Wednesday, April 22, 2009

Soteriologi Salib Tidak Mujarab

Orang Kristen sedunia sering membanggakan soteriologi salib sebagai satu-satunya soteriologi atau jalan keselamatan yang paling menjamin manusia. Betapa tidak? Dalam soteriologi salib, kata orang Kristen, jalan keselamatan manusia diberikan atau diprakarsai oleh Allah sendiri, yakni dengan Allah menyediakan sendiri jalannya, yakni jalan sengsara (via dolorosa) Yesus Kristus dan kematiannya yang mengerikan di kayu salib. Manusia tidak perlu melakukan tindakan apapun untuk keselamatan diri mereka, melainkan hanya tinggal menerima saja jalan yang Allah berikan ini.

Kata gereja, soteriologi salib ini berbeda dari soteriologi Islam, misalnya, yang mengharuskan manusia melakukan kebajikan lebih banyak dari kejahatan jika manusia ini ingin mengalami keselamatan, masuk surga. Dalam penilaian keliru orang Kristen (tentang ini, lihat di sini), soteriologi Islami yang menempatkan perbuatan manusia pada tempat utama ini menyebabkan kaum Muslim terus-menerus merasa tidak pasti mengenai masa depan mereka di akhirat.

Menurut soteriologi salib, ketika Yesus memikul salib, menanggung azab, kesengsaraan dan aniaya, dan akhirnya mati dibunuh melalui penyaliban dirinya oleh musuh-musuhnya, Yesus mengalami ini semua karena dia
diharuskan (Yunani: dei) Allah untuk menanggung di atas pundaknya sendiri semua penghukuman ilahi yang seharusnya ditanggung manusia karena dosa-dosa mereka terhadap Allah, baik dosa warisan Adam dan Hawa maupun dosa pribadi. Karena Yesus, demi manusia, sudah menanggung hukuman berat ini di dalam azab, kesengsaraan dan kematiannya sendiri, manusia tidak perlu lagi menerima penghukuman Allah, tapi tinggal menerima keselamatan saja, tanpa harus membayar apapun, sebab semuanya diberikan betul-betul gratis oleh Allah (sola gratia).

Untuk manusia menerima keselamatan dari Allah, dibebaskan dari penghukuman ilahi, manusia, demikian gereja mengajarkan, hanya perlu menerima
dengan patuh dan dengan iman (sola fide) jalan keselamatan yang Allah telah sediakan ini.

"Menerima dengan patuh" berarti menyatakan ya dan persetujuan total, tanpa protes apapun, terhadap kekerasan yang Allah telah lakukan di dalam azab, kesengsaraan dan kematian Yesus (tentang kekerasan ilahi ini, lihat di sini) sebagai jalan pengganti yang seharusnya ditempuh manusia berdosa, sebagai jalan untuk membebaskan manusia dari penghukuman ilahi, sebagai jalan untuk menebus manusia dari hutang nyawa yang ditimbulkan oleh dosa yang telah diperbuat nenek moyang manusia maupun oleh diri mereka sendiri, sebagai jalan yang melaluinya Allah mendamaikan diri-Nya dengan manusia, sebagai jalan manusia mengalami pemulihan hubungan dengan Allah dan dengan sesamanya.

"Menerima dengan iman" berarti mempercayai dengan sungguh-sungguh dalam hati dan menerima dalam pikiran sebagai kebenaran bahwa jalan salib Yesus dan kematiannya yang mengerikan telah
dengan mujarab menghapus semua dosa manusia, telah dengan cespleng menyembuhkan manusia dari luka-luka yang ditimbulkan oleh kehidupan yang berat dan melelahkan sebagai akibat dosa-dosa manusia, telah dengan berkhasiat mendatangkan suatu kehidupan baru melalui kelahiran kembali (rebirth) manusia yang dikerjakan oleh Roh Kudus sehingga manusia mampu menjalani kehidupan moral yang benar dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesama. Pendek kata, jalan salib Yesus dan kematiannya, kalau benar jalan ini adalah jalan satu-satunya yang Allah berikan dengan gratis kepada dunia ini, haruslah jalan yang mujarab satu-satunya untuk melahirkan suatu kemanusiaan yang pada masa kini dalam dunia ini secara menyeluruh mengalami pembaruan, dan yang akan pasti menerima kehidupan surgawi di alam baka ketika sejarah manusia berakhir total.

Nah, pada kesempatan ini saya mau menyoroti dengan singkat poin terakhir yang baru dikemukakan di atas, yakni bahwa jalan kesengsaraan Yesus dan kematiannya di kayu salib, atau soteriologi salib, pasti mujarab untuk menghasilkan suatu kemanusiaan yang secara total dibarui,
a totally new humanity, kalau memang benar bahwa jalan ini adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia yang disediakan Allah sendiri dan azab serta kematian Yesus tidak sia-sia. Sedangkan ihwal bahwa kepercayaan pada azab dan kematian Yesus akan membebaskan orang dari ancaman api neraka, dan menjamin orang masuk surga, tidak perlu saya soroti lagi karena saya sudah mengulas dengan kritis pokok tentang surga dan neraka di blog ini.

Soteriologi salib sangat kuat menekankan dampak dari
via dolorosa dan kematian Yesus terhadap moralitas manusia. Setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus [maksudnya: percaya kepada azab dan kematian Yesus di kayu salib sebagai jalan jitu penebusan manusia dari hutang-hutang dosa mereka, sebagai jalan jitu Allah mendamaikan diri-Nya dengan dunia ini] adalah, menurut suatu teks suci, "ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang" (2 Korintus 5:17; Galatia 6:15).

Pertanyaannya: Apakah betul soteriologi salib Yesus Kristus mujarab menghasilkan orang Kristen yang diciptakan baru, yang kehidupan moralnya luhur, tinggi, dan menjadi teladan suatu kehidupan baru, yang dimungkinkan terjadi karena peristiwa salib Yesus satu-satunya dan pekerjaan Roh Kudus?

Jawabannya: Tidak!

Dalam hal moralitas, kebanyakan orang Kristen pada masa kini, meskipun mengklaim diri sudah bertobat dan sudah lahir baru, dalam kenyataannya hidup tidak berbeda dari kebanyakan orang lainnya dalam dunia ini. Mereka sama-sama melakukan banyak kekerasan dan pelanggaran moral lainnya dalam kehidupan sehari-hari mereka, tetap bermasalah dengan Allah dan dengan sesamanya, dan tetap tidak tangguh dalam menghadapi masalah berat! Kalaupun ada sejumlah orang Kristen yang dapat hidup dengan bermoral tinggi, tangguh, dan menjadi figur-figur teladan dalam masyarakat, hal yang sama pun dapat ditemukan dalam diri banyak orang yang beragama lain, yang tidak percaya pada Yesus Kristus sebagai jalan keselamatan.

Para pengajar misiologi Kristen sering memakai contoh para martir Kristen di abad kedua dan ketiga di wilayah kekaisaran Romawi sebagai bukti bahwa kuasa pembaruan dan pembebasan yang diyakini memancar dari kematian Yesus di kayu salib telah dengan mujarab menjadikan mereka, para martir itu, orang-orang yang bermoral tangguh, yang memakai "kebebasan Kristiani" mereka untuk dengan tidak takut dan dengan konsisten melawan penguasa-penguasa lalim Romawi yang sedang memaksa mereka untuk meninggalkan kepercayaan Kristen mereka dengan ancaman hukuman mati jika mereka menolak. Tetapi persoalan dengan argumentasi ini adalah bahwa umat beragama lain pun memiliki sejumlah syuhadah mereka sendiri, yang dipandang sebagai figur-figur yang bermoralitas agung meskipun orang-orang yang menjadi teladan moralitas ini tidak percaya pada Yesus. Selain itu, jika kesyahidan dijadikan tolok ukur keluhuran dan ketangguhan moralitas, apakah kita juga harus menyimpulkan bahwa sekian juta orang Jerman yang mau mati syahid demi membela Hitler dan Nazisme pada era Perang Dunia II adalah juga orang-orang yang bermoral luhur dan tangguh sementara kita tahu enam juta orang Yahudi telah dibunuh oleh rezim jahat ini? Begitu juga, apakah para ekstrimis religius dewasa ini yang melakukan tindak terorisme "bom bunuh diri" atas nama Allah dan agama mereka adalah orang-orang yang bermoral agung?

Kepada jemaat Kristen di Galatia, Rasul Paulus di pertengahan abad pertama menyatakan bahwa mereka adalah orang yang "sungguh-sungguh sudah merdeka" karena Yesus Kristus "telah memerdekakan" mereka dari semua "kuk perhambaan" (misalnya hukum Taurat) (Galatia 5:1). Dan ciri kemerdekaan kristiani ini, tulis sang Rasul, adalah kesanggupan setiap orang Kristen untuk hidup bermoral tinggi, hidup menghasilkan "buah Roh" (Galatia 5:22-23). Tetapi, di dalam jemaat yang sama ini, orang-orang Kristen yang sudah dimerdekakan ini, tulis Rasul Paulus, adalah juga orang-orang yang masih "hidup dalam dosa", masih "saling menggigit dan saling menelan" dan "saling membinasakan" (Galatia 5:13-15). Ya, inilah orang Kristen dalam pandangan sang Rasul: sudah dimerdekakan, tapi juga terus berbuat dosa.

Kalau orang Kristen berargumen dengan menunjuk pada kebudayaan Barat Kristen sebagai kebudayaan unggul yang dimungkinkan tercipta karena dibangun oleh orang-orang Kristen yang sudah menjadi ciptaan baru, mereka harus melihat juga banyak kebobrokan kebudayaan Barat yang dibuat oleh orang-orang Kristen. Malah agama Kristen karena dogmatisme beku, skripturalisme dan ajaran etisnya yang ketinggalan zaman kerap menghambat perkembangan sains dan teknologi. Mantan Presiden George W. Bush, ketika masih memerintah, mengklaim diri sebagai
the war President yang melihat tangan Allah bekerja dalam penyerbuan Amerika Serikat ke Afghanistan dan Irak. Apakah sang mantan Presiden ini manusia ciptaan baru bentukan Roh Yesus Kristus? Hemat saya, sama sekali bukan, meskipun dia diklaim sebagai a reborn Christian oleh banyak kalangan Kristen injili USA yang mendukungnya!

Orang Kristen boleh berkilah, bahwa kehidupan baru yang diterima orang Kristen adalah suatu proses, tidak sekaligus tercapai; lalu mereka akan mengutip teks suci yang bunyinya demikian, "Kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang
terus-menerus diperbaharui..." (Kolose 3:9-10). Tetapi, orang yang bukan-Kristen pun, yang tidak diselamatkan oleh Yesus Kristus, dapat mendisiplinkan kehidupan mereka setiap hari untuk tahap demi tahap, dengan mengerahkan potensi dan bakat yang ada dalam diri setiap manusia, melalui suatu proses pembelajaran yang panjang dan makan waktu, akhirnya menjadi suatu ciptaan baru, seorang manusia sempurna, manusia contoh, insan kamil. Dan, patut diketahui, banyak orang ateis berhasil menjalani kehidupan bermoral yang sangat tinggi peringkatnya. Peradaban umat manusia yang terus maju, ketika agama Kristen tidak lagi mengendalikannya, menunjukkan bahwa manusia dalam dirinya memiliki potensi dan bakat untuk terus maju, berevolusi ke tingkat kehidupan yang makin tinggi (tentang ini, klik di sini), tanpa perlu percaya pada pengurbanan Yesus.

Jadi, harus disimpulkan, soteriologi salib, yang diklaim orang Kristen sebagai satu-satunya soteriologi yang paling menjamin pembaruan dan keselamatan manusia karena menawarkan jalan keselamatan satu-satunya yang disediakan Allah untuk dunia, tidak mujarab untuk menyelamatkan manusia. Orang yang percaya dan menganut soteriologi salib untuk dirinya sendiri, dalam kenyataannya tidak otomatis menjadi manusia tangguh yang dibarui. Seharusnya, demi manfaat azab dan kematian Yesus di kayu salib, soteriologi ini bekerja secara magis, langsung mujarab dan manjur membarui dan menyelamatkan manusia yang mempercayai dan menganutnya; tetapi, dalam kenyataannya, tidak demikian! Karena itu, kegagalan soteriologi salib untuk dengan mujarab membentuk moralitas luhur manusia menambah lagi satu alasan untuk menyatakan bahwa soteriologi ini tidak valid, atau bahwa soteriologi ini tidak powerful. Meskipun mereka percaya bahwa Yesus sudah menanggung dosa mereka dan membenarkan mereka di hadapan Allah, namun nyatanya orang Kristen tetap terus berbuat dosa! Simul iustus et peccator. Jadi, apa yang harus saya katakan selain bahwa iklan soteriologi salib terlalu jauh dari kenyataan! Soteriologi ini bukan saja tidak realistik (karena menjanjikan pembaruan moralitas manusia secara otomatis dan mujarab!), tetapi juga tidak ideal untuk manusia (karena soteriologi ini memerlukan perlakuan keras dan biadab terhadap manusia Yesus). Salib Yesus akhirnya menjadi sebuah salib yang bengkok. Dan soteriologi salib yang magis ini, tentunya, perlu diganti dengan jalan-jalan keselamatan alternatif (seperti sudah dibahas sebelumnya).