Thursday, December 2, 2010

Keingintahuan Melahirkan Sains

Oleh Ioanes Rakhmat

Curiosity atau keingintahuan adalah suatu dorongan kognitif dasariah dalam diri manusia yang membuat manusia dapat menemukan pengetahuan. Keingintahuan ini terpatri dalam neuron-neuron organ otak manusia. Titik awal lahirnya sains adalah keingintahuan.

Grace, boleh aku tahu punyamu seperti apa?
Boleh kok, Dave! Nih, lihat saja.

Karena ingin tahu apakah betul Bumi ini bulat seperti bola, seorang penjelajah laut kebangsaan Portugis, Ferdinand Magellan (1480- 1521), dalam dua kesempatan terpisah melakukan dua pelayaran sirkumnavigasi dari dua arah yang berlawanan, yang akhirnya memberi suatu bukti positif pertama bagi dunia sains bahwa planet Bumi ini berbentuk bulat. Magellan pernah menyatakan, “Gereja mengatakan bahwa Bumi ini datar, tetapi aku tahu bahwa Bumi bulat, sebab aku sudah melihat bayangannya pada Bulan, dan aku lebih percaya pada sebuah bayangan ketimbang pada gereja.”


Karena ingin tahu isi angkasa luar yang pada malam hari tampak dipenuhi bintang-bintang yang benderang, manusia sudah sejak beberapa abad lalu membuat berbagai jenis alat peneropong bintang yang diberi nama teleskop.

Pada zaman modern ini kita memiliki sebuah teleskop antariksa yang diberi nama Teleskop Antariksa Hubble, dari nama seorang astronom Edwin Hubble. Setelah diluncurkan ke orbitnya pada 1990 dan setelah mengalami reparasi terakhir tahun 2009, Teleskop Antariksa Hubble diharapkan akan berfungsi sampai sedikitnya tahun 2014 ketika penggantinya, Teleskop Antariksa James Webb, siap diluncurkan. Dengan menggunakan Teleskop Hubble, para astrofisikawan modern dapat dengan tepat menentukan antara lain angka kecepatan ekspansi jagat raya

Jauh sebelum era teleskop antariksa, pada awal abad ketujuh belas, Galileo Galilee (1564-1642), sebagai salah seorang astronom terkenal kebangsaan Italia, sudah membuat sebuah teleskop pembiasan cahaya untuk mengamati sejumlah planet dalam tata surya, seperti Jupiter (dengan empat satelit terbesarnya), Venus, Saturnus, Neptunus, bahkan juga untuk mengamati bintik-bintik Matahari dan galaksi Bima Sakti.

Pengamatan Galileo yang kontinu atas satelit-satelit Jupiter telah menciptakan suatu revolusi dalam astronomi yang bergema hingga kini: sebuah planet dengan planet-planet yang lebih kecil yang mengorbit padanya tidak cocok dengan prinsip-prinsip kosmologi Aristotelian yang memandang sebuah benda langit harus mengitari planet Bumi. Penemuan Galileo, lewat teleskopnya, atas fase-fase penuh planet Venus adalah sumbangannya yang paling empiris, praktis dan berpengaruh bagi peralihan dari geosentrisme ke heliosentrisme.

Menurut Stephen Hawking, “Galileo, mungkin lebih dari orang lain manapun, bertanggungjawab bagi kelahiran sains modern.” Bagi Albert Einstein, Galileo adalah Bapak sains modern. Tetapi, jauh sebelum pengakuan dari dua fisikawan modern ini, pada tahun 1615 Galileo yang mendukung model heliosentris Kopernikan diadukan ke Inkwisisi Gereja Roma Katolik (GRK); dan pada Februari 1616 GRK mengutuk heliosentrisme sebagai suatu pandangan yang “salah dan bertentangan dengan Alkitab.” Karena bukunya yang berjudul Dialog Mengenai Dua Sistem Dunia Yang Utama (terbit 1632), Galileo diadili oleh Inkwisisi GRK dan dia selanjutnya “diduga keras sebagai bidah”, dan sebagai akibatnya dia sampai akhir kehidupannya dikenakan tahanan rumah. Kurang lebih tiga setengah abad kemudian, pada 31 Oktober 1992, Paus Yohannes Paulus II mengakui bahwa GRK telah salah dalam menangani kasus Galileo. Pada Maret 2008 Vatikan merehabilitasi Galileo dengan mendirikan sebuah patung Galileo di dalam tembok-tembok Vatikan. Tetapi Galileo, sayangnya, tidak tahu bahwa GRK akhirnya merehabilitasi namanya.

Dua nama besar di atas, Ferdinand Magellan dan Galileo Galilee, adalah contoh orang yang karena keingintahuan yang besar telah melakukan eksplorasi dan observasi saintifik atas alam dan jagat raya. Setelah melakukan eksplorasi dan observasi, mereka mendapatkan pengetahuan yang ternyata bertentangan dengan kepercayaan institusi gereja pada zaman mereka masing-masing. Magellan lebih percaya pada bentuk bayangan Bumi di Bulan yang terlihat pada waktu gerhana, yang menunjukkan Bumi bulat, ketimbang pada gereja yang menyatakan Bumi datar. Galileo mempertahankan model kosmologis heliosentrisme ketimbang model geosentrisme yang dipertahankan gereja pada zamannya, yang mengakibatkan dirinya menderita sampai akhir hayatnya.

Gereja yang menolak pandangan-pandangan sains tentang berbagai hal dalam kosmos yang merontokkan pandangan-pandangan kitab suci tentang hal-hal yang sama, sebetulnya adalah gereja yang ingin mematikan keingintahuan manusia tentang segala sesuatu yang mengitarinya, yang ada di dekat dirinya maupun yang jauh. Mematikan keingintahuan sama dengan menghancurkan otak suatu makhluk cerdas yang namanya manusia, homo sapiens.

Ternyata sikap gereja yang negatif terhadap keingintahuan manusia yang mendorong manusia untuk mengonstruksi sains bukan baru muncul di abad keenambelas dan abad ketujuhbelas saja. Jauh sebelumnya, seorang Bapak Gereja Barat yang terkenal, Santo Augustinus dari Hippo (354-430), yang tinggal di Propinsi Afrika yang dikuasai Roma, telah dengan terbuka menyatakan hal berikut ini: “Ada suatu bentuk godaan lain, bahkan lebih penuh dengan bahaya. Godaan ini adalah penyakit yang dinamakan keingintahuan. Keingintahuan inilah yang mendorong kita untuk mencoba sesuatu dan untuk menemukan rahasia-rahasia alam, yakni rahasia-rahasia yang berada di luar jangkauan pemahaman kita, yang membuat kita tidak mendapatkan hal apapun dan yang manusia harus tidak ingin mempelajarinya.”

Jauh sebelum era Agustinus, pada abad kesepuluh SM, penulis kisah Taman Eden dalam kitab Kejadian 2-3 dalam Alkitab Ibrani, telah juga menyatakan bahwa keingintahuan Hawa dan pasangannya, Adam, telah mendorong mereka memetik dan memakan buah pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat. Bagi si penulis teks kitab suci ini, tindakan Adam dan Hawa ini adalah sesuatu perlawanan dan pemberontakan kepada Allah dan hukum-hukum-Nya. Orang dapat bertanya, Bagaimana mungkin mendapatkan pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat dipandang sebagai suatu perlawanan kepada Allah yang harus diganjar dengan penderitaan dan kematian, kecuali sang Allah ini adalah suatu allah yang menginginkan manusia, ciptaan-Nya, fitrah-Nya, tetap pandir dan tak berpengetahuan selamanya?

Agama di mana-mana dan sejak dulu, melalui para agamawan yang taat, memang mempertahankan dan menjaga misteri-misteri alam dan kehidupan. Hanya dengan cara inilah mereka dapat terus mengendalikan umat yang mereka pimpin. Sebaliknya, sains terus memanggil manusia untuk memakai keingintahuan mereka untuk mengeskplorasi dan mengobservasi alam dan jagat raya, sehingga secara bertahap dan progresif manusia akan makin dekat pada kebenaran yang makin menyingkapkan diri. Barangsiapa mencari kebenaran, cintailah sains dan petiklah buah-buah pohon pengetahuan dengan berani!

(Tulisan ini sudah terbit di Koran Tempo edisi Minggu, 28 November 2010, halaman A21. Atau klik link ini http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/28/Ide/index.html)