Monday, December 7, 2009

Pak Ioanes ... Hidup dalam Ketegangan antara Fides dan Saeculum

Sebuah opini seorang rekan tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat

Budiman Heryanto,
Pendeta GKI dan pembaca blog-blog Ioanes Rakhmat


Saya pertama kali mengenal Pak Ioanes Rakhmat (IR) waktu masih di SMA lewat majalah Kairos. Saya rutin meminjam majalah itu dari seorang penatua di GKI Guntur Bandung, tempat saya berjemaat. Saya tertarik pada pemikiran Pak IR. Waktu itu dia sedang terlibat debat dengan seorang warga GKI di kolom Surat Pembaca. Artikel serialnya tentang Yesus sejarah selalu saya ikuti. Walau dengan banyak pertanyaan di kepala.


Keinginan saya menempuh studi teologi semakin terdorong oleh pandangan-pandangan Pak IR. Tapi, ketika saya masuk di tahun 1998 ke suatu sekolah teologi di Jakarta, Pak IR sedang studi di Belanda. Karena itu saya tidak menikmati pengalaman mengeksplorasi teologi biblika bersama Pak IR. Ada kalangan yang menyebut Pak IR seperti Rudolf Bultmann; seorang teolog besar kebangsaan Jerman yang dianggap liberal. Orang mudah menganggap seseorang liberal bahkan sesat tanpa pernah memeriksa secara utuh pemikirannya. Seperti Bultmann yang kadung dicap liberal karena upaya demitologisasi yang disalahpahami sebagai “penghilangan yang sakral, yang misteri, dalam pembacaan Alkitab”. Saya berpikir, pasti GKI bangga memiliki seorang pendeta seperti diri Pak IR. Setahu saya, hanya ada 2 orang penekun kajian Yesus sejarah di Indonesia, yakni Romo Martin Harun, dan Pak IR.


Perjumpaan tatap muka kali pertama saya dengannya terjadi saat dia kembali dari Belanda sekitar tahun 2002. Dia banyak diam dan kami belum saling mengenal. Baru pada tahun 2005 setelah dia merampungkan disertasi doktornya, kami saling mengenal. Lewat disertasinya yang unik bagi saya, saya makin mengenal Pak IR. Dia menantang dan mematahkan teori John Dominic Crossan, pakar Yesus sejarah kenamaan dari Amerika Serikat dan salah seorang pendiri komunitas Jesus Seminar.


Belakangan ini, Pak IR aktif menjadi penerjemah, pembicara dan penulis. Ada tiga blog pribadi di Internet yang dia bangun; dan satu blog kolektif. Blog pertama, The Freethinker Blog, dibangun untuk memublikasikan pemikirannya dalam bidang biblika dan teks-teks keagamaan di luar kanon Alkitab. Blog kedua, The Critical Voice Blog, didirikan untuk memublikasi pemikiran dan keprihatinannya yang lebih meluas di bidang-bidang keagamaan, sosial, politik, sains, seni, dst. Blog ketiga, The Jesus Blog, dia bangun atas dorongan banyak pihak yang ingin mendalami kajian Yesus sejarah dan kajian Yesus kontekstual. Yang terakhir, dia bangun sebuah blog kolektif, The Countertheocracy Blog, yang berhasil menggalang duapuluhan cendekiawan Indonesia yang menghendaki Indonesia tetap majemuk dan mengusung Pancasila dan demokrasi dan bersifat non-teokratis.

Ada beberapa tulisan Pak IR yang mempertajam kesadaran orang tentang politik agama yang sedang dijalankan lewat berbagai produk hukum di Indonesia belakangan ini. Pak IR meluaskan visi dan pokok penelitiannya, dari kajian biblika, ke kajian Yesus sejarah, lalu ke kajian kekristenan Yahudi perdana sampai ke kajian politik dan kemanusiaan. Hal ini mengingatkan saya pada pemikiran seorang teolog besar Katolik kebangsaan Belgia, Edward Schillebeeckx, yang menyatakan bahwa teologi adalah suatu janji dan ikatan kepada kehidupan, kepada semua yang menjerit demi kehidupan.


Dengan ini semua, apa yang Pak IR cari? Rupanya dia mencoba menemukan aksentuasi iman dalam ranah sekular, atau malah sebaliknya, menemukan yang sekular dalam ranah keimanan. Seperti ditelaah oleh Charles Taylor, dalam The Secular Age (2008), dalam masyarakat sekular agama tidak pernah benar-benar hilang. Yang terjadi adalah masyarakat sekular hanya melakukan represi terhadap agama. Agama mengendap di bawah permukaan. Teori Sigmund Freud mengenai alam bawah sadar sangat relevan untuk menjelaskan hal ini. Agama itu seperti mimpi buruk yang ditekan ke alam bawah sadar sekularisme. Tetapi pengalaman-pengalaman yang direpresi ke alam bawah sadar sesungguhnya tidak benar-benar terkungkung. Ada momen-momen tertentu di mana pengalaman-pengalaman itu bocor dan mencuat ke luar. Represi terhadap alam bawah sadar selalu merupakan represi yang gagal. Agama yang dipinggirkan dan direpresi selalu menemukan berbagai cara untuk tampil kembali ke permukaan. Tetapi sesuatu yang telah mengalami peminggiran dan represi itu tidak muncul kembali dalam bentuk yang benar-benar sama dengan bentuk sebelumnya. Trend beragama yang muncul dalam era globalisasi ini adalah sesuatu yang lain dari agama sebelumnya. Jonathan Benthall menyebut semua hal ini dengan istilah “para-religion”. Para-religion adalah suatu cara baru presentasi doktrin agama; seolah-olah presentasi ini mengandung karakter sebuah agama tradisional tetapi sesungguhnya berbeda. Barangkali Pak IR memang sedang menggeluti para-religion ini.


Pak IR, meskipun tampil tanpa selubung sebagai seorang pemikir liberal, bagaimana pun juga dia adalah seorang gembala gereja. Dia hidup dalam ketegangan antara fides dan saeculum; antara iman dan dunia. Tidak menampik dunia, bahkan memperhitungkannya dengan serius, tetapi tidak juga melepaskan ranah “misteri” dari iman itu sejauh dia memandang misteri ini ada. Selamat memasuki masa emeritasi, Pak IR. Selamat menggembalakan umat dan dunia “dalam kemasan yang baru”.