Pada tanggal 18 Februari 2009 yang lalu, saya, Ioanes Rakhmat, bertindak sebagai moderator dalam suatu acara pembinaan politik menjelang Pemilu 2009 bagi warga gereja di gereja saya di bilangan Jakarta Barat, Indonesia. Pembicara tunggal dalam acara itu adalah seorang dosen ilmu politik dari Universitas Indonesia, dengan inisial namanya BH. Ada banyak hal yang diangkat pembicara dalam rangka memberi pengertian kepada warga gereja mengenai mekanisme politik dalam Pemilu.
Sejujurnya, ada sekian hal yang dikemukakan pembicara yang saya sama sekali tidak setujui, antara lain anjurannya agar warga gereja memilih menjadi golput, dengan alasan menjadi golput akan memberi efek jera pada pemerintahan yang dinilai tidak benar. Saya, sebaliknya, mengatakan kepada warga gereja saya bahwa ketimbang menimbulkan efek jera, keputusan memilih menjadi golput malah bisa memberi peluang menangnya partai politik yang memiliki kekuatan besar tetapi moralitas politiknya cemar, sementara pemerintahan yang ingin diberi pelajaran supaya jera sudah tidak terpilih lagi.
Namun, isu sangat penting yang ingin saya angkat pada kesempatan ini adalah hubungan antara demokrasi dan mesianisme. Isu ini muncul dalam acara pembinaan itu karena seorang pendeta yang hadir menanyakan apakah mesianisme bisa menjadi orientasi ideologis gereja dalam ambil bagian dalam kehidupan politik suatu bangsa dan negara seperti Indonesia. Sdr BH menyatakan bahwa mesianisme memberi sebuah perspektif untuk menegakkan kerajaan Allah di Indonesia sekarang ini, dengan visi terarah ke masa depan, kepada pengharapan akan kedatangan kembali (parousia) Yesus sang Mesias/Kristus. Ketimbang mendukung pandangannya ini, saya, di depan para hadirin, malah menyatakan bahwa dalam kehidupan politik suatu bangsa dalam zaman modern sekarang ini mesianisme apapun harus dilepaskan dan harus dibuat tidak berperan lagi dalam membentuk dan mengarahkan pandangan dan kiprah politik orang beragama apapun, termasuk pandangan dan kiprah politik warga gereja. Apa alasan saya menyatakan hal ini?
Saya menjelaskan, bahwa mesianisme adalah suatu pengharapan akan kedatangan seorang utusan ilahi, bisa dari kawasan adikodrati surgawi atau bisa juga dari antara manusia di dunia yang dipilih dan ditetapkan Allah, untuk menegakkan pemerintahan Allah di bumi melalui penerapan hukum-hukum ilahi di bumi di bawah kepemimpinan sang mesias pilihan. Mesias ini dipandang sebagai wakil atau utusan Allah di bumi yang bertugas, atas nama dan wibawa Allah, untuk menegakkan pemerintahan Allah di dalam dunia ini atau di dalam kehidupan suatu bangsa, dan untuk membinasakan musuh-musuh Allah. Dengan demikian, mesianisme menuntut ditegakkannya teokrasi (=pemerintahan Allah di bumi) dan nomokrasi (=pemerintahan yang dijalankan oleh hukum-hukum ilahi), dan bukan demokrasi, pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Selain itu, mesianisme mengarahkan orang untuk secara pasif menunggu datangnya perubahan total dunia dan sejarah manusia melalui intervensi atau campur tangan langsung dari Allah, yang dilihat, diramalkan dan diberitakan sang mesias pilihan Allah itu. Visi utopis mesianik ini tidak menggerakkan manusia untuk membarui kehidupan dan bumi melalui karya nyata mereka dalam berbagai bidang kehidupan, tetapi membuat manusia menjadi makhluk pasif dan apatis serta skeptis terhadap kemampuan mereka sendiri. Dalam visi utopis mesianik ini, kalaupun manusia mukmin bertindak, tindakan mereka adalah tindakan untuk mempercepat dan memaksa Allah mengakhiri dunia ini dalam suatu katastrofi sejagat, untuk menggantikannya dengan suatu dunia yang sama sekali lain.
Sains dan teknologi serta moralitas manusia yang seharusnya dikembangkan dan dipakai untuk membangun dan mengarahkan masa depan umat manusia, malah, karena visi utopis mesianik ini, dicurigai, dikecam, dihina, ditolak dan dibuang karena diyakini bahwa untuk mendatangkan teokrasi di muka bumi Allah tidak memerlukan partisipasi intelektual dan moral manusia apapun. Kedamaian dan kemakmuran di muka bumi, dalam visi utopis mesianik ini, hanya akan datang sebagai pemberian Allah semata-mata di dalam suatu dunia yang lain, bukan sebagai hasil usaha cerdas, keras dan serius manusia sekarang ini dan di dalam dunia ini.
Jelas, mesianisme bukanlah sebuah ideologi religio-politis yang sejalan dengan demokrasi dan usaha pembangunan bangsa dan negara melalui kerja cerdas dan kerja keras warga. Karena itu, dalam membangun Indonesia dan menegakkan kehidupan demokrasi, umat beragama manapun haruslah membuang mesianisme dan teokratisme, dan merangkul demokrasi dan pembangunan oleh manusia, dari manusia, untuk manusia dan segenap makhluk hidup lainnya dalam dunia ini. Dalam kenyataannya, sekularisasi dalam bentuk dan tingkatan yang beragam, yang sedang melanda dunia sekarang ini, di mana-mana, akan semakin tidak memberi tempat pada teokratisme. Jadi, agama harus dipisahkan dari politik; dan politik harus dikontrol hanya oleh akal budi dan moralitas manusia, bukan oleh agama atau wakil dan utusan Allah manapun juga.
Sejujurnya, ada sekian hal yang dikemukakan pembicara yang saya sama sekali tidak setujui, antara lain anjurannya agar warga gereja memilih menjadi golput, dengan alasan menjadi golput akan memberi efek jera pada pemerintahan yang dinilai tidak benar. Saya, sebaliknya, mengatakan kepada warga gereja saya bahwa ketimbang menimbulkan efek jera, keputusan memilih menjadi golput malah bisa memberi peluang menangnya partai politik yang memiliki kekuatan besar tetapi moralitas politiknya cemar, sementara pemerintahan yang ingin diberi pelajaran supaya jera sudah tidak terpilih lagi.
Namun, isu sangat penting yang ingin saya angkat pada kesempatan ini adalah hubungan antara demokrasi dan mesianisme. Isu ini muncul dalam acara pembinaan itu karena seorang pendeta yang hadir menanyakan apakah mesianisme bisa menjadi orientasi ideologis gereja dalam ambil bagian dalam kehidupan politik suatu bangsa dan negara seperti Indonesia. Sdr BH menyatakan bahwa mesianisme memberi sebuah perspektif untuk menegakkan kerajaan Allah di Indonesia sekarang ini, dengan visi terarah ke masa depan, kepada pengharapan akan kedatangan kembali (parousia) Yesus sang Mesias/Kristus. Ketimbang mendukung pandangannya ini, saya, di depan para hadirin, malah menyatakan bahwa dalam kehidupan politik suatu bangsa dalam zaman modern sekarang ini mesianisme apapun harus dilepaskan dan harus dibuat tidak berperan lagi dalam membentuk dan mengarahkan pandangan dan kiprah politik orang beragama apapun, termasuk pandangan dan kiprah politik warga gereja. Apa alasan saya menyatakan hal ini?
Saya menjelaskan, bahwa mesianisme adalah suatu pengharapan akan kedatangan seorang utusan ilahi, bisa dari kawasan adikodrati surgawi atau bisa juga dari antara manusia di dunia yang dipilih dan ditetapkan Allah, untuk menegakkan pemerintahan Allah di bumi melalui penerapan hukum-hukum ilahi di bumi di bawah kepemimpinan sang mesias pilihan. Mesias ini dipandang sebagai wakil atau utusan Allah di bumi yang bertugas, atas nama dan wibawa Allah, untuk menegakkan pemerintahan Allah di dalam dunia ini atau di dalam kehidupan suatu bangsa, dan untuk membinasakan musuh-musuh Allah. Dengan demikian, mesianisme menuntut ditegakkannya teokrasi (=pemerintahan Allah di bumi) dan nomokrasi (=pemerintahan yang dijalankan oleh hukum-hukum ilahi), dan bukan demokrasi, pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Selain itu, mesianisme mengarahkan orang untuk secara pasif menunggu datangnya perubahan total dunia dan sejarah manusia melalui intervensi atau campur tangan langsung dari Allah, yang dilihat, diramalkan dan diberitakan sang mesias pilihan Allah itu. Visi utopis mesianik ini tidak menggerakkan manusia untuk membarui kehidupan dan bumi melalui karya nyata mereka dalam berbagai bidang kehidupan, tetapi membuat manusia menjadi makhluk pasif dan apatis serta skeptis terhadap kemampuan mereka sendiri. Dalam visi utopis mesianik ini, kalaupun manusia mukmin bertindak, tindakan mereka adalah tindakan untuk mempercepat dan memaksa Allah mengakhiri dunia ini dalam suatu katastrofi sejagat, untuk menggantikannya dengan suatu dunia yang sama sekali lain.
Sains dan teknologi serta moralitas manusia yang seharusnya dikembangkan dan dipakai untuk membangun dan mengarahkan masa depan umat manusia, malah, karena visi utopis mesianik ini, dicurigai, dikecam, dihina, ditolak dan dibuang karena diyakini bahwa untuk mendatangkan teokrasi di muka bumi Allah tidak memerlukan partisipasi intelektual dan moral manusia apapun. Kedamaian dan kemakmuran di muka bumi, dalam visi utopis mesianik ini, hanya akan datang sebagai pemberian Allah semata-mata di dalam suatu dunia yang lain, bukan sebagai hasil usaha cerdas, keras dan serius manusia sekarang ini dan di dalam dunia ini.
Jelas, mesianisme bukanlah sebuah ideologi religio-politis yang sejalan dengan demokrasi dan usaha pembangunan bangsa dan negara melalui kerja cerdas dan kerja keras warga. Karena itu, dalam membangun Indonesia dan menegakkan kehidupan demokrasi, umat beragama manapun haruslah membuang mesianisme dan teokratisme, dan merangkul demokrasi dan pembangunan oleh manusia, dari manusia, untuk manusia dan segenap makhluk hidup lainnya dalam dunia ini. Dalam kenyataannya, sekularisasi dalam bentuk dan tingkatan yang beragam, yang sedang melanda dunia sekarang ini, di mana-mana, akan semakin tidak memberi tempat pada teokratisme. Jadi, agama harus dipisahkan dari politik; dan politik harus dikontrol hanya oleh akal budi dan moralitas manusia, bukan oleh agama atau wakil dan utusan Allah manapun juga.