Thursday, July 2, 2009

God Without Religion (Sankara Saranam)

Tinjauan buku:
Sankara Saranam,
God Without Religion: Mempertanyakan Kebenaran yang Telah Diterima Selama Berabad-abad (penerjemah: Ioanes Rakhmat; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009)

Saranam mengkritik agama-agama terorganisir (
organized religions) sebagai pranata-pranata yang tidak membawa orang ke dalam perjumpaan dengan Allah yang ekspansif, yang meluas dan memenuhi dan meresapi segala sesuatu: mulai dari diri manusia perorangan, kemanusiaan, kehidupan semua makhluk, alam raya dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, sampai ke seantero jagat raya yang bernapas dan mendenyutkan kehidupan Allah. Sebaliknya, agama-agama terorganisir, menurut Saranam, dengan wartanya tentang suatu Allah yang terbatas dan memisah-misah dan memecah-belah umat manusia dan dunia, hanya menimbulkan perpecahan dan silang-sengketa di antara manusia. Agama yang semacam ini hanya mempersempit diri manusia, dan menjadikan manusia peduli hanya pada dirinya sendiri saja, sedangkan yang diperlukan dunia pada masa kini adalah penghayatan diri yang ekspansif dalam diri setiap orang.

Pandangan Saranam yang negatif terhadap agama-agama terorganisir disebabkan oleh berbagai faktor yang dipertahankan dan diyakini agama-agama, yang dinilainya tidak dapat mendatangkan kebaikan buat manusia dan dunia ini, yakni:

1) Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada wahyu yang diklaim telah ditulis dan dituangkan ke dalam Kitab-kitab Suci agama-agama. Wahyu yang otoritatif ini mematikan dan memblokir pemikiran kritis dan kreatif dan upaya-upaya pembaruan kemanusiaan dan keagamaan pada masa kini. Bagi Saranam, akal-budi atau nalar harus berada di atas wahyu dan Kitab Suci keagamaan, karena itu harus diutamakan dalam orang mencari kebenaran dan bimbingan untuk hidup.

2) Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada dogma-dogma dan ritus-ritus keagamaan. Menurut Saranam, dogma keagamaan telah disusun kebanyakan hanya untuk melayani kepentingan politis dan ekonomis para pemuka keagamaan, dan dogma-dogma keagamaan inilah yang telah menciptakan Tuhan, dan bukan sebaliknya. Dogma keagamaan, dengan demikian, lebih banyak menghambat, ketimbang membantu orang untuk berjumpa dan mengalami Allah yang ekspansif. Saranam mengajak orang untuk bisa mengalami kenyataan Allah bukan lewat dogma-dogma dan ritus-ritus keagamaan, melainkan lewat pengalaman langsung (lebih jauh tentang ini, lihat di bawah).

3) Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada mukjizat yang diberitakan Kitab Suci dan orang-orang suci zaman lampau dan pada masa kini. Menurut Saranam, kepercayaan pada mukjizat membuat orang beragama tidak dapat menemukan kehendak Allah yang sebetulnya sudah ditanam ke dalam hukum alam (
natural laws atau the laws of nature) dan karenanya tidak dapat diubah, dan paling langsung dapat diketahui. Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada mukjizat jelas juga mematikan pemikiran kritis, yang sebetulnya merupakan satu-satunya pembimbing yang dapat dipercaya dalam orang mencari kebenaran dan bimbingan untuk kehidupan.

4) Kepercayaan dan ketergantungan orang beragama pada otoritas para pemimpin keagamaan. Keadaan ini membuat orang yang memeluk agama terorganisir tidak pernah dapat mandiri dalam berpikir dan dalam mengambil keputusan untuk bertindak. Pada pihak lain, para pemimpin keagamaan ingin terus menciptakan situasi kebergantungan umat mereka pada diri mereka. Beragama dalam situasi struktural kebergantungan yang asimetis semacam ini tidak memungkinkan orang mengalami perjumpaan langsung dengan Alllah yang ekspansif. Paling banter mereka akan bertemu hanya dengan Allah yang sudah dikonsep para pemuka keagamaan, dan, dengan demikian, dengan Allah yang akan membela kepentingan para pemuka keagamaan ini.

5) Kepercayaan orang beragama pada pahala surga dan ancaman hukuman neraka. Kepercayaan semacam ini membuat kehidupan masa kini dalam dunia ini kurang atau tidak berharga di mata orang beragama, dan juga membuat orang beragama tidak pernah dewasa, melainkan tetap terus sebagai kanak-kanak yang perlu diimingi-imingi sesuatu atau diancamkan sesuatu untuk mendorong mereka bertindak. Di samping itu, kata Saranam, ajaran dan kepercayaan pada surga dan neraka ini mendorong setiap agama mengajukan dan mengunggulkan tokoh-tokoh suci sendiri-sendiri yang diklaim sebagai juruselamat dunia (atau posisi sejajar lainnya); dan dengan demikian menjadikan tokoh-tokoh suci ini sebagai para pemecah belah umat manusia, ketimbang sebagai para pemersatu umat manusia yang membawa pesan-pesan persaudaraan universal. Berhadapan dengan tokoh-tokoh suci zaman lampau yang memecah-belah umat manusia ini, setiap orang pada masa kini hendaklah, demikian tegas Saranam, menjadi para nabi yang menempatkan nalar di atas otoritas tokoh-tokoh suci zaman lampau ini. Dengan kata lain, setiap orang pada masa kini harus bisa, dengan kemampuan nalar dan intuitifnya, melebihi Ibrahim, Musa, Krisna, Gautama Buddha, Yesus Kristus, Muhammad, dll.

6) Agama-agama terorganisir sebagai sumber fundamentalisme religio-politis dan terorisme yang dilakukan atas nama Tuhan, yang telah terbukti terus-menerus menimbulkan penderitaan orang yang tak bersalah dan perpecahan antarumat manusia dan mengancam kelestarian bumi dan segenap ciptaan. Fundamentalisme religio-politis mempertahankan sebuah perspektif keagamaan tertentu sebagai “kebenaran suci” satu-satunya yang berlaku global dan untuk seluruh kemanusiaan, yang tidak boleh digugat oleh siapapun; sementara, kata Saranam, setiap kebenaran suci apapun harus dapat diperiksa dengan kritis dan diragukan kebenarannya dengan cara mempertanyakan keabsahannya.

7) Agama-agama terorganisir senantiasa menjaga umat mereka untuk tetap mempertahankan ortodoksi, dan mencegah dan melumatkan heterodoksi atau non-ortodoksi. Agama semacam ini tidak membuka diri pada pembaruan pemikiran keagamaan; bahkan setiap pemikiran kritis yang melawan dan mempertanyakan ortodoksi akan segera diberangus dan ditindas. Dalam situasi yang serba kaku dan monolitis semacam ini, orang yang mau mengalami Allah secara langsung sebagai Allah yang ekspansif harus berani menjadi bidah, dan, kata Saranam, harus berani merayakan apostasi, merayakan kemurtadan atau pengingkaran terhadap agama lama yang semula dianut.

Seperti sudah dikatakan di atas, Saranam ingin mengajak orang mengalami Allah secara langsung tanpa lewat dogma dan Kitab Suci (meskipun, baginya, gambar-gambar ttg Allah dalam Kitab Suci masih bisa berfungsi sebagai titik-tolak masuk ke dalam pengalaman akan Allah secara langsung!). Tetapi, pada poin ini saya dapat mengajukan sebuah kritik pada Saranam. Ketimbang Saranam membuang atau sama sekali tidak memiliki dogma keagamaan, dia sebetulnya juga memiliki dan membela perspektif-perspektif teologis, antropologis dan etis tertentu:

1) Allah yang diberitakan Saranam adalah Allah yang
panteistik: Allah yang berada di dalam dan meresapi serta merangkumi segala sesuatu yang ada di jagat raya ini (dalam diri manusia, dalam kemanusiaan, dalam diri semua makhluk hidup, dan dalam jagat raya ini). Allah ini dipandangnya sebagai zat Allah, dan setiap manusia memiliki zat diri yang sama dengan zat Allah; begitu juga, alam dan jagat raya adalah juga zat-zat Allah. Bahkan, seperti sudah dikatakan di atas, dalam pandangan Saranam, hukum-hukum alam (natural laws) adalah hukum-hukum yang diatur dan dikehendaki zat Allah, sebagai kehendak zat Allah yang paling jelas dan paling dikenal, sebagai satu-satunya Kitab Suci. Zat Allah ini bersifat ekspansif: meluas, memenuhi dan meresapi segala sesuatu.

2) Manusia, dalam pandangan Saranam, adalah pengejawantahan atau penubuhan zat Allah, sehingga zat diri=zat Allah. Sebagaimana zat Allah itu ekspansif, demikian juga zat diri manusia: zat diri manusia harus makin ekspansif, makin meluas, makin menyatu dan dimiliki oleh semua manusia lainnya, oleh kemanusiaan, sehingga melalui zat diri setiap orang seluruh umat manusia dipersatukan, bukan dipecah-belah, bahkan seluruh jagat raya lewat zat diri juga dipersatukan. Ini adalah sebuah visi rekonsiliatif unitif universal Saranam yang patut didukung!

3) Bukan lewat jalan agama-agama terorganisir, tetapi lewat spiritualitas zat diri manusia akan mengalami perluasan, ekspansi, bertemu dengan zat Allah, menyatu dengan zat Allah, menyatu dengan zat-zat diri lainnya, dengan zat diri kemanusiaan, dengan zat diri jagat raya. Pada sisi lain, spiritualitas, dalam pandangan Saranam, adalah juga moralitas yang bertanggungjawab, pemikiran yang terbuka dan kritis, pelayanan kepada orang lain, pemilikan identitas transpersonal, identitas yang terhubung dan menyatu dengan semua identitas personal lainnya.

Spiritualitas yang ditawarkan Saranam adalah spiritualitas sebagai pengalaman langsung akan zat Allah dalam diri manusia dan jagat raya. Pengalaman langsung ini akan didapat lewat ilmu intuisi yang dinamainya
pranayama (prana=energi; yama=pengendalian), yakni pengetahuan dan teknik-teknik yogis untuk mengendalikan energi (prana) yang ada dalam struktur fisiologis tubuh manusia sebagai suatu sistem energi fisiologis elektromagnetis. Pengendalian prana elektromagnetis ini akan berhasil dicapai jika orang melepaskan pengondisian atau kontrol indrawi dan mengarahkan pikiran, pernapasan, perasaan, emosi, energi saraf/prana, ke dalam batin, ke sumbu fisiologis serebrospinal (sumbu dari anus lewat tulang belakang naik dan masuk ke otak, ke bagian yang dinamakan Medulla Oblongata—di lokasi inilah intuisi terletak). Sederhananya, konsentrasi yang intens untuk mengarahkan secara konstan prana ke sumbu serebrospinal ini akan membawa si praktisi ke dalam suatu kondisi bertemu dan menyatu dengan zat Allah yang mengalir dalam dirinya sebagai prana elektromagnetis. Dus, Allah=energi/prana elektromagnetis, yang juga memenuhi jagat raya. Allah semacam ini adalah zat pranik. Tentu saja, untuk mengenal dan mengalami zat Allah pranik ini jalannya bukan lewat agama-agama terorganisir, melainkan lewat pranayama atau ilmu intuisi. Pantaslah, Saranam memberi judul God Without Religion untuk bukunya ini!

Apa kritik saya terhadap jalan yang diusulkan Saranam ini? Pertama, tentu saja, prana ini, dalam tubuh fisiologis manusia, dihasilkan dari nutrisi yang berasal dari makanan yang disantap manusia. Jadi, hemat saya, Saranam memperkenalkan Allah yang sama dengan atau diproduksi oleh nutrisi! Semakin sehat dan bergizi nutrisi kita, semakin kuat daya zat Allah dalam diri kita! Ternyata betul, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat! Kedua, semua proses intuitif elektromagnetis yogis untuk mengalami dan menyatu dengan zat Allah dalam intuisi batiniah ini bisa jadi juga adalah proses neurologis dan biokimiawi di sel-sel otak kita! Jika demikian, apa yang disarankan Saranam ini sejalan dengan apa yang dipertahankan ilmu neurotheology! Pengalaman spiritual akan zat Allah diproduksi di otak kita, oleh sel-sel neuron otak kota! Tanpa otak tidak ada pengalaman akan Allah! Dengan demikian, pengalaman keagamaan apapun harus bisa diselidiki secara ilmiah, karena semuanya natural, kodrati, bukan supernatural, adikodrati.

*) Disampaikan pada acara bedah buku
God Without Religion, Jaringan Progresif, 2 Juli 2009, di Graha Kemah Abraham, Kelapa Gading, Jakarta Utara