Di kalangan setiap umat beragama, selalu ada kelompok yang dengan bangga dan takabur menyebut diri ortodoks. Kata “ortodoks” berarti ajaran atau pandangan (doksa) yang benar atau lurus (orthos). Kelompok ortodoks ini memandang setiap kelompok keagamaan lain yang menganut ajaran atau pandangan berbeda atau bertentangan dengan ajaran atau pandangan mereka sebagai bidaah atau kelompok sesat dan menyesatkan yang sudah menyimpang dari ortodoksi. Bagi kelompok ortodoks, kelompok heterodoks atau kelompok yang menganut ajaran atau pandangan lain (heteros) atau kelompok non-ortodoks tidak bisa berdiam bersama mereka dalam satu masyarakat. Bagi mereka, bagaimana mungkin yang sesat atau yang bengkok atau yang salah bisa bersanding bersama dengan yang benar dan yang lurus; bagaimana mungkin gelap bisa hidup bersama dengan terang. Memakai kosmologi dualistik, kelompok ortodoks memandang diri mereka berada di pihak Allah, dan sedang melawan kelompok non-ortodoks yang mereka pandang berada di pihak setan. Kehidupan dilihat oleh kelompok ortodoks sebagai suatu arena peperangan abadi melawan kelompok yang tidak ortodoks, peperangan antara Allah melawan setan, antara “kami yang benar” dan “kalian yang salah”.
Setiap agama memiliki sejarah panjang pertikaian antara kelompok ortodoks dan kelompok heterodoks atau kelompok non-ortodoks. Pertikaian ini semula bertitik-tolak dari pertikaian di bidang ajaran, ketika kelompok heterodoks atau non-ortodoks juga berpengaruh di dalam masyarakat yang dengan serakah ingin dikuasai secara sepihak oleh kelompok ortodoks. Tetapi, pertikaian atau polemik di bidang ajaran dilihat oleh kelompok ortodoks tidak bisa mereka menangkan dengan mudah, khususnya ketika masyarakat di mana mereka hidup sangat plural dan toleransi atas keanekaragaman pandangan menjadi gaya hidup bersama. Karena itu, untuk dengan telak memenangkan pertikaian doktrinal, mereka melihat perlu memakai kekuatan politik dan kekuatan militer sebagai kekuatan-kekuatan ampuh untuk membinasakan lawan-lawan ideologis mereka. Mereka pun dengan segala cara yang lihai berusaha keras untuk dapat dirangkul oleh, atau merangkul, kekuatan politik dan kekuatan militer yang sedang berkuasa dalam masyarakat sebagai kekuatan-kekuatan penentu, pengendali dan perancang kehidupan masyarakat dan negara.
Tidak cukup hanya dengan merangkul kekuatan politik dan kekuatan militer, mereka, kelompok ortodoks, berupaya juga untuk merangkul atau dirangkul oleh kekuatan ekonomi dalam masyarakat yang diyakini akan dapat mematikan gerak dan nafas kehidupan kelompok heterodoks atau non-ortodoks. Maka, ketika terbentuk aliansi kuat yang tidak suci antara kekuatan agama ortodoks, kekuatan politik, kekuatan militer dan kekuatan ekonomi, kelompok ortodoks dengan mudah menggilas dan melumat kelompok-kelompok heterodoks atau non-ortodoks dalam masyarakat. Inilah yang sesungguhnya terjadi ketika kekristenan perdana pada abad keempat merangkul sekaligus dirangkul oleh kekaisaran Romawi yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar Konstantinus Agung. Keberhasilan politis kelompok ortodoks ini, ketika mereka berhadapan dengan kelompok-kelompok yang mereka pandang sebagai bidaah, nyata dengan sangat jelas ketika Kaisar Theodosius pada tahun 381 secara resmi menyatakan bahwa bidaah (dalam hal ini: Arianisme, Manikheisme, gnostisisme, Ebionisme dan paganisme) adalah suatu tindak kejahatan melawan negara! Pada waktu itu, beragama berbeda dari agama mayoritas yang didukung kekaisaran adalah suatu tindakan subversif! Pasukan Inkwisisi yang dibentuk gereja Roma Katolik pada Abad Pertengahan yang bertugas mengejar, menangkap, mengadili dan melumatkan para bidaah hanyalah melanjutkan kebijakan negara dan gereja yang sudah dibangun pada abad keempat ini.
Hal penting yang patut ditanyakan adalah apa tolok ukur yang dipakai kelompok ortodoks untuk menentukan bahwa merekalah pemilik satu-satunya ajaran atau akidah atau ideologi religius yang lurus dan benar, sementara yang berbeda atau bertentangan dari yang mereka pegang dicap tidak lurus, sesat dan tidak benar. Ortodoksi, di manapun dan kapanpun juga, sama sekali tidak mendasarkan kebenaran atau kelurusan pandangan dan doktrin mereka pada ilmu pengetahuan. Mereka melandaskan klaim kebenaran dan kelurusan doktrinal mereka pada sejumlah otoritas yang diklaim tidak bisa digugat: otoritas insani, otoritas Kitab Suci, otoritas dogma keagamaan yang diterima dan diabadikan, dan otoritas iman. Otoritas insani di sini adalah orang-orang suci atau para pemimpin suci zaman lampau yang dipercaya telah menyampaikan dan merawat ajaran yang lurus dan benar, yang telah dicatat dan direkam dan diabadikan tanpa kesalahan apapun di dalam Kitab Suci sebagai sabda dan wahyu ilahi sepenuhnya yang tidak bisa bercacat, dan yang dipelihara dan dilestarikan dalam dogma keagamaan yang sudah ditetapkan sekali untuk selamanya pada awal-awal kelahiran suatu agama. Otoritas insani di sini tentu saja juga mencakup otoritas pemegang kekuasaan politik, militer dan ekonomi dalam masyarakat yang melindungi dan memelihara kelompok ortodoks. Otoritas insani dan otoritas Kitab Suci yang melindungi kelompok ortodoks, dan otoritas dogma yang menopang kelompok ini, diklaim dan dipertahankan oleh kelompok ini sebagai otoritas yang tidak bisa salah dalam hal apapun dan kapanpun.
Hal “tidak bisa bercacat” dan “tidak bisa salah” ini bukan ditemukan dan dipertahankan dengan berlandaskan pada suatu penyelidikan dan pengujian secara ilmiah menurut kaidah-kaidah mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan sebagai hal-hal yang diimani begitu saja. Iman tidak dihasilkan dari suatu penyelidikan saintifik untuk mendapatkan secara objektif kebenaran sesuatu, melainkan sebagai sesuatu yang diimpi-impikan, diharap-harapkan, diangan-angankan, dibayang-bayangkan dan diyakini begitu saja. Iman berdasar pada keyakinan subjektif; sedang ilmu pengetahuan didapatkan berdasarkan penyelidikan objektif atas sesuatu. Iman dan sains adalah dua hal yang bertentangan secara epistemologis: pengetahuan imaniah didapat dari keyakinan dan harapan subjektif partikular pada suatu Tuhan sebagai objek di luar sejarah dan di luar pengalaman riil dan empiris manusia; sedangkan ilmu pengetahuan diperoleh dari penalaran logis, pengujian dan pembuktian menurut prosedur dan metodologi yang objektif, ketat, repeatable, dapat diulang, baku dan universal. “Demi Allah, mudah-mudahan esok tidak hujan”, adalah ungkapan iman; sedangkan ungkapan ilmu pengetahuan berbunyi lain: “Menurut data objektif yang berhasil diperoleh dan dikumpulkan serta dianalisis oleh Badan Meteorologi dan Geofisika, dipastikan besok Jakarta akan diterpa hujan lebat yang berlangsung lama.” Iman berada dalam wilayah mitos; sedangkan sains berada dalam wilayah logos. Logos menentang mitos, dan mengunggulinya dalam pencapaian kebenaran. Sebagai mitos, iman berbicara mengenai mimpi-mimpi, angan-angan, harapan-harapan, yang tidak berpijak pada nalar dan fakta empiris; sedangkan sains sebagai logos berpijak pada landasan penalaran logis yang ditopang bukti empiris objektif.
Nah, di Jakarta, saya perhatikan, belakangan ini kelompok Kristen ortodoks dilanda histeria keagamaan untuk mempertahankan, membela dan melindungi ketuhanan Yesus Kristus, dari pandangan-pandangan kalangan sejarawan kritis yang menyelidiki Yesus dari sudut pandang ilmu sejarah, ilmu kajian kritis teks Kitab Suci, ilmu arkeologi dan ilmu antropologi lintas budaya. Kalangan Kristen ortodoks Jakarta yang minder, histeris dan kelabakan ini membangun suatu aliansi dengan kekuatan ekonomi di Jakarta untuk mendapatkan sumber-sumber dana untuk menyelenggarakan seminar-seminar yang membela dan mempertahankan serta memenjarakan ketuhanan Yesus, dengan mengundang apologet-apologet gnostik Kristen mancanegara yang harus dibiayai dan dibayar mahal hanya untuk melontarkan pandangan-pandangan gnostik mereka yang tidak menerima fakta keberdagingan dan kebersejarahan Yesus dari Nazaret. Proyek seminar-seminar ortodoks ini adalah proyek iman, bukan proyek ilmu pengetahuan, sementara kebenaran objektif tentang Yesus dari Nazaret bisa diperoleh hanya dengan jalur penyelidikan ilmiah seperti yang sudah dan sedang digelar baik oleh the Jesus Seminar serta the Jesus Project, dan banyak pakar kritis lainnya di dunia ini, maupun yang juga saya lakukan di Indonesia. Ilmu pengetahuan tentang Yesus tidak didapat dari otoritas insani, otoritas Kitab Suci, otoritas dogma, atau otoritas iman, melainkan hanya dari penyelidikan ilmiah, yang memakai nalar, sains dan bukti untuk mendapatkannya. Kitab Suci, dalam hal ini, adalah suatu sumber, bukan sumber satu-satunya, bagi penemuan siapa Yesus dari Nazaret itu.