Saturday, February 13, 2010

Dua Bahaya dalam Menafsir Yesus dari Nazaret

Ada minimal dua bahaya yang harus disadari dan dihindari ketika orang mau menafsir Yesus dan menjalankan hermeneutik.

Pertama, bahaya mengfungsikan sebuah mesin tik manual produksi kota Nazaret abad I sebagai sebuah mesin komputer pribadi (PC) mutakhir abad XXI made in Microsoft. Maksud metafora ini: alam pemikiran kuno yang sudah sangat ketinggalan zaman, alam pemikiran pra-modern dan pra-ilmiah, dipindahkan begitu saja ke zaman modern abad XXI dan dipakai untuk kehidupan manusia dalam zaman modern ini. Ya, hasilnya adalah sesosok Yesus berpakaian Superman yang tampak bingung dan stres, dengan rambut awut-awutan; atau sesosok Yesus yang berubah wajah menjadi berwajah Bill Gates tetapi memakai jubah lusuh abad pertama dan kasut kuno buatan Kapernaum yang sudah rusak; atau sesosok Yesus yang terkesima dan bingung ketika berada di dalam suatu kereta listrik modern.

Kedua, bahaya membawa sebuah PC mutakhir abad XXI ke kota kecil Nazaret zaman Yesus dan di kota ini mesin komputer modern ini dipaksa dipakai kendatipun listrik belum ada. Maksud metafora ini: alam pemikiran modern dipaksakan diterima oleh Yesus yang sedang memancing ikan di Danau Genesaret di Galilea. Hasilnya adalah Yesus berpikir bahwa kotak CPU adalah tabut Allah yang ada dalam bait allah; atau, Bill Gates-nya menjadi sangat bingung ngapain dia berada di Nazaret, berjas necis, bersepatu Clarks, datang jauh-jauh dengan memakai mesin waktu ke negeri Yesus dengan membawa seperangkat PC modern.

Untuk menghindari kedua bahaya ini (yang juga disebut sebagai bahaya anakronisme pemikiran), ya tidak ada jalan lain selain si penafsir modern, pertama, menjelma menjadi seorang manusia Yahudi abad pertama yang diam di Nazaret dan sedekat mungkin hidup seperti Yesus dan murid-muridnya. Untuk bisa menjelma seperti ini, si penafsir harus memakai antropologi budaya, sosiologi, arkeologi Galilea, ilmu sejarah, dan kritik sastra, sebagai “mesin waktu” yang membawanya masuk ke dunia Yesus abad pertama.

Lalu, sebagai langkah kedua, ketika si penafsir sudah balik kembali ke abad XXI, zamannya sendiri, dia harus bersikap kritis dan kreatif terhadap segala hal yang dia telah temukan selama dia menjelma sebagai seorang Yahudi abad pertama. Dia harus memperhadapkan hasil temuannya tentang dunia Yahudi abad pertama dengan sains modern, nilai-nilai modern serta pengalaman kehidupan modern dan bertanya apakah temuannya itu relevan atau tidak relevan dengan kehidupan modern. Jika dia menemukan relevan, ya temuannya ini dapat dipakai; jika dia mendapati tidak relevan, ya temuannya harus disingkirkan, di tempatkan di museum.

Dua langkah inilah yang disebut sebagai hermeneutik.