Friday, November 27, 2009

Pak Ioanes Adalah. . . Seorang Pengusung Panji Reformasi Terdepan!

Sebuah opini pribadi seorang teman seperjalanan tentang Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat

oleh Gunawan Suryomurcito

Anggota GKI, Ketua Umum Indonesian Intellectual Property Society


Pengenalan saya tentang Pendeta Ioanes Rakhmat boleh dibilang berawal di dunia maya, dunia cyber, melalui Internet. Waktu itu, sekitar tahun 1999, saya membaca di portal Apakabar yang diasuh oleh John McDougall, sebuah polemik antara Ioanes Rakhmat dengan beberapa orang, dan tulisan-tulisan yang menyerangnya dengan sangat sengit berkenaan dengan pendapatnya yang kontroversial tentang Yesus dan iman Kristen. Bermula dari kegelisahan saya sendiri mengenai berbagai dogma Kristiani yang seringkali membuat saya sakit kepala (dalam arti harfiah) akibat memikirkannya dengan menggunakan logika, munculnya figur Ioanes Rakhmat dan pergulatan pemikirannya serta posisinya sebagai orang yang “teraniaya” karena cintanya kepada Yesus sejarah membuat saya merasa mempunyai seorang teman walaupun belum pernah “copy darat.” Akhirnya pada tahun 2008, lagi-lagi melalui informasi di media Internet, saya mendapat suatu kesempatan untuk bertemu muka dengan Pak Ioanes di Teater Utan Kayu setelah suatu acara diskusi yang digelar oleh Jaringan Islam Liberal.


Setelah berkenalan dan saling mengenal lebih jauh dengan Pak Ioanes, ternyata ada beberapa persamaan pada pokoknya dalam perjalanan kehidupan kerohanian saya dengan kehidupan kerohanian beliau. Hal yang menonjol adalah bahwa saya pernah menjadi seorang penganut Buddhisme ketika saya sudah dewasa, sedangkan Pak Ioanes pada masa remajanya adalah seorang murid sekolah minggu di sebuah vihara Buddhis. Perkenalan saya dengan agama Kristen justru sangat dini namun agak traumatis. Pada waktu saya masih kecil, mungkin umur 5 tahun, nenek saya yang Konghucu sedang diinjili oleh pengabar Injil dari Gereja Bethel Injil Sepenuh di kota Kudus, Jawa Tengah. Nenek saya punya kebiasaan setelah makan malam duduk-duduk di bale-bale dan mendongeng, seringnya cerita horor tentang wewe gombel, genderuwo, glundung pecengis dan lain-lain cerita seram. Nah, suatu hari setelah ikut kebaktian di GBIS itu beliau menceritakan pengalamannya dan menyanyikan sebuah lagu rohani, begini bunyinya: “Injil yang terheran disampingku Hu.” Baris itu saja yang diulang-ulang oleh nenek dengan suaranya yang berat dan sumbang. Saya jadi ketakutan karena sebelumnya diceritakan tentang burung Kokok Beluk (Burung Hantu) yang jika berbunyi malam-malam di kuburan menandakan akan ada orang mati. Untuk saya ketika itu sesuatu yang bernama “Kuhu” itu sama dengan Burung Hantu yang menakutkan; akibatnya saya jadi ketakutan setiap kali nenek menyanyikan lagu favoritnya itu.


Lama sekali setelah itu, ketika saya sudah SMP dan ikut sekolah minggu Kristen di Gereja Kristen Muria Indonesia, Panjunan, Kudus, saya baru tahu bahwa “Hu” adalah sebuah sebutan untuk Tuhan. Ada satu hal lain yang di kemudian hari menjadi pokok pikiran kritis saya tentang dogma Kristiani, yaitu nenek saya selalu menyebut nama Yesus dengan sebutan penghormatan “tuan”, demikian juga untuk Allah; jadinya nenek sering menyebut Tuan Yesus dan Tuan Allah. Akhir-akhir ini saya jadi berpikir bahwa telah terjadi suatu pergeseran pemahaman teologis dalam gereja-gereja Kristen di Indonesia ketika sebutan Tuan Yesus (Lord Jesus) yang dulu itu (tahun 1950-an) diganti menjadi TUHAN Yesus (mungkin padanannya: God Jesus).


Perbedaan jalan kehidupan antara saya dengan Pak Ioanes adalah setelah ikut sekolah minggu Buddhis itu beliau “pindah agama” menjadi Kristen, bahkan masuk sekolah tinggi teologi Kristen sampai lulus jenjang S-3, sedangkan saya setelah ikut sekolah minggu Kristen justru berubah menjadi Buddhis. Guru spiritual saya yang terakhir adalah seorang pendeta Buddhis yang sangat berantipati terhadap agama Kristen akibat pernah mengalami luka batin gara-gara ayahnya meninggalkan kepercayaan nenek-moyangnya (Tri Dharma/Sam Kao) dan menjadi Kristen secara dramatis, yaitu dengan membongkar meja abu yang masih dipelihara oleh ibunya dan anaknya (guru saya itu) dan membuang abu sembahyangan dari hiolo (urn) ke dalam jamban. Bisa dibayangkan pengaruh negatif yang diturunkan kepada murid-muridnya untuk juga berantipati terhadap agama Kristen. Saya sudah menikah ketika itu; akibatnya terjadi konflik dengan isteri saya yang Kristen taat, sampai hampir berpisah. Saya mengalami suatu nervous breakdown akibat mengalami berbagai tekanan hidup, dan akhirnya menyadari bahwa justru isteri saya yang menyelamatkan saya dan bukan guru saya. Saya kemudian ikut katekisasi Kristen dan dibaptis di GKI Pondok Indah, walaupun dalam benak saya masih banyak pertanyaan terhadap dogma-dogma yang diajarkan dalam katekisasi itu. Jika Ioanes Rakhmat kemudian menjadi seorang pendeta dan seorang dosen, maka saya hanya menjadi anggota jemaat biasa di GKI Pondok Indah.


Kegelisahan saya tentang dogma-dogma Kristiani bermula sejak mengikuti kuliah agama Kristen yang diampu oleh Dr Liem Khiem Yang di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada awal dasawarsa 70-an. Ketika itu dibahas tentang fenomena menurunnya jumlah kaum muda di jemaat gereja-gereja di Jerman. Kaum muda di Jerman yang diajar untuk berpikir kritis, logis dan empiris sangat sulit untuk bisa menerima secara nalar dan mengimani “kebenaran” Alkitab, khususnya tentang hal-hal gaib seperti Yesus naik (terbang) ke surga secara fisik, dan lain-lain mukjizat yang diceritakan dalam Alkitab. Akibatnya mereka tidak mau lagi pergi ke gereja, karena gereja tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial mereka secara rasional. Hal ini pernah saya diskusikan dengan seorang saudara sepupu saya yang ketika itu baru saja menjadi Kristen dan masih “berkobar-kobar” semangat keimanannya. Beliau seorang insinyur lulusan sebuah universitas di negeri Belanda yang dalam hal-hal duniawi berpikir dan bertindak secara sangat rasional. Namun ketika berbicara tentang dogma-dogma Kristiani beliau bilang kepada saya bahwa iman Kristen itu di atas segala nalar manusia, jadi sebaiknya jangan pakai logika ketika membicarakan tentang Injil dan cerita-cerita Alkitab yang gaib dan ajaib. Saya waktu itu tidak membantah, tetapi dalam benak saya berkecamuk kegalauan tentang pertentangan antara nalar dan iman.


Kegalauan itu bertambah ketika saya membaca perdebatan antara kaum creationists dengan kaum evolutionists dan empiricists tentang penciptaan bumi dan alam semesta. Saya beranggapan bahwa kaum creationists, yang bersikukuh bahwa Alkitab tidak memiliki kesalahan apapun dalam argumen-argumen mereka untuk mempertahankan pendapat mereka, sudah menjadi tidak objektif dan secara a-priori menolak semua fakta ilmiah yang telah terbukti secara empiris. Misalnya tentang usia planet Bumi dan evolusi spesies di dalamnya yang diperkirakan sudah berlangsung 3 milyar tahun, dan alam semesta yang sudah berumur 14 milyar tahun, sedangkan menurut kaum creationists usia bumi hanya 4000 tahun. Argumen yang digunakan untuk menyerang pendapat kaum evolutionists dan empiricists utamanya adalah bahwa mereka, kaum yang rasionalis ini, selalu menyesuaikan pendapat mereka dengan berbagai fakta empiris baru yang kebenarannya terbukti secara ilmiah. Jadi kata mereka, kaum evolutionists dan empiricists itu tidak punya pegangan yang tetap, sedangkan Alkitab yang mereka percayai total, bagi mereka, adalah satu-satunya pegangan yang tetap dan tidak akan berubah sampai kapanpun.


Dalam hubungan dengan perdebatan di atas itu, saya lebih setuju dengan pandangan dan sikap intelektual Pak Ioanes yang progresif, terbuka untuk menerima fakta-fakta baru, berani mengakui kesalahan dan mengubah pendapatnya kalau memang terbukti salah secara empiris. Saya sulit menerima pandangan dan sikap “intelektual” kaum fundamentalis Kristen yang bersikeras mempertahankan dogma-dogma yang dihasilkan oleh pemikiran orang-orang yang hidup ribuan tahun yang lalu berdasarkan suatu pandangan hidup dan suatu pandangan dunia mereka pada saat itu di tempat-tempat lain. Sedangkan zaman sudah berubah, pandangan hidup dan pandangan dunia manusia masa kini sudah berubah pula; masakan saya harus terpaku dan mandah menerima begitu saja pemikiran-pemikiran orang-orang zaman dulu? Lagi pula menurut saya agama adalah suatu produk budaya yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat tertentu pada zaman tertentu, bukan sesuatu yang jatuh dari langit dalam keadaan utuh begitu saja tanpa sentuhan dan olah akal manusia dan masyarakat pendukung kebudayaan tertentu itu.


Akhir-akhir ini setelah membaca tulisan-tulisan Pak Ioanes dan serangan-serangan terhadap tulisan-tulisan itu oleh kaum fundamentalis Kristen, saya mencermati adanya suatu perbedaan fundamental dari pendekatan keduanya. Tulisan-tulisan Pak Ioanes selalu didasarkan pada penalaran yang ajeg (konsisten) atas fakta-fakta tentang dan di sekitar cerita-cerita Alkitab dan dogma-dogma Kristiani. Bahan-bahan bacaan yang digunakannya sangat beragam dan beliau tidak pernah secara a-priori menolak gagasan orang lain hanya berdasarkan dogma-dogma Kristiani yang ada. Sebaliknya, serangan-serangan terhadap pemikiran-pemikiran beliau kebanyakan atau bahkan boleh dibilang semuanya sangat dogmatis dan seringkali menafikan nalar. Ujung-ujungnya, setelah tersudut karena argumen-argumen mereka sendiri yang tidak masuk akal walaupun kata mereka “masuk iman”, digunakanlah argumentum ad hominem, yaitu argumen yang menyerang pribadi Pak Ioanes sebagai seorang manusia, bukan ditujukan kepada argumen rasional beliau; bahkan juga ada sekian serangan yang ditujukan kepada postur fisik beliau yang dulu memang kurus, tidak seperti sekarang yang sudah “gemuk berisi.” Ada juga yang mengancamkan kutukan masuk ke neraka kepada beliau.


Ketika saya merefleksikan keadaan yang berkembang di sekitar Pak Ioanes dan membandingkannya dengan keadaan yang diberitakan dalam kitab-kitab Injil tentang perseteruan kaum Farisi dan kaum Saduki dengan Yesus, saya melihat ada suatu persamaan yang mendasar, yaitu pertentangan antara upaya mempertahankan kemapanan dan upaya mereformasinya. Lebih jauh lagi, ketika saya membandingkannya dengan periode awal tumbuhnya gereja Reformasi (abad XVI), saat ini menurut saya Pak Ioanes adalah seorang pengusung panji reformasi yang terdepan. Semboyan Calvin “Ecclesia Reformata Semper Reformanda” benar-benar sudah, sedang dan masih akan dijalankan oleh Pak Ioanes. Dalam pengamatan saya, segala perbedaan pendapat dan perdebatan yang terjadi selama ini antara Ioanes Rakhmat dengan pihak-pihak yang berseberangan adalah suatu proses yang wajar dalam dinamika perjumpaan antara kaum pembaharu dengan kaum pemelihara kemapanan.


Namun demikian, dalam proses itu saya berpendapat bahwa saya harus memilih berdiri di mana. Menjadi murid Yesus yang progresif atau menjadi pengikut Imam Besar Kayafas yang konservatif, yang telah menjatuhkan vonis mati kepada Yesus? Saya pernah memikirkan sebuah perumpamaan tentang diri saya sendiri yang berusaha berpikir kritis dan progresif dalam menjadi murid Yesus dan menyandang sebutan “orang Kristen”, lalu membuat perumpamaan ini menjadi sebuah semboyan bagi kehidupan saya, demikian: “Lebih baik menjadi seperti seekor kambing gunung yang berani menentukan sendiri sebuah batu pijakan untuk melangkah ke depan di tebing curam, daripada menjadi seperti seekor domba gembalaan yang digiring kesana kemari bersama kawanannya di padang rumput hijau tanpa punya pilihan pribadi!” Setelah itu saya memilih bergabung dengan “kambing-kambing gunung” lainnya untuk ikut menapaki batu-batu pijakan di tebing curam bersama Pak Ioanes yang telah lebih dahulu menapakinya dengan berani dan tak gentar ketika menghadapi hujan cercaan dan badai cemoohan.


Status emeritus bagi seorang pendeta dapat dilihat sebagai akhir dari karirnya sebagai seorang pejabat struktural gereja; akan tetapi bagi seorang Ioanes Rakhmat emeritasi adalah sebuah awal dari suatu karir baru dan terbukanya cakrawala baru. Selamat menapaki tebing-tebing batu yang baru dan lebih menantang, Pak Ioanes Rakhmat!