Friday, September 10, 2010

Mengapa Agama Harus Dikaji Secara Saintifik?

Agama sudah kegemukan dengan klaim supernatural.
Karena itu, sudah saatnya agama diletakkan di atas meja bedah sains

(Tulisan ini terbit juga di Koran Tempo, edisi Jumat, 24 September 2010, hlm. A10, atau klik link ini untuk melihatnya.)

Belakangan ini di banyak bagian dunia, para agamawan dari berbagai macam agama sedang berusaha kuat untuk memasukkan pengaruh dan pandangan-pandangan keagamaan mereka sebanyak-banyaknya ke dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara mereka, dan bahkan dunia luas pada umumnya. Pandangan-pandangan keagamaan yang bercorak fundamentalistik literalis skripturalis malah sedang dipaksakan di banyak tempat untuk menggantikan penjelasan-penjelasan sains modern mengenai banyak hal yang menyangkut kehidupan makhluk-makhluk di Planet Bumi, asal-usulnya, serta asal-usul alam semesta dan isi seluruh kosmos. Para agamawan yang sedang berperang dengan sains modern malah sedang berjuang untuk merebut kendali atas perjalanan dunia dan kehidupan manusia dan masa depan semua makhluk dari tangan para saintis. Menghadapi situasi semacam ini, sudah saatnya orang mulai memikirkan untuk menyelidiki dan menilai agama-agama dari sudut sains. Berikut ini enam pertimbangan yang dapat diajukan mengenai mengapa agama-agama perlu dibedah oleh pisau tajam sains.

Pertama, agama bukanlah suatu fakta suprarasional atau supernatural, tetapi suatu fakta sosial antropologis, karena setiap agama memiliki minimal 5 unsur sosiologis antropologis berikut: (a) ada suatu komunitas sosial (community); (b) ada berbagai ritual yang dijalankan (cult); (c) ada sekumpulan kitab atau dokumen yang dipandang suci oleh komunitas sosial (canon); (d) ada sekumpulan doktrin yang dirumuskan secara sosial dan dinyatakan sebagai syahadat (creed); (e) ada sekumpulan kaidah moral yang disusun bersama (code). Semua komunitas keagamaan di muka Planet Bumi ini memiliki lima unsur sosial antropologis ini; jadi setiap agama adalah sebuah fakta sosial antropologis yang umum dalam dunia ini. Sebagai suatu fakta sosial antropologis, setiap agama terbuka untuk dipelajari dan diselidiki oleh para ilmuwan sosial yang banyak jenisnya.

Kedua, setiap orang beragama adalah seorang manusia kongkret, bukan seorang manusia bayangan. Sebagai seorang manusia kongkret, setiap orang beragama memiliki rasionalitas yang timbul karena kerja organ otak. Karena beriman adalah juga suatu kemampuan yang bersumber pada otak manusia (kecuali si manusianya mengklaim beriman dengan jantung atau lever-nya!), dan pasti melibatkan rasionalitasnya, maka setiap klaim keagamaan atau keimanan apapun harus juga bisa diselidiki secara rasional, untuk melihat apakah rasionalitas dan organ otak si orang beragama sehat dan normal.

Ketiga, karena seorang beragama mengklaim pengalaman spiritual mereka dengan sang Tuhannya sangat kongkret dan riil, dan sekian mukjizat juga diklaim dialami dengan kongkret, dan semua pengalaman ini berlangsung dalam dunia riil sehari-hari (bukan dalam mimpi!), maka semua pengalaman spiritual dan semua klaim tentang mukjizat harus terbuka juga untuk diselidiki, dipelajari dan dinilai menurut kaidah-kaidah penyelidikan saintifik. Tanpa penyelidikan saintifik atas semua klaim tentang mukjizat, mukjizat yang diklaim banyak terjadi akan membuat suatu masyarakat hancur berantakan karena semua orang secara bertahap akan kehilangan rasionalitas mereka.

Keempat, karena semua kitab suci agama apapun lahir dalam dunia riil (bukan dalam dunia antah berantah!), dan ditulis oleh manusia yang bertangan dan berotak (bukan oleh jin-jin atau malaikat-malaikat yang tidak kelihatan dan tidak bertangan dan tak berotak!), maka semua pesan kitab suci apapun dan semua klaim tentang kejadian historis apapun dan tentang tokoh apapun di dalam setiap kitab suci apapun harus bisa diselidiki dan dijelaskan secara saintifik.

Kelima, sebagaimana semua klaim sains suatu saat bisa kedapatan keliru dan bisa salah (lalu diperbaki dengan pengajuan bukti-bukti baru dan teori-teori baru yang lebih handal), maka klaim imaniah apapun, termasuk klaim imaniah tentang adanya satu atau banyak Allah supernatural yang tak kelihatan, harus juga dipandang sebagai klaim-klaim sementara, atau lebih tepat sebagai klaim-klaim hipotetikal yang memerlukan penyelidikan lebih jauh untuk dapat diverifikasi atau difalsifikasi secara saintifik. God selalu merupakan sebuah hipotesis! Jika seorang beragama menolak klaim-klaim imannya (tentang keberadaaan suatu Allah atau tentang mukjizat atau tentang hal lain apapun) diselidiki secara saintifik, maka klaim-klaim ini harus dinyatakan sebagai klaim-klaim apologetik dan dogmatis yang tak memiliki nilai kebenaran apapun; dan karenanya harus dipandang hanya sebagai klaim-klaim mumbo jumbo, klaim-klaim omong kosong saja.

Keenam, mengingat kitab-kitab suci agama-agama juga berisi ajaran-ajaran dan kisah-kisah yang keras dan buruk, yang membela pertumpahan darah dan perang antarmanusia, yang mendesakkan banyak nilai moralitas primitif yang bertabrakkan dengan nilai-nilai moral modern yang humanistik dan demokratis, yang mempertahankan pandangan-pandangan tentang kosmos dan kehidupan yang bertabrakkan dengan pandangan-pandangan sains modern, maka sangatlah riskan jika Planet Bumi dan jagat raya diserahkan begitu saja untuk dijelaskan, diatur dan diurus oleh para agamawan. Karena itu, untuk memperlihatkan bahwa kemampuan para agamawan sangat patut diragukan jika mereka mau mengurusi Planet Bumi ini, maka sudah saatnya kini isi perut agama-agama juga diselidiki, dipelajari, dan dinilai secara saintifik oleh para ilmuwan yang membela penyelidikan-penyelidikan yang empiris objektif atas fenomena sosial antropologis yang dinamakan agama.

Nah, dengan enam pertimbangan di atas, harus dinyatakan sekaranglah saatnya agama apapun diletakkan di atas meja bedah para ilmuwan modern, untuk dilihat jantung, hati dan otak, serta isi perut yang sebenarnya dari apa yang dinamakan agama. Pada sisi lain, hanya dengan lulus dari ujian operasi di meja bedah saintifik sebuah agama layak dipertahankan dan dikembangkan dalam dunia modern. Jika tidak lulus, tempat agama yang sebenarnya adalah museum.


by Ioanes Rakhmat