Monday, March 23, 2009

Mitos "Sola Scriptura"


Mitos “Sola Scriptura”

(Tulisan ini, dalam versi yang sedikit lebih pendek, telah terbit sebelumnya di Koran Tempo, 22 Maret 2009, hlm. A21)

“Sola Scriptura” artinya “hanya Kitab Suci”. Ini adalah sebuah prinsip gerakan Reformasi yang ditetapkan pada abad XVI di Eropa sebagai reaksi terhadap praktik Gereja Roma Katolik waktu itu yang menempatkan tradisi gereja setingkat dengan, bahkan di atas, Alkitab dalam pencarian kebenaran dan pengetahuan. Dalam rangka menempatkan Alkitab di atas tradisi gereja dan dogma, dan menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya norma utama bagi semua norma lainnya, para pembaru gereja waktu itu menetapkan prinsip itu. Bagi mereka waktu itu, semua dogma tradisional gereja harus ditundukkan pada Alkitab, bukan sebaliknya.


Sekarang, di abad XXI, gereja Reformatoris tidak lagi hanya satu aliran, melainkan beratus-ratus. Semua aliran ini sama-sama mempertahankan prinsip “Sola Scriptura”, meskipun doktrin dan etika mereka berbeda-beda satu sama lain. Bagi gereja-gereja Reformatoris masa kini, prinsip “Sola Scriptura” tetap relevan dan harus dipegang kuat, dan harus menjadi pengarah dalam mencari kebenaran dan pengetahuan. Bagi mereka, di tengah sangat banyak sumber rujukan yang dapat dipakai manusia modern dalam menemukan kebenaran dan pengetahuan, prinsip “Sola Scriptura” yang teguh dipertahankan seolah sudah menyelesaikan semua persoalan epistemologis.


Bagi saya, prinsip “Sola Scriptura” adalah sebuah prinsip yang sangat problematis dan yang, dalam kenyataannya, tidak bisa dijalankan atau dipraktikkan. Gereja-gereja yang mempertahankan prinsip ini mati-matian, hanyalah hidup dalam ketidakjujuran, berpuas hidup dalam suatu slogan kosong yang tidak fungsional, terbuai dalam mimpi-mimpi yang tidak berpijak pada kenyataan kehidupan. Pendek kata, prinsip “Sola Scriptura” adalah sebuah mitos, karena enam alasan berikut.


Pertama, prinsip “Sola Scriptura” tidak bisa dijalankan karena problem hermeneutis. Katakanlah, kanon Alkitab yang dipakai sama. Tetapi ketika Alkitab yang sama ini mau dipahami, orang yang mau memahaminya, atau si penafsir Kitab Suci, bukanlah orang yang netral dengan benak yang kosong. Setiap penafsiran Kitab Suci selalu melibatkan kebudayaan dan pengalaman hidup si penafsir, yang terekam dalam benak si penafsir. Tidak ada penafsiran yang bisa mengangkat pesan atau makna murni teks Kitab Suci. Makna ditemukan setelah terjadi interaksi dan saling pengaruh antara si penulis teks zaman dulu dan si penafsir masa kini, antara konteks teks zaman dulu dan konteks si penafsir zaman sekarang, antara kebudayaan zaman dulu dan kebudayaan si penafsir masa kini. Pendek kata, selalu ada faktor plus yang ditambahkan ke dalam teks kuno ketika teks ini mau dipahami. Tidak akan berhasilnya si penafsir teks suci mendapatkan makna murni teks suci, dan adanya faktor plus yang berasal dari kebudayaan si penafsir, menyebabkan prinsip Sola Scriptura tidak fungsional. Selalu ada pengetahuan lain non-skriptural yang diikutsertakan ketika orang mau memahami Kitab Suci apapun.


Kedua, prinsip “Sola Scriptura” tidak bisa diterapkan karena ada kesenjangan sejarah dan kesenjangan budaya antara teks kuno Kitab Suci dan dunia masa kini si penafsir. “Kesenjangan sejarah” adalah kesenjangan waktu, dari ratusan tahun sampai ribuan tahun, yang memisahkan dunia teks Kitab Suci dari dunia si penafsir teks suci pada masa kini. Kesenjangan sejarah yang lebar ini menyebabkan cara berpikir, cara hidup dan pandangan dunia zaman kuno terlihat sangat asing dan tidak relevan dalam pandangan si penafsir dan masyarakatnya pada masa kini. Jadi, kesenjangan sejarah melahirkan kesenjangan budaya. Adanya dua kesenjangan ini menyebabkan mustahilnya memindahkan teks Kitab Suci begitu saja ke zaman sekarang.

Meskipun tidak semua hal bisa dijembatani, perlu dibuat “jembatan-jembatan” yang dapat menghubungkan dunia zaman dulu dan dunia zaman sekarang ketika orang mau memahami teks suci pada zaman sekarang. Penerjemahan dinamis teks kuno Kitab Suci ke dalam bahasa si penafsir dan masyarakatnya pada masa kini adalah salah satu jembatan yang harus dibangun supaya teks suci kuno bisa dipahami manusia modern. Setiap usaha menerjemahkan memerlukan keterlibatan kebudayaan masa kini si pemakai Kitab Suci. Jembatan lain dibangun dengan melibatkan ilmu-ilmu pengetahuan lain dari zaman modern, misalnya arkeologi, linguistik, antropologi lintas-budaya, sosiologi agama dan sosiologi pengetahuan, supaya orang zaman sekarang bisa mengerti cara hidup, cara berpikir, cara berbudaya, dan pandangan dunia manusia zaman kuno. Dengan demikian, selalu diperlukan faktor eksternal, yakni hal-hal yang tidak terdapat dalam Kitab Suci, ketika orang mau menerjemahkan dan memahami teks kuno Kitab Suci. Jelas jadinya, mempraktikkan prinsip Sola Scriptura dengan begitu saja memindahkan teks kuno dan menerapkannya secara harfiah ke zaman sekarang tidak akan bisa membantu manusia zaman sekarang untuk hidup tanggap pada panggilan zamannya. Jadi, prinsip Sola Scriptura tidak fungsional ketika diperhadapkan pada dua kesenjangan yang membentang antara dunia Kitab Suci dan dunia zaman sekarang.


Ketiga, prinsip “Sola Scriptura” dalam kenyataannya tidak diterapkan dengan konsisten untuk semua bagian Kitab Suci. Gereja yang memakai Alkitab ternyata mempraktikkan apa yang disebut “kanon di dalam kanon”. Maksudnya: gereja memilih-milih bagian-bagian mana saja dalam kanon Kitab Suci yang jelas masih bisa dipakai untuk zaman sekarang atau yang sejalan dengan posisi dogmatisnya; bagian-bagian lain yang jelas sudah tidak relevan dan sudah tidak bisa dipakai untuk zaman sekarang, atau yang tidak mendukung pendirian dogmatisnya, tidak dipakai. Dengan mempraktikkan “kanon di dalam kanon” ini gereja sebetulnya sudah menolak prinsip Sola Scriptura dan dengan diam-diam mengakui bahwa orang zaman sekarang tidak akan bisa hidup sama sekali jika seluruh Kitab Suci diikuti dan diterapkan dengan konsisten.


Keempat, memperlakukan Kitab Suci sebagai satu-satunya sumber kewibawaan (Sola Scriptura) bagi semua segi kehidupan manusia akan membuat gereja menolak banyak sains modern, khususnya sains modern yang berbicara mengenai hal-hal yang juga dibicarakan Kitab Suci, misalnya tentang penciptaan dunia dan asal-usul manusia dan semua spesies lain yang ada di bumi ini. Pseudosains kreasionisme dan teologi Intelligent Design (ID) disodorkan dan dibela mati-matian oleh kalangan sola-skripturalis untuk melawan dan menolak kosmologi, geologi, fisika, astronomi, astrofisika dan biologi modern khususnya teori evolusi Darwinian. Kalangan yang mempertahankan prinsip Sola Scriptura mengalami keterbelahan jiwa ketika mereka membiarkan, tanpa daya, ilmu-ilmu modern ini diajarkan di Indonesia, sementara mereka dalam iman dan keyakinan mempertahankan dan membela kreasionisme dan teologi ID yang di Indonesia tidak akan pernah diizinkan untuk diajarkan di sekolah-sekolah formal manapun. Siapakah orang di dalam zaman modern ini yang bisa hidup kalau mereka, atas nama prinsip Sola Scriptura, menolak ilmu-ilmu pengetahuan modern? Dengan kata lain, berhadapan dengan sains modern, prinsip Sola Scriptura lumpuh dan tidak fungsional.


Kelima, prinsip Sola Scriptura lumpuh total di dalam suatu dunia terbuka yang secara religius plural. Ada banyak Kitab Suci dalam dunia ini, yang, faktanya, telah dan sedang menginspirasi dan menuntun kehidupan banyak umat beragama yang berbeda-beda. Perspektif pluralisme mendorong umat beragama yang berbeda-beda untuk juga membaca Kitab-kitab Suci lain dengan kritis, bahkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang memerdekakan di dalam Kitab-kitab Suci lain itu. Dalam dunia yang secara keagamaan majemuk, banyak orang dari agama-agama lain diperkaya dengan luar biasa oleh kitab-kitab suci lain. Nah, dalam dunia yang plural dan terbuka semacam ini, mempertahankan prinsip Sola Scriptura hanyalah akan menghasilkan suatu umat beragama yang terisolasi dari umat-umat beragama lainnya.


Keenam, prinsip Sola Scriptura, ketika diterapkan dalam suatu kehidupan politik suatu masyarakat dan bangsa, mengharuskan gereja (atau umat beragama monoteistik manapun) menegakkan teokrasi (pemerintahan oleh Allah melalui wakil-Nya, sang Mesias, dalam dunia) dan nomokrasi (pemerintahan berdasarkan hukum-hukum ilahi), karena inilah dua bentuk pemerintahan yang diwariskan umat Yahudi kepada gereja melalui Kitab Suci mereka. Jika orang Kristen di Indonesia penjunjung prinsip Sola Scriptura konsekwen dengan pendiriannya ini, mereka harus menegakkan teokrasi dan nomokrasi di Indonesia. Jika demikian halnya, apakah gereja dengan prinsip Sola Scriptura-nya bisa hidup di Indonesia? Jawabannya sudah jelas: mereka tidak bisa hidup di Indonesia dengan prinsip mereka ini. Demokrasi, yang sedang diperjuangkan bangsa Indonesia, jelas tidak memiliki landasan skripturalnya dalam Alkitab gereja, dan harus dicari dasar-dasar pembenarannya di luar Kitab Suci gereja.