Thursday, February 10, 2011

Doktrin tentang Surga dan Neraka

surga sejuk ke atas, neraka panas ke bawah

Konsep tentang surga dan neraka dalam tradisi keagamaan Yahudi-Kristen muncul dengan lengkap pertama kali dalam Kitab Daniel yang ditulis pada abad kedua S.M., ketika bangsa Yahudi sedang mengangkat senjata melawan pemerintahan lalim raja Syria Antiokhus IV Epifanes yang sedang melancarkan politik helenisasi besar-besaran atas negeri Israel.

Jadi, konsep surga dan neraka diciptakan pada awalnya oleh suatu komunitas keagamaan atau suatu bangsa beragama yang sedang ditindas suatu bangsa asing, dan mereka tak memiliki kekuatan militer yang unggul. Akibatnya mereka mengalami banyak kekalahan, dan tidak sedikit dari antara mereka mati dalam banyak perlawanan yang tampak sia-sia. Nah, para tokoh keagamaan mereka, yang juga bertanggungjawab dalam kehidupan politik dan militer, menyusun konsep tentang surga dan neraka, baik berupa doktrin maupun berupa kisah-kisah kejuangan para martir.

Ada dua tujuan dalam mereka menyusun doktrin tentang surga dan neraka. Pertama, untuk membangun suatu semangat tempur sampai titik darah penghabisan dalam diri para pejuang. Kepada para pejuang ini, lewat doktrin surga dan neraka dan kisah-kisah para martir, dijanjikan bahwa kendatipun mereka akan mati dalam perang, mereka harus jangan menyerah, sebab sekalipun mereka mati mereka akan diberi pahala masuk surga sesudah mati syahid. Janji pahala surga ini, dalam suatu perang, sangat efektif untuk membangun suatu semangat tempur sampai titik darah penghabisan.

Bangsa beragama yang terancam kalah ini dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar: Mengapa Allah mereka diam saja, dan tampak kalah juga ketika berhadapan dengan musuh mereka? (Bagi bangsa beragama di zaman dulu, kalau bangsa ini kalah perang, berarti Allah mereka juga kalah.) Nah, sebagai tujuan kedua, pertanyaan besar ini dijawab dengan doktrin tentang neraka: Jangan takut dan jangan kehilangan kepercayaan, sebab akan tiba saatnya, ketika zaman berakhir tak lama lagi, semua musuh mereka akan dengan adil dibalas oleh Allah dengan membuang mereka semua ke dalam api neraka, yang akan memanggang mereka selamanya. Doktrin tentang hukuman di neraka adalah sebuah doktrin tentang kebencian yang tak bisa hilang, tetapi dipelihara sampai ke alam baka.

Karena ada janji surga dan ancaman neraka, doktrin tentang surga dan neraka umumnya dilengkapi beberapa doktrin lain: doktrin-doktrin tentang kiamat (berakhirnya sejarah dunia), tentang bencana sejagat, tentang kebangkitan orang mati, tentang pengadilan di akhir zaman, tentang figur sang Hakim jagat raya, dan tentang kitab kehidupan yang di dalamnya tercatat biografi orang per orangan selama mereka hidup di Bumi, yang akan dijadikan landasan pengadilan di akhir zaman.

Belakangan, doktrin tentang surga dan neraka mengalami pergeseran fungsi, khususnya ketika doktrin ini tetap dipercaya dan dipegang meskipun umat tidak sedang perang. Doktrin ini berubah fungsi menjadi sebuah doktrin yang digunakan para rohaniwan untuk mengontrol perilaku umat orang per orangan. Seperangkat aturan moral (moral code) disusun, seperangkat doktrin dibangun, dan seperangkat ritual ditetapkan, untuk diikuti dan dijalankan umat tanpa bertanya. Para rohaniwan mengingatkan mereka dengan keras: Jika moral code dan seperangkat doktrin dan ritual ini tidak diikuti dan dijalankan sepersisnya, orang yang melawan ini akan masuk neraka abadi. Sebaliknya, anggota umat yang menaati semuanya akan menerima pahala surga. Jelas, dengan bisa mengontrol perilaku dan keyakinan umat, para rohaniwan ini tetap memegang kendali atas seluruh komunitas, dan mereka tetap bisa menjadi leader dengan kedudukan politik yang kuat, yang dapat memberi mereka banyak keuntungan lain (ekonomi, hak istimewa, hak menetapkan doktrin, hak menentukan kebenaran atau kesalahan, hak menghakimi, dan lain-lain).

Jadi, doktrin tentang surga dan neraka adalah sebuah doktrin politis religius, yang semula disusun untuk kepentingan perang, dan kemudian untuk mengendalikan perilaku dan kehidupan umat oleh para rohaniwan ketika doktrin ini tetap dipegang dalam konteks bukan perang.

Kalau ditanya, apakah surga dan neraka betulan akan ada dan dialami sesudah kematian, jawabnya adalah: seandainya manusia hidup terus dalam rupa roh sesudah kematian fisik di muka Bumi, maka roh yang tak memiliki tubuh, indra dan otak sama sekali tak akan bisa merasakan entah nikmat surga atau pun siksa neraka. Surga dan neraka sesudah kematian hanya ada dalam doktrin, dalam kisah, dan tidak ada dalam realitas apapun.

Orang bisa beranggapan, kalau doktrin tentang surga dan neraka sesudah kematian tak diajarkan, kejahatan di muka Bumi akan semakin meningkat. Anggapan ini salah, karena beberapa alasan.

Pertama, kekuasaan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman di muka Bumi ada pada pemerintah suatu negara. Jadi, untuk mengurangi atau menekan angka prevalensi kejahatan di muka Bumi, hukum positif dalam suatu negara harus dibangun, ditegakkan dan diberlakukan dengan konsekwen dan konsisten pada semua orang tanpa pilih bulu. Kalau ada orang bisa lolos dari jerat hukum, misalnya karena pemerintahan di dalam suatu negara lemah, buruk dan korup, jalan keluarnya bukanlah menakut-nakuti rakyat dengan doktrin tentang api neraka, melainkan membereskan hukum dalam negara itu dengan sungguh-sungguh. Kini, dalam era globalisasi, yang mengikat manusia di suatu negara bukan hanya hukum positif nasional, tetapi juga hukum internasional; dan yang ada bukan hanya lembaga pengadilan dalam negeri, tetapi juga lembaga pengadilan internasional. Sudah banyak terjadi, seorang yang lolos dari jerat hukum di negerinya sendiri akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman di luar negeri.

Kedua, perlu kita ketahui bahwa dalam zaman modern ini jumlah orang yang tak lagi bisa menerima doktrin tentang surga dan neraka sangat banyak, di antara mereka termasuk orang-orang yang potensial melakukan kejahatan. Kalau orang zaman modern ditakuti-takuti hanya dengan sebuah doktrin keagamaan tentang hukuman di neraka, dan hukum positif dalam suatu negara tak ada atau dihapuskan, jelas kejahatan di dunia akan semakin meningkat.

Ketiga, ketaatan yang ditimbulkan oleh doktrin tentang api neraka adalah ketaatan yang tak dewasa, tak mature, tak keluar dari kesadaran nurani sendiri, tetapi muncul karena rasa takut yang besar. Doktrin tentang hukuman di neraka melahirkan bukan conscience, nurani, melainkan fear, ketakutan. Untuk membangun suatu masyarakat yang warganya taat hukum dan tak melakukan kejahatan, yang dibutuhkan adalah pembinaan moralitas bertahap dan terus-menerus untuk menghasilkan nurani yang fungsional, mature dan responsible. Dalam rangka membangun suatu moralitas individual dan sosial semacam ini pendekatan “reward and punishment” dipakai. Doktrin tentang ancaman api neraka tak akan menghasilkan conscience yang fungsional, accountable dan mature dalam diri warga masyarakat, melainkan akan menghasilkan suatu masyarakat yang penuh ketakutan yang tak membangun.

Keempat, kalau orang baru mau hidup beragama dan bermoral dengan baik hanya jika mereka ditakut-takuti ancaman hukuman di api neraka, kehidupan bermoral dan beragama semacam ini berada baru pada tahap kanak-kanak, bukan tahap dewasa. Kita tahu umumnya kanak-kanak akan baru mau belajar dengan baik jika kepadanya diiming-imingi hadiah permen atau sebuah boneka, atau bahkan kalau kepadanya diperlihatkan sebilah rotan yang siap dipukulkan ke pantatnya. Orang yang beragama baru pada tahap kanak-kanak ini, yakni beragama secara egoistik dan dipenuhi ketakutan, akan memakai agamanya sebagai alat untuk mencapai kepuasan pribadinya saja, dan untuk mendatangkan kesusahan pada orang lain. Seorang anak sangat senang jika boneka milik kakaknya atau boneka milik temannya direbut untuk diberikan kepadanya, dan dia tak akan perduli kalau kakaknya atau temannya itu jadi menangis sedih.

Kelima, doktrin tentang hadiah surga dan hukuman di neraka sesudah kematian menghasilkan orang beragama yang melihat kehidupan yang bermakna hanya ada di alam baka setelah kematian. Bagi mereka, kehidupan di Bumi sekarang ini hanya sementara, hanya untuk dilintasi, tak bermakna penuh, bahkan maya saja. Orang beragama yang berpandangan semacam ini bisa tak akan perduli pada banyak persoalan dan penyakit sosial di dunia masa kini, dan tak menyumbang apapun dalam usaha global memerangi banyak kejahatan. (*)