Sebuah catatan kecil bagi Pdt. Ioanes Rakhmat memasuki masa emeritasi
Oleh Leonard Andrew Immanuel
Pendeta GKI dengan basis Jemaat Sidoarjo; Pemikir Kristen Liberal dengan minat pada kajian masyarakat sekular dan plural
Dalam blog pertamanya, yang dinamakan The Freethinker Blog, Pdt. Ioanes Rakhmat (IR) menjelaskan tentang dirinya dalam profil antara lain sbb:
I am a freely wandering soul, a homeless mind, a pure spirit, committed to articulating liberal, progressive and critical voices in the realm of religion and related fields within the cultural context of modern Indonesia.
Although I am an ordained servant of the Christian god, I incline to take the position of a rationalist and antidogmatic freethinker. After understanding and knowing me rightly, hopefully you will see the world and yourself in a different way.
It is my calling and my destiny to be together with you in reaching the enlightening Sun in front of us so that we shall not be overcome by inner darkness and intellectual blindness.
Beberapa hal dapat saya katakan di sini. Pdt. Ioanes Rakhmat (IR) adalah seorang humanis. Dia mencintai manusia dan membela dengan gigih martabat kemanusiaan. Misalnya, penolakannya atas soteriologi salib menegaskan keberpihakannya pada kemanusiaan yang bebas. Baginya, manusia bermartabat justru karena kebebasannya. Dan kebebasan manusia berpuncak pada aktivitas berpikir secara rasional sembari menjaga jarak dari keyakinan orang ramai yang tak teruji, atau tak boleh diuji. IR yakin, bahwa hanya kalau manusia bebas maka dia dapat bertanggungjawab atas keyakinannya sendiri.
Kita melihat di sini sebuah sikap modern dan sekuler. Sikap untuk selalu menolak otoritas manapun sebagai penentu keyakinan pribadi, sejauh bila otoritas itu menolak untuk diuji. Inilah sikap sekuler dan liberal, yang sebenarnya sudah lahir pada zaman Sokrates ketika dia mengajak kaum muda Athena untuk meneliti hidup mereka. Tetapi bahkan sejak zaman Sokrates pula, karya intelektual yang digarap dalam semangat kebebasan cenderung dilihat sebagai suatu ancaman bagi tatanan masyarakat dan agama mapan. Bila demikian, apakah sesungguhnya kebebasan berpikir memajukan atau justru mengancam peradaban? Dan adakah dasar moral yang paling kokoh untuk mendukung kebebasan berpikir kalau bukan demi martabat dan pemuliaan kemanusiaan itu sendiri?
Di sini kita tiba pada suatu konflik klasik yang mungkin belum tuntas antara iman dan ilmu pengetahuan. Saya yakin bahwa konflik ini sesungguhnya semu belaka. Iman menjadi teramat penting bagi peradaban ketika iman ini berubah menjadi suatu kekuatan sosial yang mengikat dan membentuk sebuah identitas sosial. Demikian juga dengan ilmu pengetahuan yang menjelma sebagai “api ilahi” yang telah direbut manusia dan yang menentukannya sebagai tuan atas hidupnya sendiri; manusia menjadi “dewasa” dan kini dia tidak perlu meminta perlindungan dari otoritas ilahi manapun. Serentak dengan ini, penghayatan terhadap Tuhan dalam iklim religiositas modern berubah. Langit Tuhan runtuh dan kini orang hanya bisa menemukan (atau lebih tepat: memperjuangkan) Tuhan dalam puing-puing tragedi kemanusiaan atau dalam hidup sehari-hari yang banal. Tuhan hanya bisa ditemukan di belakang punggung orang lain, dalam semangat solidaritas membangun kehidupan duniawi yang lebih adil! Apakah ini tanda keruntuhan agama? Ya, bila dengan istilah tersebut dimaksudkan struktur sosial yang mapan dan selalu menjamin makna hidup kaum percaya. Tetapi bila yang dimaksudkan dengan agama kira-kira sama dengan yang dipahami oleh Emmanuel Levinas sebagai relasi yang tak mudah antara kita dengan the very Other who dwells amongst us, maka agama menemukan energi vitalnya kembali, bukan hanya sebagai penanda atas yang Lain, tetapi juga penanda atas makna sejati subjektivitas manusia. Manusia hanya bisa menjadi subjek bila dia dengan bebas berdiri di hadapan orang lain dan menjawab panggilan terhadapnya. Kemungkinan akan hal tersebut hanya didapat dalam iklim sekuler dan liberal. Makin bebas seseorang maka makin besar tanggungjawabnya dan makin sejati pula subjektivitasnya, yaitu kondisi moral yang menjadikannya sebagai sang Subjek.
Maka hanya jika manusia adalah sang Subjek, dia dapat memberi jawaban kepada sesama dan Tuhan. Menjadi Subjek berarti menjadi (diri-)sendiri. Menjadi sendiri adalah hal-ihwal menjadi individu. Individualitas mengandung konsekuensi tertentu. Artinya, individualitas selalu bertautan dengan matra tanggungjawab. Ini sebuah tautologi, sebab hanya individu yang dapat mengambil tanggungjawab, dan mereka yang berani mengambil tanggungjawab memiliki kemungkinan terbesar untuk tumbuh sebagai individu.
Menjadi individu bukan hanya suatu panggilan tetapi juga suatu pilihan. Tetapi itu pilihan yang sulit karena membuat mereka yang memilihnya sekaligus harus menerima suatu sisi lain dari sebuah mata uang yang sama, yaitu penderitaan hidup sebagai individu. Hanya dalam pengertian inilah kita bisa menerima profil diri IR sebagai “a homeless mind”. Yaitu sikap mental yang bersedia untuk meninggalkan kenyamanan yang diberikan oleh kepastian doktrin gereja. Dia memilih untuk selalu menaruh keyakinannya dalam situasi “terjaga”, semacam keterarahan kepada sesuatu yang tidak dapat dijelaskan sampai tuntas. Sebuah pikiran yang tak bersarang, bukan karena dia tidak punya komitmen pada apa pun, tetapi karena dia menyadari bahaya fundamentalisme yang mengintai setiap pikiran yang berumah, yang telah capek bertualang dan memilih untuk tidur dalam sikap berpuas diri. Namun justru pikiran yang berumah ini melahirkan kemapanan dan ketenangan hidup karena hidup telah dikalkulasi dan kebenaran telah dikantongi dalam saku doktriner gereja. Sementara pikiran yang tak bersarang adalah sikap mental untuk melawan fundamentalisme justru pada akarnya, yaitu sifat puas diri, yang sebenarnya adalah sebuah pemberhalaan.
Tetapi kita juga tahu, berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari, bahwa Hidup itu lebih besar dari Kebenaran. Secara intuitif Plato berpendapat, dalam buku ke VI Republik, dengan meminjam mulut Sokrates yang menjelaskan kepada Glaukon, bahwa kendatipun kebenaran hanya bisa diperoleh dari pengetahuan (epistēmē), dan bukan dari opini (doksa), namun tokh kebenaran tetap bersumberkan pada Kebaikan (agathon epekeina tēs ousias). “Ousia” (being), dalam sejarah filsafat Barat yang panjang, telah dimaknai sebagai lokus dari Kebenaran, sehingga Levinas, Derrida dan Jean-Luc Marion kerap merumuskan-ulang pikiran ini sebagai “the Good exists beyond the Truth” atau “Otherwise than Being”. Itu berarti the Good berada dalam kawasan Sang Maha Lain. Dengan demikian Plato menjangkarkan upaya intelektual pada relasi terhadap yang Lain.
Konsekuensinya serius. Bila, secara ontologis dan epistemologis Kebaikan selalu melampaui Kebenaran, maka ada dua hal yang mau dikatakan disini: pertama, bahwa semenjak Kebaikan menjadi ibu yang melahirkan Komunitas, yaitu ikatan berbagai relasi terhadap yang lain, maka Kebenaran dipanggil untuk melayani bisnis ontologis dari Kebaikan, yaitu persekutuan. The brotherhood of Men bukanlah the fellowship of the Truth melainkan the fellowship of the Good. Memang ada banyak tuduhan menyatakan bahwa Kebenaran dapat menjadi sebuah bisnis privat dari pikiran yang tak berumah; tapi ikhtiar intelektual macam ini memang terbukti memajukan peradaban dan memperbesar cahaya penguasaan manusia atas alam, tubuh dan dunia batinnya. But, is there any homeless mind whose need not dwells at the same time on the societal level? Saya rasa tidak. Atau setidak-tidaknya, komitmen kepada Kemanusiaan adalah pernyataan tegas tentang takdir bagi setiap ikhtiar intelektual untuk selalu mengambil rute pulang pada suatu kepentingan bersama. Bahwa Kemanusiaan adalah rumah bagi Kebenaran. Bahwa intellectual exercises bukan hanya bertujuan untuk memperoleh kebenaran, tetapi juga menuju dan memperjuangkan relasi sosial dengan yang lain. Bahwa kinerja sains ditujukan untuk kepentingan moral, yaitu pembangunan Komunitas dan bukan demi akumulasi penguasaan teknis sains itu sendiri.
Kedua, bila Kebaikan bersifat melampaui (sich!) Kebenaran, maka dimensi eskatologis tidak dapat tidak mengemuka dan harus selalu dipertahankan, bahkan dalam semua intellectual exercises. Eskatologi Kebaikan adalah inti moralitas Kebenaran. Kebenaran hanya bisa benar sejauh kebenaran mengejar cakrawala Kebaikan yang melampauinya sekaligus mengondisikannya. Dan keberanian untuk menunda konklusi final serta kesediaan untuk merumuskan Kebenaran dalam the fellowship of the Good adalah moral virtue bagi setiap hamba Kebenaran. Dengan demikian, kaum intelektual dipanggil untuk bersabar dan mau berjalan mencari “the enlightening Sun” di dalam dan bersama-sama dengan Komunitas, termasuk juga bersama-sama persekutuan orang beriman.
Dalam The Jesus Blog, kita berjumpa dengan IR sebagai seorang pencinta Yesus dari Nazaret. Yang dia cari, pertama-tama, bukan Yesus yang sudah dikantunginya dalam “saku kristologis”, melainkan Yesus yang hidup, yang tak dapat ditangkap dengan mudah. Yesus yang selalu luput dari genggaman akal dan justru karena itu memanggil kita untuk mencarinya terus-menerus bersama sang pakar Yesus sejarah. Dalam The Jesus Blog, kita melihat sedemikian banyaknya “wajah Yesus”. Ada Yesus Asia, Yesus Afrika, Yesus Muslim, Yesus Bodhisattva, Yesus dengan kulit gelap mendekati Yesus Yahudi pada abad pertama Masehi, bahkan Yesus Perempuan, dll. Semua wajah Yesus ini merupakan medan petualangan yang menarik bagi mereka yang berminat untuk melakukan upaya kontekstualisasi kristologi (atau: yesusologi?).
Namun bagi saya, tantangan intelektual terbesar yang diberikan oleh IR dan harus dijawab oleh para pemikir Kristen adalah soteriologi salib. IR menolak soteriologi salib karena soteriologi ini merendahkan sampai ke titik nol kemampuan manusia pada dirinya sendiri untuk meraih dan mengerjakan keselamatannya sendiri. Dan yang dia maksudkan dengan term “keselamatan” adalah suatu perubahan watak, karakter dan moralitas manusia sementara dia masih hidup dalam dunia ini sekarang ini.
Saya bisa menerima penolakan IR atas bahaya soteriologi salib meremehkan kemampuan manusia untuk memilih suatu keputusan yang baik bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Bahaya tersebut mengintai dengan kuatnya, dan bisa melahirkan sebuah sikap manipulatif terhadap Yesus atau Allah. Bahwa Allah melalui Yesus telah menyelesaikan segalanya untuk saya, dan tidak ada apapun yang perlu saya lakukan untuk menyelamatkan hidup saya dan dunia saya ini. Tentu saja “kesalehan” semacam ini bukannya tidak bermasalah. IR konsekuen dengan sikap sekulernya yang mengemansipasi manusia di hadapan kuasa ilahi dan alam. Tetapi kita juga tahu bahwa humanisme positivistik sama lemahnya dengan antihumanisme. Sekali lagi, bandul neraca keselamatan perlu menemukan titik imbangnya. Antihumanisme Protestan, bila diolah dengan kreatif, malah mungkin dapat meningkatkan martabat kemanusiaan. Sebab antihumanisme ini dapat berfungsi sebagai kritik atas kemanusiaan yang antroposentrik dan cenderung membabat habis segenap kategori-kelainan. Chauvinisme dan “Hitlerisme” Nazi-Jerman yang bertumpu pada kekuatan manusia Aryan pada Perang Dunia II justru menjadi suatu impetus kritik dan revolusi teologis Barthian yang menekankan kembali dimensi otoritatif Allah dan Kristus di dalam Gereja-yang-Mengaku (Bekennende Kirche).
Akhirnya, saya melihat, bahwa problem soteriologi salib musti dijawab dengan lebih serius. Apakah Kekristenan masa kini masih dapat menerima logika kekerasan pada cara Allah yang menggunakan kematian Yesus yang mengerikan sebagai jalan keselamatan bagi manusia? Logika kekerasan salib ini masih berkubang pada kosmologi masyarakat agraris yang, di semua budaya dunia, selalu membutuhkan “tumbal” sebagai ganti sasaran pelampiasan hukuman atau sebagai “makanan-ilahi”, sesajen, dan, pada saat yang sama, mengalihkan perhatian yang ilahi pada hidup manusia, serta memungkinkan manusia untuk mempunya kesempatan menjalankan bisnisnya dengan aman dan lancar. Saya yakin, salib Yesus harus dimaknai ulang sebagai suatu konsekuensi radikal dari identitas Allah sebagai Pemberian-Diri dan Kemurahan-Hati. Bahwa Salib adalah suatu risiko yang diterima Allah pada diri-Nya sendiri karena Dia mencintai kita. Bahwa salib adalah ungkapan par excellence tentang kelemahan Allah; bahwa Dia bersolider dengan kita dan mencapai kawasan yang lebih manusiawi daripada diri kita manusia. Bahwa pada Salib kita merayakan kelemahan Allah dan Cinta-Nya sekaligus. Maka keselamatan tidak lagi bermakna mesianisme Yesus atas dunia, tetapi mesianisme setiap Subjek yang menghidupi model Pemberian-Diri dan Kemurahan-Hati itu kepada setiap makhluk yang dijumpainya dalam hidupnya yang fana. Proposal Yakobus tentang aksi amal pada sesama dapat ditampung dalam ruang “soteriologi-solidaritas” ini.
Terakhir, IR adalah pencinta keragaman budaya dan demokrasi. Dia percaya pada visi para pendiri bangsa, yang merumuskan Pancasila sebagai suatu purata kencana, suatu jalan tengah, untuk mengelola keragaman budaya bangsa Indonesia. Dalam The Countertheocracy Blog kita melihat meretas dan terbentuknya sebuah komunitas epistemis sekuler dan liberal/progresif. Mereka (kurang lebih 27 orang) yang menjadi para kontributor blog ini semuanya memiliki sebuah mimpi yang sama: sebuah Indonesia yang maju, yang memperlakukan semua orang setara di hadapan hukum, serta menghormati perbedaan. Saya rasa ini juga yang harus menjadi the cause of GKI. Bahwa bisnis terpenting Gereja Kristen Indonesia adalah keindonesiaan itu sendiri di bawah sebuah payung besar kemanusiaan. Masa depan Indonesia adalah masa depan GKI. Dan masa depan kemanusiaan adalah masa depan Kekristenan. Dalam hal yang terakhir ini, orang tidak perlu ragu-ragu untuk berjalan bersama dengan IR.
Semoga dengan emeritasi ini, Pdt. Ioanes Rakhmat makin mempunyai banyak waktu untuk mengabdikan dirinya pada cahaya kemanusiaan, melalui studi keilmuan yang diletakkan dalam bentangan horizon eskatologi Kebaikan. Pada awalnya, dan pada akhirnya, adalah pesta merayakan kemanusiaan.