Bahkan kisah tentang penjatuhan tulah kesepuluh hanya pantas dipandang sebagai suatu takhayul tentang suatu Allah yang brutal dan sadistikTeodise adalah suatu kepercayaan pada keadilan, kemahabaikan dan kemahakuasaan Allah YME terhadap umat yang menyembah-Nya. Dalam mencari problem teodise, adakah sesuatu yang relevan, yang dapat muncul dari kisah-kisah keluaran dari Mesir dalam kitab Keluaran?
Umumnya para pemakai Perjanjian Lama dengan tidak kritis memandang kisah eksodus dari Mesir beserta kisah-kisah sebelumnya tentang penimpaan sepuluh tulah kepada orang Mesir dalam kitab Keluaran 7-14 sebagai kisah-kisah nyata tentang Allah yang maha kuasa yang telah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan konon selama 430 tahun di tanah Mesir (12:40). Di lingkungan gereja-gereja di Indonesia, tidak sedikit pendeta atau pastor atau pekabar injil memakai kisah-kisah eksodus ini dalam khotbah-khotbah mereka dalam ibadah memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada setiap tanggal 17 Agustus. Meskipun sebetulnya sama sekali tidak ada kesejajaran antara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam bagian kitab Keluaran ini dan perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan dari tangan imperialis Belanda, para pengkhotbah itu terus saja memakai kisah-kisah ini dalam khotbah-khotbah 17 Agustusan mereka!
Banyak pakar kajian kritis biblika dengan tepat meragukan bahkan menolak sama sekali historisitas semua peristiwa yang diceritakan dalam bagian kitab Keluaran ini, mulai dari penjatuhan sepuluh tulah sampai penyeberangan Laut Merah. Kalau orang membaca dengan teliti kisah penyeberangan Laut Merah ini, dia akan menemukan bahwa penyebab Laut Merah terbelah dua adalah “angin timur yang bertiup dengan keras” (14:21). Pikirkan saja minimal teks 14:21 ini. Jika air laut yang sangat besar volumenya, dan tentu saja juga dalam, bisa dibelah dua oleh angin timur ini semalam suntuk, kekuatan angin ini tentu sangat dahsyat. Nah, logika kita menyatakan, di tengah terjangan angin timur yang sangat dahsyat ini mustahil orang Israel (konon berjumlah 600.000 lelaki, belum termasuk anak-anak dan perempuan!) bisa dengan tenang dan mudah menyeberangi Laut Merah yang sudah terbelah dua! Jika mereka nekad masuk ke dalam terjangan dahsyat angin ini, mereka pasti akan ditiup terbang melayang bak daun-daun kering lalu jatuh dan mati! Jadi, dengan sedikit memikirkan bagian teks ini saja kita sudah bisa menyimpulkan bahwa kisah penyeberangan ini adalah suatu kisah fiktif.
Figur Musa dalam kisah-kisah ini—khususnya dalam kisah tentang pembelahan air Laut Merah menjadi dua sehingga seluruh orang Israel bisa melintasi laut ini dengan berjalan di tanah kering (Keluaran 14:15-31)— ditampilkan sebagai sosok heroik tiada taranya. Tak salah jika para ahli memandang seluruh kisah eksodus ini sebagai suatu epik suci yang ditulis bukan dengan tujuan untuk melaporkan suatu peristiwa sejarah faktual, melainkan untuk mengagungkan Nabi Musa sebagai sang nabi pemerdeka bangsa Israel dari kekuasaan orang Mesir yang telah terlalu lama menindas dan menyepelekan mereka. Kita tak perlu mencari-cari berbagai penjelasan alternatif untuk bisa menerima kisah-kisah ini sebagai kisah-kisah sejarah, misalnya, seperti diusulkan beberapa penafsir, bahwa yang orang Israel seberangi bukanlah Laut Merah, the Red Sea, tetapi the Reed Sea, Laut Alang-alang (Alkitab TB LAI: Laut Teberau) yang dangkal, yang pada waktu sedang surut dapat diseberangi dengan sangat mudah.
Ya, kisah-kisah eksodus dari Mesir ini memberitakan tentang YHWH bangsa Israel sebagai Tuhan pembebas dan penolong yang telah berkarya dengan kemahakuasaan-Nya membawa Israel keluar dari tanah perbudakan. Nabi Musa dalam kisah-kisah ini tampil sebagai sang hero Israel tanpa tandingan selamanya, yang melalui kepemimpinannya dan kemampuannya membuat banyak mukjizat, Allah telah memerdekakan bangsa Israel dari cengkeraman tangan bangsa Mesir dan menjadikan mereka suatu bangsa merdeka yang kelak akan memiliki tanah sendiri. Oleh Allah sendiri, Nabi Musa “diangkat sebagai Allah bagi Firaun” (7:1). Ya, dalam kisah-kisah ini Allah tampil sebagai Allah yang maha baik dan maha kuasa yang telah melepaskan bangsa Israel dari penderitaan dan nestapa berat, yang dilukiskan telah “berperang melawan Mesir” demi membela orang Israel (14:14, 25). Jelas, dalam situasi dibela dan ditolong oleh Allah semacam ini, tidak ada problem teodise bagi bangsa Israel: YHWH mereka adalah YHWH yang mahakuasa, mahaadil, mahabaik dan mahapembebas, Tuhan yang telah memerdekakan mereka dari azab perbudakan.
Tetapi, jangan sekali-kali diabaikan, bagi orang Mesir, keluarnya bangsa Israel dari tanah mereka harus mereka bayar dengan begitu banyak penderitaan berat, mulai dari tulah pertama (seluruh air di Mesir berubah menjadi darah) sampai tulah kesepuluh (berupa kematian seluruh anak sulung orang Mesir dan seluruh anak sulung binatang)! YHWH Israel dilukiskan menjadi sang Dalang dari semua penderitaan bangsa Mesir! Tentu saja kisah-kisah penjatuhan sepuluh tulah itu terlalu fantastis untuk dapat diterima sebagai kisah-kisah sejarah faktual. Bahkan kisah tentang penjatuhan tulah kesepuluh hanya pantas dipandang sebagai suatu takhayul tentang suatu Allah yang brutal dan sadistik: Allah melewati rumah-rumah orang Israel karena pada kedua tiang pintu dan ambang atasnya telah diborehi darah anak domba jantan sehingga seluruh anak sulung orang Israel luput dari kematian; tetapi sebaliknya sang malaikat elmaut memasuki rumah-rumah orang Mesir karena rumah-rumah ini tidak ditandai oleh darah anak domba jantan lalu membunuh semua anak sulung Mesir, anak sulung manusia dan anak sulung hewan.
Pertanyaan pentingnya bukanlah apakah betul semua kisah eksodus ini kisah dongeng, melainkan: Apakah kita harus dengan senang memegang suatu teodise yang membuat kita yakin dan percaya bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang mahakuasa, mahakasih, mahaadil dan mahapenolong, sementara untuk membuat kita mengalami semua kebaikan, kemahakuasaan, keadilan dan kasih Allah ini , sang Allah ini harus berlaku keras, jahat, keji dan penuh nafsu membunuh terhadap orang lain yang kita tidak senangi, yang kita nilai telah berbuat jahat dan tidak adil kepada kita? Orang lain ini bisa orang yang kita cap telah sesat dalam beragama, bisa orang yang menganut suatu paham ideologis berbeda, bisa umat beragama lain, bisa seorang homoseksual, bisa suku lain, atau pun bangsa lain. Apakah kita harus menerima suatu Allah yang memihak seseorang atau suatu bangsa tertentu, tetapi menjahati, menghancurkan dan membunuh seseorang lain atau suatu bangsa lain? Inilah sisi lain yang kelam dari satu mata uang logam teodise!
Tentu saja, karakter Allah yang semacam ini bukan diwahyukan, tetapi dikonsep oleh seseorang atau oleh suatu umat yang telah mengalami suatu kenyataan bahwa lawan-lawannya atau lawan-lawan umat ini telah kalah telak dalam suatu peperangan yang dilangsungkan di dalam nama Allah ini. Allah semacam ini dikonsep sebagai suatu Allah suku tertentu, yang menolak dan membenci suku-suku asing, dan yang akan mendatangkan penderitaan dan kebinasaan pada suku-suku asing ini jika mereka berbuat tidak adil terhadap suku atau umat milik-Nya sendiri. Dalam pengonsepan teologi yang jelek semacam ini, alam dan semua fenomenanya pun digambarkan memihak umat kesayangan Allah semacam ini, dan melawan musuh-musuh mereka.
Dan Allah xenofobis semacam ini makin terlalu jahat dan keji jika Dia dipandang sebagai sang Aktor utama yang membuat bangsa asing lainnya dan khususnya sang raja bangsa asing ini mengeraskan hati untuk terus berbuat tidak adil dan tidak baik terhadap bangsa atau umat kepunyaan Allah ini. Keadaan seperti ini terjadi pada Firaun, Raja Mesir, yang hatinya konon telah “dikeraskan oleh Allah” bangsa Israel dan mengakibatkan dia tidak mau melepaskan bangsa Israel meninggalkan tanah Mesir (Keluaran 7:3, 13; 8:15; 9:12; 10:1, 27; 11:10; 14:8; 14:17) sehingga ada suatu alasan untuk sang Allah ini berlaku jahat kepada seluruh orang Mesir! Apakah jalan diplomasi yang telah gagal harus diakhiri dengan suatu peperangan dan pertumpahan darah yang dilakukan oleh atau atas nama Allah bangsa Israel sendiri?
Kita harus tak puas dan harus tidak setuju pada suatu teodise yang di dalamnya Allah diubah menjadi suatu Allah suku atau Allah bangsa tertentu, yang dengan keji melenyapkan suatu suku atau bangsa lain yang Dia tidak sukai! Kita pada zaman sekarang dalam era globalisasi memerlukan bukan lagi suatu Allah suku, tetapi suatu Allah yang mengasihi seluruh umat manusia di muka bumi, suatu Allah yang bukan Allah partikular tetapi Allah yang universal. Allah yang universal semacam ini, yang menyayangi seluruh bangsa manusia, adalah Allah yang dipercaya si penulis kitab Yunus dalam kanon Perjanjian Lama (lihat khususnya Yunus 4:10-11).
Jika kita harus berpijak pada suatu moralitas universal yang membela kehidupan semua orang di seluruh muka Planet Bumi, maka kita harus berada di pihak korban; dan dari sudut pandang para korban, Allah sukuistik semacam ini harus dinilai sebagai suatu allah yang jahat dan keji, yang mendatangkan penderitaan dan kebinasaan atas orang-orang yang tidak berada di pihak-Nya dan tidak berada di pihak umat yang dibela-Nya. Allah yang memihak semacam ini, adalah Allah yang menjadi sumber penderitaan dan azab umat manusia. Kalau semula bangsa Israel adalah korban perbudakan oleh pemerintah Mesir, maka ketika Allah mereka berpihak kepada mereka, mereka pun mengorbankan bangsa Mesir! Tindakan saling mengorbankan adalah suatu lingkaran setan yang harus diputus. Bukan tindakan semacam ini yang perlu kita lakukan, melainkan tindakan mencari dan mewujudkan rekonsiliasi terus-menerus antar pihak-pihak yang bersengketa. Suatu Allah sukuistik harus tidak boleh dibiarkan ikut campur dalam proses rekonsiliasi ini.
Orang yang taat beragama dan yang percaya pada teodise seringkali lupa bahwa ada orang lain yang dia telah buat menderita, sengsara dan binasa, dan perbuatan jahatnya ini dia legitimasi dengan suatu teologi tentang Allah yang berada di pihaknya dan yang melawan dan berperang terhadap orang lain yang dia tidak sukai, dan yang memberi dia kemenangan dan keselamatan di atas kekalahan dan kebinasaan orang lain! Teodise semacam ini sudah seharusnya dibuang jauh-jauh, dan agama yang mengajarkannya harus dikritik dengan keras dan ditolak. Parahnya, dengan menjamur dan menguatnya fundamentalisme religius di mana-mana, teodise semacam ini laku keras dan terus melahirkan orang beragama yang dikuasai nafsu untuk melumat dan membunuh orang lain yang berbeda atau yang dinilainya telah merugikan dirinya, sementara sangat meyakini bahwa Allahnya penuh kemurahan dan cinta kepada dirinya sendiri. Sebuah ironi, kekonyolan dan kedunguan yang timbul dari suatu teodise yang tidak seimbang!
by Ioanes Rakhmat