Barangkali tafsiran trinitarian pertama terhadap teks Matius 3:13-17 ini adalah tafsiran yang diajukan Santo Augustinus dari Hippo (354-430). Dalam tulisannya yang berjudul Tentang Trinitas (De Trinitate), khususnya Khotbah II, pada bagian yang menguraikan kata-kata dalam Matius 3:13, Augustinus melihat tritunggal ilahi menyatakan diri dalam peristiwa pembaptisan Yesus: Sang Bapa dalam suara dari langit, sang Anak dalam diri sang Manusia (Yesus), dan Roh Kudus dalam wujud burung merpati. Tulis Augustinus, “Allah Trinitas dinyatakan kepada kita di Sungai Yordan… di sini kita mendapatkan sang Trinitas, dalam arti tertentu, dibedakan.” Bahkan Augustinus sampai menyatakan sesuatu yang bisa jadi tidak ortodoks mengenai doktrin tritunggal, katanya, “Jika kita meninjau tempat-tempatnya, Aku dengan yakin menyatakan … bahwa Trinitas dalam suatu cara tertentu dapat dipisahkan.” Dalam doktrin ortodoks tentang trinitas ilahi, seperti diformulasikan oleh Tertullianus (c. 160-c.220), trinitas ilahi memang terdiri dari “tiga persona” (Latin: tres Personae; Yunani: treis Hypostases) yang dapat dibedakan, namun ketiganya tidak terpisah, ketiganya “satu hakikat” (Latin: una Substantia; Yunani: Homoousios).
Mengenai perikop Matius ini, Martin Luther, dalam khotbahnya yang diberi judul Epifani Tuhan Kita (yang disampaikan 6 Januari 1534), sejalan dengan formulasi Kristen ortodoks, menyatakan bahwa “Allah menyatakan diri-Nya dalam tiga bentuk—Roh Kudus, sang “Aku” (dari sang Bapa), dan sang Anak—tetapi dalam satu hakikat ilahi.” Sedangkan Yohanes Kalvin, ketika membuat eksposisi atas perikop Matius ini, tidak menafsir teks Matius ini dari sudut pandang trinitarian. Kalvin hanya memberi makna simbolis pada kata-kata atau ungkapan tertentu yang dipakai dalam perikop Matius ini. Ungkapan “langit terbuka”, bagi Kalvin, menunjuk pada “kehadiran ilahi” yang dialami Yesus, yang ditafsir Yesus sebagai suatu “panggilan surgawi” yang didengarnya ketika dia, seperti dituturkan Lukas (3:21), “sedang berdoa”. Dan “burung merpati”, menurut Kalvin, adalah simbol kelembutan dan kasih karunia yang diberikan Roh Allah untuk berdiam pada diri Yesus.
Pertanyaan kita adalah: Apakah dapat dibenarkan jika perikop Matius 3:13-17 ini ditafsir sebagai suatu kesaksian skriptural terhadap tritunggal ilahi yang dipercaya oleh kekristenan ortodoks? Seperti sudah diperlihatkan sebelumnya (klik di sini), dalam Injil Matius pemakaian kata-kata “Bapa” untuk Allah, “Anak” untuk Yesus Kristus, dan “Roh Kudus”, sama sekali tidak memiliki pengertian yang sama dengan yang terdapat dalam doktrin tentang tritunggal ilahi. Teks Matius ini tidak boleh dipaksa untuk mendukung doktrin tritunggal Kristen. Kalau dipaksakan, seperti dilakukan Augustinus, teks Matius ini malah menunjuk pada tiga figur yang terpisah satu sama lain, yang kalau masing-masing figur ini diilahikan akan melahirkan triteisme, bukan trinitarianisme. Kalau demikian, bagaimana seharusnya teks Matius ini dipahami?
Para pakar umumnya sependapat bahwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis adalah suatu peristiwa sejarah yang tidak dapat diragukan. Nah, ketika kitab-kitab Injil mulai ditulis, mula-mula oleh Markus, setiap penulisnya mengajukan pemahaman masing-masing mengenai peristiwa pembaptisan Yesus ini dan menuangkannya ke dalam narasi pendek tentang pembaptisan ini. Dalam tuturan Matius, bukanlah kehendak Yohanes Pembaptis untuk Yesus dibaptis olehnya, melainkan karena Yesus sendiri mau “menggenapkan seluruh kehendak Allah” (Matius 3:15). Dengan menuturkan demikian, Matius berhasil menempatkan Yesus tidak lebih rendah dari Yohanes Pembaptis meskipun Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Bahwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis adalah kehendak Allah, dinyatakan selanjutnya oleh Matius dalam gambarannya mengenai apa yang terjadi ketika Yesus sudah dibaptis: “langit terbuka”, dan “Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas” Yesus, lalu “terdengar suara dari surga”. Sudah tentu, tiga kejadian ini bukanlah kejadian historis faktual yang dapat dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga. Di tangan Matius, ketiganya diberi makna simbolis.
Dalam kepercayaan Israel, bisa terjadi firman Allah tidak terdengar karena Allah tidak membuka komunikasi (lihat 1 Samuel 3:1). Nah, “langit terbuka” adalah suatu ungkapan teologis simbolis yang dipakai lebih dari satu kali dalam Alkitab (Yehezkiel 1:1; Wahyu 19:11; bdk. Injil Orang Ebion 4) untuk menyatakan bahwa Allah sedang membuka komunikasi dengan dunia, menyampaikan wahyu, firman dan kehendak-Nya kepada manusia di bumi, dan hadir kembali di dunia sehingga surga dan bumi dipersatukan kembali. Hal ini oleh Markus digambarkan sebagai “langit terkoyak” (Markus 1:10; bdk. Yesaya 64:1), paralel dengan tuturannya mengenai “tirai Bait Suci” yang koyak terbelah dua dari atas sampai ke bawah (Markus 15:38), sehingga “pemandangan seluruh surga” yang digambar pada tirai besar ini (tentang ini, lihat tuturan Flavius Yosefus, Perang Yahudi 5.5.4. 212-14) terkoyak: surga dan bumi dipersatukan kembali melalui kematian Yesus di kayu salib.
Nah, di dalam dan melalui peristiwa pembaptisan Yesus, Allah berkehendak membuka kembali komunikasi dengan dunia ini, dengan umat Israel, berfirman dan menyatakan kehadiran-Nya di tengah mereka sehingga Allah berada di tengah-tengah umat. Memakai kata-kata dalam Surat Ibrani, “pada zaman akhir ini Allah telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibrani 1:2). Komunikasi verbal dan kehadiran Allah di tengah umat ini disimbolkan dengan turunnya “Roh Allah seperti burung merpati ke atas Yesus” yang langsung disusul dengan “suara dari surga” yang menyatakan bahwa Yesus adalah Anak yang Allah kasihi dan yang kepadanya Dia berkenan (Matius 3:16-17).
Dalam tradisi Yudaisme Rabinik, burung merpati adalah suatu simbol kehadiran Roh Allah; dalam sebuah teks Rabinik dinyatakan, “Dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (Kejadian 1:2) seperti seekor burung merpati yang terbang berputar-putar di atas anak-anaknya tanpa menyentuh mereka” (B.Hag 15a). Dengan Roh Allah hinggap dan berdiam pada Yesus, Allah, seperti pada permulaan penciptaan dunia, sedang mencipta kembali, kali ini sedang mencipta suatu umat yang di dalamnya Allah senantiasa hadir sebagai Imanuel (Matius 1:23; 18:20; 28:20b).
Dalam Odes Salomo 24, dikatakan “Burung merpati terbang berputar di atas kepala sang Mesias.” Ketika Roh Allah hinggap pada Yesus, suara Allah, “suara dari surga” (lihat juga Yohanes 12:28), menyatakan dan mengukuhkan bahwa Yesus adalah Anak Allah, Anak yang diurapi oleh Roh Allah, sang Mesias. Bandingkan juga dengan tuturan dalam bTa’anit 24b/25a tentang “suatu suara dari surga” yang mengukuhkan Khanina ben Dosa (hidup di Palestina pada pertengahan abad pertama M, seorang sahabat Yohanan ben Zakkai, pendiri Akademi Yavneh/Jamnia) sebagai Anak Allah. Anak Allah adalah sebuah gelar untuk Yesus sebagai sang Mesias, orang yang diurapi oleh Roh Allah, bukan Oknum Kedua dari tritunggal Kristen.
Turunnya Roh Kudus ke atas Yesus bukan saja menandakan bahwa dia diurapi oleh Roh Allah, menjadi sang Mesias, tetapi juga suatu peristiwa pelantikan Yesus sebagai Anak Allah, sebagai sang Mesias pilihan Allah yang Allah kasihi dan yang kepadanya Allah berkenan, yang ditugaskan untuk “menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa” (Yesaya 42:1; bdk. Mazmur 2:1), yakni Taurat yang baru, yaitu seluruh ajaran dan amanat Yesus yang ditulis dalam Injil Matius, yang disarikan sebagai Hukum Kasih (Matius 22:37-39). Komunitas Kristen Ebion menafsirkan pembaptisan Yesus sebagai saat Allah mengadopsi atau mengangkat Yesus menjadi Anak Allah dengan membuat Allah mengutarakan kata-kata ini kepada Yesus: “Hari ini Aku menjadi Bapamu” (Injil Orang Ebion 4:4).
Nah, terlihat sudah bahwa Matius 3:13-17 sama sekali tidak memuat rujukan kepada tritunggal ilahi yang dipercaya kekristenan ortodoks beberapa abad sesudah penulisan Injil Matius (80-85 M). Jadi, adalah suatu kesalahan eksegetis yang besar jika orang Kristen memperlakukan perikop Matius ini sebagai suatu landasan skriptural untuk membenarkan atau mendukung doktrin trinitarian Kristen.