Thursday, May 7, 2009

Apakah Yesus Mati untuk Menebus Adam dan Hawa?

Gerak sejarah, gerak siklus abadi?

Soteriologi salib berpijak pada suatu keyakinan dasariah bahwa kematian Yesus di kayu salib yang terjadi satu kali untuk selamanya adalah jalan tunggal yang dikehendaki Allah untuk mendamaikan diri-Nya dengan manusia yang berdosa; jalan ini berlaku universal dan abadi untuk seluruh umat manusia dari zaman ke zaman, bahkan, menurut ajaran gereja, berlaku surut sejak zaman Adam dan Hawa, dan maju terus sampai dunia ini kiamat. Soteriologi salib, dengan demikian, mengabstraksi peristiwa kematian Yesus dan menjadikannya suatu peristiwa supernatural ilahi yang memiliki signifikansi universal, global dan abadi, lepas dari pijakan historisnya yang sebetulnya temporal, terbatas, lokal, kongkrit, riil dan insani.

Abstraksi dan universalisasi makna dan efek peristiwa kematian Yesus ini menyebabkan hampir semua orang Kristen yang menjadi warga gereja biasa tidak lagi mengetahui sebab-musabab faktual dan historis dari kematian Yesus. Paling banter mereka hanya tahu bahwa kematian Yesus ini terjadi pada masa pemerintahan Pontius Pilatus sebagai gubernur Romawi untuk provinsi Yudea, sebagaimana mereka ucapkan setiap kali mereka mengikrarkan Syahadat Iman Rasuli dalam suatu kebaktian gereja.

Karena itu, dalam rangka mendekonstruksi soteriologi salib, hal-hal historis yang menjadi penyebab kematian Yesus perlu dibeberkan, supaya kita semua menyadari bahwa kematian Yesus adalah suatu peristiwa natural yang biasa, yang terjadi
dalam suatu ruang dan waktu terbatas, sebagai suatu konsekwensi politis wajar, insani dan tak terhindar dari ajaran-ajaran dan kiprah-kiprah Yesus dari Nazaret sendiri yang melawan baik otoritas Yahudi maupun otoritas Romawi sebagai otoritas yang secara de jure dan de facto menguasai Palestina zaman Yesus (tentang ini, sudah dibeberkan sebelumnya, klik di sini). Gereja perdana, karena ingin keluar dari krisis kejiwaan (tentang ini, klik di sini), telah mengubah peristiwa politis kematian Yesus yang wajar, insani, terbatas dan (dari kaca mata Yahudi) memalukan dalam suatu ruang dan waktu ini menjadi suatu peristiwa ilahi akbar yang bersignifikansi universal dan abadi bagi umat manusia sepanjang kehidupan manusia di planet bumi ini, sejak zaman Adam dan Hawa sampai dunia kiamat di masa depan. Bagi gereja, Yesus Kristus itu adalah hakim baik bagi orang yang masih hidup maupun bagi orang yang sudah mati (1 Petrus 4:5).

Harus diakui, di dalam dunia ini memang ada sejumlah besar peristiwa sejarah di masa lampau yang dampak dan signifikansi historik-nya dapat dirasakan dan dialami terus jauh sampai ke zaman-zaman sesudahnya. Sejumlah penemuan yang disengaja maupun yang tidak disengaja di masa lampau oleh orang-orang yang jenius dalam bidang sains dan teknologi, kita tahu, dapat terus berdampak pada pengembangan sains dan teknologi modern di masa kini dan seterusnya. Begitu juga, suatu peristiwa sejarah tertentu, misalnya proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, serta penetapan resmi (berdasarkan suatu konsensus nasional) Pancasila sebagai suatu fondasi filosofis dan ideologi bangsa dan UUD 45 sebagai konstitusi negara RI pada awal berdirinya RI, terus berdampak dan memberi signifikansi bagi negara RI sekarang ini dan akan terus berlanjut demikian ke masa depan sejauh konsensus nasional di bidang-bidang ini masih dipertahankan. Begitu juga, pengalaman sangat buruk dan mematikan yang ditimbulkan oleh dua perang dunia di masa lampau menimbulkan kesadaran dan membangkitkan tekad pada pemerintah-pemerintah negara-negara penting di dunia ini untuk beberapa dasawarsa lalu mendirikan organisasi terbesar dunia yang diberi nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang logisnya akan terus dipertahankan eksistensinya oleh mereka.

Tetapi, dalam kawasan sejarah sekular yang dipandang bergerak linier ke depan, tidak ada suatu peristiwa sejarah apapun dapat diklaim bersignifikansi
dan berdampak mundur kepada umat manusia dan dunia di zaman-zaman sebelum peristiwa sejarah ini terjadi. Menurut pandangan (Barat) modern, sejarah manusia bergerak linier, maju terus ke depan membentuk garis lurus, ada awal dan ada akhir, tanpa pengulangan, dan tanpa gerak balik, tanpa siklus.

Nah, dalam dogma gereja secara luar biasa dinyatakan bahwa kematian Yesus dari Nazaret yang terjadi pada akhir pertigaan pertama abad pertama Masehi juga membawa dampak, efek dan signifikansi soteriologis bagi orang-orang yang telah mati sebelum peristiwa salib Yesus terjadi, bahkan bagi Adam dan Hawa yang dalam tradisi keagamaan Yahudi-Kristen (dan juga Islam) dipercaya sebagai titik permulaan kehidupan manusia di muka bumi (ihwal kapan kehidupan makhluk cerdas yang dinamakan homo
sapiens sapiens dimulai, sains evolusi tentu saja akan mengklaim hal yang berbeda!). Dogma ini, tentu saja, bermasalah; dan karenanya, dalam tulisan ketujuh mengenai masalah-masalah dalam soteriologi salib ini, sedang digugat.

Pertama, kekristenan menganut pandangan sejarah linier. Menurut pandangan ini, ada titik awal dan ada titik akhir perjalanan sejarah kehidupan dunia ini, sehingga tidak ada titik balik ke masa lalu. Kekristenan, sebaliknya, tidak menganut pandangan sejarah siklikal yang melihat sejarah dunia ini berlangsung dalam suatu siklus (gerak melingkar) sehingga tidak ada titik akhir dan tidak ada titik awal; setiap titik akhir menjadi titik awal baru untuk memulai kembali alur sejarah siklikal, seperti seekor ular naga yang sedang melingkar dengan mulutnya menggigit buntutnya sendiri: tidak ada pangkal, tidak ada ujung, yang ada hanyalah gerak melingkar abadi.

Dengan pandangan sejarah siklikal, dimungkinkan untuk kita berimajinasi bahwa peristiwa kematian Yesus di abad pertama Masehi dapat memberi efek pada peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi jauh sebelum Tarikh Masehi, bahkan yang sudah terjadi pada permulaan kehidupan manusia, yang menurut mitologi Perjanjian Lama dimulai di Taman Eden dengan pasangan Adam dan Hawa (yang keduanya tidak memiliki pusar) tinggal di dalamnya dan kerap dikunjungi Allah yang berkaki dan bermulut. Namun, imajinasi ini tidak bisa timbul dalam pandangan sejarah linier. Dengan mempercayai bahwa kematian Yesus di abad pertama memberi efek penyelamatan bagi orang-orang yang hidup sebelumnya, bahkan bagi Adam dan Hawa, gereja tanpa disadari menganut pandangan sejarah siklikal, yang sebetulnya ditolaknya. Jadi, pandangan sejarah linier yang dipegang gereja sudah seharusnya membuatnya menolak doktrin tentang penyelamatan Adam dan Hawa oleh kematian Yesus; jika tidak, gereja pun harus bersedia menerima suatu akibat logisnya bahwa Yesus pun lahir berkali-kali dan mati juga berkali-kali mengikuti siklus sejarah dunia. Akibat logis yang berat ini tentu saja bertentangan dengan kepercayaan gereja bahwa Yesus lahir, hidup dan mati secara jasmaniah sebagai kurban untuk Allah hanya "satu kali untuk selama-lamanya" (Ibrani 7:27; Roma 6:9-10).

Kedua, pertanyaan bagaimana Yesus, melalui kematiannya, bisa menyelamatkan orang yang hidup dan sudah mati sebelumnya, dijawab gereja (dalam Syahadat Iman Rasuli) dengan doktrin tentang Yesus yang (dalam roh) turun ke dalam "kerajaan maut" ketika dia dikuburkan selama "tiga hari". Untuk apa Yesus masuk ke dalam "kerajaan maut"? Menurut beberapa teks kuno Kristen, untuk memberitakan kabar keselamatan kepada jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal yang berdiam di Sheol (Hades) atau di dunia orang mati, atau di kerajaan maut, atau di "bagian bumi yang paling bawah" (lihat 1 Petrus 4:6; Efesus 4:9; Injil Petrus 10:41-42). Apa persoalan dengan ajaran ini?

Persoalannya adalah doktrin ini dibuat dalam suatu kebudayaan kuno yang memandang jagat atau kosmos ini terdiri atas tiga lapis atau tiga tingkat. Lapis atas adalah surga, tempat Allah dan para malaikat hidup; lapis tengah adalah dunia orang hidup, bagian permukaan bumi; dan lapis bawah adalah dunia bawah, tempat jiwa-jiwa orang yang sudah mati berdiam, di bagian bawah bumi, di dalam tanah. Nah, kosmologi sangat kuno yang semacam ini sudah sangat ketinggalan zaman dan sudah tidak bermakna lagi buat orang yang hidup dalam zaman modern sekarang ini yang memegang kosmologi modern. Menurut kosmologi modern, jagat raya terdiri atas banyak alam semesta (multiverses) dengan tanpa batas apapun, yang "sekarang" ini terus memuai dan mengembang, dan diisi dengan galaksi yang tak terhitung banyaknya dan terbuka probabilitas juga dihuni oleh makhluk-makhluk ET yang cerdas.

Pernyataan bahwa Yesus "turun ke dunia orang mati" atau "turun ke dalam kerajaan maut", bagi orang dalam zaman modern adalah pernyataan yang tidak bermakna; atau, jika dipahami secara metaforis, mereka memahaminya sebagai pernyataan bahwa Yesus mati dan dikuburkan dalam tanah, lalu membusuk. Tidak lebih dari itu. Dan orang mati yang sudah dikubur dalam tanah (atau dibakar dalam oven panas berapi), dalam pemahaman orang modern, sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tetapi bagaimana dengan kehidupan jiwa di alam baka?

Sebagaimana saya sudah dengan serius argumentasikan sebelumnya (klik di sini), kalaupun sesudah kematian fisik jiwa orang masih hidup di alam baka, dalam kehidupan di alam baka ini jiwa tidak bisa lagi melakukan, mengalami, mencerap, memikirkan dan merasakan hal apapun, termasuk tidak bisa lagi berkata-kata lisan atau lewat pikiran, mendengar, menyesal atau bertobat. Jadi, keyakinan Kristen bahwa selama Yesus di dalam kubur, di Hades, dia menginjili jiwa orang yang sudah mati, adalah keyakinan yang kosong. Imajinatif memang, tapi tidak bermakna apapun. Orang yang sudah mati, yang jiwanya tinggal di alam baka, sudah tidak bisa lagi merasakan surga ataupun neraka, karena tubuh, indra perasa dan neuron-neuron serebral mereka sudah tidak ada lagi.
Kalau pun jiwa dipahami sebagai "energi" (yang kekal), energi tanpa terintegrasi dalam suatu media fisik (tubuh) tidak akan bisa menjadi makhluk yang hidup yang bisa berpikir, merasakan, melakukan atau mengatakan apa-apa. Doktrin tentang Yesus turun ke dalam kerajaan maut untuk menginjili jiwa-jiwa, tentu termasuk jiwa Adam dan Hawa, dengan demikian, adalah doktrin yang salah.

Jadi, harus disimpulkan bahwa kematian Yesus bukan saja tidak manjur untuk manusia yang hidup sesudah kematiannya (ulasan tentang hal ini, klik di sini), tetapi juga sama sekali tidak memberi efek penyelamatan apapun kepada Adam dan Hawa dan semua keturunan mereka yang hidup dan sudah mati sebelum kematian Yesus. Dengan doktrinnya tentang penyelamatan melalui salib Yesus, gereja perdana dengan sangat ekspansif dan membesar-besarkan telah menguniversalisasi makna dan signifikansi kematian Yesus, surut jauh ke belakang maupun maju ke depan. Padahal dalam kenyataannya kematian Yesus sebetulnya hanyalah suatu peristiwa kecil lokal di awal tahun tigapuluhan abad pertama Masehi di negeri kecil Palestina yang sedang dijajah Roma (ulasan tentang ini, klik di sini dan di sini). Dogma dalam agama apapun memang cenderung membesar-besarkan sesuatu, karena dogma memang menyangkut jati diri dan harga diri komunitas keagamaan yang membuat dan merawatnya. Karena berisi hal-hal yang dibesar-besarkan, dogma agama apapun pantas untuk tidak serta-merta dipercaya dan untuk dibedah secara dingin dan rasional.