Pada bagian akhir sebuah tulisan yang lalu, saya bertanya, apakah tidak ada nilai positif pada teodise. Kalau teodise dipikirkan sebagai sebuah keyakinan teologis bahwa karena allah YME itu mahakuasa, mahatahu, mahakasih, mahapenolong dan mahadil, maka dia akan senantiasa meluputkan seorang mukmin dari segala bencana, teodise yang semacam ini umumnya merusak dan mendemoralisasi si mukmin ketika dia sedang mengalami bencana yang tidak bisa diterimanya dengan ikhlas. Karena itu, kalau teodise kita kehendaki dapat memberi sebuah dampak positif pada manusia yang sedang menderita, kita harus membuat satu atau dua modifikasi pada konstruk pemikiran teologis ini. Pikiran kita harus dirombak cukup mendasar untuk kita bisa hidup tenteram dan ikhlas di tengah bencana sementara kita dapat tetap memegang kepercayaan bahwa allah itu mahakasih dan mahaadil. Merombak pikiran adalah salah satu langkah efektif dalam manajemen pikiran agar pikiran kita memberi kita ketenteraman dan kekuatan serta keikhlasan dalam kehidupan kita. Pikiran tentang allah yang kita rombak, akan berpengaruh positif pada sisi kerohanian kita.
Saya mulai dengan suatu pengalaman nyata yang umumnya dialami setiap orang ketika dia sedang mengalami suatu persoalan berat atau suatu kesusahan, misalnya ketika dia sedang menanggung suatu penyakit berat yang tak tersembuhkan. Sebutlah yang sedang menanggung suatu penyakit berat ini teman kita si A, seorang yang dikenal taat beragama dan menaruh kepercayaan penuh pada tuhannya. Dia sudah tahu bahwa penyakitnya sudah tak dapat disembuhkan lagi, dan bahwa dia tinggal menunggu waktu saja untuk meninggal. Pergumulan teologisnya di sekitar persoalan teodise sama sekali belum berakhir: sekian pertanyaan dan tuduhan berat masih senantiasa si A ajukan kepada tuhannya. Sisi kerohanian kehidupannya sedang rapuh, kalau tidak mau dikatakan sudah hancur lebur. Tetapi ada sesuatu yang menakjubkan terjadi pada dirinya.
Meskipun secara spiritual si A sedang lemah, tetapi sikap-sikapnya terhadap penyakit yang sedang ditanggungnya dan juga terhadap dirinya sendiri menunjukkan suatu perkembangan positif: dia dari hari ke hari makin bisa menerima kenyataan bahwa penyakitnya sudah tak bisa disembuhkan lagi, dan bahwa dia perlu mempersiapkan diri dengan tenang dan ikhlas untuk menerima ajal tidak lama lagi. Mengapa sikap positif semacam ini bisa muncul dan makin mantap di dalam dirinya sementara imannya kepada tuhannya sudah hancur total?
Tentu ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap dirinya sehingga dia dapat memperlihatkan sikap-sikap positif semacam ini. Tetapi faktor yang sangat menentukan tidak lain adalah dukungan dan empati psikologis yang tulus, yang diterimanya dari para kekasihnya dan dari orang-orang di sekitarnya selama dia menjalani hari-hari terakhir kehidupannya, yang akhirnya harus diserahkannya kepada kekuasaan penyakitnya. Istrinya yang tabah senantiasa menemaninya, senantiasa menghibur, senantiasa menguatkannya, senantiasa menunjukkan suatu empati besar terhadap azabnya, kendatipun sang istri diketahuinya tidak memiliki kekuasaan apapun untuk menyembuhkannya. Tim dokter dan jururawat yang menangani penyakitnya dan merawat fisiknya juga memberikan perhatian dan empati yang sama besar, meskipun mereka dimakluminya sudah tidak akan bisa menyembuhkannya. Dan, lebih khusus lagi, si A selalu didampingi oleh seorang teman karibnya yang juga memberikan empati dan perhatian yang sangat besar. Sahabat karibnya ini tidak pernah mengkhotbahinya agar dia jangan memberontak dan durhaka kepada allah, tetapi lebih banyak berdiam diri dan melalui sikap diamnya ini dia memperlihatkan diri sebagai seorang yang ikut menderita bersamanya, sebagai seorang yang sedalam-dalamnya ikut menanggung sakit-penyakitnya kendatipun dia sama sekali tidak memiliki daya apapun untuk menyembuhkannya. Temannya ini, dan semua kekasih dan orang yang merawat dirinya, terus memperlihatkan kesetiaan dan empati mereka untuk terus berada bersamanya bahkan sampai ajal datang kepadanya. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa setia menemani, ikut berbelarasa sedalam-dalamnya, sampai kapanpun selama dia masih hidup.
Nah, jika si A di hari-hari terakhir kehidupannya bisa memperlihatkan sikap-sikap positif terhadap penderitaan yang sedang ditanggungnya dan juga terhadap dirinya sendiri karena dukungan dan empati psikologis yang demikian besar dan bertahan sampai akhir dari orang-orang di sekitarnya kendatipun orang-orang ini tidak memiliki daya apapun untuk menyembuhkan, maka kita perlu memegang suatu konsep tentang allah yang sejalan. Jika teodise mau memberikan suatu dampak positif terhadap kaum mukmin yang sedang ditimpa bencana berat, konsep tentang allah yang mahakuasa dan mahapenolong harus kita ganti dengan konsep tentang suatu allah yang tidak mahakuasa dan tidak mahapenolong, tetapi mahasetia dan mahaberempati terhadap kaum mukmin yang percaya kepadanya, yang sedang menanggung penderitaan berat. Konsep tentang allah yang semacam ini adalah suatu konsep tentang allah yang berwajah dan bertabiat sangat insani, sangat setia dan berbelarasa terhadap setiap mukmin yang menderita kendatipun sang allah ini, seperti manusia pada umumnya, lebih banyak tidak berdaya dalam melawan penderitaan dan kematian. Dalam kepercayaan Yahudi-Kristen, konsep tentang allah yang semacam ini diungkap dalam satu kata terkenal, yakni Immanuel, artinya “allah bersama kita”, dan dalam teologi inkarnasi: allah menjadi manusia dengan menyandang semua kodrat keinsanian, dan juga dalam teologi kenosis: allah mengosongkan dirinya total, menjadi seorang manusia sepenuhnya yang bahkan tidak berdaya sama sekali ketika harus menghadapi kenyataan kematian. Allah yang semacam ini tidak mahakuasa, tidak mahapenolong, tetapi tetap mahakasih, mahaadil, mahamenyertai dan mahaberbelarasa.
Jika seorang mukmin yang sedang menanggung azab dan kesengsaraan berpikiran demikian tentang allahnya, pikirannya ini akan berpengaruh pada sisi kerohaniannya. Dalam penderitaannya, si mukmin yang memegang teologi kesetiaan, belarasa sekaligus ketidakberdayaan allah semacam ini tetap bisa merasakan allah-nya begitu dekat dengan dirinya, bahkan menyatu dengan dirinya dan ikut bersamanya menanggung sakit penyakitnya sampai ajal mendatangi dirinya. Nah, manage-lah pikiran anda dan sahabat-sahabat anda sedemikian rupa sehingga anda dan mereka sanggup melepaskan suatu konsep tentang allah yang mahakuasa, dan sebaliknya merangkul suatu konsep tentang allah yang sangat insani: tidak mahakuasa, tetapi tahu apa artinya menampakkan persahabatan dan belarasa kepada kaum mukmin yang sedang menderita sampai ajal menjemput diri mereka.
Saya mulai dengan suatu pengalaman nyata yang umumnya dialami setiap orang ketika dia sedang mengalami suatu persoalan berat atau suatu kesusahan, misalnya ketika dia sedang menanggung suatu penyakit berat yang tak tersembuhkan. Sebutlah yang sedang menanggung suatu penyakit berat ini teman kita si A, seorang yang dikenal taat beragama dan menaruh kepercayaan penuh pada tuhannya. Dia sudah tahu bahwa penyakitnya sudah tak dapat disembuhkan lagi, dan bahwa dia tinggal menunggu waktu saja untuk meninggal. Pergumulan teologisnya di sekitar persoalan teodise sama sekali belum berakhir: sekian pertanyaan dan tuduhan berat masih senantiasa si A ajukan kepada tuhannya. Sisi kerohanian kehidupannya sedang rapuh, kalau tidak mau dikatakan sudah hancur lebur. Tetapi ada sesuatu yang menakjubkan terjadi pada dirinya.
Meskipun secara spiritual si A sedang lemah, tetapi sikap-sikapnya terhadap penyakit yang sedang ditanggungnya dan juga terhadap dirinya sendiri menunjukkan suatu perkembangan positif: dia dari hari ke hari makin bisa menerima kenyataan bahwa penyakitnya sudah tak bisa disembuhkan lagi, dan bahwa dia perlu mempersiapkan diri dengan tenang dan ikhlas untuk menerima ajal tidak lama lagi. Mengapa sikap positif semacam ini bisa muncul dan makin mantap di dalam dirinya sementara imannya kepada tuhannya sudah hancur total?
Tentu ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap dirinya sehingga dia dapat memperlihatkan sikap-sikap positif semacam ini. Tetapi faktor yang sangat menentukan tidak lain adalah dukungan dan empati psikologis yang tulus, yang diterimanya dari para kekasihnya dan dari orang-orang di sekitarnya selama dia menjalani hari-hari terakhir kehidupannya, yang akhirnya harus diserahkannya kepada kekuasaan penyakitnya. Istrinya yang tabah senantiasa menemaninya, senantiasa menghibur, senantiasa menguatkannya, senantiasa menunjukkan suatu empati besar terhadap azabnya, kendatipun sang istri diketahuinya tidak memiliki kekuasaan apapun untuk menyembuhkannya. Tim dokter dan jururawat yang menangani penyakitnya dan merawat fisiknya juga memberikan perhatian dan empati yang sama besar, meskipun mereka dimakluminya sudah tidak akan bisa menyembuhkannya. Dan, lebih khusus lagi, si A selalu didampingi oleh seorang teman karibnya yang juga memberikan empati dan perhatian yang sangat besar. Sahabat karibnya ini tidak pernah mengkhotbahinya agar dia jangan memberontak dan durhaka kepada allah, tetapi lebih banyak berdiam diri dan melalui sikap diamnya ini dia memperlihatkan diri sebagai seorang yang ikut menderita bersamanya, sebagai seorang yang sedalam-dalamnya ikut menanggung sakit-penyakitnya kendatipun dia sama sekali tidak memiliki daya apapun untuk menyembuhkannya. Temannya ini, dan semua kekasih dan orang yang merawat dirinya, terus memperlihatkan kesetiaan dan empati mereka untuk terus berada bersamanya bahkan sampai ajal datang kepadanya. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa setia menemani, ikut berbelarasa sedalam-dalamnya, sampai kapanpun selama dia masih hidup.
Nah, jika si A di hari-hari terakhir kehidupannya bisa memperlihatkan sikap-sikap positif terhadap penderitaan yang sedang ditanggungnya dan juga terhadap dirinya sendiri karena dukungan dan empati psikologis yang demikian besar dan bertahan sampai akhir dari orang-orang di sekitarnya kendatipun orang-orang ini tidak memiliki daya apapun untuk menyembuhkan, maka kita perlu memegang suatu konsep tentang allah yang sejalan. Jika teodise mau memberikan suatu dampak positif terhadap kaum mukmin yang sedang ditimpa bencana berat, konsep tentang allah yang mahakuasa dan mahapenolong harus kita ganti dengan konsep tentang suatu allah yang tidak mahakuasa dan tidak mahapenolong, tetapi mahasetia dan mahaberempati terhadap kaum mukmin yang percaya kepadanya, yang sedang menanggung penderitaan berat. Konsep tentang allah yang semacam ini adalah suatu konsep tentang allah yang berwajah dan bertabiat sangat insani, sangat setia dan berbelarasa terhadap setiap mukmin yang menderita kendatipun sang allah ini, seperti manusia pada umumnya, lebih banyak tidak berdaya dalam melawan penderitaan dan kematian. Dalam kepercayaan Yahudi-Kristen, konsep tentang allah yang semacam ini diungkap dalam satu kata terkenal, yakni Immanuel, artinya “allah bersama kita”, dan dalam teologi inkarnasi: allah menjadi manusia dengan menyandang semua kodrat keinsanian, dan juga dalam teologi kenosis: allah mengosongkan dirinya total, menjadi seorang manusia sepenuhnya yang bahkan tidak berdaya sama sekali ketika harus menghadapi kenyataan kematian. Allah yang semacam ini tidak mahakuasa, tidak mahapenolong, tetapi tetap mahakasih, mahaadil, mahamenyertai dan mahaberbelarasa.
Jika seorang mukmin yang sedang menanggung azab dan kesengsaraan berpikiran demikian tentang allahnya, pikirannya ini akan berpengaruh pada sisi kerohaniannya. Dalam penderitaannya, si mukmin yang memegang teologi kesetiaan, belarasa sekaligus ketidakberdayaan allah semacam ini tetap bisa merasakan allah-nya begitu dekat dengan dirinya, bahkan menyatu dengan dirinya dan ikut bersamanya menanggung sakit penyakitnya sampai ajal mendatangi dirinya. Nah, manage-lah pikiran anda dan sahabat-sahabat anda sedemikian rupa sehingga anda dan mereka sanggup melepaskan suatu konsep tentang allah yang mahakuasa, dan sebaliknya merangkul suatu konsep tentang allah yang sangat insani: tidak mahakuasa, tetapi tahu apa artinya menampakkan persahabatan dan belarasa kepada kaum mukmin yang sedang menderita sampai ajal menjemput diri mereka.