Sunday, April 26, 2009

Soteriologi Salib Meremehkan Kemampuan Manusia

Merengek-rengek,
meminta belas kasihan dan keselamatan?

Ini adalah tulisan keempat dari rangkaian tulisan yang menyoroti masalah-masalah dalam soteriologi salib di blog ini. Tiga tulisan terdahulu tentang tema yang sama dapat dibaca di sini, di sini dan di sini.

Menurut soteriologi salib, azab dan kematian Yesus di kayu salib pasti tidak sia-sia, sebab azab dan kematian Yesus ini adalah jalan keselamatan yang Allah haruskan dan sediakan satu-satunya, dan dengan demikian merupakan jalan yang pasti efektif dan mujarab mendamaikan Allah dengan manusia dan berkhasiat secara magis untuk menjadikan manusia, memakai ungkapan Rasul Paulus, “ciptaan baru” (2 Korintus 5:17). Namun, seperti sudah saya tekankan sebelumnya (klik di sini), soteriologi salib faktanya tidak mujarab dan tidak berkhasiat apa-apa. Kesengsaraan dan kematian Yesus hanya tinggal sebagai suatu fakta sejarah yang mengerikan di masa lampau, tidak berdampak riil dan signifikan bagi perubahan watak dan moralitas manusia dan peradaban dunia pada masa kini.

Nah, pada kesempatan ini saya ingin menggugat soteriologi salib dari suatu sudut pandang lainnya. Dalam penilaian saya, soteriologi ini merendahkan sampai ke titik nol kemampuan manusia pada dirinya sendiri untuk meraih dan mengerjakan keselamatannya sendiri.

Yang saya maksud dengan “keselamatan” di sini bukanlah keselamatan di akhirat yang diterima orang ketika dia masuk surga sesudah kematiannya. Sebagaimana sudah saya argumentasikan sebelumnya (klik di sini), di alam baka surga dan neraka itu, jangan kaget, tidak ada. Bagi saya, dan bagi sangat banyak orang lainnya, Kristen maupun bukan, kehidupan yang terpenting bagi manusia adalah kehidupannya sekarang ini di dalam dunia ini, sementara manusia masih memiliki tubuh dan menjalani kehidupan berbudaya.

Keselamatan yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah perubahan watak, karakter dan moralitas manusia sementara dia masih hidup dalam dunia ini sekarang ini. Doktrin tentang keselamatan yang ditawarkan suatu agama manapun yang tidak mengubah watak, karakter dan moralitas manusia sekarang ini di dalam dunia ini adalah doktrin yang kosong melompong dan tidak signifikan, karena hanya menghanyutkan orang masuk ke dalam angan-angan tentang suatu surga di luar dunia dan di luar sejarah―suatu eskapisme dangkal dari orang-orang yang lemah jiwanya, yang hanya mau beragama karena diiming-imingi hadiah surga sesudah kematian, seperti kanak-kanak yang baru mau belajar hanya kalau diiming-imingi sebuah permen atau sebuah boneka baru.

Soteriologi salib harus digugat, karena, seperti sudah dikatakan di atas, soteriologi ini dibangun di atas sebuah asumsi etis antropologis negatif bahwa manusia pada dirinya sendiri, secara moral, adalah makhluk yang pada kodratnya serba bobrok dan bejat, yang sama sekali tidak bisa berbuat baik, yang telah sepenuhnya kehilangan kemuliaan Allah (teks suci yang sering dikutip gereja adalah Roma 3:10-23). Kebobrokan dan kebejatan moralitas manusia ini pertama-tama adalah, kata gereja dengan mengutip teks suci, akibat dari dosa Adam dan Hawa dulu di Taman Eden (Kejadian 3:1-19), yang terus menjalar ke seluruh manusia di seantero planet bumi dan di segala zaman sampai dunia ini kiamat (Roma 5:12-19).

Gereja dengan ekstrim lebih jauh mengajarkan bahwa pemberontakan Adam dan Hawa terhadap Allah yang mengakibatkan mereka menerima penghukuman ilahi menyebabkan setiap bayi yang baru dilahirkan pada masa sesudahnya dilahirkan sebagai manusia berdosa yang bermoral bejat, kendatipun sang bayi masih belum tahu membedakan tangan kanannya dari tangan kirinya. Dosa “asal” atau dosa “warisan” ini menyebabkan setiap orang sejak dilahirkan sudah bobrok secara moral, dan untuk seterusnya tidak akan mampu berbuat baik dan benar secara moral, sampai mereka, demikian gereja mengajarkan, diselamatkan oleh azab dan kematian Yesus dan menerima baptisan Kristen sebagai suatu tahap inisiasi masuk ke dalam kehidupan yang diselamatkan di dalam persekutuan gereja.


Saya mau menegaskan bahwa asumsi etis antropologis negatif yang menjadi landasan soteriologi salib ini keliru, berdasarkan alasan berikut.

Sejarah evolusi manusia, fisikal maupun sosio-kultural, yang sudah berlangsung dalam kurun yang sangat panjang di muka bumi menunjukkan bahwa manusia pada dirinya sendiri memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan kebudayaan serta peradaban mereka ke arah yang makin baik, makin cemerlang dan makin bertahan ke depan. Seleksi alam (natural selection) memang menentukan dan kerap tidak terhindarkan, tetapi manusia, secara individual maupun secara kolektif, juga memiliki kemampuan yang membuat mereka umumnya selalu bisa bertahan dan menang (survival of the fittest) dalam menghadapi setiap kesulitan dan permasalahan serta tantangan berat alamiah dan kultural yang menghadang kehidupan dan kebudayaan mereka. Kemampuan ini juga mencakup kemampuan untuk manusia makin dapat hidup dengan lebih baik secara moral pada diri mereka sendiri.

Memang banyak kejadian di dalam dunia ini dan sejarah manusia yang juga menunjukkan bahwa manusia kerap gagal pada diri mereka sendiri untuk hidup baik dan benar secara moral, misalnya manusia masih dikuasai dorongan primordial untuk berperang satu sama lain sehingga akhirnya membinasakan kehidupan dan menghancurkan peradaban mereka sendiri. Tetapi, fakta bahwa manusia dan peradabannya masih bisa bertahan dan bahkan lebih dikembangkan lagi hingga ke zaman modern ini dan ke zaman-zaman seterusnya memperlihatkan bahwa naluri dan kesadaran mereka mengenai kebajikan, kebenaran dan tanggungjawab masih lebih kuat ketimbang naluri kejahatan yang bisa menghancurkan mereka.

Dari manakah kemampuan mengembangkan moralitas positif dalam diri manusia ini berasal? Jelas, bukan dari intervensi ilahi apapun, melainkan dari gen manusia (nature) dan pendidikan (nurture) yang mereka terima.

Gen yang baik, pendidikan moral yang benar dan kehidupan masyarakat yang sehat, akan menghasilkan manusia-manusia bermoral yang tangguh di dalam masyarakat. Bila aspek genetik yang baik dan aspek genetik yang altruis diberi tempat utama untuk berperan, berhadapan dengan aspek genetik yang buruk dan aspek genetik yang egois dan serakah, masa depan manusia akan lebih baik di tangan mereka sendiri. Sains dan teknologi modern di bidang biologi molekuler sudah bisa merekayasa gen manusia; prestasi di bidang sains genetik ini, bila dengan hati-hati dan dengan penuh tanggungjawab etis dikembangkan, bisa lebih membuka harapan dalam usaha manusia untuk mengembangkan dan memapankan segi-segi kebaikan dan kebajikan moral manusia.

Nah, harus diakui bahwa manusia pada dirinya sendiri memiliki kemampuan untuk hidup bermoral tinggi, karena kodrat genetiknya dan karena hasil pendidikannya. Soteriologi salib bisa berjalan, fungsional, hanya kalau kemampuan positif manusia ini disangkal total, dan kalau perasaan sangat berdosa dan tidak memiliki kemampuan moral apapun untuk berbuat baik dibesar-besarkan sedemikian rupa sampai membuat manusia tidak bisa lagi melihat bahwa dirinya sebenarnya mampu berbuat baik secara moral.

Soteriologi salib sangat menghina dan merendahkan kapasitas manusia individual dan kolektif untuk berbuat kebajikan, dan harus memaksa manusia melihat dirinya sangat hina dan tidak berharga secara moral apapun, melainkan hanya bisa menangis dan meratap di hadapan suatu Allah Kristen yang dari-Nya diharapkan belas kasihan kepada dirinya yang tidak berharga apapun diberikan.

Singkat kata, soteriologi salib tidak membantu manusia mengembangkan dirinya untuk makin baik secara moral, malah mendemoralisasi manusia. Soteriologi salib menuntut kita merangkak dengan terluka dan meratap di bawah kaki Yesus, bukan berjalan sebagai sahabat bersamanya! Dan ajaran tentang dosa warisan tidak memberi dampak positif secara psikologis kepada manusia masa kini karena memperlakukan manusia taken for granted sebagai manusia yang bermoral bobrok, dan juga tidak etis karena menjatuhkan penghukuman atas dosa dua orang nenek moyang manusia kepada keturunan mereka yang hidup di zaman-zaman lain.