Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Dia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiup angin. Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan (Mazmur 1:1-6)Jadi jelas, menurut teks suci di atas, ketaatan dan sikap tunduk pada Allah mendatangkan kebahagiaan dalam kehidupan, sedangkan perlawanan dan ketidaktaatan pada-Nya mengakibatkan penderitaan dalam kehidupan. Ini adalah sebuah kepercayaan universal dalam semua agama teistik. Orang beragama yang saleh dan berhasil dalam kehidupan seringkali menegaskan dan mempersaksikan apa yang diyakini sebagai kebenaran ini; dan mereka terdorong untuk menasihati orang lain untuk juga mengikuti jalan kehidupan mereka yang penuh dengan ketaatan kepada Allah supaya kehidupan menjadi sukses dalam segala hal.
Dalam lingkungan kekristenan dewasa ini dikenal apa yang namanya “teologi sukses” dan “teologi anak raja.” Menurut teologi sukses, jika seorang menaati semua kehendak dan hukum Allah, maka hidup orang itu dijamin pasti sukses dalam segala bidang kehidupan, khususnya sukses dalam bisnis apapun yang dijalankannya. Lalu, menurut teologi anak raja, jika seorang Kristen terus-menerus menempatkan Yesus sebagai sang Raja mereka satu-satunya dan menjalankan segala perintahnya tanpa bertanya, maka Yesus sebagai sang Raja yang mahakaya, pemilik langit dan Bumi, akan pasti memberikan kekayaan dan kedudukan terhormat kepada orang ini. Tentu saja dua macam “teologi” ini laku keras di arena persaingan keras bisnis injil di kota-kota besar, dan dipercaya dengan begitu naïf oleh kebanyakan warga gereja yang ingin selalu meraih sukses dan kekayaan.
Tentu saja hal yang bertolakbelakang dari hal yang baru dikemukakan di alinea di atas juga banyak ditemukan, yakni seorang yang sudah sangat saleh dan taat dalam kehidupannya terhadap hukum dan perintah Allah yang ditulis dalam kitab suci agamanya ternyata tidak mengalami keberhasilan dan kebahagiaan, melainkan kegagalan dan penderitaan dalam kehidupannya. Hal yang bertolakbelakang ini sudah pernah disoroti dalam salah satu tulisan dari serangkaian tulisan tentang teodise ini, misalnya ketika figur Ayub dalam kitab Ayub dijadikan fokus perhatian.
Ihwal yang sekarang mau ditinjau adalah apakah suatu tindak ketidaktaatan dan perlawanan kepada Allah harus mengakibatkan nestapa, penderitaan, kesusahan dan bencana dalam kehidupan manusia. Tentu banyak orang akan langsung menyatakan bahwa hal ini adalah sesuatu yang sudah jelas, lumrah dan normal, jadi tak perlu dipermasalahkan lagi. Dalam kehidupan suatu negara saja, kata mereka, setiap warganegara yang tak menaati hukum dan peraturan yang sah akan dikenai suatu hukuman oleh negara untuk menimbulkan efek jera pada dirinya dan menjadi suatu peringatan bagi setiap warganegara lainnya. Begitu juga, kanak-kanak yang suka membandel dan melawan orangtua sudahlah pantas, kata mereka, jika dihukum untuk memberi pelajaran supaya jera. Tetapi justru di sini terletak persoalannya: Bagaimana halnya jika hukum dan peraturan negara yang berlaku itu salah, tidak manusiawi dan bengis? Bagaimana halnya jika peraturan yang ditegakkan oleh orangtua salah atau tidak manusiawi dan mematikan kebebasan kanak-kanak? Terhadap hukum dan peraturan yang semacam ini, apakah patut setiap warganegara atau setiap anak menaatinya dengan naïf dan membuta?
Pertanyaan-pertanyaan yang sama juga dapat diajukan kepada semua hukum dan peraturan yang diklaim, dalam kitab-kitab suci kuno, sebagai hukum dan peraturan yang berasal dari Allah sebagai pencipta dan penetapnya. Apakah pantas suatu Allah menjatuhkan suatu hukuman kepada seorang yang melawan dan melanggar hukum dan peraturan atau kehendak Allah ini karena hukum, peraturan dan kehendak Allah ini dipandang orang ini salah, tidak manusiawi, bengis dan menghambat pertumbuhan kesadaran dan pengetahuannya? Apakah tepat jika kepada orang semacam ini Allah menimpakan kutuk dan penderitaan, yang dijatuhkan Allah hanya dengan maksud diri sang Allah ini tetap berwibawa dan otoritatif meskipun sang Allah ini telah bertindak dengan sangat keliru? Banyak orang akan segera memberi reaksi bahwa tidaklah mungkin jika Allah bisa bertindak salah, keliru, tidak manusiawi, bengis dan menghambat pertumbuhan kesadaran dan pengetahuan manusia, karena Allah itu, kata mereka, mahakasih. Kepada mereka yang berkeberatan seperti ini, saya persilakan membaca kembali seluruh kitab suci agama mereka, khususnya kitab-kitab suci agama-agama monoteistik, dengan teliti dan dengan suara hati yang jujur. Dalam rangka itu, marilah sekarang kita soroti sebuah kisah penting dalam Perjanjian Lama, yakni kisah tentang Adam dan Hawa (Kejadian 3:1-24).
Dalam Epik Gilgamesh (disusun pada millennium ketiga S.M.), dikisahkan tentang suatu figur yang bernama Enkidu, yang dibesarkan bersama-sama binatang buas di hutan-hutan liar. Konon pada suatu hari seorang perempuan menggodanya dengan kemolekan tubuhnya; dan Enkidu takluk pada godaan perempuan ini, dan sebagai hasilnya Enkidu berubah menjadi bijaksana dan memperoleh pengetahuan manusia di dalam hatinya. Perempuan itu berkata kepadanya, “Engkau kini bijaksana, Enkidu, dan sekarang engkau telah menjadi seperti suatu dewa.” Tetapi pada akhirnya, epik ini mengisahkan, Enkidu mendapatkan dirinya telah dikutuk oleh sang dewi agung dan dia harus mati dalam rasa malu yang besar. Jelas, Epik Gilgamesh telah menjadi suatu sumber sastrawi bagi kisah tentang Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian, dengan variasi di sana-sini dibuat oleh si penyusun kisah tentang Adam dan Hawa ini.
Kita tahu, Tuhan Allah telah melarang Adam dan Hawa memetik dan memakan buah pohon pengetahuan yang tumbuh di tengah Taman Eden, dengan ancaman bahwa pada waktu mereka memakannya mereka berdua akan mati. Ketika seekor ular membujuk Hawa untuk memakan buah itu dan sang ular ini menyingkap suatu rahasia bahwa dia akan menjadi seperti Allah jika memakannya, yakni memiliki pengertian dan tahu membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk, Hawa pun memetik dan memakan buah pohon pengetahuan itu dan memberikannya juga kepada Adam yang juga ikut memakannya. Ancaman Allah tidak terjadi, sebab mereka berdua tidak mati seketika pada waktu mereka memakan buah pohon pengetahuan itu. Tetapi sebagai akibat perbuatan mereka melanggar aturan yang Allah sudah tetapkan untuk mereka di taman itu, Allah menjatuhkan sekian kutuk dan hukuman kepada mereka bahwa selanjutnya kehidupan mereka akan sulit dan penuh penderitaan sampai mereka pada akhirnya mati. Kata Tuhan Allah kepada Hawa, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan dia akan berkuasa atasmu” (Kejadian 3:16). Kepada Adam, Tuhan Allah menyatakan, “… Dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3:17-19).
Tentu saja kita tahu bahwa seluruh kisah tentang Taman Eden ini adalah sebuah fiksi etiologis, fiksi yang disusun (pada abad ke-10 S.M.) untuk memberi suatu penjelasan mitologis tentang asal-usul penderitaan yang dialami manusia, baik pria maupun wanita. Dan kita yang sudah mengenal pengetahuan modern tentu saja memandang etiologi ini sangat naïf, karena mengasalkan semua kerja berat, keluh kesah, penderitaan dan kematian manusia di sepanjang zaman pada satu pelanggaran yang dibuat Adam dan Hawa terhadap larangan Allah dulu di awal kehidupan manusia di muka Bumi. Selain itu, tidak semua orang memandang nenek moyang pertama mereka adalah Adam dan Hawa yang dikisahkan dalam Perjanjian Lama dan Alquran. Berbagai suku bangsa di dunia mempunyai kisah-kisah etiologis etnis sendiri-sendiri tentang nenek moyang pertama mereka dan apa yang nenek moyang ini telah perbuat pada awal kehidupan manusia di muka Bumi.
Bagaimana pun juga, kisah etiologis tentang Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian ini mau menegaskan satu hal, yakni penderitaan timbul karena manusia tidak menaati perintah, hukum, ketetapan dan larangan Allah. Dalam rangka teodise, dapat ditegaskan bahwa Allah memang mahakasih, tetapi Allah juga adalah Allah yang mau menegakkan suatu kehidupan yang berdisiplin, sehingga manusia dikehendaki Allah ini harus selalu menaati semua hukum dan perintah-Nya. Pendek kata, bagi Allah ini, siapapun yang melanggar hukum dan perintah Allah, orang itu pantas mengalami penderitaan! Bagi teologi yang legalistik semacam ini, teologi yang menempatkan kedaulatan dan hukum-hukum Allah di atas segala-galanya, penderitaan terjadi karena ulah manusia sendiri! Allah tidak bersalah dalam terjadinya penderitaan manusia; seluruh kesalahan ada pada manusia! Bahkan, dalam alur pemikiran teologis semacam ini, berbagai bencana alam pun dilihat sebagai wahana dan media Allah menghukum manusia yang tidak taat!
Tetapi, sebuah pertanyaan penting harus diajukan kepada Allah penghukum semacam ini: Apakah pantas jika Allah menjatuhkan penghukuman kepada Adam dan Hawa karena mereka berdua telah memakan buah pohon pengetahuan? Bukankah buah pohon ini telah membuat mereka memiliki pengertian dan kebijaksanaan hidup yang memampukan mereka tahu membedakan hal yang baik dari hal yang buruk, hal yang benar dari hal yang salah? Bukankah untuk bisa mengusahakan dan memelihara tempat kehidupan mereka, yakni Taman Eden, sebagaimana Allah perintahkan (Kejadian 2:15), Adam dan Hawa memerlukan wisdom, hikmat dan pengertian? Jika demikian, bukankah sudah seharusnya Allah mempersilakan bahkan harus mendorong Adam dan Hawa memetik dan memakan buah pohon pengetahuan itu, dan bukan malah sebaliknya melarang mereka? Mengapa Allah ironisnya ingin mereka berdua tetap bodoh, dungu dan hanya membebek saja pada perintah dan hukum Allah, sementara perintah dan hukum Allah ini salah, tidak bijaksana, tidak manusiawi dan mematikan pertumbuhan kesadaran dan pengetahuan manusia, pengetahuan moral paling sedikit?
Jadi, harus kita simpulkan, bahwa Adam dan Hawa telah bertindak benar ketika mereka melanggar perintah dan larangan Allah dengan mereka memetik dan memakan buah pohon pengetahuan. Penderitaan mereka terjadi kemudian bukan karena ketidaktaatan mereka, tetapi karena perintah, hukum dan larangan Allah salah, keliru, tidak manusiawi, menghambat kemajuan manusia dan merusak tatanan nilai-nilai moral yang seharusnya. Perintah dan hukum Allah yang semacam ini harus ditolak, dan bahkan diri Allah yang memberi perintah dan hukum semacam ini harus juga dilawan dan ditolak. Jika demikian, kesalahan bukan ada di pundak Adam dan Hawa, tetapi di pundak Allah sendiri. Bukan penghukuman dan penderitaan serta kematian yang seharusnya diterima Adam dan Hawa, tetapi pujian dari Allah, kebahagiaan, keberhasilan dan kehidupan.
Ada sebuah kisah lain dalam kitab Kejadian yang relevan untuk disinggung di akhir uraian ini, yakni kisah tentang Abraham yang diminta Allah mengurbankan Ishak, anaknya (Kejadian 22:1-14). Kita tahu, Abraham total menaati permintaan atau perintah Allah ini, meskipun pada akhirnya, di saat-saat genting, dia tidak jadi menyembelih Ishak karena ternyata Allah “hanya” mengujinya dan memberi seekor hewan sebagai suatu kurban pengganti. Apapun juga yang terjadi pada akhirnya, permintaan dan perintah Allah semacam ini kepada Abraham adalah suatu permintaan dan perintah yang salah, edan, tak waras, tak manusiawi dan tak etis, yang tak pantas sama sekali dikeluarkan oleh suatu Allah yang mahapengasih dan mahapenyayang. Hanya orang yang terperangkap dalam delusi saja, yang membuatnya tidak bisa berpikir sehat lagi dan tidak bisa melihat kenyataan dengan kesadaran penuh, akan menundukkan diri kepada permintaan dan perintah Allah yang jahat dan keji semacam ini. Jika permintaan Allah ini adalah suatu ujian, ujian ilahi semacam ini adalah suatu ujian yang sangat edan, tak waras, yang hanya bisa disampaikan oleh suatu Allah yang tidak waras. Allah yang tak waras, sama sekali tak perlu ditaati oleh siapapun, bahkan harus ditentang dan dilawan oleh setiap mukmin yang mau hidup dengan dituntun oleh akal sehat dan pengetahuan yang benar.
Jika Abraham hidup pada zaman modern sekarang ini, pasti Abraham akan ditangkap oleh aparat keamanan sebelum dia sempat mengurbankan Ishak (tentu jika ada pihak ketiga yang telah mencium rencana ini dan telah melaporkannya kepada aparat penegak hukum), lalu akan disidik dengan suatu tuduhan telah berencana untuk membunuh anaknya sendiri. Jika pembunuhan atas Ishak telah terjadi, Abraham pasti akan ditangkap lalu diadili dan pasti dijatuhkan hukuman mati, sementara sang Allah yang ditaatinya akan tentu saja berdiam diri. Banyak orang yang karena beriman sangat menggebu-gebu kepada Allah mereka atau kepada hukum-hukum yang dipercaya mereka dibuat oleh Allah mereka ini, sudah tidak tahu lagi bahwa iman keagamaan apapun, berapapun besarnya dan betapapun mulia dalam pandangan mereka sendiri, selalu memiliki batas-batas yang tak boleh dilampaui jika mereka mau hidup sehat, benar dan bermoral dalam suatu masyarakat yang di dalamnya hukum positif negara diberlakukan dan harus ditaati semua warga.
Kesimpulannya: Dalam rangka menggumuli teodise, yakni pergumulan tentang keadilan dan kasih Allah di tengah penderitaan berat kaum mukmin, kita harus berpandangan bahwa penderitaan manusia bisa muncul bukan karena kesalahan mereka melanggar hukum, perintah dan ketetapan Allah, tetapi karena hukum, perintah dan ketetapan Allah ini salah, keliru, tidak tepat, tidak manusiawi, jahat dan keji, sehingga seharusnya tidak perlu ditaati manusia. Dengan tidak menaati hukum, perintah dan ketetapan Allah yang semacam ini, seharusnya bukan penderitaan dan kematian yang dialami manusia, tetapi kebahagiaan dan kehidupan. Tidak selalu penderitaan itu terjadi karena kesalahan manusia, tetapi bisa karena kesalahan Allah yang dipercaya umat beragama. Untuk mengurangi penderitaan manusia, sudah seharusnya manusia berani membangun sikap kritis terhadap semua hukum dan peraturan yang dipercaya berasal dari Allah dan dicatat dalam kitab-kitab suci.
by Ioanes Rakhmat