Tuesday, March 17, 2009

Tritunggalisme Kristen: Bermain dengan Angka!

Setiap angka bisa dikeramatkan, atau dipandang penting, sakti dan bertuah. Nah, pada kesempatan ini marilah kita perhatikan angka 1 sampai angka 3.

Satu adalah angka teramat keramat. Angka ini membuat orang gemetar. Karena angka ini dipakai untuk menyebut kemahaesaan Allah: Allah itu Esa, Allah itu Satu. Jangan ada ilah lain di hadapan-Nya! Angka satu adalah bilangan pertama yang harus disebutkan, jika orang mau menyebut suatu urutan. Tanpa menyebut angka satu, urutan tidak bisa dibangun. Sebelum dua, harus ada satu. Satu adalah awal segalanya. Pada mulanya adalah Satu, dan Satulah yang menciptakan awal.

Angka dua, bilangan genap pertama, dipakai untuk menunjukkan kelengkapan. Seorang yang masih membujang atau menjomblo, hidup masih sendiri, dikatakan tidak bagus. “Tidak bagus kalau Adam sendirian!” Itu kata Allah dalam permulaan Kitab Kejadian. “Segeralah kamu menjadi berdua!” Itulah permintaan seorang ibu kepada anaknya yang sudah lama tidak kawin-kawin juga. “Berbahagialah, Ibu, karena Anda kini telah berbadan dua,” kata seorang ginekolog kepada seorang ibu muda yang baru hamil. Angka dua juga dipakai untuk menyatakan kesempatan baru dan harapan baru, setelah kesempatan pertama dan harapan pertama kandas, tidak berhasil diraih. “OK, aku beri engkau kesempatan kedua!” Itu kata seorang boss kepada seorang bawahannya. Angka dua juga menunjukkan pertemanan, keberanian dan kekuatan. “Kita sekarang berdua, tidak sendiri; karena itu marilah kita hadapi masalah ini dengan berani!” Itulah kata-kata sang isteri kepada sang suami ketika mereka sedang menghadapi masalah yang mengancam kehidupan mereka.

Angka tiga juga adalah angka yang luar biasa. Angka ini kerap dipakai untuk menyatakan batas maksimal sesuatu, kelengkapan sesuatu. Orang umumnya menyatakan bahwa dia mau memaafkan sampai tiga kali saja. Atau orang mau memberi waktu hanya sampai pada hitungan yang ketiga. Seorang dosen atau seorang nabi kerap mengulang sampai tiga kali hal sangat penting yang diucapkannya.

Pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika Indonesia belum merdeka, para pemuda yang mewakili penduduk Nusantara Indonesia menyatakan sebuah sumpah sakti mereka bahwa ada tiga hal yang mempersatukan mereka semua, yakni tanah air atau tumpah darah yang satu, yakni tanah air atau tumpah darah Indonesia; bangsa yang satu, yakni banga Indonesia; dan bahasa yang mempersatukan, yakni bahasa Indonesia.

Para filsuf Yunani klasik membayangkan ada tiga ide abadi dalam jagat raya, yakni Kebaikan (
agathotēs atau aretē), Kebenaran (dikaiosunē), dan Keindahan (kallos). Ketiga ide abadi ini adalah tiga segi dari Hal Besar yang terdapat dalam kosmos.

Filsuf Plato membagi jiwa manusia dalam tiga bagian korelatif: bagian vegetatif, bagian hewani, dan bagian intelektual.

Dalam pemikiran filosofis John Locke, suatu pemerintahan politis perlu didistribusi ke dalam tiga lembaga yang memiliki kedaulatan masing-masing di wilayah masing-masing, yakni lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.

Bagi orang beragama, angka tiga juga adalah angka yang teramat keramat. Ada Kitab Suci yang dinamakan Tripitaka. Ada tiga Dewa Hindu yang dinamakan Trimurti: Brahma, Wisnu, Siwa. Ada Trikaya (atau tiga sifat Buddha) dalam Buddhisme: Dharmakaya, Nirmanakaya, dan Sambhogakaya. Para teolog perbandingan agama menyatakan ada tiga agama Abrahamik, yakni agama Yahudi, agama Kristen, dan agama Islam, yang masing-masing memiliki tiga benda suci, yakni tanah suci, bait suci dan kitab suci.

Dalam kepercayaan kosmologis orang Yunani-Romawi kuno, alam semesta dipandang bertingkat tiga: tingkat pertama di atas, tingkat kedua di tengah, dan tingkat ketiga di bawah bumi. Pada masing-masing tingkat ini, ada satu dewa yang berkuasa dan memerintah: pada tingkat pertama di kosmos, berkuasa Zeus yang bertakhta di Gunung Olympus; pada tingkat kedua bertakhta Poseidon yang menguasai lautan di muka bumi; dan pada tingkat ketiga di bawah bumi, di dunia orang mati, berkuasa Hades.

Angka tiga sangat keramat tentu saja bagi kalangan Kristen. Orang Kristen ortodoks percaya dan gemetar terhadap Allah tritunggal: Satu Allah, ada dalam tiga persona (Latin:
tres Personae; Yunani: treis Hypostases); atau satu Allah mengambil tiga cara berada.; atau tiga persona dalam “satu hakikat” (Latin: una Substantia; Yunani: Homoousios). “Three-in-one” dan “one-in-three”. Tiga persona atau tiga cara berada ini adalah: Allah Bapa, Allah Anak (=Yesus Kristus), dan Allah Roh Kudus.

Tapi, kalau angka memang bisa menjadi begitu penting dalam suatu konstruksi numerik pemikiran teologis, mengapa tidak mengambil angka yang posisinya paling penting dari semua angka lainnya: yakni angka Nol (=0) dan angka Tidak Berhingga (=~)? Maksudnya: Mengapa tidak berdiam diri total, bersikap Nol, di hadapan Misteri Agung yang tak terkatakan? Untuk memahami hal ini, hai orang Kristen, belajarlah dari Siddharta Gautama sang Buddha! Mengapa begitu yakin menyebut Allah itu tiga-dalam-satu dan satu-dalam-tiga? Atau mengapa tidak menyatakan bahwa Allah itu tidak terbatas, tidak berhingga, dalam penyataan persona diri-Nya atau dalam cara berada-Nya? Untuk memahami hal ini, wahai orang Kristen, belajarlah dari para sufi!