Jalan selanjutnya yang telah diusulkan untuk mengatasi problem teodise adalah memandang penderitaan ditimpakan allah karena allah ini mau kekuasaan dan kemuliaannya dinyatakan melalui dan di dalam penderitaan manusia dan dengan demikian manusia akan mengakui kekuasaan dan kemuliaan allah ini.
Dalam Injil Yohanes kita temukan sebuah episode di mana Yesus dikisahkan memecahkan problem teodise dengan sudut pandang ini. Bacalah Yohanes 9. Dituturkan di situ bahwa ketika murid-murid Yesus melihat seorang buta sejak lahirnya, mereka bertanya kepada Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga dia dilahirkan buta?” (ayat 2). Pertanyaan ini menunjukkan pemahaman mereka bahwa penderitaan timbul karena dosa manusia, seperti telah diulas sebelumnya.
Tetapi Yesus menjawab mereka dengan suatu sudut pandang yang sama sekali lain, katanya, “Bukan dia dan juga bukan orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (ayat 3). Lalu Yesus dengan cara-cara tertentu mencelikkan mata orang yang buta sejak lahir ini. Jadi, “pekerjaan-pekerjaan Allah” yang dimaksudkan Yesus adalah tindakan-tindakan Allah yang penuh kuasa, yang sanggup mendatangkan mukjizat kesembuhan. Melalui mukjizat penyembuhan mata orang yang buta sejak lahir ini, Yesus tentu berharap orang banyak, dan khususnya si buta yang telah disembuhkan itu, akan mengakui kekuasaan allah lalu memuliakannya.
Apakah jalan keluar ini telah menyelesaikan problem teodise? Hemat saya, sama sekali tidak, malah menimbulkan persoalan-persoalan baru.
Pertama, kalau allah mendatangkan penderitaan kepada manusia supaya manusia mengakui kekuasaan allah lalu memuliakan diri allah ini di dalam penderitaannya ini, maka perilaku allah ini ibarat perilaku seorang ayah yang karena ingin kekuasaannya dan kehormatan atau kemuliaannya diakui anak-anaknya, ayah ini menyiksa anak-anaknya atau membawa anak-anaknya dengan paksa ke dalam penderitaan. Ayah macam apakah ini? Ya, jelas, ayah semacam ini bukanlah ayah yang baik, tetapi ayah yang karena gila kehormatan diri menjadi kejam. Allah semacam ini juga ibarat seorang raja lalim yang karena ingin rakyatnya mengakui kedaulatannya dan mau memuliakan dirinya, raja ini melakukan segala sesuatu yang dapat menyengsarakan rakyatnya. Sang raja ini berpikir dengan keliru bahwa kalau rakyatnya terus menerus disengsarakan olehnya, rakyatnya ini akan ketakutan kepadanya lalu tunduk tanpa daya. Anak atau rakyat yang diperlakukan dengan kejam oleh seorang ayah atau oleh seorang raja tentu akan lebih mungkin melawan dan memberontak ketimbang patuh. Jadi, jalan keluar ketiga ini ternyata malah menjadikan allah bukan sebagai sang bapak atau sang monarkh yang adil, bijaksana dan pengasih dan penyayang, melainkan sebagai sang bapak atau sang monarkh yang kejam dan sewenang-wenang.
Kedua, pemecahan ketiga ini problematis karena membuat orang yang sedang menderita bukan dengan rasional dan realistik mencari jalan-jalan sendiri untuk mengatasi penderitaannya, melainkan dengan pasif menunggu allah membuat mukjizat untuk melepaskan dirinya sepenuhnya dari penderitaan. Orang yang beriman kepada allah dengan segenap hati dan percaya total pada adanya mukjizat, seringkali mengabaikan kenyataan kehidupan dan tidak mau memakai otaknya untuk berpikir dengan benar. Ketika mukjizat yang ditunggu-tunggunya tidak terjadi, si mukmin yang sedang menderita ini kebanyakan malah bukan tunduk menghormati allah melainkan akhirnya mulai mengutuki allahnya. Selain itu, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan modern, semakin banyak orang tidak lagi mempercayai bahwa mukjizat itu dapat terjadi. Orang modern percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam alam ini tidak bisa melanggar hukum-hukum alam, kapanpun dan di manapun juga. Jadi tidak mungkin terjadi bahwa orang yang kedua matanya buta sejak lahir itu tiba-tiba menerima sepasang mata baru yang sehat walafiat karena kekuasaan allah. Sepasang mata bayi yang sehat saja, kita tahu, harus berproses melewati waktu panjang sebelum dapat digunakan untuk melihat dengan terang dan baik. Untuk mata bisa memahami objek yang dilihatnya, mata juga memerlukan proses edukasi yang memakan waktu panjang juga, yang harus dijalani si pemilik mata.
Ketiga, kita tahu kemampuan psikis dan fisikal manusia untuk menanggung penderitaan itu terbatas. Memang ada orang yang daya tahan psikis dan fisikalnya luar biasa besar ketika sedang menghadapi penderitaan dan deraan kehidupan. Tetapi, pada umumnya kebanyakan orang tidak dapat tahan lama-lama menanggung penderitaan. Penderitaan yang terlalu lama dialami dan terlalu menyiksa lebih mungkin membuat orang mengalami gangguan kejiwaan, lalu menjadi penghuni rumah sakit jiwa, ketimbang makin sanggup memuji allah.
Nah, dengan tiga alasan di atas cukuplah saya menyatakan bahwa problem teodise tidak dapat diselesaikan sekalipun orang mau menyatakan bahwa lewat penderitaan orang saleh allah mau menyatakan kekuasaan dan kemuliaannya.