Para sistimatikus Kristen kerap juga memakai teks Yesaya 6:3 (bdk. Wahyu 4:8) untuk mendukung doktrin tritunggal Kristen. Teks ini memuat pujian para serafim (makhluk surgawi yang bersayap tiga pasang [lihat gambar di atas]; bdk. kerubim dalam Yehezkiel 1 dan Wahyu 4:7) kepada TUHAN, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” Menurut tafsiran imajinatif mereka, seruan “kudus” sebanyak tiga kali ini ditujukan kepada Allah tritunggal. Dengan begitu, bagi mereka, ada tiga oknum di surga yang masing-masing patut mendapatkan satu kali pujian “kudus” dari para serafim. Apakah tafsiran triteistik ini benar?
Teks Yesaya 6:3 ini adalah bagian dari suatu visi atau penglihatan yang dialami Nabi Yesaya di Bait Allah Yerusalem pada “tahun matinya Raja Uzia” (6:1), yakni pada tahun 742 SM. Teks dari abad kedelapan SM ini oleh para sistimatikus Kristen itu dipakai untuk mendukung trinitarianisme Kristen yang baru dirumuskan sekian abad setelah masa kehidupan Yesus Kristus. Tentu saja ini adalah suatu penafsiran yang anakronistis.
Bagi Nabi Yesaya, TUHAN semesta alam (Yahweh tsebaot) adalah TUHAN yang tunggal, bukan TUHAN yang tritunggal, dan juga bukan tiga Tuhan. Ini nyata dengan jelas dalam penyebutan TUHAN sebagai TUHAN yang tunggal dalam teks Yesaya 6:1-13. Dalam perikop ini, selain penyebutan nama TUHAN dalam bentuk tunggal, juga dipakai kata ganti orang ketiga tunggal untuk-Nya. Lalu, mengapa seruan kudus itu sampai tiga kali diucapkan para serafim?
Harus diperhatikan, seruan kudus sebanyak tiga kali itu diucapkan para serafim “seorang kepada seorang” (6:3), dan sama sekali tidak ditujukan kepada tiga TUHAN. Hampir dalam semua kebudayaan, seruan sampai tiga kali atas sesuatu hal adalah sebuah ekspresi gaya bahasa yang mau memberi tekanan khusus terhadap kepentingan sesuatu yang diucapkan. Angka tiga juga mau menyatakan kelengkapan, yang selengkap-lengkapnya, dalam para serafim memuji TUHAN semesta alam sebagai TUHAN yang kudus. Kekudusan TUHAN tidak tertandingi. Tiga kali pujian kudus terhadap TUHAN mau menyatakan keadaan kudus yang tidak tertandingi ini.
Selain dalam Yesaya 6:3, pengulangan sampai tiga kali sebagai suatu ekspresi gaya bahasa semacam ini juga ditemukan antara lain dalam Yeremia 7:4 (“Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN”) dan Yeremia 22:29 (“Hai negeri, negeri, negeri!”). Begitu juga, seruan “kudus” sampai tiga kali dalam Wahyu 4:8 harus dipahami dari sudut pandang yang sama, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk memuji Allah tritunggal: Wahyu 4:2 dengan jelas menyatakan bahwa yang duduk di takhta surgawi adalah “Seorang” (RSV: “one”).
Kesimpulannya: memakai teks Yesaya 6:3 (atau teks Wahyu 4:8) untuk mendukung tritunggalisme Kristen adalah suatu anakronisme dan suatu penafsiran yang dipaksakan dan dikendalikan oleh suatu dogma Kristen. Cara penafsiran semacam ini jelas salah dan harus dihindari. Yesaya 6:3 sama sekali tidak berbicara tentang tritunggalisme Kristen.
Teks Yesaya 6:3 ini adalah bagian dari suatu visi atau penglihatan yang dialami Nabi Yesaya di Bait Allah Yerusalem pada “tahun matinya Raja Uzia” (6:1), yakni pada tahun 742 SM. Teks dari abad kedelapan SM ini oleh para sistimatikus Kristen itu dipakai untuk mendukung trinitarianisme Kristen yang baru dirumuskan sekian abad setelah masa kehidupan Yesus Kristus. Tentu saja ini adalah suatu penafsiran yang anakronistis.
Bagi Nabi Yesaya, TUHAN semesta alam (Yahweh tsebaot) adalah TUHAN yang tunggal, bukan TUHAN yang tritunggal, dan juga bukan tiga Tuhan. Ini nyata dengan jelas dalam penyebutan TUHAN sebagai TUHAN yang tunggal dalam teks Yesaya 6:1-13. Dalam perikop ini, selain penyebutan nama TUHAN dalam bentuk tunggal, juga dipakai kata ganti orang ketiga tunggal untuk-Nya. Lalu, mengapa seruan kudus itu sampai tiga kali diucapkan para serafim?
Harus diperhatikan, seruan kudus sebanyak tiga kali itu diucapkan para serafim “seorang kepada seorang” (6:3), dan sama sekali tidak ditujukan kepada tiga TUHAN. Hampir dalam semua kebudayaan, seruan sampai tiga kali atas sesuatu hal adalah sebuah ekspresi gaya bahasa yang mau memberi tekanan khusus terhadap kepentingan sesuatu yang diucapkan. Angka tiga juga mau menyatakan kelengkapan, yang selengkap-lengkapnya, dalam para serafim memuji TUHAN semesta alam sebagai TUHAN yang kudus. Kekudusan TUHAN tidak tertandingi. Tiga kali pujian kudus terhadap TUHAN mau menyatakan keadaan kudus yang tidak tertandingi ini.
Selain dalam Yesaya 6:3, pengulangan sampai tiga kali sebagai suatu ekspresi gaya bahasa semacam ini juga ditemukan antara lain dalam Yeremia 7:4 (“Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN”) dan Yeremia 22:29 (“Hai negeri, negeri, negeri!”). Begitu juga, seruan “kudus” sampai tiga kali dalam Wahyu 4:8 harus dipahami dari sudut pandang yang sama, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk memuji Allah tritunggal: Wahyu 4:2 dengan jelas menyatakan bahwa yang duduk di takhta surgawi adalah “Seorang” (RSV: “one”).
Kesimpulannya: memakai teks Yesaya 6:3 (atau teks Wahyu 4:8) untuk mendukung tritunggalisme Kristen adalah suatu anakronisme dan suatu penafsiran yang dipaksakan dan dikendalikan oleh suatu dogma Kristen. Cara penafsiran semacam ini jelas salah dan harus dihindari. Yesaya 6:3 sama sekali tidak berbicara tentang tritunggalisme Kristen.