Wednesday, May 13, 2009

Apakah "Dosa Warisan" Itu Ada?

The courageous Eve and the forbidden fruit

Soteriologi salib untuk bisa fungsional memerlukan doktrin Kristen tentang “dosa asal” atau “dosa warisan”. Apakah dosa warisan memang ada sehingga harus dibersihkan dan dihapus oleh “darah Yesus” yang tercurah di kayu salib? Inilah pertanyaan yang jawabannya dicari dalam tulisan ini, tulisan kedelapan dari rangkaian tulisan yang menyoroti masalah-masalah dalam soteriologi salib. Jika dapat diargumentasikan bahwa dosa asal tidak ada, maka rontok jugalah validitas soteriologi ini.

Menurut Rasul Paulus, dosa asal itu ada, yakni bermula dari pelanggaran dan ketidaktaatan Adam terhadap ketetapan dan larangan Allah. Dosa Adam dan kematian sebagai hukumannya, tulis Paulus, “telah menjalar kepada semua orang” (Roma 5:12-19). Di perikop surat Roma ini, Paulus hanya menyebut Adam sebagai sumber dosa asal. Dia tidak menyebut Hawa, yang menurut tuturan Kejadian 3:1-24 (yang pasti dikenal Paulus) adalah orang pertama yang mengambil buah dari pohon terlarang (Kejadian 2:17; 3:3), lalu memakannya dan memberikannya kepada suaminya, Adam, yang lalu juga ikut memakannya (Kejadian 3:6). Bisa jadi, para pendukung teologi feminis dalam zaman kita sekarang ini sangat senang, sebab Rasul Paulus tidak menunjuk kepada Hawa sebagai sumber dosa asal. Tetapi nanti dulu!

Dalam surat pastoral 1 Timotius yang ditulis pada akhir abad pertama atau permulaan abad kedua Masehi, yang bukan buah tangan Rasul Paulus, kita baca sesuatu yang pasti menusuk hati kaum feminis: “Seharusnya perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa” (2:11-14; bdk. 1 Petrus 3:1-7). Tentu saja kaum feminis modern, dengan hermeneutik resistensi mereka, akan satu suara menyatakan bahwa teks yang menyudutkan dan merendahkan kaum perempuan ini bukan firman Allah, tetapi firman seorang manusia laki-laki dalam suatu masyarakat patriarkal yang merendahkan dan menindas kaum perempuan. Mereka juga pasti akan sangat berang terhadap, antara lain, seorang pemimpin gereja dari abad kedua, Tertullianus, yang dengan memakai Kejadian 3 sebagai titik pijaknya menegur kaum perempuan Kristen zamannya dengan sangat keras, demikian, “Kalian adalah pintu gerbang masuknya setan ke dalam dunia ... kalian adalah dia [Hawa] yang membujuknya [Adam], yang setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap jenis kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada” (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12). Tentu kaum feminis akan langsung menangkap ada misogini (= kebencian terhadap kaum perempuan) yang sangat kuat dalam kedua teks ini, yang satu teks skriptural dan yang lainnya bukan.

Di dalam sebuah dokumen yang dibeli British Museum pada tahun 1785, yang berjudul Pistis Sofia (ditulis tahun 250 M), misogini bahkan dikatakan juga ada pada Rasul Petrus, yang menurut Gereja Katolik Roma adalah bapak moyang semua Paus. Teks Pistis Sofia 72 memuat ucapan Maria Magdalena tentang Rasul Petrus kepada Yesus dan para rasul lainnya, demikian, “Guruku, aku memahami dalam pikiranku bahwa aku dapat maju ke muka kapan saja untuk menafsirkan apa yang Pistis Sofia telah katakan, tetapi aku takut kepada Petrus, karena dia telah mengancam aku dan membenci jenis kami.” Teks Pistis Sofia yang semacam ini tentu dilatarbelakangi oleh adanya suatu persaingan tajam antara rasul-rasul perempuan dan rasul-rasul pria ketika para rasul pria belum menguasai seluruh jenjang kepemimpinan dalam gereja awal dulu (lebih jauh tentang Pistis Sofia, klik di sini).

Nah, untuk membela dan merehabilitasi Hawa serta melawan misogini, banyak pendukung feminisme pada masa kini berpaling ke teks-teks ekstrakanonik yang ditulis kalangan gnostik pada abad kedua dan ketiga, yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir, pada tahun 1945. Di antara 52 traktat yang ditemukan di Nag Hammadi ini, dokumen Hipostasis Para Arkhon dan dokumen Guntur: Pikiran Sempurna khususnya patut diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh mereka.

Dalam kedua dokumen gnostik ini, Hawa digambarkan bukan sebagai asal-muasal “dosa asal” (original sin), tetapi sebagai asal-muasal dari apa yang saya dapat sebut sebagai “karunia asal” (original grace). Karena apa? Karena, di dalam dokumen-dokumen gnostik ini, Hawa (atau Kuasa Spiritual Feminin yang ada dalam dirinya) dipandang sebagai hero yang dengan sangat berani telah melakukan langkah yang betul dan signifikan, yakni melawan Allah untuk mendapatkan “pengetahuan” (Yunani: gnosis) yang begitu penting dalam pandangan kalangan gnostik sebagai jalan menuju pencerahan dan pembebasan, buat Hawa sendiri, buat suaminya, dan buat seluruh umat manusia setelah mereka. Perspektif khas gnostik ini dapat menjadi suatu landasan untuk mengangkat refleksi liberal berikut ini dan menerapkan hermeneutik resistensi.

Keberanian Hawa melanggar larangan Allah (lihat Kejadian 2:17), dengan dia memetik “buah terlarang” (yang kita sering bayangkan sebagai buah apel) lalu memakannya dan memberikannya kepada suaminya, Adam, telah membuat mata keduanya “terbuka.” Dengan tindakan heroik Hawa itu, mereka mendapatkan pencerahan dan pengertian serta pengetahuan. Mereka, seperti dikatakan sang ular, berhasil menjadi “seperti Allah, tahu tentang hal yang baik dan hal yang jahat” (Kejadian 3:5), pengetahuan yang sebenarnya semula Allah ingin kuasai sendirian. Tetapi, bukankah, menurut Kejadian 1, “menjadi seperti Allah” adalah suatu kodrat yang diberikan kepada Adam dan Hawa ketika Allah menciptakan mereka sebagai “gambar dan rupa Allah” (Kejadian 1:26-27)? Jadi, kalau Adam dan Hawa bertindak memakan buah terlarang itu, buah “pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat”, bukankah tindakan mereka ini sejalan dengan kodrat mereka yang mulia? Di mana kesalahan mereka, di mana dosa asal dari mereka? Apa perlu ada larangan itu?

Apakah dengan tindakan pelanggaran ini, Hawa, dan suaminya, Adam, langsung mati, seperti diingatkan dan diancamkan Allah sebelumnya, bahwa “pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kejadian 2:17; 3:3)? Seperti dikatakan sang ular bahwa “Sekali-kali kamu tidak akan mati” (Kejadian 3:4), Adam dan Hawa ternyata memang tidak mati, malah keduanya masih hidup beberapa ratus tahun ke depan (lihat Kejadian 5:5) dan melahirkan keturunan. Ancaman dan peringatan dari Allah ternyata tidak terjadi; hal ini bisa disebabkan Allah berdusta, tidak konsisten, atau karena hal lain. Bahwa mereka berdua tidak mati membuktikan bahwa larangan Allah itu sebetulnya tidak diperlukan, salah tempat, dan tidak memiliki kekuatan. Bagaimanapun juga, “pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat”, yang diperoleh Adam dan Hawa melalui perlawanan mereka kepada Allah, sangat penting untuk mengawal perjalanan peradaban manusia, dari tahap primitif primordial di Taman Eden sampai ke tahap modern dalam zaman sekarang. Bukankah sebagai “gambar dan rupa Allah” manusia diperintahkan untuk “menguasai” dan “menaklukkan” seluruh alam dan segenap isinya (Kejadian 1:26-28)? Bukankah untuk bisa menguasai dan menaklukkan seluruh alam dengan bijaksana diperlukan pengetahuan tentang moralitas, tentang hal yang baik dan hal yang jahat? Dengan demikian, harus ditegaskan, yang “menjalar” dari Adam dan Hawa bukanlah dosa asal dan kematian sebagai hukumannya, seperti dibayangkan Rasul Paulus, melainkan karunia atau rakhmat asal dan kehidupan, seperti dibayangkan kalangan gnostik. Karunia asal dan kehidupan ini dapat mengalir dari Taman Eden kepada semua umat manusia karena keberanian Hawa untuk mendapatkan pengetahuan kendatipun untuk itu Hawa harus melawan Allah yang memang tampil membingungkan.

Jelas, perspektif gnostik di atas berhasil merehabilitasi Hawa; dan kalangan pembela feminisme patut bersorak-sorai karenanya. Tetapi, apa kata penulis Kejadian 3 tentang akibat yang ditimbulkan “mata yang terbuka”, “pengetahuan” dan “pengertian” yang berhasil dicapai Hawa dan dibagi kepada Adam? Penulis Kejadian 2:4b-3:24, yang mewakili kalangan sastrawan Yahwis “ortodoks” istana dalam zaman pemerintahan Raja Daud (abad X SM), ternyata tidak memihak kepada Adam dan Hawa yang sebetulnya sudah tercerahkan.

Dalam kesimpulan si penulis Kejadian 3, buah pohon terlarang yang dimakan Hawa dan diberikan kepada suaminya, Adam, membuat “mata mereka terbuka” sehingga mereka bisa melihat “bahwa mereka telanjang” dan untuk menutupi ketelanjangan mereka itu, mereka “menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” (Kejadian 3:7). Jelas, di sini si penulis ini memaknai kata “telanjang” sebagai sesuatu yang memalukan, sesuatu yang menimbulkan aib, sesuatu yang tidak pantas, sesuatu yang tidak sopan, sesuatu yang tidak baik, sesuatu yang buruk, sesuatu yang tidak bermoral, karena itu harus ditutupi. Dengan demikian, baginya, ketika Adam dan Hawa, dan juga seluruh umat manusia keturunan mereka, mau “menjadi seperti Allah” dan bertindak ke arah itu dengan melanggar larangan Allah, yang akhirnya mereka dapatkan hanyalah rasa malu, aib, dan keadaan tidak bermoral. Posisi etis teologis si penulis Kejadian 3 ini jelas: manusia tidak boleh melanggar perintah Allah yang sudah ditetapkan atau dituliskan, apapun isi perintah itu, kalau mereka tidak ingin akhirnya menemukan diri mereka aib dan memalukan! Dilihat dari sudut posisi etika, jelas dia adalah seorang yang legalistik skripturalis. Bisa jadi, tuturannya dalam Kejadian 3 memang dimaksudkannya sebagai sebuah pesan kepada Raja Daud dan rakyatnya bahwa untuk negara dan bangsa bisa maju dan mengalami kejayaan, bukan kejatuhan, mereka semua harus setia kepada firman Allah, kepada Taurat Musa, dan menaatinya secara harfiah. Tentu saja, dengan berpijak pada hermeneutik resistensi, kita bisa melawan dan menolak kesimpulan si penulis Kejadian 3 ini, dan mempersoalkan posisinya dengan rasional.

Pertama, dalam kisah sebelumnya, si penulis Kejadian 2:4b-3:24 menuturkan bahwa Tuhan “mengambil Adam dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kejadian 2:15). Jadi, di Taman Eden Tuhan Allah tidak begitu saja memberikan segala sesuatunya dengan serba lengkap kepada Adam untuk dia dapat hidup. Sejak awal, Taman Eden bukanlah sesuatu yang sudah jadi, tetapi sesuatu yang masih harus diolah, sesuatu yang masih belum sempurna. Adam tetap harus berpikir, bekerja keras, bersusah payah, berkeringat, berlelah-lelah, dalam mengusahakan dan memelihara taman itu. Adam tetap harus melakukan tindakan budaya. Tindakan naluriah saja sangat tidak memadai. Dengan demikian, untuk melaksanakan perintah kultural “mengusahakan dan memelihara” taman, Adam memerlukan bukan naluri, bukan hanya tubuh dan tenaga, tetapi pengetahuan dan teknologi, mulai dari yang sederhana sampai yang lebih kompleks! Yakni pengetahuan tentang pengelolaan tanah atau tempat kehidupan manusia, pengetahuan tentang bagaimana mengelola tanah dengan sebaik-baiknya dan pengetahuan tentang bagaimana menghindari kesalahan-kesalahan dalam mengelola, supaya dihasilkan banyak kebaikan, keuntungan dan manfaat buat Adam. Bukankah sudah seharusnya Allah, sebagai sang Pencipta Adam dan tempat kehidupannya, memberinya pengetahuan itu?

Jadi, kalau di tengah Taman Eden tumbuh “pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat”, biarkanlah Adam memetik buahnya dan memakannya. Bukankah pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat memungkinkan Adam memikirkan perihal bagaimana membangun kehidupan yang menghasilkan kebaikan dan menghindari kehidupan yang menimbulkan kejahatan? Bukankah pengetahuan tentang moralitas, pengetahuan tentang nilai-nilai, pada saatnya mendorong orang untuk juga menciptakan pengetahuan material yang bisa membantunya hidup dengan baik dan terhindar dari hal yang jahat dan hal yang buruk? Bukankah pengetahuan tentang moralitas mendorong orang untuk juga menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan ilmiah, sains? Moralitas atau etika, sebagai suatu pengetahuan, mendorong penemuan dan pengembangan sains, tidak menghambat dan menghalanginya. Jadi, supaya manusia bisa terus maju, seharusnya Allah mendorong Adam memetik dan memakan buah pohon tentang hal yang baik dan hal yang jahat yang ada di tengah Taman Eden, bukan melarangnya.

Dengan demikian, kalau dituturkan bahwa Tuhan Allah memberi perintah dan larangan kepada Adam untuk tidak memakan buah “pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat” (Kejadian 2:17), si penulis kisah ini membuat Tuhan Allah menjadi suatu figur yang tidak konsisten, yang tidak mengetahui hal-hal yang dibutuhkan Adam dalam mengusahakan dan memelihara atau mengelola taman tempat dia hidup. Tuhan Allah yang semacam ini adalah Tuhan Allah yang, boleh dikatakan, bodoh, tidak maha tahu, penghambat, dan tidak bertanggungjawab. Tentu saja, hemat saya, orang tidak perlu menaati dan tunduk pada Allah yang semacam ini. Dengan demikian, tindakan Hawa mengikuti petunjuk dan pengarahan sang ular adalah suatu tindakan yang benar, yang memang diperlukan untuk manusia bisa mengelola lingkungan tempat kehidupannya, untuk berbudaya. Dengan demikian, yang dibuat di Taman Eden bukanlah dosa asal, tetapi suatu tindakan berani Hawa untuk memungkinkan manusia melakukan tindak budaya primordial, yang akan terus dikembangkan manusia keturunan Adam dan Hawa di mana-mana dan di segala zaman. Adam dan Hawa bukanlah tipe manusia pembangkang, tetapi tipe manusia yang dengan bertanggungjawab memakai “kehendak bebas” mereka (bdk Kejadian 2:16; 3:2) untuk membangun suatu bentuk primitif kebudayaan. Allah tidak boleh menghalangi kehendak bebas yang ada pada manusia, jika kehendak bebas ini dipakai manusia untuk mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya yang diperlukan untuk dengan penuh tanggungjawab mengelola tempat kehidupannya dan dunia luas ciptaan Allah. Dan sampai sekarang, dari sebagai bayi sampai rambut memutih, manusia manapun tidak kehilangan kehendak bebas mereka. Tidak ada dosa asal yang merenggut kehendak bebas manusia.

Kedua, menurut si penulis Kejadian 2:4a-3:24, Adam adalah suami dari Hawa (Kejadian 3:6), dan Hawa adalah istri Adam (Kejadian 2:24). Sebagai suami dan istri mereka berdua “telanjang, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kejadian 2:25). Nah, bagaimana mungkin sebagai pasangan suami dan istri, Adam dan Hawa saling tidak mengetahui bahwa keduanya telanjang? Mereka, sebelum memakan buah terlarang, sudah mengetahui bahwa mereka berdua telanjang, meskipun demikian keduanya tidak merasa malu. Jadi, si penulis bagian kitab Kejadian ini melupakan apa yang dia telah tulis sebelumnya ketika dia menarik kesimpulan yang sudah disebut di atas. Atau, dengan kata lain, kesimpulannya itu adalah kesimpulan yang tidak perlu, yang tidak pada tempatnya, kesimpulan yang keliru. Walaupun demikian, dilihat dari sisi lain, bukankah sesuatu yang baik jika Adam dan Hawa, sebagai akibat memakan buah terlarang itu, mendapatkan pengetahuan bahwa mereka harus menutupi alat-alat vital mereka, aurat mereka, yang satu dengan cawat (Adam), dan yang lainnya dengan daun pohon ara (Hawa)? Bukankah tindakan mereka ini menandakan mereka mengalami peningkatan pemahaman moralitas tentang merawat tubuh dan tentang menjalani kehidupan sosial yang sopan dan beradab? Hemat saya ini adalah suatu akibat yang baik dilihat dari sudut moralitas. Dengan demikian, bukan dosa asal yang dibuat mereka, tetapi suatu peningkatan kesadaran tentang bagaimana menjalani suatu kehidupan sosial yang beradab.

Tetapi pandangan si penulis Kejadian 3 tidak demikian: baginya hasil dari memakan buah terlarang, dari tindakan untuk menjadi sama dengan Allah, adalah sangat buruk dan menimbulkan aib, karena melanggar ketetapan Allah. Karena itu, pantaslah kalau si penulis ini selanjutnya menuturkan bahwa Allah, setelah mengetahui pelanggaran Adam dan Hawa, menjatuhkan hukuman berat kepada mereka berdua, kepada sang ular yang sebetulnya baik hati, dan kepada tanah (Kejadian 3:14-19). Nah, sekarang saatnya kita meninjau sekian hukuman yang dijatuhkan Tuhan Allah kepada Adam dan Hawa, ular dan bumi, untuk kita menemukan apakah semua keadaan yang ditimbulkan oleh hukuman ini memang timbul karena dosa asal atau merupakan hal-hal yang memang kodrati dalam diri dan kehidupan manusia.

Yang pertama-tama ingin saya tekankan adalah bahwa Kejadian 3 bukanlah sebuah deskripsi naratif historis tentang Taman Eden dan tiga makhluk hidup penghuninya (Adam, Hawa dan ular) serta apa yang mereka perbuat, tetapi sebuah etiologi mitologis, sebuah kisah fiktif, sebuah metafora, yang disusun ketika si penulisnya bertanya dan bergumul mengenai asal-usul dan sebab-musabab hal-hal eksistensial yang dilihat dan dialaminya setiap hari, lalu dia sendiri dengan imajinatif dan spekulatif mengupayakan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Bahwa kisah alkitabiah tentang Adam dan Hawa dalam Kejadian 2:4b-3:24 bukanlah sebuah kisah sejarah, melainkan sebuah mitologi, sebuah dongeng, sebuah metafora, ditunjukkan oleh hal-hal yang dikisahkannya. Antara lain, hanya dalam dongeng saja ada pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat, yang kalau buahnya dimakan si pemakan akan langsung menjadi cerdas dan berpengetahuan, menjadi seperti Allah. Hanya dalam kisah fiktif saja ada ular yang bisa berbicara. Hanya dalam mitologi saja, Allah digambarkan bertubuh, berkaki dan bermulut, yang biasa berjalan-jalan di Taman Eden di hari-hari yang sejuk, lalu menyidik Adam dan Hawa ketika keduanya kedapatan bersembunyi dari hadapan Allah. Hanya dalam dongeng saja ada dua orang manusia yang tidak berpusar, Adam dan Hawa, karena mereka tidak dikandung dalam rahim ibu mereka, tetapi langsung jadi sebagai manusia dewasa. Cuma dalam dongeng saja ada orang (yakni Adam) yang usianya sampai 930 tahun (Kejadian 5:5).

Saya juga ingin tegaskan bahwa si penulis etiologi Kejadian 3, dalam membuat tuturannya, tidak memulainya dari apa yang dulu sekali terjadi di Taman Eden, tetapi dia memulainya dari apa yang dilihat dan dialaminya setiap hari dalam kehidupannya. Si penulis kisah fiktif ini tidak bergerak dari Taman Eden zaman dulu ke depan, melainkan dari zamannya dan lingkungannya (di abad X SM) mundur ke belakang dengan sangat jauh, ke permulaan kehidupan manusia di muka bumi. Rasul Paulus dan beberapa penulis Perjanjian Baru lainnya, dan beberapa pemimpin gereja di abad kedua dan ketiga, telah menjadikan tuturan Kejadian 3 sebagai tuturan tentang apa yang dulu terjadi di Taman Eden dan akibat-akibatnya ke depan, yang dialami oleh umat manusia setelah kehidupan Adam dan Hawa di Taman Eden.

Jadi, karena kisah tentang Adam dan Hawa ini fiktif, konsep tentang dosa asal juga konsep yang fiktif, bukan konsep yang berpijak pada sejarah. Bagaimanapun juga, untuk mengkritik dogma tentang dosa warisan, kita harus mengikuti alur kisah fiktif ini dan penalaran yang dikembangkan di dalamnya.

Si penulis Kejadian 3, dari apa yang dilihatnya, bertanya, apa sebabnya ular menjalar dengan perutnya dan tinggal dalam liang di dalam tanah dan dimusuhi dan menyerang manusia (kejadian 3:14-15). Tentu saja dia tidak bisa memanfaatkan sains evolusi Darwinian yang baru muncul beberapa puluh abad sesudah zamannya untuk menerangkan apa sebabnya (hampir) semua ular tidak berkaki, bergerak menjalar dengan perut, dan berdiam di dalam tanah. Dia tidak mempersoalkan ular air, ular sungai atau ular laut atau ular pohon atau ular-ularan. Jawabannya teologis etiologis dan sederhana: ular menjadi binatang semacam itu karena dulu sekali nenek moyang hewan ini sudah dikutuk Allah berhubung binatang melata ini sudah menyesatkan Hawa dulu di Taman Eden dengan membujuk dan memperdayanya untuk memakan buah terlarang. Jawaban teologisnya ini merugikan hewan yang dinamakan ular. Binatang ini umumnya dibenci dan ditakuti kebanyakan manusia. Setiap kita bertemu ular tanah, apalagi kalau ular ini masuk ke rumah kita, berbisa ataupun tidak, kita cenderung mau membunuhnya, karena kita geli dan jijik pada bentuk tubuh dan lendirnya dan takut pada bisanya yang mematikan, ditambah lagi karena kita, celakanya, dengan bodoh menganggap hewan ini sudah dikutuk Allah!

Syukurlah, sekarang ini sudah ada banyak gerakan pencinta ular yang mau melindungi hewan ini. Seharusnya memang demikian, karena ular telah menjadi pandu yang baik bagi Hawa untuk mendapatkan pengetahuan, dan karena itu sudah pada tempatnya hewan ini menerima pujian, berkat, cinta dan perlindungan, bukan kutuk dan permusuhan. Jadi, sudah seharusnya kita menolak jawaban teologis si penulis Kejadian 3 ini, dan mencari jawab atas pertanyaannya mengenai asal-usul bentuk fisik ular bukan pada teologi, pada dosa asal, tetapi pada sains evolusi. Kalaupun kita harus juga memberi suatu jawaban teologis, bukankah seharusnya kita katakan bahwa sudah seharusnya Allah menyayangi ular sebagai salah satu ciptaannya, dan malah harus lebih memberkati hewan menjalar ini karena hewan ini dulu telah membantu Hawa memperoleh pengetahuan. Selain itu, hendaknya kita tahu bahwa banyak manusia dalam kebudayaan dan agama yang berbeda-beda memuja ular dan memandangnya sebagai hewan suci, bahkan hewan ini seringkali, dalam beberapa kebudayaan, diyakini sebagai penjelmaan para dewa dalam dunia manusia. Jadi, jawaban si penulis Kejadian 3 bukanlah satu-satunya jawaban, malah merupakan sebuah jawaban yang buruk!

Selanjutnya, si penulis Kejadian 3 bertanya, apa sebabnya kaum perempuan di muka bumi mengalami kesusahan waktu mengandung bayi selama 9 bulan, dan apa sebabnya mereka merasa sakit ketika bersalin, dan apa sebabnya perempuan berahi kepada suaminya dan ditaklukkan kaum lelaki (Kejadian 3:16). Jawabannya kembali teologis etiologis dan sederhana: kaum perempuan mengalami semua keburukan dan keadaan berat itu karena dulu nenek moyang mereka, Hawa, telah berbuat dosa melanggar larangan Allah, dan mereka kini harus menanggung akibat dosa yang diwariskan Hawa ini. Betulkah demikian? Hemat saya sama sekali tidak betul!

Setiap perempuan yang mengandung tentu saja secara alamiah biologis mengalami hal-hal yang biasanya, ketika tidak sedang mengandung, mereka tidak alami. Perubahan-perubahan hormonal dalam tubuh dapat menyebabkan rasa mual dan menimbulkan bercak-bercak kecil pada tubuh. Ngidam mangga asam, misalnya, bisa timbul karena dia menginginkan lebih banyak perhatian dan pemanjaan dari suami, tetapi bisa juga karena pengaruh hormonal, bukan hanya gejala psikologis. Lagi pula, faktanya adalah bahwa kebanyakan perempuan merasa berbahagia jika mereka sedang mengandung, bukan sebaliknya merasa disusahkan oleh kandungannya, pun seandainya dia mengandung bayi yang ihwal siapa ayahnya tidak jelas atau mengandung karena korban perkosaan atau karena kealpaan menjaga kesucian.

Semua orang tahu bahwa seorang ibu yang sedang bersalin menderita rasa sakit bukan karena sedang menanggung hukuman atas dosa asal Hawa dulu, melainkan karena saluran leher rahim menuju vagina memang sangat kecil dan sempit. Sudah seharusnya fakta anatomis fisikal ini tidak disangkal oleh penjelasan teologis apapun! Bukankah Allah juga yang menciptakan saluran leher rahim yang berukuran sangat sempit jika dibandingkan dengan ukuran kepala dan tubuh bayi yang sedang memberojol keluar dari rahim ibunya?

Lebih lanjut, bukankah manusia yang normal, suami maupun istri, memiliki nafsu berahi yang perlu disalurkan melalui hubungan badaniah dengan pasangannya, baik untuk tujuan prokreasi ataupun untuk tujuan tunggal mencapai kenikmatan? Jadi, keduanya haruslah saling berahi terhadap mitranya jika mereka mau mempunyai anak yang akan dikandung sang istri. Jika sang istri berahi lebih dulu terhadap suaminya, apa salahnya? Bukankah untuk bersetubuh harus ada yang berahi lebih dulu, entah sang istri dulu atau sang suami dulu, lalu disusul dengan yang satu merangsang yang lainnya? Mengapa eros atau dorongan seksual dipandang negatif dalam hubungan suami dan istri, sementara Allah sudah memerintahkan manusia di bumi ini untuk “beranak cucu”? Di samping itu, bukankah faktanya adalah bahwa kaum prialah yang umumnya memiliki libido, atau nafsu berahi, lebih besar dan lebih agresif ketimbang kaum perempuan?

Masyarakat si penulis Kejadian 3 yang memang masyarakat patriarkal menyebabkan kaum lelaki berkuasa atas kaum wanita; ini adalah fakta sosio-kultural, bukan fakta teologis yang penyebabnya harus dicari sampai pada pemberontakan pasangan manusia pertama di Taman Eden terhadap Allah dan tindakan Hawa memberi Adam buah terlarang. Di dunia ini masih ada banyak kebudayaan matriarkal yang menempatkan kaum perempuan dalam kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kaum lelaki. Patriarki dan matriarki ada bukan dikarenakan dosa Adam atau dosa Hawa dulu, tetapi dibentuk dengan sadar oleh masyarakat dan kebudayaan manusia melalui konsensus-konsensus sosio-politis dan kultural. Tetapi, masyarakat modern dewasa ini umumnya bersifat demokratis, egaliter dan emansipatoris, tidak lagi memperlakukan kaum wanita sebagai warga kelas rendahan; hal ini juga hasil konsensus nilai-nilai yang ditetapkan anggota masyarakat masa kini.

Nah, kesalahan si penulis Kejadian 3 adalah dia memberi alasan teologis yang tidak tepat terhadap hal-hal yang sebenarnya hormonal, psikologis, sosiologis dan kultural. Ini terjadi jelas karena dia tidak dilatih untuk berpikir dan menganalisis secara interdisipliner; dia hanya bisa mengasalkan segala hal buruk yang ada di sekitarnya pada dosa asal yang sebenarnya tidak ada. Bagi dia, teologi harus bisa menjelaskan segala sesuatu, suatu posisi yang kebablasan!

Si penulis Kejadian 3 akhirnya bertanya, apa sebabnya tanah di muka bumi tidak subur, hanya menumbuhkan “semak duri dan rumput duri” , dan padang hanya menumbuhkan ilalang; dan apa sebabnya manusia harus “bersusah-payah” dan “berpeluh” dalam mencari nafkah, rejeki dan makanan; lalu mengapa akhirnya, setelah mengalami semua penderitaan ini, manusia harus mati, “kembali lagi menjadi tanah” atau “kembali lagi menjadi debu” (Kejadian 3:17-19). Dia memberi jawaban teologis etiologis yang juga bersahaja: karena tanah sudah dikutuk Tuhan Allah; dan akibatnya, tanah tidak lagi subur sehingga manusia harus bekerja keras membanting tulang untuk mengusahakannya sampai manusia mati. Kalau ditanyakan kepadanya, mengapa tanah dikutuk dan manusia harus menderita dalam kehidupan dan pekerjaannya sampai dia mati, si penulis menjawab: ini semua terjadi karena “Adam telah mendengarkan perkataan istrinya dan memakan buah pohon terlarang” (Kejadian 3:17). Ringkas kata, sumber semua penderitaan manusia dan ketidaksuburan bumi, bagi si penulis Kejadian 3, adalah dosa asal Adam dan Hawa. Betulkah demikian, kita harus bertanya.

Andaikan dosa asal itu ada, yang melakukan dosa asal ini bukanlah tanah, tetapi manusia. Jadi mengapa tanah yang harus menanggung kutuk? Ada orang yang barangkali mau berargumentasi demikian: Ya, jelas, tanah juga harus dikutuk, sebab asal-usul manusia (adam) adalah tanah (adamah), sehingga kesalahan manusia juga harus ditanggung tanah. Tetapi, bukankah ketika manusia sudah menjadi makhluk yang hidup dan memiliki kesadaran nurani dan kehendak bebas, dia sendirilah, bukan benda lain, yang harus menanggung akibat dari perbuatannya? Jadi, sangat tidak bermoral kalau tanah yang harus disalahkan dan dikutuk, sementara yang bersalah adalah manusia, dan tanah, sebagai benda mati, tidak bisa diminta pertanggungjawaban moral. Jadi jelaslah, Tuhan Allah salah mengalamatkan kutukannya.

Tetapi, karena dosa asal tidak ada, maka kalau tanah tidak subur, ketidaksuburan ini bukan dikarenakan dosa asal, tetapi oleh sebab-sebab lain, misalnya iklim kering yang keras, lokasi geografis dan topografis yang tidak menguntungkan, kesalahan manusia dalam memanfaatkan tanah, jenis tanah yang buruk, irigasi yang jelek, ketiadaan teknologi yang bisa menyuburkan tanah gersang, dan kemiskinan penghuni tanah. Sebab-sebab yang lain ini adalah kenyataan masa kini yang harus diatasi. Mengasalkan ketidaksuburan tanah pada pelanggaran Adam dan Hawa dulu sama sekali tidak menyelesaikan masalah; malah ini akan membuat penduduk tanah kering menyerah total pada kekerasan alam karena beranggapan tanah mereka sudah dikutuk sehingga tidak akan bisa diubah menjadi tanah yang subur. Jangan dilupakan, di muka bumi ini dulu maupun sekarang ada banyak tanah yang subur, sangat banyak dan sangat luas, yang di atasnya dibangun peradaban yang tinggi dan penghuninya hidup makmur. Saya jadi bertanya-tanya, mengapa si penulis Kejadian 3 memusatkan perhatiannya hanya pada tanah yang tidak subur, yang hanya menumbuhkan “rumput duri dan semak duri”, sementara tanah Palestina zaman Raja Daud adalah tanah yang subur dan kerajaan yang dipimpinnya sedang jaya dan rakyatnya banyak yang makmur? Kalau tuturannya mengenai tanah yang tidak subur dalam Kejadian 3 dimaksudkannya untuk menarik perhatian Raja Daud pada bagian-bagian dari kerajaannya yang memang tidak subur, jawabannya mengenai penyebab ketidaksuburan ini jelas mematikan niat dan prakarsa siapapun yang berdiam dalam kerajaan yang semua penduduknya religius dan taat kepada hukum Allah, yang mau mengupayakan perbaikan kehidupan rakyat.

Selanjutnya, apakah ada yang salah kalau manusia harus “berpeluh” dan “bersusah payah” dalam mencari rejeki dan makanannya setiap hari? Si penulis Kejadian 3 memandang keringat dan kerja keras sebagai hal-hal yang buruk, sebagai hukuman atas dosa asal Adam dan Hawa. Baginya, keringat dan kerja keras hanya menimbulkan penderitaan dalam diri manusia. Benarkah demikian? Bukankah dalam realitas kehidupan sehari-hari, kerja keras dan keringat yang bercucuran seringkali membahagiakan banyak orang yang berkarya, karena mereka memandang kerja keras mereka dengan positif sebagai tugas dan panggilan mulia bagi mereka sebagai makhluk pekerja? Bukankah Tuhan Allah menempatkan Adam di Taman Eden yang masih harus “diusahakan” dan “dipelihara” olehnya? Seperti sudah dikatakan di atas, Taman Eden bukanlah tempat kehidupan yang sudah serba lengkap dan sempurna. Adam masih harus mengusahakan dan memeliharanya, yakni melakukan aktivitas kultural demi kelangsungan kehidupannya sendiri. Dengan demikian, bekerja keras dan berkeringat adalah hal-hal yang memang Tuhan Allah kehendaki untuk Adam lakukan. Bekerja dan berpeluh bukanlah hukuman, dan juga bukan penderitaan, tetapi amanat yang Tuhan Allah sudah berikan pada awal kehidupan manusia di muka bumi. Jadi, kita harus tidak sepakat dengan si penulis Kejadian 3 yang memandang kerja keras dan keringat sebagai penderitaan yang harus ditanggung manusia sebagai hukuman atas dosa asal Adam dan Hawa. Manusia akan mati bukan karena dia mendapatkan dan memakan buah pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan hal yang jahat sehingga dia tercerahkan, melainkan kalau dia tidak bekerja!

Tentu kita tidak boleh menutup mata terhadap ketimpangan sosio-ekonomi dalam masyarakat yang menyebabkan ada orang yang harus bekerja sangat keras dalam sehari, melebihi kemampuan dan tenaganya sendiri dengan hasil yang sangat sedikit, sementara ada orang yang bekerja sangat ringan dan hanya sebentar dalam sehari dengan hasil berlimpah ruah, jauh melebihi apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak. Dalam menghadapi keadaan yang memang buruk dan menimbulkan penderitaan ini, kita harus dengan tegas menyatakan bahwa ketimpangan semacam ini bukan timbul dari dosa asal Adam dan Hawa, melainkan karena masyarakat masa kini belum dikelola dengan sepenuhnya berlandaskan pada azas keadilan sosio-ekonomi dan hukum, masih maraknya praktik-praktik monopoli sosio-ekonomi, belum memihaknya kebijakan politik pembangunan kepada rakyat miskin, tidak meratanya tingkat pendidikan yang diterima rakyat, tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih baik, dan KKN yang merajalela di mana-mana yang makin menyudutkan rakyat miskin dan melemahkan kekuatan pemerintah.

Tibalah pertanyaan puncak si penulis Kejadian 3: Mengapa manusia akhirnya harus mati, “kembali lagi menjadi tanah/debu”? Sudah ditulis di atas, Rasul Paulus sependapat dengan si penulis Kejadian 3, bahwa manusia mati sebagai akibat dosa asal yang dibuat Adam dulu di Taman Eden. Betulkah manusia mati karena akibat dosa asal? Bukankah dosa asal tidak ada; dan yang ada adalah karunia asal? Jika demikian, mengapa manusia akhirnya mati?

Dari uraian di atas, kita sudah tahu bahwa meskipun Adam dan Hawa sudah melanggar larangan keras Tuhan Allah, mereka tidak langsung mati, malah masih terus hidup beberapa abad ke depan dan melahirkan banyak keturunan. Jadi, “pelanggaran” mereka, atau “dosa asal” mereka, tidak langsung menimbulkan kematian, tidak sebagaimana diperingatkan dan diancamkan Allah: “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati!” (Kejadian 2:17). Menurut catatan mitologis dalam Kejadian 5:5, Adam mencapai umur sembilan ratus tiga puluh tahun, “lalu ia mati”. Kematian Adam dalam usia sangat tua ini terjadi di luar Taman Eden (lihat Kejadian 3:23-24), jauh sesudah Adam dan Hawa memakan buah pohon terlarang. Jadi, Adam mati karena usianya yang sudah sangat tua, bukan karena pelanggaran yang dia dan Hawa buat di Taman Eden beberapa ratus tahun sebelumnya. Karena itu harus kita katakan, Adam mati oleh suatu penyebab lain, bukan karena hukuman Allah atas pelanggaran yang dibuatnya bersama Hawa. Dia mati, sekali lagi harus dikatakan, karena usianya yang sudah tua, karena tubuhnya yang sudah renta dan uzur. Dia mati karena penyebab alamiah.

Kita sudah catat di atas, bahwa ketika Adam sudah diciptakan, dia diperintahkan Tuhan Allah untuk melakukan tindak kultural “mengusahakan dan memelihara” Taman Eden. Begitu juga, pekerjaan yang sama harus dia lakukan ketika dia sudah diusir dari Taman Eden (Kejadian 3:23). Jadi, Adam memang harus terus bekerja, dan bekerja adalah perintah dan kehendak Allah. Tubuh yang terus dipakai untuk bekerja suatu saat, ketika waktunya tiba, akan melemah dan terus akan melemah, sampai akhirnya tidak bisa difungsikan lagi. Ini adalah hukum alamiah, hukum kodrat, yang juga berlaku pada semua benda yang tidak bernyawa, yang secara fisik lebih kuat dari daging, otot dan tulang manusia. Sebuah mobil Merzedes baru yang setiap hari dipakai, dan juga dirawat dengan baik, ketika umurnya tiba, katakanlah sampai 10 tahun, akhirnya tidak berfungsi lagi, dan kebanyakan (di negara-negara maju) akhirnya dijadikan besi tua, dipress lalu dionggokkan dan ditimbun begitu saja setelah mesin-mesinnya dipreteli dan diubah fungsi dan bentuknya dengan meleburnya.

Jadi, manusia mati karena sudah kodratnya demikian, bukan karena hukuman atas dosa asal yang Adam dulu buat. Tetapi kita boleh bertanya: Bisakah manusia, dengan tubuh insaninya yang dia miliki, hidup kekal, tidak mati-mati? Jawabnya: Tidak bisa, dan tidak perlu demikian!

Tidak bisa, karena tubuh alamiah semua manusia akan semakin hari semakin menua dan akhirnya uzur dan tidak bisa difungsikan dengan normal lagi. Degenerasi ini terjadi bukan karena akibat dosa asal, melainkan karena gen manusia sudah memetakan dan mengarahkannya demikian. Gen bukanlah ciptaan setan, juga bukan ciptaan dosa, tetapi ciptaan Allah yang sudah ada dalam diri manusia ketika manusia diciptakan Allah. Namun, kita bisa berimajinasi bahwa dengan ilmu biologi molekuler yang makin berkembang dan teknologi rekayasa genetika yang makin canggih, bisa saja suatu saat gen manusia “diutak-atik” dan unsur genetik di dalamnya yang menyebabkan manusia menua “diubah” lalu “diganti” dengan unsur genetik anti-penuaan, anti-degenerasi. Kalau rekayasa genetik semacam ini bisa dilakukan, dan etika mendukungnya, maka manusia tidak akan pernah tua, tidak akan pernah mati secara biologis lagi, dan juga, aha, tidak perlu meminum atau menghisap darah manusia seperti dilakukan makhluk Drakula mitologis untuk bisa hidup kekal.

Tetapi, apakah rekayasa genetik semacam ini diperlukan? Tidak diperlukan, sebab “kekekalan” manusia juga bisa dicapai dengan mempertahankan spesiesnya di planet bumi melalui keturunan yang mereka hasilkan, melalui tindakan prokreasi “beranak-cucu”, dan dengan memberikan anak-cucu mereka pendidikan setinggi-tingginya dan tubuh yang semakin kuat untuk bekal mereka bertahan ketika harus menghadapi berbagai ancaman dan bencana alamiah dan kultural yang mendatangi mereka. Orang-orang yang sudah tua umurnya, yang sudah mengecap banyak pengalaman selama kehidupannya, dan yang sudah mewariskan sains dan teknologi modern, harus dengan rela memberi giliran kepada generasi muda yang lebih cerdas untuk menjaga dan merawat planet bumi ini dan semua bentuk kehidupan di dalamnya, selama tidak ada bencana kosmik yang bisa melenyapkan planet biru ini dari tata surya.

Dengan alih generasi yang direncanakan dengan baik, spesies manusia tidak akan punah dari planet bumi ini, melainkan akan bertahan kekal. Jadi, saya perlu mengatakan kepada Tuhan Allah versi Kejadian 3, bahwa Dia tidak perlu kuatir kalau manusia akan “mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya” (Kejadian 3:22). Jadi, Tuhan Allah bisa menarik kembali pasukan malaikat yang memegang “pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar” yang ditempatkan-Nya di sebelah timur Taman Eden untuk menjaga jalan masuk ke pohon kehidupan (Kejadian 3:24). Kekekalan spesies manusia dicapai bukan dengan “perlawanan kedua” di Taman Eden, tetapi melalui sains dan teknologi yang dimungkinkan dikembangkan terus berkat kepahlawanan Hawa dulu ketika dia memetik dan memakan buah pohon pengetahuan dan membaginya kepada Adam.

Nah, menjelang akhir tulisan ini, sebuah pertanyaan penting masih harus dijawab: Mengapa manusia menderita dalam dunia ini? Mengapa ada penderitaan riil yang dialami manusia dalam kehidupannya? Hemat saya, penderitaan timbul juga bukan karena dosa asal. Bukankah sudah dinyatakan berkali-kali: yang ada bukanlah dosa asal, original sin, tetapi karunia atau rakhmat asal, original grace. Kalau bukan karena dosa asal (tidak seperti dibayangkan si penulis Kejadian 3 dan Rasul Paulus), lantas dari mana datangnya penderitaan manusia? Jawabnya bisa bermacam-macam, bergantung pada bentuk penderitaannya.

Pada kesempatan ini, saya batasi saja pada satu jawaban: penderitaan terjadi dan dialami manusia karena watak agresif manusia. Ketika seorang manusia merasa terancam oleh agresivitas seorang manusia lainnya, orang yang terancam ini mendahului berbuat agresif kepada orang yang mengancamnya. Agresivitas manusia inilah yang menimbulkan perang di mana-mana di dunia ini. Perang antar manusia dan antar makhluk, dalam skala kecil dan dalam skala besar, menimbulkan penderitaan di mana-mana. Kita bertanya, dari mana agresivitas ini muncul? Apakah karena manusia memiliki pengetahuan, maka dia menjadi agresif, seperti dengan sinis dituturkan si penulis Kejadian 3 bahwa ketika Allah menyidik Adam, dengan agresif Adam menyerang dan menyalahkan Hawa, dan ketika Hawa disidik Tuhan Allah, Hawa dengan agresif menyerang dan menyalahkan si ular (Kejadian 3:9-13)? Jelas bukan, sebab pengetahuan yang diperlukan dan akhirnya diperoleh Adam dan Hawa adalah pengetahuan yang membuat mereka bisa membedakan mana hal yang jahat dan mana hal yang baik, bukan yang akan membuat mereka melakukan hal yang buruk: menyerang pihak lain.

Jadi darimana persisnya watak agresif manusia itu? Jawaban teologis terhadap pertanyaan ini telah banyak diberikan oleh agama-agama yang berbeda-beda. Pada kesempatan ini, saya ingin berpaling pada sosiobiologi. Menurut ilmu sosiobiologi, gen bukan saja menurunkan ciri fisik manusia (individual maupun kelompok), tetapi juga watak dan perilaku manusia, sementara para ilmuwan sosial mempertahankan bahwa watak dan perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan kehidupan, pergaulan dan pendidikan manusia. Jadi, para sosiobiolog mempertahankan peran nature
, sedangkan para sosiolog mempertahankan peran nurture dalam pembentukan watak dan perilaku manusia. Memang harus kita terima sebagai fakta bahwa lingkungan pergaulan dan kehidupan manusia kerap mendorong manusia bersikap agresif terhadap sesamanya. Tetapi bahwa sifat agresif juga diturunkan dari nenek moyang manusia lewat gen yang diwariskan, juga adalah suatu fakta yang harus kita terima (meskipun kontroversial!). Nah, kalau nenek moyang paling awal dari manusia berasal dari hewan (menurut pandangan sains evolusi), dan hewan memang memiliki naluri agresif yang sangat kuat demi survival mereka, maka tidaklah mengejutkan jika homo sapiens sapiens, makhluk cerdas yang kita namakan manusia, juga memiliki watak agresif. Dengan demikian kita dapat katakan bahwa penderitaan manusia, yang ditimbulkan oleh sifat agresif manusia, adalah sesuatu yang memang harus manusia tanggung sebagai akibat kodrati genetiknya, bukan karena dosa asal! Inilah jawaban saya terhadap pertanyaan dari mana asal-usul penderitaan.

Sebagai kesimpulan tulisan ini harus dikatakan bahwa dosa asal, original sin, tidak ada; yang ada adalah karunia atau rakhmat asal, original grace. Dengan demikian, semua bentuk kesusahan dan penderitaan manusia, termasuk kematian manusia, tidak dapat diasalkan pada dosa asal Adam dan Hawa, melainkan pada kodrat alamiah manusia sebagai makhluk pekerja yang muncul melalui seleksi alamiah, sebagai suatu hasil proses evolusi yang panjang, yang berpangkal dari makhluk yang kita namakan hewan yang memiliki karakter agresif. Karena dosa asal tidak ada, maka soteriologi salib tidak diperlukan untuk memberi jalan pembebasan bagi manusia. Dengan bekal pengetahuan yang sudah diperoleh sang Hawa pemberani, kita, manusia, bisa terus maju untuk mempertahankan eksistensi kita, dengan terus mengembangkan sains dan teknologi dan menyelenggarakan pendidikan moral untuk generasi sekarang dan generasi yang mendatang, terus tanpa rehat.