Thursday, March 5, 2009

Hidup Inklusif dalam Bertetangga

Untuk kedua kalinya saya tampil di layar kaca TVRI, pada tanggal 2 Maret 2009, pukul 08.00-8.30 WIB, dalam suatu acara dialog antaragama yang dipandu oleh Wisnu Prayuda dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Seperti tepat seminggu sebelumnya, mitra dialog saya adalah orang-orang yang sama, yang mewakili umat Islam, umat Kong Hu Cu, dan umat Hindu. Kali ini dialog diadakan di sekitar tema Hidup Inklusif dalam Bertetangga.



Semua peserta dialog sepakat bahwa kalau kehidupan beriman kita sehat dan benar, maka iman kita akan membuahkan keamana
n bagi lingkungan kita, mulai dari yang terdekat, yakni kehidupan berumahtangga dan bertetangga, sampai ke yang terjauh, yaitu kehidupan dalam dunia luas ini. Kata seorang peserta dialog, Prof. Bambang Pranowo dari UIN Jakarta, iman itu aman! Seorang yang beriman akan memberi rasa aman buat dunia ini, buat semua orang. Ini tolok ukurnya, tandasnya!

Agama dan orang beragama bisa mendatangkan rasa tidak aman kepada manusia, kepada tetangganya dan lingkungan sekitarnya, minimal karena tiga hal. Pertama, seperti dikatakan seorang mitra dialog dari agama Hindu, rasa tidak aman dan konflik timbul karena umat beragama tidak melaksanakan the golden rule, yang menyatakan: Berbuatlah apa yang engkau inginkan orang lain berbuat kepadamu, dan janganlah berbuat hal yang engkau tidak ingin orang lain berbuat kepadamu. Dengan kata lain, kedua, seperti saya tegaskan, ketidakamanan atau gangguan terjadi karena orang beragama tidak bisa berempati, tidak bisa menempatkan diri di posisi orang lain yang berbeda keyakinan keagamaannya. Ini banyak terjadi dalam usaha membangun rumah peribadahan suatu umat beragama tertentu atau melangsungkan peribadahan umat beragama tertentu di suatu lingkungan umat keagamaan yang berbeda, yang di kawasan itu merupakan umat mayoritas. Ketidakamanan dan gangguan ini sebenarnya bisa dihindari kalau sebelumnya sudah dilakukan empati dan pendekatan-pendekatan pribadi dan komunal terhadap umat beragama mayoritas itu. Sebagai penyebab ketiga, karena agama sudah dipolitisir oleh oknum atau kelompok keagamaan tertentu, yang berusaha mencapai target politik tertentu yang hanya akan diperoleh kalau hubungan antarumat beragama di suatu kawasan berhasil dikacaukan dan dibuat penuh konflik.

Semua peserta dialog sepakat, bahwa bangsa Indonesia sebetulnya sejak dulu memiliki dan menghayati nilai-nilai sosio-budaya yang luhur dan local wisdom yang berakar dalam, yang sebetulnya telah memperlihatkan keampuhannya dalam menimbulkan, menumbuhkan dan mempertahankan serta merawat kesetiakawanan dan kohesi sosial, gaya hidup berbagi dan demokratis dalam masyarakat Indonesia, seperti tampak dalam kehidupan tradisional komunal pedesaan di seluruh nusantara. Jadi, dilihat dari sudut pandang kebudayaan, seharusnya konflik-konflik keagamaan tidak perlu terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Individualisme yang menjadi ciri masyarakat modern sebetulnya, seperti ditekankan pemandu acara, tidak akan berhasil menjadikan orang Indonesia hanya mementingkan ego mereka saja, dengan membuang tanggungjawab sosial bersama, sehingga membuat kesatuan masyarakat tidak kokoh dan terancam hancur. Gaya hidup komunal masyarakat kita, kebijaksanaan lokal, serta pandangan-pandangan agama-agama tentang kehidupan bertetangga dan bersesama, sebetulnya dapat memberi sumbangan penting bagi upaya orang Indonesia untuk membangun suatu kehidupan bertetangga yang inklusif. Seperti dikatakan seorang peserta dialog, tetangga seringkali malah lebih dekat kepada kita, lebih siap menolong, ketimbang saudara-saudara kandung kita sendiri!