Elie (=Eliezer) Wiesel, novelis termashyur, di bln Januari 2009. Kata Wiesel, ketika jutaan orang Yahudi dibunuh di kamp-kamp konsentrasi Nazi dalam era PD II, Allah Yahudi telah ikut terbunuh sehingga bangsa Yahudi disengsarakan tanpa Allah penolong
Sebuah jalan keluar lain dari problem teodise dapat ditemukan dalam gambaran Alkitab tentang Allah yang menyembunyikan diri dari kehidupan orang saleh. Selama Allah masih bersama dengan orang saleh, Allah berfungsi sebagai suatu benteng atau sebuah perisai yang melindungi mereka dari segala penderitaan, penganiayaan dan semua musuh (lihat antara lain 2 Samuel 22:2-4; Mazmur 18:3-4; Yeremia 16:19a). Jika Allah menyingkir dari orang saleh, maka orang saleh ini rentan diserang oleh kekuatan-kekuatan jahat kodrati maupun adikodrati, yang membuat mereka tersiksa dan teraniaya.
Dari kisah fiktif dalam Perjanjian Lama tentang Ayub yang sangat saleh, kita tahu bahwa penderitaan menerpa Ayub tak habis-habisnya ketika Allah menyingkir dari kehidupan Ayub dan Setan dibiarkan Allah berkuasa atas dirinya (Ayub 1:12; 2:6). Selama Ayub masih dalam penjagaan dan perlindungan allah, Ayub sukses besar dan makmur dalam segala segi kehidupannya. Ketika Allah menarik diri dan menjauh dari Ayub, sekian azab menghancurkan seluruh kehidupan Ayub.
Penulis Mazmur 89:47-52 dengan berat mengeluh bahwa dia menerima berbagai macam penghinaan dari segala bangsa ketika Allah bersembunyi dari dirinya terus-menerus. Penulis Mazmur 10:1 bertanya kepada Allah, “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, Ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?”
Dalam suatu momen kegiatannya selaku seorang nabi Allah, nabi Yesaya sampai menyatakan bahwa Allah telah menyembunyikan diri-Nya (Yesaya 45:15), mungkin karena bangsa Israel tidak bisa melihat bagaimana Allah mereka bekerja, sehingga mereka tidak bisa melihat tangan Allah Yang Maha Esa (45:5, 14) sedang menggerakkan Koresh, Raja Persia, sebagai Mesias pilihan Allah sendiri (44:28; 45:1, 13).
Menurut penulis Injil Markus, ketika Yesus menanggung azab di kayu salib, di manakah Allah yang Yesus biasa panggil dengan akrab sebagai sang Abba, sang Bapa? Menurut penulis injil ini, ketika Yesus mengerang kesakitan di kayu salib, Allah telah meninggalkan dirinya, sehingga Yesus pun menderita sendirian. Dalam kesakitannya, Yesus berteriak keras kepada Allahnya ini, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, yang artinya, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Markus 15:34). Yesus sengsara di kayu salib karena Allah telah menyingkir darinya. Seandainya Allah masih bersama Yesus, dia tidak akan mati disalibkan. Yesus di sini, dalam tuturan Markus, terperangkap dalam sebuah problem teodise: Mengapa Allah meninggalkan orang yang saleh seperti dirinya ini sehingga dia menderita?
Pada waktu bangsa Yahudi dianiaya dan dibantai oleh rezim Hitler yang berkuasa atas negeri Jerman dari 1933 sampai 1945 selama Perang Dunia II, orang Yahudi bergumul amat sangat di mana Allah mereka berada. Sekian jawaban diberikan oleh bangsa Yahudi, oleh para ahli teologi mereka. Kita kenal Elie Wiesel. Dia adalah seorang Yahudi yang selamat dari Holokaus setelah masuk ke kamp-kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, Buna, Buchenwald dan Gleiwitz, yang kemudian termashyur di dunia melalui novel-novelnya, khususnya melalui satu novel pertamanya tentang Holokaus yang berjudul Night, dan seorang peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada 1986. Apa kata Wiesel tentang di mana Allah berada ketika jutaan orang Yahudi dianiaya, disengsarakan dan dibunuh oleh Nazi? Dalam suatu bagian novel Night ini, Wiesel bukan hanya menyatakan Allah tersembunyi, tetapi Allah sungguh-sungguh telah terbunuh. Tulisnya, “Tak kan pernah kulupakan momen-momen itu yang telah membunuh Allahku dan jiwaku dan mengubah mimpi-mimpiku menjadi debu.” Ya, bagi Wiesel, Allah telah tiada, karena terbunuh, sehingga bangsa Yahudi menderita azab besar tanpa penolong!
Dengan menyatakan bahwa Allah tidak hadir, bahwa Allah menjauh, bahwa Allah bersembunyi, bahwa Allah telah terbunuh, maka penderitaan yang menimpa orang-orang saleh jelas tidak dapat diasalkan pada diri Allah ini. Penderitaan dialami orang saleh bukan karena Allah yang menimpakannya kepada mereka. Bukan! Tetapi karena ada kekuatan-kekuatan lain yang dengan bebasnya menyengsarakan umat, tanpa bisa dihentikan oleh Allah karena Allah memang sedang tidak hadir di tempat ketika penderitaan menerjang umat Allah. Apakah argumen semacam ini berhasil mengatasi problem teodise, dan tidak menimbulkan sejumlah problem lain? Hemat saya, tidak, berdasarkan beberapa alasan berikut.
Pertama, kalau Allah bisa tersembunyi, bisa tidak hadir, bisa tiada, maka hilanglah sifat maha hadir dan maha penolong Allah yang sebetulnya ingin dipertahankan dengan kuat dalam teodise.
Kedua, kalau Allah bisa tidak hadir, dan sebagai ganti diri-Nya ada kekuatan-kekuatan lain yang jahat, yang sedang berkuasa atas diri umat Allah, maka hilanglah juga sifat maha kuasa Allah.
Ketiga, kalau karena Allah bersembunyi umat menjadi sengsara atau rentan terhadap serangan penderitaan, maka Allah yang semacam ini dapat diibaratkan sebagai seorang ayah yang tidak bertanggungjawab, tega hati dan pengecut, yang lari bersembunyi ketika anak-anaknya sedang atau akan dianiaya orang-orang jahat. Konsep tentang Allah yang semacam ini sama sekali tidak bisa diperdamaikan dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial yang mau ditegakkan dalam suatu masyarakat yang bertanggungjawab.
Keempat, orang ateis adalah orang yang menyatakan bahwa Allah tidak ada. Kalaupun para agamawan berpendapat bahwa Allah memang ada pada diri-Nya sendiri, orang ateis tidak memerlukan Allah ini sebagai sang pelindung maha kuasa mereka. Dari 6, 78 milyar penduduk dunia dalam dekade pertama abad XXI ini, 1,1 milyar adalah orang ateis. Apakah semua orang ateis dalam jumlah sangat besar ini dengan demikian tidak terlindung dan karenanya akan selalu didera kekuatan-kekuatan jahat sehingga mereka sengsara? Kenyataannya tokh tidak demikian! Artinya: ketidakhadiran Allah tidak otomatis akan menimbulkan penderitaan bagi manusia. Manusia pada dirinya sendiri dan melalui sains dan teknologi dapat melindungi diri dari banyak bentuk penderitaan. Ketidakhadiran Allah malah bisa membuat orang makin mandiri, makin dewasa dan makin tegar dalam menjalani kehidupan dalam dunia ini.
Kelima, jika seorang saleh menginginkan kehidupannya terbebas dari segala bentuk penderitaan dengan terus-menerus meminta Allah tetap hadir untuk melindungi dirinya, maka bisa terjadi si orang saleh ini akan menolak semua bentuk perlindungan dan pertolongan yang dapat diupayakan manusia melalui sains dan teknologi modern. Banyak sekali orang saleh di dunia ini dengan fanatik (baca: dengan bodoh) menolak pertolongan medis apapun karena mereka hanya bergantung pada Allah mereka melalui doa-doa dan ritual-ritual mereka untuk kesembuhan penyakit mereka atau penyakit sanak famili mereka. Akibatnya, ya dari antara mereka atau dari antara sanak famili mereka banyak yang mati karena “iman” yang bodoh dan tidak cerdas! Supaya hal buruk ini tidak terjadi, orang beriman perlu menyadari dan menerima bahwa “iman kepada Tuhan” itu memiliki batas-batas yang tidak boleh dilewati, jika mereka menginginkan kehidupan yang sehat.
Keenam, ihwal hadir atau tidak hadirnya Allah sebetulnya bukan ditentukan oleh diri Allah itu sendiri, tetapi ditentukan sendiri oleh manusia secara subjektif dalam teologi yang dikonsepnya sendiri. Bisa terjadi dalam suatu bencana dahsyat, seorang mukmin akan mengklaim bahwa dia merasa Allah ada di tengah kehidupannya, sementara seorang mukmin lainnya akan menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan dirinya. Jadi, hemat saya, daripada memperdebatkan apakah Allah hadir atau Allah absen di dalam suatu kesulitan yang sedang menimpa manusia, jauh lebih konstruktif jika kita semua mau bertindak secara rasional untuk mengatasi berbagai macam penderitaan yang sedang menimpa umat manusia melalui berbagai macam kerja nyata kita di dalam masyarakat.
Ketujuh, jika kehadiran dan penyertaan Allah dipercaya sebagai sumber semua kemakmuran, kesenangan dan keberhasilan, maka konsep teologis semacam ini bisa berbahaya buat kehidupan etis manusia. Bahayanya di mana? Bahayanya: orang bisa berpura-pura melupakan bahwa harta kekayaan yang mereka miliki sebenarnya bersumber dari tindak pidana korupsi atau perbuatan melanggar hukum lainnya; lalu, sebagai gantinya, mereka akan mengklaim bahwa semua harta kekayaan dan sukses mereka itu diperoleh sebagai berkat-berkat Allah yang maha baik dan maha hadir dalam kehidupan mereka. Jadi, di sini teologi dibuat untuk melegitimasi perbuatan tidak bermoral.
Itulah tujuh masalah yang muncul jika problem teodise mau diselesaikan dengan konsep tentang Allah yang tersembunyi atau tidak hadir.