalam catatan saya, Pak Ioanes ternyata telah menulis banyak tema antara lain yang terkait dengan tafsir Alkitab, Yesus sejarah, sejarah gereja perdana, filsafat, peristiwa-peristiwa aktual seperti Pemilu 2009 di Indonesia, polemik RUU Jaminan Produk Halal, dan lain sebagainya. Dan setelah menyimak kembali tulisan-tulisannya maka saya berkata dalam hati bahwa memang wajar jika akan berlangsung suatu peristiwa luar biasa terkait dengan keberadaannya sebagai seorang pendeta, karena ternyata pemikiran-pemikirannya sekaligus bagaimana dia menyampaikannya </span><span style="font-style: italic;font-family:georgia;font-size:100%;" >memang tidak biasa</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >.<br /><br />Ada banyak hal menarik yang sesungguhnya saya dapatkan dari isi dan gaya penulisan Pak Ioanes. Dalam sebuah blog pribadinya, misalnya, beliau mengklaim sebagai seorang </span><span style="font-style: italic;font-family:georgia;font-size:100%;" >freethinker</span><span style=";font-family:georgia;font-size:100%;" >, seorang rasionalis serta tidak mau terikat pada dogma gerejawi tertentu walaupun dia seorang pendeta. Sebuah klaim yang menurut saya sangat berani untuk disampaikan oleh seorang pendeta secara terbuka di hadapan umum. Di sinilah salah satu kekhasan Pak Ioanes sebagai seorang pendeta, yakni memiliki sikap yang mungkin sulit atau mungkin juga belum dapat diterima oleh kalangan gereja pada umumnya yang diakui atau tidak, disadari atau tidak, mengikatkan diri pada suatu dogma tertentu yang disusun sekian abad lampau di tempat lain.<br /><br />Penolakannya untuk tidak dikuasai oleh dogma apapun tampaknya bukan tiba-tiba atau bahkan tanpa alasan sama sekali. Alasan pertama yang mendorong sikapnya sebagai seorang yang berpikir bebas adalah rasa syukur yang dalam terhadap karunia akal yang diterimanya. Baginya akal budi adalah sebuah karunia yang tidak boleh disia-siakan oleh manusia. Akal adalah alat yang diterima manusia untuk mengetahui dan mengenal segala sesuatu. Kerja akal pula yang tampaknya dapat mengasah kepekaan hati nurani manusia. Berbagai tulisannya yang memuat tafsiran terhadap kisah penciptaan manusia, misalnya, menunjukkan suatu keyakinan Pak Ioanes bahwa Allah memang menugaskan manusia untuk bekerja, mengusahakan apa yang Allah percayakan dengan memanfaatkan akal budi yang sudah Allah berikan bagi manusia. Sebuah kekeliruan besar jika akal dihambat untuk bekerja. Penolakan terhadap penggunaan akal sebagai salah satu alat untuk mengenal Allah adalah pengingkaran terhadap kasih Allah.<br /><br />Alasan berikutnya yang tampaknya memengaruhi sikap Pak Ioanes saat ini adalah kekagumannya pada teks-teks Alkitab. Baginya teks-teks Alkitab adalah literatur yang sangat berharga untuk memahami dunia pada masa lalu, termasuk komunitas-komunitas gereja perdana yang menjadi konteks lahirnya teks-teks Perjanjian Baru. Sebagai teks-teks yang lahir dari masa lalu maka teks-teks Alkitab harus diperlakukan dengan baik, tidak seenaknya. Perbedaan waktu dan tempat yang jauh dari saat ini dan dari konteks sosial kehidupan masa kini mengharuskan penggunaan banyak alat untuk memahami teks-teks Alkitab. Berbagai disiplin ilmu yang ada, dia hargai dan dipakai untuk memahami dengan baik apa yang terjadi di masa lalu. Hasilnya, dia menemukan bagaimana manusia merefleksikan hidupnya, masyarakat dan lingkungannya, keyakinannya, Tuhannya dan lain sebagainya. Teks-teks Alkitab juga telah menunjukkan pada Pak Ioanes bahwa manusia adalah makhluk yang rentan melakukan kekeliruan. Dan sebagai kumpulan teks yang ditulis oleh tangan manusia Alkitab pun sangat mungkin keliru. Ada pesan-pesannya yang sudah tidak lagi relevan dengan konteks masyarakat saat ini. Hal inilah yang seharusnya membuat manusia semakin terbuka dalam menggunakan akal berikut hati nuraninya agar kekeliruan yang telah dilakukan oleh orang-orang di masa lalu sebagaimana terungkap dalam Alkitab tidak lagi berulang saat ini.<br /><br />Sejalan dengan alasan tersebut di atas dan yang menurut saya tampaknya sangat memengaruhi Pak Ioanes dalam mengambil posisi tersebut di atas adalah kesetiaannya pada ilmu pengetahuan, khususnya pada ilmu dan pendekatan metodik dalam penjelajahan dan penelitian tanpa akhir terhadap teks-teks Alkitab, yang pada gilirannya membuat dia begitu kagum dan jatuh cinta kepada Yesus yang dikisahkan dalam Alkitab. Kekagumannya dan kecintaannya kepada Yesus yang dikisahkan dalam Alkitab membuat Pak Ioanes berusaha semakin mengenal siapa Yesus. Dia kemudian menjadi tidak puas hanya mengenal Yesus dari catatan-catatan dalam Alkitab, yang menurutnya hanya mewakili pendapat kelompok-kelompok tertentu atau sebagian gereja di abad-abad pertama saja. Berbagai tradisi, literatur, lukisan atau apapun itu yang memuat pembicaraan tentang Yesus, dia gali, dia pelajari dan direkonstruksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan sosok Yesus yang dia kagumi dan cintai itu. Dari usaha kerasnya itulah Pak Ioanes menemukan Yesus yang humanis, Yesus yang kritis, Yesus yang periang, Yesus yang meski hidup dalam tradisi Yahudi tetapi tidak mau dikuasai oleh tradisi Yahudi sekaligus dogma-dogma di dalamnya. Yesus yang inilah yang kemudian menjadi teladan bagi Pak Ioanes dalam berkarya. Dengan kata lain tampaknya sikap Pak Ioanes saat ini terinspirasi oleh sikap Yesus yang dia kagumi dan cintai.<br /><br />Dari catatan-catatan mengenai pemikiran-pemikiran Pak Ioanes yang telah diuraikan dengan singkat di atas, maka dapat dimengerti jika dia diperlakukan cukup istimewa dengan peristiwa emeritasinya di akhir tahun 2009 ini. Pemikiran-pemikirannya yang tidak biasa diungkapkan olah banyak orang secara terbuka rasanya dapat menjadi pelajaran berharga bagi siapapun, termasuk gereja-gereja saat ini.<br /><br />Pertama, pemikiran-pemikiran Pak Ioanes sesungguhnya menantang gereja-gereja untuk lebih mengenal Yesus, yang diyakini gereja sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia. Upaya pengenalan ini juga menuntut keberanian untuk bersikap kritis dan terbuka terhadap segala sesuatu yang ada pada diri gereja, termasuk pada dogma-dogma yang dipegang selama ini. Kedua, pemikiran-pemikian Pak Ioanes sesungguhnya mengundang kita semua untuk mau memanfaatkan apa pun yang kita yakini telah Tuhan karuniakan, termasuk dan terutama untuk menggunakan akal budi semaksimal mungkin serta hati nurani dalam menyikapi kehidupan ini.<br /><br />Akhirnya, dalam kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan ucapan selamat memasuki masa emeritus kepada Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat. Saya yakin dengan emeritasi yang diberikan kepadanya, Pak Ioanes justeru dapat lebih leluasa berpikir dan berkarya. Membagikan ilmu-ilmunya bagi siapapun. Selamat Pak Ioanes... Tuhan memberkati.</span>Ioanes Rakhmathttp://www.blogger.com/profile/17296215521750163038noreply@blogger.com