Thursday, December 3, 2009

Pak Ioanes … Seorang Yang Biasa Menulis dengan Gamblang, Kontroversial dan Menantang…

Sebuah opini pribadi seorang rekan tentang Pak Ioanes Rakhmat

oleh Hortensius Florimond

Staf Departemen Penerjemahan Lembaga Akitab Indonesia


Pak Ioanes Rakhmat mengundang saya untuk sedikit memberikan sebuah kesan atau opini pribadi tentang pemikirannya. Perkenalan langsung pribadi dengan beliau boleh dikata hanya sebentar, waktu kami duduk bersama dalam satu tim berkaitan dengan suatu proyek penerbitan Alkitab Edisi Studi dari Lembaga Alkitab Indonesia. Selebihnya, beliau saya kenal lewat tulisan-tulisannya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tulisan-tulisan beliau umumnya menggelitik dan “berani”. Melihat namanya sebagai pengarang sebuah tulisan, isi dan nadanya sudah dapat diantisipasi: membongkar dan kontroversial! Saya tidak akan heran kalau ada golongan konservatif yang mencapnya “super-liberal”, atau kalau ada kalangan militan ortodoks yang melabelnya “heretik”, dll.


Karena tulisan-tulisan beliau merambah ke berbagai ranah: teologi agama, pluralisme, kekristenan perdana, Yesus historis, politik, dll, maka sebenarnya sulit sekali untuk menduga bidang apa yang menjadi spesialisasi beliau. Pengetahuannya sungguh luas, dialognya dengan berbagai penulis dan literatur amat intensif. Berapa banyak dosen teologi di Indonesia yang masih giat membaca dan meng-upgrade diri setelah selesai studinya? Satu-satunya yang jelas: nadanya gamblang, isinya menantang! Masalahnya lalu ada pada para pembacanya: mau ditantang atau mau tetap terlena dalam bingkai dan paradigma pemahaman lama?


Secara umum, tulisan-tulisan beliau berciri “membongkar”. Dan yang dibongkar bukanlah hal-hal sepele, tetapi fundasi, apa yang selama ini dianggap dasar keyakinan dan pemahaman. Pada titik inilah beliau akan dilawan oleh kaum fundamentalis yang per definitionem adalah kaum ber-dasar. Bagi orang yang kehidupan dan keyakinannya dibangun di atas dasar-dasar yang dianggapnya kokoh, sakral, tak mengenal perubahan dan abadi, tulisan-tulisan beliau pastilah “mengganggu”. Tentu saja ada harapan pada saya dan juga pada dirinya bahwa tahap “membongkar” ini hanyalah sebuah tahap awal. Selanjutnya ditunggu sebuah tahap “membangun kembali”, tahap di mana Pak Ioanes mulai merumuskan pendapat dan keyakinannya secara baru, inovatif, positif, pro-aktif dan non-reaktif.

Mengapa fundamentalisme merebak? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab. Para sosiolog berbicara tentang fundamentalisme sebagai sebuah produk sekaligus sebuah reaksi terhadap modernisme. Modernisme menghasilkan manusia dan masyarakat tanpa-akar, dimana polis atau kota kehilangan fundasinya. Fundamentalisme bereaksi dan melawan masyarakat nirfundasi seperti ini. Bagi kalangan fundamentalis, dunia akademis mereka, seperti teologi mereka, sebagai sebuah polis mini, juga harus mapan, established, dengan fundasi-fundasi. Mereka, karenanya, tidak mau atau malas mempertanyakan rumusan dan bahasa, apalagi kalau rumusan-rumusan itu sudah disakralkan berabad-abad. Padahal teologi sendiri mengajarkan bahwa bahasa dan rumusan teologis selalu bersifat analogis dan metaforis. Rumusan-rumusan tersebut hanya bersifat “menunjuk” pada Realitas, bukan Realitas itu sendiri. Oleh karena itu, ranah bahasa atau ranah rumusan ini harus selalu terbuka untuk di-diskursus-kan, untuk di-dialog-kan, dipertanyakan kembali, dll. Sayangnya, kalangan keagamaan fundamentalis sering mencampurkan Realitas dan rumusan. Mempertanyakan rumusan sering disamakan oleh mereka dengan meragukan Realitas.

Fundamentalisme ternyata kuat mengakar bukan saja dalam penghayatan agama, tetapi juga dalam penalaran agama (yang kita sebut teologi).
Bagi saya, tulisan-tulisan Pak Ioanes Rakhmat adalah awasan atau peringatan yang bijak untuk orang tidak jatuh ke dalam fundamentalisme teologis. Tulisan-tulisan beliau mengajarkan saya bahwa diskursus teologis menyangkut topik apapun harus selalu terbuka. Semua fundasi dan praandaian teologis tidak pernah boleh menjadi kata akhir. Tentu saja prinsip yang sama dipandang Pak Ioanes berlaku juga untuk pendapat dan keyakinannya. Semangat dan mental “keterbukaan” ini kiranya perlu kita kembangkan di bumi nusantara, di mana kebhinnekaan sudah menjadi warisan kita. Beragama dan berteologi secara fundamentalistis adalah sebuah ironi besar di tengah bangsa dan masyarakat kita yang bhinneka.