Friday, August 27, 2010

Ferdinand Magellan: Bumi Bulat, Bukan Ceper!

pelayaran keliling bola bumi Ferdinand Magellan memberi bukti pertama
bagi sains bahwa Bumi berbentuk bulat, bukan ceper

“The church says the earth is flat, but I know that it is round, for I have seen the shadow on the moon, and I have more faith in a shadow than in the church.” (Ferdinand Magellan)

“Gereja berkata bahwa Bumi ceper, tetapi saya tahu bhw Bumi bulat, sebab saya sudah melihat bayangannya pada Bulan, dan saya lebih percaya kepada sebuah bayangan ketimbang kepada gereja”
(Ferdinand Magellan)
Ferdinand Magellan (c. 1480- 27 April 1521) dilahirkan di Sabrosa, Portugal utara, tetapi kemudian mendapatkan kewarganegaraan Spanyol karena mau bekerja di bawah perintah Raja Charles I dari Spanyol untuk menyelidiki suatu rute pelayaran ke arah barat menuju “kepulauan rempah-rempah” (kepulauan Maluku di Indonesia sekarang). Ekspedisi Magellan yang berlangsung dari 1519 sampai 1522 adalah ekspedisi pertama yang mengarungi Samudera Atlantik masuk ke Samudera Pasifik (yang waktu itu dinamakan “laut damai” oleh Magellan karena airnya yang tenang) melewati Selat Magellan, lalu menyeberangi untuk pertama kalinya Samudera Pasifik. Ekspedisi ini juga adalah ekspedisi pertama lewat laut yang berhasil mengelilingi bola Bumi (= pelayaran sirkumnavigasi), meskipun Magellan sendiri tidak sempat menyelesaikan seluruh perjalanan laut ini karena dia terbunuh dalam Perang Maktan di Filipina. Namun, Magellan dalam suatu pelayaran sebelumnya ke arah timur berhasil sampai ke Semenanjung Melayu, sehingga dialah penjelajah laut pertama yang berhasil melintasi semua garis bujur bola bumi.


rute penjelajahan laut Ferdinand Magellan

Dari 237 orang yang berlayar dengan menggunakan 5 kapal laut, hanya 18 yang berhasil menyelesaikan sirkumnavigasi dan balik kembali ke Spanyol pada 1522 dipimpin navigator Basque yang bernama Juan Sebastián Elcano, yang mengambil alih komando ekspedisi setelah kematian Magellan. Tujuh belas orang tiba di Spanyol belakangan: 12 orang ditangkap oleh Portugis di Kape Verde beberapa minggu sebelumnya dan di antara 1525 dan 1527, dan lima orang berhasil selamat di kapal Trinidad.

Ferdinand Magellan pada masanya membuktikan kepada dunia dan kepada semua yang menolak gagasannya bahwa orang dapat berlayar mengelilingi Bumi karena planet biru ini bulat seperti bola. Pelayarannya memberikan bukti positif pertama bagi sains bahwa Bumi ini bulat.

Para pecinta Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, kerap berkeras bahwa orang pada zaman Perjanjian Lama ditulis sudah berpandangan bahwa Bumi ini bulat seperti bola. Sebagai sebuah teks bukti, mereka biasanya mengacu ke Yesaya 40:22, yang dalam Alkitab Terjemahan Baru LAI memuat frasa “bulatan bumi”. Kata Ibrani dalam teks Yesaya ini, yang diterjemahkan dengan “bulatan”, adalah חוּג (chug), dan kata ini tidak tepat jika diterjemahkan dengan “bulatan”, melainkan harus “lingkaran” atau “cakram”. Bandingkan kata Ibrani yang sama dalam Terjemahan Baru LAI dalam Ayub 22:14 (“lingkaran langit”) dan Amsal 8:27 (“kaki langit”). Yang dimaksud dengan chug dalam Yesaya 40:22 adalah suatu bentuk lingkaran cakram yang tipis, bukan suatu bentuk bola padat.

Juga harus diingat bahwa ketika orang yang hidup pada zaman Alkitab ditulis memandang Bulan dan Matahari di angkasa, mereka belum mampu berpikir bahwa kedua benda langit ini berbentuk bola, sebab yang langsung tampak kelihatan oleh mereka (dan juga oleh kita sekarang) dari Bumi adalah baik Bulan maupun Matahari berbentuk sebagai sebuah piring atau sebuah cakram tipis. Selain itu, mereka juga belum mampu berpikir bahwa kalau Bumi berbentuk bulat seperti bola, air laut di belahan belakang atau di belahan bawah bola Bumi tidak akan tumpah atau jatuh ke bawah. Kita yang hidup pada zaman modern saja, yang sudah mengenal daya gravitasi bumi, mampu berpikir bahwa air laut di belahan bumi lainnya tidak akan tumpah. Begitu juga, kalaupun Aristoteles melihat bayangan Bumi pada Bulan ketika terjadi gerhana, mungkin sekali dia tidak membayangkan Bumi ini berbentuk bola, tetapi, paling jauh, berbentuk sebuah piring atau sebuah lingkaran cakram tipis.

Beberapa abad sebelum Masehi, astrologi sudah berkembang luas di Babilonia, dan sistem penangggalan yang membagi satu minggu dalam tujuh hari sudah dikenal, dan sistim penanggalan inilah yang diambil alih oleh para penulis Kejadian 1:1-2:4a (Mazhab Imamat/Priester) ketika mereka mengasalkan sistem penanggalan ini pada penciptaan yang Allah mereka telah lakukan selama enam hari dengan hari ketujuh sebagai hari istirahat buat Tuhan Allah ini. Tidak jelas juga apakah dalam astrologi yang sudah berkembang ini, orang Babilonia sudah mampu memandang Bumi, Bulan dan Matahari serta semua planet lain yang sudah dikenal pada masa itu berbentuk bulat seperti bola.

Begitu juga, kalaupun Aristoteles melihat bayangan Bumi pada Bulan ketika terjadi gerhana, mungkin sekali dia tidak membayangkan Bumi ini berbentuk bola, tetapi, paling jauh, berbentuk sebuah piring atau sebuah lingkaran cakram tipis. Sebelum Aristoteles, seorang filsuf besar yang bernama Sokrates pada abad 4 SM sudah berpendapat bahwa Bulan itu terdiri atas bebatuan dan karang, sementara Ortodoksi Athena berpandangan bahwa Bulan adalah Dewa yang harus disembah. Kita tahu, pada 399 SM Sokrates menerima penghukuman mati dengan meminum racun di sebuah penjara negara di Athena dengan salah satu tuduhannya adalah bahwa dia mengajarkan ajaran-ajaran baru yang bertentangan dengan Ortodoksi Athena.

Kalaupun pada beberapa abad Sebelum Masehi sudah ada keyakinan bahwa Bumi, Bulan dan Matahari berbentuk bulat seperti bola, keyakinan ini tentu baru sebagai sebuah hipotesis yang belum terbukti secara empiris. Bahkan pada abad pertama, penulis teks Kisah Para Rasul pun masih berpikir bahwa Bumi ini memiliki “ujung” sehingga ditulislah olehnya sebuah perintah pekabaran Injil “sampai ke ujung Bumi” (KPR 1:8). Bahkan pada masa Ferdinand Magellan hidup (abad 15-16), Gereja Katolik Roma masih berpandangan bahwa Bumi ini ceper, sebuah pandangan yang justru dilawan olehnya.

Jadi, berterimakasihlah kepada Magellan, karena dialah orang pertama yang membuktikan bahwa Bumi ini berbentuk sebuah bola, yang di permukaannya darat dan samudera tertata dalam suatu keseimbangan alamiah.


Sunday, August 22, 2010

Problem Teodise (6): Penderitaan Muncul Karena Allah Jahat dan Memihak!

Bahkan kisah tentang penjatuhan tulah kesepuluh hanya pantas dipandang sebagai suatu takhayul tentang suatu Allah yang brutal dan sadistik
Teodise adalah suatu kepercayaan pada keadilan, kemahabaikan dan kemahakuasaan Allah YME terhadap umat yang menyembah-Nya. Dalam mencari problem teodise, adakah sesuatu yang relevan, yang dapat muncul dari kisah-kisah keluaran dari Mesir dalam kitab Keluaran?

Umumnya para pemakai Perjanjian Lama dengan tidak kritis memandang kisah eksodus dari Mesir beserta kisah-kisah sebelumnya tentang penimpaan sepuluh tulah kepada orang Mesir dalam kitab Keluaran 7-14 sebagai kisah-kisah nyata tentang Allah yang maha kuasa yang telah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan konon selama 430 tahun di tanah Mesir (12:40). Di lingkungan gereja-gereja di Indonesia, tidak sedikit pendeta atau pastor atau pekabar injil memakai kisah-kisah eksodus ini dalam khotbah-khotbah mereka dalam ibadah memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada setiap tanggal 17 Agustus. Meskipun sebetulnya sama sekali tidak ada kesejajaran antara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam bagian kitab Keluaran ini dan perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan dari tangan imperialis Belanda, para pengkhotbah itu terus saja memakai kisah-kisah ini dalam khotbah-khotbah 17 Agustusan mereka!



problem Allah yang berat sebelah dalam teodise

Banyak pakar kajian kritis biblika dengan tepat meragukan bahkan menolak sama sekali historisitas semua peristiwa yang diceritakan dalam bagian kitab Keluaran ini, mulai dari penjatuhan sepuluh tulah sampai penyeberangan Laut Merah. Kalau orang membaca dengan teliti kisah penyeberangan Laut Merah ini, dia akan menemukan bahwa penyebab Laut Merah terbelah dua adalah “angin timur yang bertiup dengan keras” (14:21). Pikirkan saja minimal teks 14:21 ini. Jika air laut yang sangat besar volumenya, dan tentu saja juga dalam, bisa dibelah dua oleh angin timur ini semalam suntuk, kekuatan angin ini tentu sangat dahsyat. Nah, logika kita menyatakan, di tengah terjangan angin timur yang sangat dahsyat ini mustahil orang Israel (konon berjumlah 600.000 lelaki, belum termasuk anak-anak dan perempuan!) bisa dengan tenang dan mudah menyeberangi Laut Merah yang sudah terbelah dua! Jika mereka nekad masuk ke dalam terjangan dahsyat angin ini, mereka pasti akan ditiup terbang melayang bak daun-daun kering lalu jatuh dan mati! Jadi, dengan sedikit memikirkan bagian teks ini saja kita sudah bisa menyimpulkan bahwa kisah penyeberangan ini adalah suatu kisah fiktif.


Figur Musa dalam kisah-kisah ini—khususnya dalam kisah tentang pembelahan air Laut Merah menjadi dua sehingga seluruh orang Israel bisa melintasi laut ini dengan berjalan di tanah kering (Keluaran 14:15-31)— ditampilkan sebagai sosok heroik tiada taranya. Tak salah jika para ahli memandang seluruh kisah eksodus ini sebagai suatu epik suci yang ditulis bukan dengan tujuan untuk melaporkan suatu peristiwa sejarah faktual, melainkan untuk mengagungkan Nabi Musa sebagai sang nabi pemerdeka bangsa Israel dari kekuasaan orang Mesir yang telah terlalu lama menindas dan menyepelekan mereka. Kita tak perlu mencari-cari berbagai penjelasan alternatif untuk bisa menerima kisah-kisah ini sebagai kisah-kisah sejarah, misalnya, seperti diusulkan beberapa penafsir, bahwa yang orang Israel seberangi bukanlah Laut Merah, the Red Sea, tetapi the Reed Sea, Laut Alang-alang (Alkitab TB LAI: Laut Teberau) yang dangkal, yang pada waktu sedang surut dapat diseberangi dengan sangat mudah.



YHWH, Tuhan pencemburu yang berperang bagi Israel

Ya, kisah-kisah eksodus dari Mesir ini memberitakan tentang YHWH bangsa Israel sebagai Tuhan pembebas dan penolong yang telah berkarya dengan kemahakuasaan-Nya membawa Israel keluar dari tanah perbudakan. Nabi Musa dalam kisah-kisah ini tampil sebagai sang hero Israel tanpa tandingan selamanya, yang melalui kepemimpinannya dan kemampuannya membuat banyak mukjizat, Allah telah memerdekakan bangsa Israel dari cengkeraman tangan bangsa Mesir dan menjadikan mereka suatu bangsa merdeka yang kelak akan memiliki tanah sendiri. Oleh Allah sendiri, Nabi Musa “diangkat sebagai Allah bagi Firaun” (7:1). Ya, dalam kisah-kisah ini Allah tampil sebagai Allah yang maha baik dan maha kuasa yang telah melepaskan bangsa Israel dari penderitaan dan nestapa berat, yang dilukiskan telah “berperang melawan Mesir” demi membela orang Israel (14:14, 25). Jelas, dalam situasi dibela dan ditolong oleh Allah semacam ini, tidak ada problem teodise bagi bangsa Israel: YHWH mereka adalah YHWH yang mahakuasa, mahaadil, mahabaik dan mahapembebas, Tuhan yang telah memerdekakan mereka dari azab perbudakan.


Tetapi, jangan sekali-kali diabaikan, bagi orang Mesir, keluarnya bangsa Israel dari tanah mereka harus mereka bayar dengan begitu banyak penderitaan berat, mulai dari tulah pertama (seluruh air di Mesir berubah menjadi darah) sampai tulah kesepuluh (berupa kematian seluruh anak sulung orang Mesir dan seluruh anak sulung binatang)! YHWH Israel dilukiskan menjadi sang Dalang dari semua penderitaan bangsa Mesir! Tentu saja kisah-kisah penjatuhan sepuluh tulah itu terlalu fantastis untuk dapat diterima sebagai kisah-kisah sejarah faktual. Bahkan kisah tentang penjatuhan tulah kesepuluh hanya pantas dipandang sebagai suatu takhayul tentang suatu Allah yang brutal dan sadistik: Allah melewati rumah-rumah orang Israel karena pada kedua tiang pintu dan ambang atasnya telah diborehi darah anak domba jantan sehingga seluruh anak sulung orang Israel luput dari kematian; tetapi sebaliknya sang malaikat elmaut memasuki rumah-rumah orang Mesir karena rumah-rumah ini tidak ditandai oleh darah anak domba jantan lalu membunuh semua anak sulung Mesir, anak sulung manusia dan anak sulung hewan.


Pertanyaan pentingnya bukanlah apakah betul semua kisah eksodus ini kisah dongeng, melainkan: Apakah kita harus dengan senang memegang suatu teodise yang membuat kita yakin dan percaya bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang mahakuasa, mahakasih, mahaadil dan mahapenolong, sementara untuk membuat kita mengalami semua kebaikan, kemahakuasaan, keadilan dan kasih Allah ini , sang Allah ini harus berlaku keras, jahat, keji dan penuh nafsu membunuh terhadap orang lain yang kita tidak senangi, yang kita nilai telah berbuat jahat dan tidak adil kepada kita? Orang lain ini bisa orang yang kita cap telah sesat dalam beragama, bisa orang yang menganut suatu paham ideologis berbeda, bisa umat beragama lain, bisa seorang homoseksual, bisa suku lain, atau pun bangsa lain. Apakah kita harus menerima suatu Allah yang memihak seseorang atau suatu bangsa tertentu, tetapi menjahati, menghancurkan dan membunuh seseorang lain atau suatu bangsa lain? Inilah sisi lain yang kelam dari satu mata uang logam teodise!



Mars (Ares), dewa perang bangsa Romawi,
konon dialah sang ayah Romulus dan Remus, para pendiri Roma

Tentu saja, karakter Allah yang semacam ini bukan diwahyukan, tetapi dikonsep oleh seseorang atau oleh suatu umat yang telah mengalami suatu kenyataan bahwa lawan-lawannya atau lawan-lawan umat ini telah kalah telak dalam suatu peperangan yang dilangsungkan di dalam nama Allah ini. Allah semacam ini dikonsep sebagai suatu Allah suku tertentu, yang menolak dan membenci suku-suku asing, dan yang akan mendatangkan penderitaan dan kebinasaan pada suku-suku asing ini jika mereka berbuat tidak adil terhadap suku atau umat milik-Nya sendiri. Dalam pengonsepan teologi yang jelek semacam ini, alam dan semua fenomenanya pun digambarkan memihak umat kesayangan Allah semacam ini, dan melawan musuh-musuh mereka.

Dan Allah xenofobis semacam ini makin terlalu jahat dan keji jika Dia dipandang sebagai sang Aktor utama yang membuat bangsa asing lainnya dan khususnya sang raja bangsa asing ini mengeraskan hati untuk terus berbuat tidak adil dan tidak baik terhadap bangsa atau umat kepunyaan Allah ini. Keadaan seperti ini terjadi pada Firaun, Raja Mesir, yang hatinya konon telah “dikeraskan oleh Allah” bangsa Israel dan mengakibatkan dia tidak mau melepaskan bangsa Israel meninggalkan tanah Mesir (Keluaran 7:3, 13; 8:15; 9:12; 10:1, 27; 11:10; 14:8; 14:17) sehingga ada suatu alasan untuk sang Allah ini berlaku jahat kepada seluruh orang Mesir! Apakah jalan diplomasi yang telah gagal harus diakhiri dengan suatu peperangan dan pertumpahan darah yang dilakukan oleh atau atas nama Allah bangsa Israel sendiri?

Kita harus tak puas dan harus tidak setuju pada suatu teodise yang di dalamnya Allah diubah menjadi suatu Allah suku atau Allah bangsa tertentu, yang dengan keji melenyapkan suatu suku atau bangsa lain yang Dia tidak sukai! Kita pada zaman sekarang dalam era globalisasi memerlukan bukan lagi suatu Allah suku, tetapi suatu Allah yang mengasihi seluruh umat manusia di muka bumi, suatu Allah yang bukan Allah partikular tetapi Allah yang universal. Allah yang universal semacam ini, yang menyayangi seluruh bangsa manusia, adalah Allah yang dipercaya si penulis kitab Yunus dalam kanon Perjanjian Lama (lihat khususnya Yunus 4:10-11).


Jika kita harus berpijak pada suatu moralitas universal yang membela kehidupan semua orang di seluruh muka Planet Bumi, maka kita harus berada di pihak korban; dan dari sudut pandang para korban, Allah sukuistik semacam ini harus dinilai sebagai suatu allah yang jahat dan keji, yang mendatangkan penderitaan dan kebinasaan atas orang-orang yang tidak berada di pihak-Nya dan tidak berada di pihak umat yang dibela-Nya.
Allah yang memihak semacam ini, adalah Allah yang menjadi sumber penderitaan dan azab umat manusia. Kalau semula bangsa Israel adalah korban perbudakan oleh pemerintah Mesir, maka ketika Allah mereka berpihak kepada mereka, mereka pun mengorbankan bangsa Mesir! Tindakan saling mengorbankan adalah suatu lingkaran setan yang harus diputus. Bukan tindakan semacam ini yang perlu kita lakukan, melainkan tindakan mencari dan mewujudkan rekonsiliasi terus-menerus antar pihak-pihak yang bersengketa. Suatu Allah sukuistik harus tidak boleh dibiarkan ikut campur dalam proses rekonsiliasi ini.

Orang yang taat beragama dan yang percaya pada teodise seringkali lupa bahwa ada orang lain yang dia telah buat menderita, sengsara dan binasa, dan perbuatan jahatnya ini dia legitimasi dengan suatu teologi tentang Allah yang berada di pihaknya dan yang melawan dan berperang terhadap orang lain yang dia tidak sukai, dan yang memberi dia kemenangan dan keselamatan di atas kekalahan dan kebinasaan orang lain! Teodise semacam ini sudah seharusnya dibuang jauh-jauh, dan agama yang mengajarkannya harus dikritik dengan keras dan ditolak. Parahnya, dengan menjamur dan menguatnya fundamentalisme religius di mana-mana, teodise semacam ini laku keras dan terus melahirkan orang beragama yang dikuasai nafsu untuk melumat dan membunuh orang lain yang berbeda atau yang dinilainya telah merugikan dirinya, sementara sangat meyakini bahwa Allahnya penuh kemurahan dan cinta kepada dirinya sendiri. Sebuah ironi, kekonyolan dan kedunguan yang timbul dari suatu teodise yang tidak seimbang!


by Ioanes Rakhmat