Wednesday, February 25, 2009

Demokrasi versus Mesianisme

Pada tanggal 18 Februari 2009 yang lalu, saya, Ioanes Rakhmat, bertindak sebagai moderator dalam suatu acara pembinaan politik menjelang Pemilu 2009 bagi warga gereja di gereja saya di bilangan Jakarta Barat, Indonesia. Pembicara tunggal dalam acara itu adalah seorang dosen ilmu politik dari Universitas Indonesia, dengan inisial namanya BH. Ada banyak hal yang diangkat pembicara dalam rangka memberi pengertian kepada warga gereja mengenai mekanisme politik dalam Pemilu.

Sejujurnya, ada sekian hal yang dikemukakan pembicara yang saya sama sekali tidak setujui, antara lain anjurannya agar warga gereja memilih menjadi golput, dengan alasan menjadi golput akan memberi efek jera pada pemerintahan yang dinilai tidak benar. Saya, sebaliknya, mengatakan kepada warga gereja saya bahwa ketimbang menimbulkan efek jera, keputusan memilih menjadi golput malah bisa memberi peluang menangnya partai politik yang memiliki kekuatan besar tetapi moralitas politiknya cemar, sementara pemerintahan yang ingin diberi pelajaran supaya jera sudah tidak terpilih lagi.

Namun, isu sangat penting yang ingin saya angkat pada kesempatan ini adalah hubungan antara demokrasi dan mesianisme. Isu ini muncul dalam acara pembinaan itu karena seorang pendeta yang hadir menanyakan apakah mesianisme bisa menjadi orientasi ideologis gereja dalam ambil bagian dalam kehidupan politik suatu bangsa dan negara seperti Indonesia. Sdr BH menyatakan bahwa mesianisme memberi sebuah perspektif untuk menegakkan kerajaan Allah di Indonesia sekarang ini, dengan visi terarah ke masa depan, kepada pengharapan akan kedatangan kembali (parousia) Yesus sang Mesias/Kristus. Ketimbang mendukung pandangannya ini, saya, di depan para hadirin, malah menyatakan bahwa dalam kehidupan politik suatu bangsa dalam zaman modern sekarang ini mesianisme apapun harus dilepaskan dan harus dibuat tidak berperan lagi dalam membentuk dan mengarahkan pandangan dan kiprah politik orang beragama apapun, termasuk pandangan dan kiprah politik warga gereja. Apa alasan saya menyatakan hal ini?

Saya menjelaskan, bahwa mesianisme adalah suatu pengharapan akan kedatangan seorang utusan ilahi, bisa dari kawasan adikodrati surgawi atau bisa juga dari antara manusia di dunia yang dipilih dan ditetapkan Allah, untuk menegakkan pemerintahan Allah di bumi melalui penerapan hukum-hukum ilahi di bumi di bawah kepemimpinan sang mesias pilihan. Mesias ini dipandang sebagai wakil atau utusan Allah di bumi yang bertugas, atas nama dan wibawa Allah, untuk menegakkan pemerintahan Allah di dalam dunia ini atau di dalam kehidupan suatu bangsa, dan untuk membinasakan musuh-musuh Allah. Dengan demikian, mesianisme menuntut ditegakkannya teokrasi (=pemerintahan Allah di bumi) dan nomokrasi (=pemerintahan yang dijalankan oleh hukum-hukum ilahi), dan bukan demokrasi, pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.

Selain itu, mesianisme mengarahkan orang untuk secara pasif menunggu datangnya perubahan total dunia dan sejarah manusia melalui intervensi atau campur tangan langsung dari Allah, yang dilihat, diramalkan dan diberitakan sang mesias pilihan Allah itu. Visi utopis mesianik ini tidak menggerakkan manusia untuk membarui kehidupan dan bumi melalui karya nyata mereka dalam berbagai bidang kehidupan, tetapi membuat manusia menjadi makhluk pasif dan apatis serta skeptis terhadap kemampuan mereka sendiri. Dalam visi utopis mesianik ini, kalaupun manusia mukmin bertindak, tindakan mereka adalah tindakan untuk mempercepat dan memaksa Allah mengakhiri dunia ini dalam suatu katastrofi sejagat, untuk menggantikannya dengan suatu dunia yang sama sekali lain.

Sains dan teknologi serta moralitas manusia yang seharusnya dikembangkan dan dipakai untuk membangun dan mengarahkan masa depan umat manusia, malah, karena visi utopis mesianik ini, dicurigai, dikecam, dihina, ditolak dan dibuang karena diyakini bahwa untuk mendatangkan teokrasi di muka bumi Allah tidak memerlukan partisipasi intelektual dan moral manusia apapun. Kedamaian dan kemakmuran di muka bumi, dalam visi utopis mesianik ini, hanya akan datang sebagai pemberian Allah semata-mata di dalam suatu dunia yang lain, bukan sebagai hasil usaha cerdas, keras dan serius manusia sekarang ini dan di dalam dunia ini.

Jelas, mesianisme bukanlah sebuah ideologi religio-politis yang sejalan dengan demokrasi dan usaha pembangunan bangsa dan negara melalui kerja cerdas dan kerja keras warga. Karena itu, dalam membangun Indonesia dan menegakkan kehidupan demokrasi, umat beragama manapun haruslah membuang mesianisme dan teokratisme, dan merangkul demokrasi dan pembangunan oleh manusia, dari manusia, untuk manusia dan segenap makhluk hidup lainnya dalam dunia ini. Dalam kenyataannya, sekularisasi dalam bentuk dan tingkatan yang beragam, yang sedang melanda dunia sekarang ini, di mana-mana, akan semakin tidak memberi tempat pada teokratisme. Jadi, agama harus dipisahkan dari politik; dan politik harus dikontrol hanya oleh akal budi dan moralitas manusia, bukan oleh agama atau wakil dan utusan Allah manapun juga.




Monday, February 23, 2009

Dialog Ioanes Rakhmat di TVRI

Dialog Ioanes Rakhmat dkk di TVRI, 23 Februari 2009

Dalam acara dialog yang diadakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di TVRI, 23 Februari 2009, pukul 08.00-08.30 WIB, Ioanes Rakhmat mengambil bagian aktif, bersama dengan tiga orang lain yang masing-masing mewakili umat Islam, umat KHC dan umat Hindu.



Dalam acara dialog ini, Ioanes Rakhmat berbicara atas nama diri pribadinya selaku pengamat agama dan budaya, tidak mewakili lembaga gereja atau lembaga sosial atau lembaga pendidikan apapun. Hal ini sudah dikatakannya sebelumnya kepada pemandu acara, sehingga pemandu acara ini, Wisnu Prayuda dari FKUB, menyebut identitas Ioanes Rakhmat sebagai cendekiawan Kristen, pengamat keagamaan dan kebudayaan. Ioanes Rakhmat menyadari bahwa pandangan-pandangan teologis dan filosofisnya tidak selalu sama dengan pandangan resmi gerejanya; dia lebih memilih menjadi seorang pemikir bebas, ketimbang tunduk pada suatu otoritas yang menentukan dan menguasai kebenaran. Baginya, kebenaran harus ditemukan melalui nalar dan bukti, bukan ditetapkan oleh suatu otoritas apapun yang tidak boleh digugat, entah teks suci, orang suci ataupun penguasa insani.



Semua peserta dialog sepakat bahwa di antara umat beragama yang berbeda-beda perlu ditemukan titik-titik temu yang bisa menjadi landasan kokoh untuk membangun kerjasama dalam banyak bidang kehidupan yang dapat mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi banyak orang. Ioanes Rakhmat menekankan bahwa titik-titik temu itu bisa didapat melalui kajian terhadap Kitab Suci masing-masing umat beragama, doktrin-doktrin yang dipercaya, tradisi-tradisi yang dirawat, dan juga melalui penemuan bersama tentang hal-hal apa yang menjadi tantangan bersama yang dihadapi umat manusia di dalam kehidupan bersama di bumi yang satu. Umat beragama juga perlu, tegas Ioanes Rakhmat, menerima humanisme sebagai suatu pandangan dunia yang bisa mempersatukan umat beragama dan manusia secara keseluruhan. Dia juga mengingatkan bahwa mencari titik temu melalui pengkajian dan penafsiran Kitab Suci harus dilakukan dengan hati-hati, dengan memakai nalar, akal sehat, nurani dan ilmu pengetahuan manusia, mengingat dalam Kitab Suci masing-masing agama terdapat juga pesan-pesan kekerasan yang jika diambil-alih dan diikuti begitu saja dapat menimbulkan bencana kemanusiaan sejagat. Pesan-pesan kekerasan ini, dan hal-hal dalam Kitab Suci yang sudah tidak relevan bagi zaman modern, tidak perlu dipakai lagi, dan harus dengan ikhlas ditinggalkan umat beragama manapun.

Ketika ditanyakan kepadanya tentang manfaat dialog antaragama, Ioanes Rakhmat menyatakan bahwa dengan terbenam dalam dialog, dengan membaca Kitab-kitab Suci agama-agama yang berlainan, dengan bergaul bersama orang yang tidak seiman, setiap orang beragama akan mengalami pengayaan timbal balik (mutual enrichment) sehingga masing-masing akan memiliki identitas plus, yakni menjadi orang Kristen plus, atau Islam plus, atau KHC plus atau Hindu plus. Pernyataannya ini didukung oleh tiga mitra dialognya, dan dipertegas oleh pemandu acara dialog. Dengan terjadinya mutual enrichment, maka konversi, perpindahan agama, tidak perlu lagi dilakukan oleh setiap orang beragama, dan harus tidak dijadikan program kegiatan umat beragama manapun.

Dialog antaragama yang berlangsung singkat ini (30 menit) bertema Eksklusivisme dan Inklusivisme Beragama. Semua peserta dialog sepakat bahwa eksklusivisme beragama yang memandang agama sendiri sebagai agama yang benar satu-satunya harus dilepaskan; dan umat beragama perlu menganut inklusivisme. Namun Ioanes Rakhmat menegaskan, bahwa umat beragama perlu bergerak lebih jauh, dengan merangkul dan mempraktikkan pluralisme sebagai sebuah model dalam ilmu teologi agama-agama yang memandang setiap agama sebagai jalan yang sahih, benar dan unik untuk manusia mencapai kebenaran dan keselamatan yang selalu lebih besar dari pada yang dapat dipersepsi manusia dan agama manapun.(*)

(*) N.B. Terima kasih kepada Bapak Gunawan Suryomurcito atas foto-foto acara dialog tersebut di atas yang langsung diambilnya dari televisi.


Saturday, February 21, 2009

Membangun Jaringan Progresif

Membangun Jaringan Progresif

Dear para pengunjung Critical Voice Blog,

Saya mengantisipasi pembentukan sebuah Jaringan Pemikir Religius Progresif, disingkat JProgresif. Jaringan ini bersifat plural, mencakup orang dari latarbelakang keagamaan berbeda yang berpikiran progresif. Di bawah ini, saya post penjelasan tentang nama JProgresif. Jika anda berminat ambil-bagian di dalamnya, jangan sungkan, katakan kepada saya lewat blog ini. Sementara ini sebuah milis yang diberi nama milis JProgresif sudah dibangun; dan jika anda tergerak untuk menjadi member milis ini, sampaikan kepada saya lewat blog ini juga.

Salam,
Ioanes Rakhmat

Penjelasan Nama
Jaringan Pemikir Religius Progresif (JProgresif)

Kata
Jaringan menunjukkan bahwa ada simpul-simpul yang mengikat dan menyatukan para anggota JProgresif, sehingga semuanya membentuk suatu jaring yang kuat dan terkoneksi satu sama lain. Simpul-simpul ini, sesuai dengan nama organisasinya, adalah pemikiran-pemikiran religius yang progresif.

Kata
jaringan juga mau menegaskan bahwa jaringan ini tidak bisa hidup sendirian; melainkan selalu terkoneksi dengan jejaring lainnya yang ada di sekitarnya sehingga membentuk jejaring yang makin luas dengan simpul-simpul yang semakin banyak. Karena itu, JProgresif membangun relasi dengan banyak jejaring lainnya yang memiliki visi dan misi yang sejalan.

Jika sebuah jaring ditebar dengan bagus, jaring ini bisa menangkap dan menghimpun banyak ikan. Begitu juga, jika JProgresif bekerja dengan bagus dan profesional, jaringan ini akan menghasilkan banyak hal yang bisa menyehatkan kehidupan beragama dalam masyarakat. Posisi dan cara menebar jejaring, perhitungan waktu yang tepat untuk menebar, tempat di mana menebar, umpan-balik yang diangkat, cara merawat jejaring, semuanya ini akan menentukan keberhasilan kegiatan JProgresif untuk mendatangkan pencerahan dan pencerdasan kehidupan beragama masyarakat.

JProgresif adalah perhimpunan para
pemikir religius. Sebutan pemikir tidak harus berarti sarjana. Semua orang, dari berbagai tingkatan pendidikan yang berbeda, dan dari berbagai latar belakang keahlian dan profesi, yang mau memikirkan dengan serius hal-hal keagamaan yang ada di sekitar mereka dan dalam dunia ini adalah para pemikir religius. Berbeda dari orang beragama pada umumnya, orang yang aktif dalam JProgresif, siapapun mereka, adalah orang yang mau mengambil jarak dari agama dan memikirkan agama itu dengan kritis, untuk dapat menghasilkan pembaruan dan pencerahan religius dalam aneka ragam tingkatan. Pemikiran yang diharapkan muncul mencakup pemikiran yang sederhana sampai pemikiran yang kompleks, bergantung pada kapasitas intelektual dan pengalaman hidup pribadi para anggota JProgresif. Dengan demikian, sebutan pemikir religius adalah suatu sebutan yang tidak eksklusif, melainkan suatu sebutan yang inklusif yang dipakai untuk mengajak orang sebanyak-banyaknya untuk memikirkan dengan cerdas, serius dan kritis hal-hal keagamaan apapun.

Para pemikir dalam JProgresif adalah para pemikir religius. “Religius” di sini berarti hidup dengan berbasis pada dan terarah kepada suatu Hakikat Transenden yang menyelimuti dan meresapi segenap ciptaan. Hakikat ini dipercaya manusia sebagai suatu hakikat yang mengasihi dan menyayangi segenap makhluk di dalam dunia ini, yang mendorong dan memampukan manusia untuk menjalani suatu kehidupan yang bermoral luhur pada masa kini dan berpengharapan pada suatu masa depan yang menjadi penggenapan dan penyempurnaan kehidupan di masa kini dan dalam dunia ini. Hidup dengan iman dan kepercayaan pada suatu Hakikat Transenden semacam ini diharapkan akan melahirkan suatu kehidupan yang menghargai nilai-nilai kebajikan, keindahan, kebenaran, keadilan, kesetaraan, persaudaraan, kejujuran, kesederhanaan dan kebebasan serta tanggungjawab.

Para pemikir religius dalam JProgresif adalah para pemikir religius yang progresif.
Progresif berarti berwawasan maju, bergerak ke depan, antisipatif, inovatif, liberal, reformatif, liberatif. Berwawasan progresif berarti berpikir ilmiah, bernalar, intelektual, antidogmatis, terbuka pada pembaruan dan perubahan, terbiasa dengan uji-coba metode-metode, pendekatan-pendekatan dan hipotesis-hipotesis baru, untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan baru yang lebih dapat diandalkan, lebih cerdas dan lebih mencerahkan dalam cara beragama manusia sehingga akan dihasilkan sebuah kehidupan insani yang dicirikan oleh persaudaraan, persamaan, kebebasan, kedamaian dan keadilan yang langgeng dan berskala global.