Soteriologi dalam semua agama menawarkan selain keselamatan di dunia ini juga dan terutama keselamatan di akhirat: barangsiapa memercayai suatu dogma atau suatu figur insani yang suci sebagai juruselamat, orang itu akan masuk surga dan terluput dari neraka. Begitu juga, dengan memegang soteriologi salib, gereja menjanjikan: Barangsiapa percaya kepada Yesus Kristus yang telah mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia, orang itu akan pasti masuk surga dan terhindar dari neraka. Nah, dalam bab ini, saya mau mengargumentasikan bahwa surga dan neraka itu tidak ada, sehingga soteriologi salib atau soteriologi apapun sebetulnya menjanjikan sesuatu yang kosong bagi akhir kehidupan manusia.
Masalahnya, ajaran tentang adanya surga dan neraka sudah begitu dalam tertanam dalam kesadaran setiap orang beragama. Orang beragama apapun senantiasa diajarkan, sejak kecil, untuk percaya pada adanya surga dan neraka. Mereka sejak kanak-kanak sudah diiming-imingi surga dan ditakut-takuti neraka. Jadi, sangat susah atau bahkan mustahil untuk melepaskan orang beragama dari kepercayaan mereka pada adanya surga dan neraka.
Kata orangtua atau guru agama kita, kalau kita berbuat banyak kebajikan, lebih banyak dari kejahatan kita, dalam dunia sekarang ini, maka nanti dalam kehidupan di akhirat kita akan masuk surga, hidup dalam kebahagiaan abadi. Tetapi, mereka juga wanti-wanti mengingatkan, kalau kita berbuat kejahatan lebih banyak dalam dunia ini ketimbang kebajikan, kita nantinya akan masuk neraka, hidup dalam penderitaan abadi, dibakar api dan belerang sangat panas yang tak pernah padam.
Orang Kristen, seperti baru dikatakan, sejak di sekolah minggu juga diindoktrinasi dengan ajaran bahwa hanya orang yang percaya pada Yesus Kristus akan masuk surga sesudah kematian, dan orang yang tidak percaya pada Yesus nantinya akan masuk neraka. Bagi mereka, Yesus adalah tiket eksklusif satu-satunya untuk orang masuk surga.
Orang beragama yang memegang orientasi waktu siklikal pun percaya pada hal yang sama: setelah perbuatan bajik mencukupi, mereka akan terlepas dari siklus kematian dan kelahiran kembali dan masuk ke dalam nirvana, keadaan bahagia yang kekal abadi, dan hidup sebagai dewa-dewi. Jika dharma dan kebajikan belum mencukupi, mereka terlempar kembali, masuk ke dalam siklus kematian dan kelahiran kembali ke dalam dunia yang maya dan fana.
Kalangan Muslim ekstrimis bahkan percaya bahwa jika mereka mati di jalan Allah, mati sebagai syahid ketika berjihad dengan melakukan terorisme, mereka, setelah kematian, akan langsung dihadiahi kehidupan surgawi yang sangat menyenangkan, dengan dilayani puluhan bidadari yang cantik tak terbayangkan.
Tetapi, saya bertanya kepada mereka semua yang percaya pada adanya surga dan neraka: Bukankah untuk bisa merasakan sesuatu yang sangat menyenangkan (= surga) perlu ada tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan sel-sel otak? Bukankah untuk bisa merasakan sesuatu yang sangat menyiksa (= neraka) juga diperlukan tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan sel-sel otak? Tanpa tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan otak, tidak akan ada perasaan dan pengalaman positif atau negatif apapun.
Jika kehidupan sesudah kematian adalah suatu kehidupan tanpa tubuh, tanpa raga, tanpa organ, tanpa indra, tanpa syaraf, tanpa otak, maka kehidupan rohani yang transparan dan tanpa bentuk, yang bak angin atau asap belaka ini, adalah kehidupan yang tidak bisa merasakan apapun dan tidak bisa masuk ke dalam pengalaman apapun. Perasaan dan pengalaman, jika kedua hal ini ingin nyata dirasakan dan dialami, memerlukan media jasmaniah: tubuh, anggota tubuh, organ tubuh, indra, syaraf dan otak. Dengan demikian, kehidupan rohani setelah kematian, jika kehidupan semacam ini ada, adalah kehidupan tanpa rasa dan tanpa pengalaman apapun. Kehidupan yang tanpa rasa dan tanpa pengalaman apapun tidak akan bisa merasakan dan mengalami surga, juga tidak akan bisa merasakan dan mengalami neraka. Dengan kata lain, kehidupan rohaniah sesudah kematian ragawi tidak memungkinkan orang yang sudah mati mengalami baik surga maupun neraka. Surga atau neraka tidak bisa dirasakan dan dialami oleh orang yang sudah mati. Surga dan neraka hanya ada dalam ajaran agama, tetapi tidak bisa sungguh-sungguh dialami dan dirasakan orang yang sudah mati tetapi hidup lagi dengan tidak memakai raga apapun lagi.
Begitu juga, dalam suatu kehidupan rohaniah sesudah kematian, api yang terus bernyala dalam neraka pastilah bukan api sungguhan seperti api dalam oven pembakar dan pelumer baja yang kita kenal dalam dunia ini. Api rohaniah, api yang bukan api riil sungguhan, jika ada, tidak bisa menimbulkan rasa sakit, rasa panas, dan rasa tersiksa apapun. Neraka rohaniah, dengan demikian, tidak akan menyiksa apapun, dan neraka yang tidak bisa menyiksa adalah neraka yang tidak pernah ada. Neraka panas di alam baka hanya ada dalam khayalan orang yang masih hidup di bumi dengan memakai pengalaman di bumi. Jelas, neraka adalah suatu pelipatgandaan pengalaman buruk dan penderitaan manusia di bumi yang diproyeksikan ke alam keabadian.
Demikian juga, surga sesudah kematian, surga dalam kehidupan rohaniah sepenuhnya di alam baka, pastilah juga bukan rasa nikmat tertinggi jasmaniah sungguhan seperti orang rasakan dengan indra, syaraf dan otak ketika, misalnya, mencapai orgasme atau ejakulasi dalam suatu hubungan seksual badaniah yang dialami dalam dunia material sekarang ini. Surga rohaniah, dengan demikian, jika ada, adalah surga yang tidak bisa menimbulkan rasa nikmat apapun; dan rasa nikmat yang tidak bisa dirasakan secara jasmaniah, melalui organ, indra, syaraf dan otak, adalah rasa nikmat yang tidak pernah ada. Dengan begitu, surga rohaniah juga tidak pernah ada. Surga di alam baka hanya ada dalam khayalan manusia yang masih hidup di bumi dengan memakai pengalaman di bumi. Jelas jadinya, surga di alam baka adalah suatu pelipatgandaaan pengalaman bahagia yang dialami di muka bumi yang diproyeksikan ke alam keabadian.
Surga rohaniah dan neraka rohaniah dengan demikian tidak pernah akan menjadi tempat kenikmatan abadi dan tempat siksaan abadi. Dengan kata lain, keduanya tidak ada. Orang beragama yang memandang surga dan neraka di alam baka sebagai kenyataan-kenyataan material dan jasmaniah adalah orang yang gagal mengakui dan melihat adanya diskontinuitas antara alam fana jasmaniah dan alam baka rohaniah, antara tubuh manusia yang hidup dan mayat orang yang sudah mati yang harus dikuburkan atau dibakar dan yang, sesudah beberapa waktu lamanya, akhirnya lenyap menyatu dengan bumi. Tidak ada raga yang dilanjutkan keberadaannya sebagai raga di alam baka.
Kalaupun jiwa dipahami sebagai “energi” yang kekal, dan sebagai energi akan terus ada kendatipun orangnya sudah mati, energi ini, jika tidak terintegrasi dalam suatu media jasmaniah material, yakni tubuh, tidak akan menjadi suatu makhluk hidup yang dapat mencerap dan merasakan hal apapun. Orang beragama percaya, orang mati yang masuk ke dalam surga atau dibuang ke neraka akan terus hidup sebagai pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran personal dan jati diri. Nah, kalau jiwa hidup lagi setelah kematian ragawi sebagai suatu energi kekal, energi selamanya adalah sesuatu yang a-personal atau non-personal, sesuatu yang tidak memiliki kesadaran personal dan jati diri. Jadi, dari sudut perspektif fisika molekuler material, keberadaan surga dan neraka tidak bisa dihipotesiskan, kendatipun jiwa dapat dipandang berubah menjadi atau bertahan sebagai energi.
Tetapi, orang beragama bisa membantah dengan menyatakan bahwa kehidupan sesudah kematian adalah juga kehidupan ragawi, sehingga bisa tetap merasakan dan mengalami sesuatu seperti ketika orang masih hidup di dunia. Orang Kristen adalah kalangan yang bisa diantisipasi akan berargumen semacam ini, dengan mereka menunjuk pada tubuh kebangkitan Yesus yang diklaim bersifat ragawi.
Tetapi kontra-argumennya juga ada: Jika Yesus yang bangkit dari kematian adalah Yesus yang sungguh-sungguh masih memiliki raga sungguhan, maka dia, sesudah kebangkitannya, akan harus tunduk pada keterbatasan-keterbatasan ragawi, bahwa dia akan, misalnya, lapar, sakit dan terkurung, terikat pada tempat, tidak bebas, termasuk juga bahwa dia akan tetap menjadi semakin tua, lisut lalu mati lagi. Raga yang hidup abadi dan tidak pernah akan binasa hanya ada dalam mitos, dalam dongeng, dalam fiksi, tidak ada dalam kenyataan, di dunia ini maupun di akhirat. Jika setelah kematian dan kebangkitannya Yesus masuk surga, di surga, karena dia masih memiliki raga, umurnya akan tetap bertambah lalu dia pasti menua dan akan mati lagi. Surga macam apakah yang di dalamnya orang mati yang dibangkitkan bisa mati lagi?
Jika demikian halnya, kehidupan Yesus sesudah kebangkitannya tidaklah berbeda dari kehidupannya sebelum kematian dan kebangkitannya. Dengan kata lain, Yesus yang semacam ini adalah Yesus yang belum pernah terbebas dari kehidupan ragawi, dan tidak pernah mengalami kehidupan lain sesudah kematiannya. Sungguh malang Yesus jika keadaannya semacam ini! Doktrin tentang kebangkitan ragawi Yesus yang tujuan semulanya mau mengunggulkan dia di atas semua orang suci lainnya akhirnya malah memenjarakannya dalam serba kedagingannya dan menjadikannya makhluk paling malang di dunia ini dan di akhirat!
Di samping itu, kehidupan setelah kematian yang masih terkurung oleh raga dan semua sifat fananya, bukanlah kehidupan setelah kematian, melainkan masih sebatas kehidupan ragawi dalam dunia ini, kehidupan yang masih belum terbebaskan. Kehidupan setelah kematian yang semacam ini tidaklah pernah ada di akhirat.
Nah, dengan penasaran Anda mungkin akan bertanya: Kalau surga dan neraka tidak bisa dirasakan dan dialami oleh orang yang sudah mati, atau kalau surga dan neraka tidak pernah ada di alam baka, lalu apa yang akan dialami orang yang sudah mati? Orang yang sudah mati, jika masih harus hidup lagi di alam baka, tidak akan mengalami hal apapun: mereka berada dalam kekosongan; tanpa surga dan tanpa neraka, tanpa upah dan tanpa ganjaran, tanpa rupa dan tanpa bentuk, tanpa pekerjaan dan tanpa rehat.
Jika demikian, apakah masih perlu mengajarkan orang beragama tentang surga dan neraka?
Dalam tradisi Yahudi-Kristen, ajaran tentang surga dan neraka lahir dari dalam suatu pandangan dunia apokaliptik yang menuntut semua musuh umat dan musuh Allah dalam dunia fana ini, yang telah menyengsarakan umat Allah, dibalas dan dihukum habis-habisan dalam api neraka setelah kematian mereka; sedang umat yang disengsarakan, sebagai pahala untuk ketaatan dan kesetiaan mereka pada Allah dan agama Allah, dihadiahi surga selamanya. Jadi, dapat dikatakan, ajaran tentang ancaman api neraka sesudah kematian sebenarnya menunjukkan kebencian umat pada musuh-musuh Allah, kebencian yang terus dirawat, dipertahankan, dihidupkan dan dipelihara sampai pada kematian dan sesudahnya. Ajaran tentang api neraka, dengan demikian, mengajarkan kebencian kekal pada musuh-musuh umat. Jelas, ajaran yang terus menebar kebencian sudah seharusnya ditolak.
Rabiah Al-Adawiyah menyatakan akan mengguyur api neraka dengan air sampai padam, dan membakar surga dengan suluh sampai lenyap terbakar, supaya orang mau beragama bukan karena iming-iming surga atau karena ketakutan akan api neraka, melainkan karena cinta saja. Ya, ajaran yang menebar kebencian sudah seharusnya diganti dengan ajaran tentang cinta, cinta kepada sesama bahkan cinta kepada musuh! Yesus Kristus sangat menekankan keharusan para pengikutnya untuk mengasihi musuh mereka sekalipun! Para Boddhisatva yang seharusnya sudah lepas dari siklus kematian dan kelahiran kembali, lalu masuk ke dalam nirvana, bersumpah tidak akan mau masuk ke dalam nirvana sampai seluruh rumput di padang mendapat penerangan budi melalui dharma yang mereka terus-menerus sebarkan! Artinya, mereka memilih untuk selamanya berada dalam dunia ini untuk menebar cinta. Mereka melakukan pengurbanan diri yang begitu besar karena cinta mereka kepada semua makhluk dalam dunia ini.
Cinta juga akan membuat kita merasa lebih bertanggungjawab untuk memadamkan api neraka kemiskinan dan penderitaan riil dalam dunia ini sekarang ini ketimbang membiarkan diri dilanda ketakutan pada neraka yang tidak pernah ada dalam dunia baka! Cinta juga akan mendorong kita untuk terus-menerus memperjuangkan tegaknya surga dalam dunia ini sekarang ini di antara orang yang miskin dan sengsara, ketimbang membiarkan diri terpincut oleh iming-iming surga yang tidak pernah ada dalam dunia baka!
Masalahnya, ajaran tentang adanya surga dan neraka sudah begitu dalam tertanam dalam kesadaran setiap orang beragama. Orang beragama apapun senantiasa diajarkan, sejak kecil, untuk percaya pada adanya surga dan neraka. Mereka sejak kanak-kanak sudah diiming-imingi surga dan ditakut-takuti neraka. Jadi, sangat susah atau bahkan mustahil untuk melepaskan orang beragama dari kepercayaan mereka pada adanya surga dan neraka.
Kata orangtua atau guru agama kita, kalau kita berbuat banyak kebajikan, lebih banyak dari kejahatan kita, dalam dunia sekarang ini, maka nanti dalam kehidupan di akhirat kita akan masuk surga, hidup dalam kebahagiaan abadi. Tetapi, mereka juga wanti-wanti mengingatkan, kalau kita berbuat kejahatan lebih banyak dalam dunia ini ketimbang kebajikan, kita nantinya akan masuk neraka, hidup dalam penderitaan abadi, dibakar api dan belerang sangat panas yang tak pernah padam.
Orang Kristen, seperti baru dikatakan, sejak di sekolah minggu juga diindoktrinasi dengan ajaran bahwa hanya orang yang percaya pada Yesus Kristus akan masuk surga sesudah kematian, dan orang yang tidak percaya pada Yesus nantinya akan masuk neraka. Bagi mereka, Yesus adalah tiket eksklusif satu-satunya untuk orang masuk surga.
Orang beragama yang memegang orientasi waktu siklikal pun percaya pada hal yang sama: setelah perbuatan bajik mencukupi, mereka akan terlepas dari siklus kematian dan kelahiran kembali dan masuk ke dalam nirvana, keadaan bahagia yang kekal abadi, dan hidup sebagai dewa-dewi. Jika dharma dan kebajikan belum mencukupi, mereka terlempar kembali, masuk ke dalam siklus kematian dan kelahiran kembali ke dalam dunia yang maya dan fana.
Kalangan Muslim ekstrimis bahkan percaya bahwa jika mereka mati di jalan Allah, mati sebagai syahid ketika berjihad dengan melakukan terorisme, mereka, setelah kematian, akan langsung dihadiahi kehidupan surgawi yang sangat menyenangkan, dengan dilayani puluhan bidadari yang cantik tak terbayangkan.
Tetapi, saya bertanya kepada mereka semua yang percaya pada adanya surga dan neraka: Bukankah untuk bisa merasakan sesuatu yang sangat menyenangkan (= surga) perlu ada tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan sel-sel otak? Bukankah untuk bisa merasakan sesuatu yang sangat menyiksa (= neraka) juga diperlukan tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan sel-sel otak? Tanpa tubuh, anggota tubuh, organ, indra, syaraf dan otak, tidak akan ada perasaan dan pengalaman positif atau negatif apapun.
Jika kehidupan sesudah kematian adalah suatu kehidupan tanpa tubuh, tanpa raga, tanpa organ, tanpa indra, tanpa syaraf, tanpa otak, maka kehidupan rohani yang transparan dan tanpa bentuk, yang bak angin atau asap belaka ini, adalah kehidupan yang tidak bisa merasakan apapun dan tidak bisa masuk ke dalam pengalaman apapun. Perasaan dan pengalaman, jika kedua hal ini ingin nyata dirasakan dan dialami, memerlukan media jasmaniah: tubuh, anggota tubuh, organ tubuh, indra, syaraf dan otak. Dengan demikian, kehidupan rohani setelah kematian, jika kehidupan semacam ini ada, adalah kehidupan tanpa rasa dan tanpa pengalaman apapun. Kehidupan yang tanpa rasa dan tanpa pengalaman apapun tidak akan bisa merasakan dan mengalami surga, juga tidak akan bisa merasakan dan mengalami neraka. Dengan kata lain, kehidupan rohaniah sesudah kematian ragawi tidak memungkinkan orang yang sudah mati mengalami baik surga maupun neraka. Surga atau neraka tidak bisa dirasakan dan dialami oleh orang yang sudah mati. Surga dan neraka hanya ada dalam ajaran agama, tetapi tidak bisa sungguh-sungguh dialami dan dirasakan orang yang sudah mati tetapi hidup lagi dengan tidak memakai raga apapun lagi.
Begitu juga, dalam suatu kehidupan rohaniah sesudah kematian, api yang terus bernyala dalam neraka pastilah bukan api sungguhan seperti api dalam oven pembakar dan pelumer baja yang kita kenal dalam dunia ini. Api rohaniah, api yang bukan api riil sungguhan, jika ada, tidak bisa menimbulkan rasa sakit, rasa panas, dan rasa tersiksa apapun. Neraka rohaniah, dengan demikian, tidak akan menyiksa apapun, dan neraka yang tidak bisa menyiksa adalah neraka yang tidak pernah ada. Neraka panas di alam baka hanya ada dalam khayalan orang yang masih hidup di bumi dengan memakai pengalaman di bumi. Jelas, neraka adalah suatu pelipatgandaan pengalaman buruk dan penderitaan manusia di bumi yang diproyeksikan ke alam keabadian.
Demikian juga, surga sesudah kematian, surga dalam kehidupan rohaniah sepenuhnya di alam baka, pastilah juga bukan rasa nikmat tertinggi jasmaniah sungguhan seperti orang rasakan dengan indra, syaraf dan otak ketika, misalnya, mencapai orgasme atau ejakulasi dalam suatu hubungan seksual badaniah yang dialami dalam dunia material sekarang ini. Surga rohaniah, dengan demikian, jika ada, adalah surga yang tidak bisa menimbulkan rasa nikmat apapun; dan rasa nikmat yang tidak bisa dirasakan secara jasmaniah, melalui organ, indra, syaraf dan otak, adalah rasa nikmat yang tidak pernah ada. Dengan begitu, surga rohaniah juga tidak pernah ada. Surga di alam baka hanya ada dalam khayalan manusia yang masih hidup di bumi dengan memakai pengalaman di bumi. Jelas jadinya, surga di alam baka adalah suatu pelipatgandaaan pengalaman bahagia yang dialami di muka bumi yang diproyeksikan ke alam keabadian.
Surga rohaniah dan neraka rohaniah dengan demikian tidak pernah akan menjadi tempat kenikmatan abadi dan tempat siksaan abadi. Dengan kata lain, keduanya tidak ada. Orang beragama yang memandang surga dan neraka di alam baka sebagai kenyataan-kenyataan material dan jasmaniah adalah orang yang gagal mengakui dan melihat adanya diskontinuitas antara alam fana jasmaniah dan alam baka rohaniah, antara tubuh manusia yang hidup dan mayat orang yang sudah mati yang harus dikuburkan atau dibakar dan yang, sesudah beberapa waktu lamanya, akhirnya lenyap menyatu dengan bumi. Tidak ada raga yang dilanjutkan keberadaannya sebagai raga di alam baka.
Kalaupun jiwa dipahami sebagai “energi” yang kekal, dan sebagai energi akan terus ada kendatipun orangnya sudah mati, energi ini, jika tidak terintegrasi dalam suatu media jasmaniah material, yakni tubuh, tidak akan menjadi suatu makhluk hidup yang dapat mencerap dan merasakan hal apapun. Orang beragama percaya, orang mati yang masuk ke dalam surga atau dibuang ke neraka akan terus hidup sebagai pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran personal dan jati diri. Nah, kalau jiwa hidup lagi setelah kematian ragawi sebagai suatu energi kekal, energi selamanya adalah sesuatu yang a-personal atau non-personal, sesuatu yang tidak memiliki kesadaran personal dan jati diri. Jadi, dari sudut perspektif fisika molekuler material, keberadaan surga dan neraka tidak bisa dihipotesiskan, kendatipun jiwa dapat dipandang berubah menjadi atau bertahan sebagai energi.
Tetapi, orang beragama bisa membantah dengan menyatakan bahwa kehidupan sesudah kematian adalah juga kehidupan ragawi, sehingga bisa tetap merasakan dan mengalami sesuatu seperti ketika orang masih hidup di dunia. Orang Kristen adalah kalangan yang bisa diantisipasi akan berargumen semacam ini, dengan mereka menunjuk pada tubuh kebangkitan Yesus yang diklaim bersifat ragawi.
Tetapi kontra-argumennya juga ada: Jika Yesus yang bangkit dari kematian adalah Yesus yang sungguh-sungguh masih memiliki raga sungguhan, maka dia, sesudah kebangkitannya, akan harus tunduk pada keterbatasan-keterbatasan ragawi, bahwa dia akan, misalnya, lapar, sakit dan terkurung, terikat pada tempat, tidak bebas, termasuk juga bahwa dia akan tetap menjadi semakin tua, lisut lalu mati lagi. Raga yang hidup abadi dan tidak pernah akan binasa hanya ada dalam mitos, dalam dongeng, dalam fiksi, tidak ada dalam kenyataan, di dunia ini maupun di akhirat. Jika setelah kematian dan kebangkitannya Yesus masuk surga, di surga, karena dia masih memiliki raga, umurnya akan tetap bertambah lalu dia pasti menua dan akan mati lagi. Surga macam apakah yang di dalamnya orang mati yang dibangkitkan bisa mati lagi?
Jika demikian halnya, kehidupan Yesus sesudah kebangkitannya tidaklah berbeda dari kehidupannya sebelum kematian dan kebangkitannya. Dengan kata lain, Yesus yang semacam ini adalah Yesus yang belum pernah terbebas dari kehidupan ragawi, dan tidak pernah mengalami kehidupan lain sesudah kematiannya. Sungguh malang Yesus jika keadaannya semacam ini! Doktrin tentang kebangkitan ragawi Yesus yang tujuan semulanya mau mengunggulkan dia di atas semua orang suci lainnya akhirnya malah memenjarakannya dalam serba kedagingannya dan menjadikannya makhluk paling malang di dunia ini dan di akhirat!
Di samping itu, kehidupan setelah kematian yang masih terkurung oleh raga dan semua sifat fananya, bukanlah kehidupan setelah kematian, melainkan masih sebatas kehidupan ragawi dalam dunia ini, kehidupan yang masih belum terbebaskan. Kehidupan setelah kematian yang semacam ini tidaklah pernah ada di akhirat.
Nah, dengan penasaran Anda mungkin akan bertanya: Kalau surga dan neraka tidak bisa dirasakan dan dialami oleh orang yang sudah mati, atau kalau surga dan neraka tidak pernah ada di alam baka, lalu apa yang akan dialami orang yang sudah mati? Orang yang sudah mati, jika masih harus hidup lagi di alam baka, tidak akan mengalami hal apapun: mereka berada dalam kekosongan; tanpa surga dan tanpa neraka, tanpa upah dan tanpa ganjaran, tanpa rupa dan tanpa bentuk, tanpa pekerjaan dan tanpa rehat.
Jika demikian, apakah masih perlu mengajarkan orang beragama tentang surga dan neraka?
Dalam tradisi Yahudi-Kristen, ajaran tentang surga dan neraka lahir dari dalam suatu pandangan dunia apokaliptik yang menuntut semua musuh umat dan musuh Allah dalam dunia fana ini, yang telah menyengsarakan umat Allah, dibalas dan dihukum habis-habisan dalam api neraka setelah kematian mereka; sedang umat yang disengsarakan, sebagai pahala untuk ketaatan dan kesetiaan mereka pada Allah dan agama Allah, dihadiahi surga selamanya. Jadi, dapat dikatakan, ajaran tentang ancaman api neraka sesudah kematian sebenarnya menunjukkan kebencian umat pada musuh-musuh Allah, kebencian yang terus dirawat, dipertahankan, dihidupkan dan dipelihara sampai pada kematian dan sesudahnya. Ajaran tentang api neraka, dengan demikian, mengajarkan kebencian kekal pada musuh-musuh umat. Jelas, ajaran yang terus menebar kebencian sudah seharusnya ditolak.
Rabiah Al-Adawiyah menyatakan akan mengguyur api neraka dengan air sampai padam, dan membakar surga dengan suluh sampai lenyap terbakar, supaya orang mau beragama bukan karena iming-iming surga atau karena ketakutan akan api neraka, melainkan karena cinta saja. Ya, ajaran yang menebar kebencian sudah seharusnya diganti dengan ajaran tentang cinta, cinta kepada sesama bahkan cinta kepada musuh! Yesus Kristus sangat menekankan keharusan para pengikutnya untuk mengasihi musuh mereka sekalipun! Para Boddhisatva yang seharusnya sudah lepas dari siklus kematian dan kelahiran kembali, lalu masuk ke dalam nirvana, bersumpah tidak akan mau masuk ke dalam nirvana sampai seluruh rumput di padang mendapat penerangan budi melalui dharma yang mereka terus-menerus sebarkan! Artinya, mereka memilih untuk selamanya berada dalam dunia ini untuk menebar cinta. Mereka melakukan pengurbanan diri yang begitu besar karena cinta mereka kepada semua makhluk dalam dunia ini.
Cinta juga akan membuat kita merasa lebih bertanggungjawab untuk memadamkan api neraka kemiskinan dan penderitaan riil dalam dunia ini sekarang ini ketimbang membiarkan diri dilanda ketakutan pada neraka yang tidak pernah ada dalam dunia baka! Cinta juga akan mendorong kita untuk terus-menerus memperjuangkan tegaknya surga dalam dunia ini sekarang ini di antara orang yang miskin dan sengsara, ketimbang membiarkan diri terpincut oleh iming-iming surga yang tidak pernah ada dalam dunia baka!