Apakah Yesus dari Nazaret menginginkan dirinya sendiri menjadi juruselamat dunia dengan mati secara mengenaskan di kayu salib, sebagai suatu kematian pengganti demi keselamatan umat manusia sedunia di segala zaman dan tempat? Ini adalah sebuah pertanyaan berat dan sangat sensitif bagi perasaan banyak orang Kristen; meskipun demikian, akan diupayakan jawabannya dalam tulisan ini, tulisan keenam dari rangkaian tulisan mengenai masalah-masalah dalam soteriologi salib yang digali dalam blog ini.
Teks skriptural Perjanjian Lama yang pasti dirujuk orang Kristen untuk mendukung soteriologi salib adalah teks tentang hamba Tuhan yang menderita, antara lain (Deutero) Yesaya 52:13-53:12. Film Mel Gibson, The Passion of The Christ (tentang gugatan saya terhadap film ini, klik di sini), untuk mendukung dolorisme, dibuka dengan sebuah kutipan teks Yesaya 53:5b, "Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh." Kalimat-kalimat sebelumnya dalam teks Yesaya ini berbunyi demikian, "Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita" (Yesaya 53:4-5a). Sosok yang kena tulah dan menanggung azab demi kepentingan orang lain (vicarious sufferings) ini disebut sebagai "hamba" Tuhan, ebed Yahweh (Yesaya 52:13; 53:11b).
Dalam konteks historisnya, figur hamba Tuhan dalam Deutero Yesaya ini tentu saja tidak mengacu pada suatu figur mesianik di masa depan yang jauh, yang belum lahir, yang akan, melalui azab dan kematiannya, menyelamatkan dan menebus umat manusia di segala zaman dan tempat, tetapi pada suatu figur historis tertentu pada zaman ketika Deutero Yesaya ditulis (pada masa Pembuangan di Babel, abad VI SM), entah seorang imam, seorang nabi, atau seorang raja, Yahudi atau non-Yahudi, yang azabnya akan mendatangkan kebaikan, kesembuhan dan kesejahteraan untuk bangsa Israel sendiri, bukan untuk dunia secara universal dalam segala zaman. Tetapi jauh kemudian, pada permulaan abad kedua Masehi, oleh umat Kristen Perjanjian Baru, teks Deutero Yesaya ini dikenakan kepada Yesus, seperti kita baca dalam 1 Petrus 2:22-25; perhatikan khususnya ayat 24 yang memuat kutipan langsung dari teks Deutero Yesaya: "Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhnya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilurnya kamu telah sembuh."
Selain dalam teks PL ini, dokumen Yahudi ekstrakanonik yang ditulis dengan mengambil Pemberontakan Makkabe (167-142 SM) sebagai latar historisnya, yakni 2 Makkabe (ditulis sekitar tahun 125 atau 124 SM) dan 4 Makkabe (bergantung pada 2 Makkabe; ditulis sekitar tahun 50 M), juga memuat gagasan soteriologis Yahudi serupa: kematian seorang Yahudi yang saleh dan benar sebagai syuhadah dalam perlawanan habis-habisan terhadap raja lalim (raja Siria, Antiokhus IV Epifanes), mendatangkan pendamaian dan penebusan untuk bangsa Israel dan menyucikan tanah mereka (2 Makkabe 6:18-17:41; 4 Makkabe 1:11; 5:1-6:27-28; 17:21; 18:4 ), dan yang bersangkutan akan dibangkitkan dan menerima kehidupan kekal (2 Makkabe 7:9; bdk. ayat 11, 14, 23, 29, 36; 4 Makkabe 16:25; bdk. 7:18-19; 13:17). Dalam 4 Makkabe 5:1-6:28 terdapat kisah tentang Eleazar, seorang tua dari keluarga imam. Dikisahkan dengan imajinatif, menjelang ajal sebagai seorang martir di perapian yang panas bernyala-nyala Eleazar berkata, "Ya, Tuhan, Engkau mengetahui bahwa aku dapat luput. Tetapi kini aku sekarat di dalam perapian ini demi Taurat. Berilah rakhmat-Mu pada umat-Mu; semoga kekejaman yang aku alami ini melunasi semua yang harus mereka tanggung. Biarlah darahku menyucikan mereka, ambillah nyawaku sebagai suatu pengganti bagi mereka" (6:27-28).
Kita dapat bertanya, apakah Yesus dari Nazaret, karena suatu ilham, mengambil teks-teks Yahudi ini lalu menerapkannya kepada dirinya sendiri, dan dengan demikian dia memandang dirinya entah sebagai hamba Tuhan yang menderita, sebagai sang mesias yang harus (Yunani: dei) mati tanpa perlawanan, atau pun sebagai seorang syuhadah yang mati dalam perlawanan keras terhadap penguasa lalim demi menyucikan Tanah Israel dan memerdekakan serta menebus bangsanya? Ataukah, gereja perdana (Yahudi dan non-Yahudi), tersirat ataupun tersurat, mengenakan teks-teks Deutero Yesaya (seperti dalam 1 Petrus 2:22-25), 2 dan 4 Makkabe dan teks-teks profetis lainnya kepada Yesus setelah kematiannya di kayu salib untuk menjadi landasan skriptural bagi soteriologi salib yang mereka konstruksi demi mengatasi tekanan jiwa yang begitu besar, yang mereka alami karena sang mesias mereka mati disalibkan di tangan bangsa Romawi, mati sebagai seorang yang (dari kaca mata Yahudi) terkutuk, terkena tulah, tanpa perlawanan apapun dari pihaknya? Pertanyaan-pertanyaan ini, bagaimanapun juga, mengandung masalah-masalah berat yang harus diatasi.
Masalahnya, pertama, pada era kegiatan Yesus di muka umum, era pra-Kristen, era sebelum dokumen-dokumen tertua Perjanjian Baru yang memuat soteriologi penebusan lewat salib Yesus ditulis, dalam tradisi Yahudi pasca-biblis teks-teks skriptural Deutero Yesaya tentang hamba Tuhan yang menderita tidak ditafsir secara mesianik, maksudnya: tidak diterapkan pada suatu figur mesias manapun.
Dalam kepercayaan dan pemikiran religio-politis mesianik Yahudi zaman Yesus, tidak terbuka kemungkinan untuk memandang seorang mesias Yahudi manapun akan menderita, mengalami azab, apalagi menderita dan tewas dengan memalukan, tanpa perlawanan fisik dan militer ketika berhadapan dengan musuh bangsa, negara dan agama. Dalam pandangan Yahudi, sebutan "mesias yang menderita" atau sebutan "mesias yang menempuh jalan sengsara" adalah suatu contradictio in terminis: penderitaan atau jalan sengsara tidak bisa disandingkan dengan gelar agung mesias. Bagi orang Yahudi yang terus-menerus hidup dalam penjajahan bangsa asing silih berganti, jika betul seseorang itu seorang mesias yang diutus Allah, orang itu, sang mesias Yahudi ini, keturunan Raja Daud ini, memikul tugas besar dan agung untuk memerdekakan bangsa Yahudi dari para penindas mereka dengan mengangkat senjata, berperang melawan penjajah-penjajah mereka, dan menyucikan kota Yerusalem dan seluruh Tanah Israel (lihat teks ekstrakanonik Mazmur-mazmur Salomo 17:22). Sang mesias sejati Yahudi didukung rakyat sepenuhnya, duduk di takhta kerajaan Yahudi dengan segala kemuliaannya, dan, melalui gerakan militer, mengalahkan setiap musuh bangsa yang merenggut kemerdekaan mereka. Inilah "teologi kemuliaan" (theologia gloria) dan "teologi perang" (theologia bellum) yang menjadi teologi mesianik zaman Yesus, yang juga dipertahankan para murid perdana Yesus (lihat Markus 10:37; 14:31, 47).
Jadi, kalau Yesus dari Nazaret mengambil teks tentang hamba Tuhan yang menderita dalam Kitab Deutero Yesaya dan menjadikan teks ini sebagai landasan skriptural untuk, karena suatu dorongan dan ilham, membenarkan tindakannya menempuh via dolorosa dengan rela, penuh rasa sakit namun tanpa perlawanan sampai dia mati mengenaskan di kayu salib, jelas Yesus, dengan menghayati "teologi salib" (theologia crucis) ini, bergerak di luar bingkai mesianisme Yahudi yang lazim pada masanya, dan tentu saja dia, karenanya, tidak akan dimengerti dan diterima rakyat Yahudi meskipun dia bisa jadi, langsung atau tak langsung, mengklaim dirinya raja Yahudi. Bahkan seorang murid utama yang dekat dengan Yesus, yakni Petrus, kita tahu, tidak bisa mengerti pandangan, kemauan dan langkah Yesus yang eksentrik, di luar kelaziman, ini: menjadi mesias rajani yang menderita (lihat Markus 8:31-32). Jadi, kalau diukur dari teologi kemuliaan dan teologi perang yang lazim dalam mesianisme Yahudi pada zamannya, jelas tidak akan ada seorang yang seperti Yesus, yang, dengan teologi salibnya, melangkah ke luar jauh dari dunia simbolik Yahudi zamannya!
Tetapi, bukankah Yesus, kita bertanya, bisa saja memang dengan sengaja mau berbeda dari pandangan mesianik umum Yahudi zamannya? Tentu, bisa saja pandangan mesianik Yesus begitu berbeda dari mesianisme Yahudi zamannya. Kalau memang benar demikian, ini memenuhi kriterion "dissimilarity" atau "distinctiveness" yang dipakai para peneliti Yesus sejarah. Menurut kriterion ini, sesuatu itu asli atau orisinil dari Yesus kalau sesuatu yang dikatakan dari Yesus ini (ucapannya atau tindakannya) begitu khas, distinctive atau dissimilar, sehingga berkontras atau berbeda tajam dengan kelaziman dalam dunia Yahudi pada umumnya di zamannya. Jadi, OK-lah, kita bisa saja percaya bahwa Yesus sendiri memang menghayati teologi salib, bukan teologi kemuliaan atau teologi perang, seperti dilaporkan dalam Injil-injil PB (lihat Markus 8:31; 9:31; 10:33-34; dan par.). OK-lah Yesus menghayati teks tentang hamba Tuhan yang menderita dalam Kitab Deutero Yesaya.
Tetapi, persoalannya adalah via dolorosa yang ditempuh Yesus, dan kematiannya di kayu salib, tidak berakibat soteriologis apapun bagi bangsa Yahudi yang dibelanya di hadapan kekuasaan Romawi. Sedangkan, teks dalam Deutero Yesaya yang sebagian sudah dikutip di atas menyatakan bahwa hamba Tuhan yang menderita itu, menderita demi mendatangkan kesembuhan, kesehatan, keselamatan, pembenaran dan penebusan bagi bangsa Israel. Setelah Yesus mati disalibkan, bahkan sampai berabad-abad sesudahnya, Tanah Israel nyatanya tetap terjajah, tetap tidak merdeka, dan bangsa Israel tetap terluka, sakit, tidak selamat, tidak sejahtera, tidak dibenarkan dan tidak tertebus. Dilihat dari sudut ini, kita harus menyatakan bahwa azab dan kematian Yesus sia-sia saja. Visi kehambaan yang membawanya pada kematian tidak efektif, kosong, dan dia menjadi seorang hamba Tuhan, ebed Yahweh, yang gagal total. Tidak ada keselamatan dari diri Yesus dan kematiannya bagi bangsanya.
Orang Kristen, demi iman mereka, mungkin akan masih mau bertahan dengan menyatakan bahwa jalan sengsara Yesus dan kematiannya memang tidak dimaksudkan Allah untuk manjur secara politis faktual bagi bangsa dan negerinya pada zamannya, melainkan untuk umat manusia secara universal di segala zaman dan tempat. Tetapi posisi iman Kristen semacam ini berpijak pada suatu logika yang salah: Bagaimana mungkin Yesus (atau Allah) memandang azab dan kematiannya (azab dan kematian Yesus) berefek soteriologis global, universal dan abadi, sementara efek soteriologis lokal, nasional dan temporernya bagi Tanah Israel dan bangsa Yahudi dalam zamannya yang sedang terjajah sama sekali tidak ada? Lagi pula, sebagaimana sudah diargumentasikan sebelumnya di blog ini (klik di sini), azab dan kematian Yesus nyatanya juga tidak manjur untuk secara magis menyelamatkan dan mengubah manusia kapanpun dan di manapun sesudah zaman Yesus, apalagi untuk orang yang hidup dan sudah mati sebelum dia mati disalibkan, misalnya untuk Adam dan Hawa (tentang ini dibahas dalam tulisan ketujuh sesudah tulisan ini, klik di sini).
Masalah keduanya adalah bahwa kalau Yesus memang benar memakai dan menerapkan teks-teks martir Yahudi dalam 2 dan 4 Makkabe (seperti sebagian sudah dikutip di atas) kepada dirinya sendiri, dia dalam kenyataannya tidak mengalami hal-hal dahsyat yang telah dialami oleh orang-orang yang dikisahkan dalam teks-teks Yahudi ekstrakanonik ini, dan kemartirannya juga sia-sia.
Berbeda dari orang Yahudi pada masa perjuangan dan pemberontakan Makkabe (167-142 SM) yang frontal terbuka dan bersenjata melawan helenisasi yang dilancarkan dengan gencar oleh Raja Antiokhus IV Epifanes terhadap bangsa dan agama Yahudi, Yesus tidak frontal menghadapi Roma dalam suatu perlawanan terbuka bersenjata. Berbeda dari apa yang dilukiskan dialami para pejuang Makkabe yang harus menghadapi siksaan sangat mengerikan bertubi-tubi sampai mereka mati dengan tubuh tidak utuh lagi, dalam Injil-injil PB tidak ada gambaran tentang penyiksaan amat dahsyat dan mengerikan yang dialami Yesus. Tentu Injil-injil PB menuturkan penyiksaan atas Yesus ketika dia diadili dan ketika dia digiring ke Golgota, sampai pada puncaknya dia mati dengan sangat mengenaskan di kayu salib. Tetapi, gambaran azab dan kematian Yesus ini sangat jauh kalah dahsyat dan kalah mengerikan jika dibandingkan dengan gambaran azab dan kesengsaraan serta kematian Eleazar dan tujuh pria bersaudara bersama ibu mereka yang sudah tua dalam 2 Makkabe (5:1-6:28 dan 7:1-42).
Dan, hal yang terpenting adalah kenyataan sejarah bahwa pada akhirnya para pejuang Makkabe melalui pengurbanan diri mereka sampai mati syahid secara mengerikan membuahkan kemerdekaan dan penyucian bagi bangsa Yahudi untuk jangka waktu yang cukup panjang (142-63 SM); hal ini kontras dengan gerakan Yesus yang, seperti sudah dikatakan di atas, tidak menghasilkan kemerdekaan dan penyucian kembali tanah dan bangsa Yahudi. Jadi, menerapkan teks-teks martir dalam 2 dan 4 Makkabe pada Yesus tidak pas. Kalaupun betul Yesus pribadi menghayati teks-teks martir dalam 2 dan 4 Makkabe ini, jalan hidup atau nasibnya membawanya ke arah lain: dia mati dengan sia-sia, dan bangsa Israel tetap terjajah untuk jangka waktu yang panjang berabad-abad ke depan, sesudah perjuangannya yang singkat kandas total. Jadi, kalaupun pemuda Yahudi idealis Yesus dari Nazaret ingin mati syahid demi menyucikan Tanah Israel dan menjadi tebusan bagi bangsanya (menurut Markus 10:45, bagi "banyak orang"), dalam kenyataannya dia, di akhir perjuangannya, gagal telak.
Menurut tiga catatan dalam Injil Markus, Yesus sudah tahu sebelumnya dan meramalkan bahwa dia akan menderita dan pada akhirnya akan mati dibunuh (Markus 8:31; 9:31; 10:33-34). Ini berbeda dari sekian mesias Yahudi lainnya, yang tampil sebelum maupun sesudah Yesus, yang tidak menubuatkan sebelumnya bahwa mereka pada akhirnya akan mati dibunuh oleh penguasa asing yang menjajah tanah mereka. Semua mesias Yahudi lainnya ini, misalnya Simon Bar Kokhba, mengharapkan dan memperjuangkan kemenangan melalui pemberontakan dan perang, bukan mengharapkan kekalahan dan kematian.
Nah, apa yang akan kita katakan tentang seseorang yang sudah tahu akan mati tetapi terus saja maju sampai akhirnya orang ini benar-benar mati dibunuh lawan-lawannya? Apakah tindakan ini bukan suatu kenekatan, atau bukankah ini suatu tindakan bunuh diri yang sudah direncanakan sebelumnya? Mungkin sekali Yesus memang nekat karena impiannya atau karena wangsit yang diterimanya bahwa dia akan mati untuk menebus dosa bangsa Israel dan memerdekakan dan menyucikan Tanah Israel. Yesus mengalami keadaan ini mungkin karena dia mengidentikkan dirinya total dengan hamba Tuhan yang menderita seperti dituturkan Deutero Yesaya atau dengan para martir Makkabe. Jika memang demikian keadaannya, dunia patut bersedih sebab, seperti sudah ditulis di atas, sejarah membuktikan bahwa impian atau wangsitnya itu keliru dan tidak terpenuhi.
Pada sisi lain, ya dunia patut beriba hati karena Yesus sendiri sangat frustrasi pada akhirnya ketika dia menemukan Allah tidak berintervensi dalam bentuk apapun, jika penulis Injil Markus memang melaporkan suatu ingatan historis bahwa di kayu salib Yesus berteriak-teriak sangat kecewa (dengan mengutip Mazmur 22:2a) karena dia melihat dan merasakan Allah telah meninggalkannya: "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", "Allahku, Allahku, mengapa dikau menelantarkanku?" (Markus 15:34). Jika memang teriakan ini faktual diucapkan Yesus yang sedang kesakitan tersalib, kita harus katakan bahwa akhirnya, meskipun sudah terlambat, Yesus menemukan dirinya tidak bisa tahan menanggung azab, tidak seperti yang digambarkan dalam Deutero Yesaya tentang seorang hamba Tuhan yang kuat menanggung azab dan tidak seperti para martir Makkabe yang tangguh dan heroik. Rasa frustrasi Yesus ini berbeda tajam dengan kedigdayaan Eleazar di perapian panas yang bernyala-nyala, juga dengan kedigdayaan Sokrates yang dengan tenang meminum racun yang diharuskan Negara Atena atas dirinya (tahun 399 SM).
Tetapi, adakah rekonstruksi alternatif daripada mengargumentasikan bahwa Yesus mati bunuh diri dengan direncanakan, dengan memakai tangan-tangan otoritas Yahudi dan otoritas Romawi, karena dia mau mengikuti jejak sang hamba Tuhan dalam Deutero Yesaya atau jejak para martir Makkabe? Saya kira masih ada alternatif untuk menjelaskan persoalan yang kompleks ini.
Hemat saya, Yesus adalah seorang yang optimis, bukan seorang yang fatalistis, yang menyerah pada nasib yang dibayang-bayangkannya sendiri. Dia percaya bahwa apa yang diperjuangkannya adalah sesuatu yang baik, sesuatu yang luhur, bagi bangsa Israel, yaitu memberitakan dan merayakan kehadiran Allah Yahudi di tengah rakyat, Allah yang datang kepada mereka sebagai Raja dan Bapa mereka untuk memberikan kemurahan dan kerahiman-Nya. Ketika Allah Yahudi ini datang melawat umat-Nya, Israel, maka Allah ini, kata Yesus, akan mencari domba-domba yang hilang dari kawanannya, dari antara umat Israel; bahwa Allah ini akan menerima kembali dengan penuh kemurahan dan belas kasih orang-orang yang berpaling kembali kepada-Nya bak seorang ayah yang tulus menerima kembali anaknya yang bungsu yang balik kembali kepadanya setelah menempuh kehidupan yang tidak patut di luar negeri; bahwa Allah ini akan, karena kemurahan-Nya, membebaskan orang-orang yang berhutang karena kemiskinan mereka yang parah dan kepasrahan mereka; bahwa Allah ini akan mendengarkan dan mengabulkan doa dan permintaan rakyat Yahudi yang terus-menerus mengharapkan pertolongan ilahi; bahwa Allah ini akan memelihara dengan setia umat-Nya seperti Dia memelihara dengan telaten bunga bakung di padang dan burung di udara. Ketika Allah ini datang dengan bela rasa-Nya, dengan compassion-Nya, maka, seperti didemonstrasikan Yesus dengan nyata, orang sakit disembuhkan, orang lumpuh dibuat berjalan, orang buta dicelikkan, orang yang kerasukan setan dipulihkan, orang yang terkapar hampir mati di jalan karena luka-lukanya didatangi, ditolong, dirawat dan disembuhkan, orang yang mau dirajam diampuni dan diselamatkan. Yesus yang semacam ini adalah Yesus pencinta dan pemelihara kehidupan. Yesus yang semacam ini yakin betul bahwa Allah, Bapanya, terus menyertainya dan memeliharanya seperti Allah ini terus memelihara bunga bakung di padang dan burung pipit di udara.
Nah, orang yang optimis, ceria, mencintai kehidupan, dekat dengan burung-burung di udara dan dengan bunga bakung di padang, dan dengan anak-anak, suka menolong, giat membangun semangat, memberi pengharapan, mengampuni, menyembuhkan dan penuh dengan bela rasa seperti Yesus ini tidak mungkin membayangkan dirinya akan berumur singkat, akan disiksa oleh orang lain, lalu mati dibunuh dengan penyaliban. Yesus yang semacam ini tentu berharap dirinya akan berumur panjang, akan bisa lama berada di tengah rakyat Yahudi yang sedang menderita karena penjajahan dan kemiskinan untuk memberdaya mereka, dan akan dengan bersemangat terus menghadirkan dan memperagakan kuasa dan bela rasa Allah bagi bangsa Yahudi. Dia tentu, dari sejarah Israel dan dari kenyataan yang dilihatnya setiap hari, dapat kita bayangkan mengetahui kekejaman otoritas Yahudi dan otoritas Romawi yang kerap menyalibkan orang Yahudi. Dia, karena itu, tentu sangat tidak menyukai pembunuhan orang di kayu salib. Dia tentu berusaha keras untuk menghindari benturan dengan para penguasa de jure dan de facto Tanah Israel selama dia masih berkarya di kampung-kampung Galilea.
Jika gambaran positif dan optimis tentang Yesus ini secara historis tepat, dan, seperti baru dikatakan, ada alasan yang cukup untuk kita percaya bahwa gambaran ini memang tepat (minimal 70% tepat!), maka sangat tidak mungkin jika Yesus sendiri menubuatkan berulang-ulang (seperti ditulis Markus) bahwa dirinya akan menempuh via dolorosa yang akan, dalam waktu singkat, bermuara pada pembunuhan dirinya di kayu salib. Bila rekonstruksi historis alternatif ini benar, maka semua ucapan Yesus dalam Injil-injil PB yang menubuatkan kesengsaraan dan kematian dirinya di tangan penguasa Yahudi dan penguasa Romawi bukanlah ucapan asli Yesus, melainkan ucapan dan teologi orang Kristen perdana sesudah Yesus wafat yang harus merasionalisasi fakta sejarah berat bahwa Yesus mati dibunuh dengan cara memalukan dan kejam, di luar perkiraan mereka sebelumnya, seperti sudah diuraikan pada waktu yang lalu (klik di sini). Dengan rasionalisasi inilah mereka akhirnya dapat menerima azab dan kematian Yesus yang mereka tidak sangka-sangka itu sebagai sesuatu yang sudah harus terjadi, bertujuan dan bermakna karena, menurut mereka, Yesus sudah meramalkannya sebelumnya.
Begitu juga, ucapan-ucapan Yesus dalam injil-injil PB yang menyatakan dirinya akan mati untuk menjadi penyelamat dan penebus bangsa Israel bukanlah ucapan-ucapan asli Yesus, melainkan ajaran gereja perdana yang ditempelkan pada mulut dan lidah Yesus, yang disusun oleh gereja perdana berdasarkan, langsung atau tak langsung, teks-teks Deutero Yesaya, 2 dan 4 Makkabe dan teks-teks profetis lainnya. Dengan mengonstruksi soteriologi semacam ini, gereja perdana berhasil mengubah kematian Yesus yang faktualnya sia-sia menjadi kematian yang bertujuan, setidaknya dalam keyakinan mereka. Sedangkan, bagi Yesus yang teosentris keselamatan dan penebusan hanya diberikan oleh Allah, Bapanya, yang rakhmani dan rahimi, kepada bangsa Israel, bukan oleh dirinya sebagai anak sang Bapa, yang menundukkan dirinya pada kerahiman ilahi sang Bapa.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah bahwa Yesus tidak mau dengan sengaja mati untuk menebus dosa dunia. Soteriologi salib tidak berasal dari Yesus, tetapi sepenuhnya ciptaan gereja perdana sesudah masa kehidupan Yesus.
Pertanyaan yang dengan membandel timbul tentu adalah mengapa atau karena hal apa Yesus pada akhirnya memang mati disalibkan dalam usia muda? Pertanyaan ini sudah dijawab dalam tulisan yang lalu (klik di sini). Pada kesempatan ini, cukup dengan singkat diulang kembali. Yesus dihukum mati karena beritanya tentang Kerajaan Allah yang sedang datang di tengah rakyat Yahudi ditafsirkan oleh lawan-lawannya sebagai klaim pribadinya bahwa dia adalah raja Yahudi, dan dengan demikian dia dinilai telah melanggar suatu hukum Romawi yang mewajibkan rakyat jajahan untuk tunduk hanya kepada Kaisar Roma sebagai raja Israel. Yesus ditangkap di Yerusalem dan akhirnya dihukum mati karena dia telah melakukan suatu kesalahan fatal berdemonstrasi di Bait Allah pada waktu perayaan Paskah, perayaan untuk memperingati kemerdekaan bangsa Yahudi dari tangan Mesir dalam sejarah nenek moyang Israel. Teologi Yesus yang memandang Allah tanpa perantara apapun memberikan kemurahan-Nya kepada umat Yahudi membuatnya berang dan marah ketika menyaksikan Bait Allah telah difungsikan sebagai lembaga perantara untuk mempertemukan Allah Yahudi dengan umat-Nya. Kemarahannya ini mendorongnya untuk berunjuk rasa di Bait Allah. Seandainya Yesus tidak berdemonstrasi di Bait Allah, mungkin umurnya masih akan panjang dan tidak mati disalibkan sebagai suatu bentuk penghukuman mati Romawi.
Dengan demikian kematian Yesus di kayu salib terjadi bukan karena Allah mengharuskannya demikian, bukan juga karena dia ingin bunuh diri, tetapi karena kebencian lawan-lawannya dan kesalahannya berunjuk rasa di dalam Bait Allah. Kematian ini, jika diketahui lebih dulu oleh Yesus, tentu akan dia hindari sebisa mungkin. Dengan demikian jelaslah bahwa Yesus tidak mau mati dengan sengaja untuk menyelamatkan dunia. Azabnya yang akan segera membawanya kepada kematian dilihat Yesus, ketika dia kesakitan terpaku di kayu salib, sebagai sesuatu yang tidak dia sangka-sangka; karena itu dia, dalam segala sifat kemanusiaannya, sangat kecewa dan merasa Allah telah meninggalkannya. Akhir kehidupan Yesus benar-benar sebuah tragedi, sebuah kecelakaan sejarah.