Untuk menunjukkan bahwa mereka benar, umat Islam menunjuk pada Surat an-Nisa 4:156-157 dari Alquran. Teks Alquran ini mengkritik orang Yahudi, sebab mereka “berkata, ‘Kami telah membunuh Isa Al Masih, putera Maryam, rasul Allah,’ sedangkan mereka sebenarnya tidak membunuh atau menyalibkannya; tetapi dia diserupakan [atau: digantikan orang lain yang serupa dengannya] di hadapan mata mereka .... Dan sudah pasti mereka tidak membunuhnya.” Seorang lain yang telah disalibkan menggantikan Yesus itu, dalam pandangan para penafsir Islam, bisa seorang murid Yesus, atau Sergius yang sudah dikenal, atau seorang lain, yakni Yudas, yang parasnya telah diubah sehingga serupa dengan paras Yesus. Selain karena alasan skriptural, umat Islam tidak bisa menerima penyaliban Yesus juga karena mereka memandang seorang nabi atau hamba Allah yang benar tidak mungkin mati dibunuh dengan kejam. Tetapi alasan moral ini, to the point saja, tidak bisa diterima, karena faktanya banyak nabi atau hamba Allah dalam berbagai agama juga mati karena dibunuh. Yohanes Pembaptis, misalnya, seorang nabi Yahudi yang suci dan benar dan mungkin juga menjadi mentor Yesus, mati dengan kepalanya dipenggal oleh Raja Herodes Antipas (Markus 6:14-29).
Nah, dalam tulisan ini, tulisan kesembilan dari rangkaian tulisan tentang masalah-masalah dalam soteriologi salib, akan diperlihatkan tentunya bukan bahwa soteriologi salib benar atau valid (pembaca tahu, saya, berdasarkan sejumlah argumen lain, sudah tegas menolak validitas soteriologi ini!), melainkan bahwa umat Islam salah kalau mereka memandang Yesus tidak mati disalibkan, sebab ada sekian dokumen kuno independen, yang satu tidak bergantung pada yang lainnya, namun satu suara menyatakan bahwa Yesus mati disalibkan. Akan juga diperlihatkan, bahwa mendahului Alquran (yang ditulis pada abad ketujuh) sudah ada beberapa teks keagamaan Kristen gnostik dari abad-abad kedua dan ketiga yang memuat pandangan yang sejalan dengan pandangan Alquran. Semua teks ini tidak melaporkan sejarah, tetapi mengetengahkan pandangan teologis Kristen gnostik.
Kalaupun ada yang dapat diragukan kesejarahannya di sekitar kematian Yesus, yang patut diragukan ini bukanlah penyaliban Yesus, tetapi jalan sengsara (via dolorosa) Yesus, mulai dari gedung pengadilan sampai di bukit Golgota. Apakah mungkin Yesus, sambil tertatih-tatih kepayahan memikul salibnya sendirian, bisa digiring dan disiksa di sepanjang perjalanannya, sementara ada sangat banyak orang Yahudi dari seluruh wilayah Palestina maupun dari banyak negeri lain di luar tanah Israel berkumpul di Yerusalem pada masa perayaan Paskah tahunan? Kalau kita bisa mempercayai sejarawan Yahudi, Flavius Yosefus, bisa ada sampai 3 juta orang terhimpun di Yerusalem pada perayaan Paskah (Jewish War, 6.420-427; 2.280). Menurut sejumlah pakar, angka yang diajukan Yosefus ini terlalu fantastis; sebagai gantinya, mereka mengajukan angka yang lebih bisa dipercaya, yakni sekitar 300 ribu sampai 400 ribu orang. Dengan ratusan ribu orang Yahudi terhimpun di Yerusalem, dan dari antara mereka adalah orang-orang yang menjadi pengikut fanatis Yesus, baik yang berasal dari Galilea maupun dari Yudea, apakah tindakan pasukan Romawi menggiring dan menyiksa Yesus, yang sebelumnya sudah diklaim orang banyak sebagai sang Mesias Yahudi yang akan menegakkan kembali kerajaan Daud, tidak malah menyulut kerusuhan dan gerakan perlawanan bangsa Yahudi terhadap cengkeraman kolonial Roma? Harus kita ingat, perayaan Paskah Yahudi diadakan untuk memperingati kemerdekaan nenek moyang mereka dari penjajahan dan perbudakan di Mesir dulu. Perayaan ini jelas selalu membangkitkan nasionalisme dan patriotisme mereka, suatu perayaan yang berbahaya bagi keamanan, ketertiban dan stabilitas masyarakat yang harus dijaga dan dipertahankan Roma. Flavius Yosefus melaporkan sedikitnya sudah pernah terjadi dua kerusuhan massal yang besar pada masa perayaan Paskah Yahudi, yakni pada tahun 4 SM (Jewish War 2.10-13; Jewish Antiquities 17.204) dan pada masa Ventidius Cumanus memerintah wilayah Palestina (48-52 M) (Jewish War 2.224; Jewish Antiquities 20.106-112). Apakah Yesus digiring dan disiksa dengan pengawalan ekstra ketat oleh tentara Roma dalam jumlah yang sangat besar, demi mengimbangi kekuatan orang Yahudi yang sedang berhimpun di Yerusalem, yang sewaktu-waktu bisa merusak keamanan dan ketertiban kota Yerusalem? Ataukah Yesus dilarikan dengan cepat oleh pasukan berkuda Romawi ke bukit Kalvari? Ataukah kita harus beranggapan bahwa, karena kelihaian Pilatus dalam mengendalikan massa, orang banyak yang mengenal Yesus tiba-tiba saja berbalik pro-Roma dan melawan Yesus ketika dia sedang diadili, lalu dijatuhi hukuman mati, kemudian diseret dan didorong-dorong paksa sementara dia terus memikul kayu salibnya? Sekarang saya biarkan pertanyaan-pertanyaan ini tetap terbuka.
Berikut ini fokus kita alihkan ke soal apakah penyaliban Yesus tidak pernah ada dalam sejarah, seperti diyakini umat Islam.
Penyaliban Yesus, apakah suatu tragedi ilahi ataukah suatu komedi ilahi?
Don’t take it to be serious. It is only a children play!
Don’t take it to be serious. It is only a children play!
Dalam pandangan saya, penyaliban Yesus adalah suatu peristiwa sejarah yang tidak dapat disangkal, karena, sudah dikatakan di atas, ada beragam bukti literer (dokumen) kuno yang independen yang memberitakan peristiwa ini. Dalam hal ini, suatu “kriterion autentisitas” penting dalam mengevaluasi Yesus diterapkan: bahwa bahan-bahan bukti literer autentik (authentic literary evidence) tentang Yesus harus ditemukan di lebih dari satu sumber, dan sumber-sumber yang multiple ini harus independen, yang satu tidak bergantung pada yang lainnya; ini adalah kriterion yang diberi nama “criterion of multiple independent attestation” (yang juga dipakai dalam kasus-kasus pembuktian fakta-fakta di dalam suatu pengadilan negara atas perkara-perkara pidana dan perdata).
Bukti literer pertama (tertua) adalah dokumen-dokumen Kristen Perjanjian Baru yang seluruhnya dengan satu suara memberitakan penyaliban Yesus. Jika penyaliban Yesus hanya diberitakan oleh penulis-penulis Kristen, kita bisa menyatakan bahwa peristiwa penyaliban Yesus itu bisa saja ciptaan para penulis Kristen sendiri untuk menunjang suatu teologi Kristen tentang penebusan melalui salib Yesus. Tetapi, masalahnya adalah: Apa perlunya para penulis Kristen perdana merekayasa tulisan-tulisan yang menyaksikan penyaliban Yesus, sementara penyaliban Yesus itu sendiri merupakan suatu peristiwa yang memalukan kekristenan perdana, memalukan karena sang pemimpin mereka dihukum mati dengan cara yang (dalam pandangan Yahudi) sangat aib dan terkutuk, yakni dihukum dengan penyaliban sebagai seorang kriminal menurut hukum Romawi. Jadi, penyaliban Yesus sebagai suatu peristiwa sejarah memenuhi suatu kriterion autentisitas lainnya: “criterion of embarrassment”: jika suatu peristiwa dalam kehidupan Yesus memalukan atau menjatuhkan pamor kekristenan perdana, maka pengisahan atau pelaporan peristiwa ini pastilah bukan dibuat-buat, melainkan pelaporan suatu peristiwa sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi. Jadi, tidak ada alasan lain, selain alasan sejarah, kalau para penulis Kristen perdana sampai melaporkan penyaliban Yesus.
Selain itu, hukuman penyaliban adalah sesuatu yang sudah umum dan sering dilakukan oleh para penguasa asing terhadap para revolusioner Yahudi, dengan tatacara yang sudah dibakukan. Penangkapan Yesus juga sudah diatur dengan sangat profesional, sehingga mustahil terjadi salah tangkap. Jadi, masuk akal, jika Yesus dari Nazaret akhirnya dihukum mati melalui penyaliban mengingat dia memang telah menimbulkan gangguan baik terhadap otoritas Yahudi mau pun terhadap otoritas Roma. Dia dihukum mati karena suatu tuduhan bahwa dia mengklaim takhta Daud dan dengan demikian menjadikan dirinya raja Yahudi di suatu kawasan yang dijajah Roma. Tuduhan ini dituliskan pada titulus yang dipancang pada balok/kayu salibnya.
Bukti-bukti literer lainnya berasal dari dokumen-dokumen non-Kristen, yakni dokumen-dokumen Yahudi dan non-Yahudi, serta dokumen-dokumen Romawi. Karena para penulis dokumen-dokumen ini adalah orang-orang non-Kristen, maka tidak ada kepentingan atau alasan apa pun dalam diri mereka, selain alasan melaporkan suatu peristiwa sejarah, ketika mereka memberitakan Yesus telah mati disalibkan.
Dokumen Yahudi yang pertama adalah tulisan seorang sejarawan Yahudi yang bernama Flavius Yosefus (atau Yosef ben Matthias), yang hidup 37/38-setelah tahun 100. Di dalam suatu karya besarnya, Antiquitates Judaicae (Jewish Antiquities), pada bagian 18.63-64 (bagian ini, biasa disebut sebagai “Testimonium Flavianum” = kesaksian atau testimoni Flavius Yosefus tentang Yesus; lebih jauh tentang testimoni ini, klik di sini) kita baca kesaksian berikut (kata-kata yang ditempatkan dalam tanda kurung adalah tambahan belakangan dari seorang editor Kristen):
“Kira-kira pada waktu ini, hiduplah Yesus, seorang yang bijaksana, (jika memang orang harus menyebutnya seorang manusia). Sebab dia adalah seorang yang telah melakukan tindakan-tindakan luar biasa, dan seorang guru bagi orang-orang yang telah dengan senang menerima kebenaran darinya. Ia telah memenangkan banyak orang Yahudi dan banyak orang Yunani. (Ia adalah sang Messias). Setelah mendengar dia dituduh oleh orang orang-orang terkemuka dari antara kita, maka Pilatus menjatuhkan hukuman penyaliban atas dirinya. Tetapi orang-orang yang mula-mula telah mengasihinya itu tidak melepaskan kasih mereka kepadanya. (Pada hari ketiga dia menampakkan diri kepada mereka dan membuktikan dirinya hidup. Nabi-nabi Allah telah menubuatkan hal ini dan hal-hal ajaib lainnya tentang dirinya yang tidak terhitung banyaknya). Dan bangsa Kristen ini, disebut demikian dengan mengikuti namanya, sampai pada hari ini tidak lenyap.”Berbeda dari Flavius Yosefus yang memberi catatan simpatik tentang Yesus, sumber-sumber rabinik Yahudi (yang ditulis dalam periode Tannaitik, sampai dengan tahun 220) tentang Yesus berisi catatan-catatan penolakan sebagai reaksi Yahudi terhadap provokasi-provokasi yang dibuat orang-orang Kristen perdana terhadap Yudaisme. Sejumlah pakar menilai ada tradisi-tradisi tua dan dapat dipercaya sebagai sumber sejarah tentang Yesus dalam Talmud Babilonia, di antaranya bSanhedrin 43a, yang bunyinya demikian: “Pada Sabat perayaan Paskah, Yeshu orang Nazareth digantung. Sebab selama empat puluh hari sebelum eksekusi dijalankan, muncul seorang pemberita yang mengatakan: ‘Inilah Yesus orang Nazareth, yang akan dirajam dengan batu sebab dia telah mempraktikkan sihir dan mejik [bdk. Markus 3:22] dan memengaruhi orang Israel untuk murtad. Barangsiapa yang dapat mengatakan sesuatu untuk membelanya, hendaklah tampil dan membelanya.’ Tetapi karena tidak ada sesuatu pun yang tampil untuk membelanya, dia pun digantung pada sore Paskah [ini sejalan dengan kronologi dalam Injil Yohanes]....”
Seorang filsuf stoik kebangsaan Syria, yang berasal dari Samosata, bernama Mara bar Sarapion, menulis surat kepada anaknya, Sarapion, dari tempatnya di sebuah penjara Roma, mungkin segera setelah tahun 73. Di dalamnya dia menegaskan bahwa satu-satunya yang paling berharga untuk dimiliki dan diperjuangkan adalah kebijaksanaan, dan bahwa kendati pun orang bijak itu dapat dianiaya, kebijaksanaan itu tetap kekal. Sebagai model orang-orang bijak, dia mengutip Sokrates dan Phytagoras, dan juga Yesus meskipun nama Yesus tidak disebutnya: “Perbuatan baik apa yang dilakukan orang-orang Atena ketika mereka membunuh Sokrates, yang mengakibatkan mereka dihukum dengan bahaya kelaparan dan penyakit menular? Manfaat apa yang diperoleh orang-orang Samian ketika mereka membakar Phytagoras, karena kemudian negeri mereka seluruhnya dikubur pasir dalam sekejap saja? Atau apa keuntungannya ketika orang-orang Yahudi membunuh raja mereka yang arif, karena kerajaan mereka setelah itu direnggut dari mereka [mengacu ke Perang Yahudi I tahun 66-73/74]? Allah telah dengan adil membalas perbuatan-perbuatan jahat yang telah dilakukan kepada tiga orang bijaksana ini. Orang-orang Atena mati kelaparan; bangsa Samian dilanda banjir dari laut; orang-orang Yahudi dibunuh dan diusir dari kerajaan mereka, lalu tinggal di tempat-tempat lain dalam perserakan. Sokrates itu tidak mati; tetapi tetap hidup melalui Plato; begitu juga Phytagoras, karena patung Hera. Demikian juga raja yang bijak itu tidak mati, karena setelah dia tidak ada muncul hukum baru yang dia telah berikan.”
Seorang satiris yang bernama Lucian dari Samosata (sekitar tahun 115-200), dalam tulisannya The Passing of Peregrinus mengisahkan tentang orang-orang Kristen yang sangat terpikat pada Peregrinus sehingga mereka menyembahnya sebagai suatu allah; selanjutnya Lucian menulis: “... sesungguhnya, selain dia, juga orang yang disalibkan di Palestina karena memperkenalkan kultus baru ini ke dalam dunia, kini masih mereka sembah.” Lucian juga menggambarkan orang-orang Kristen sebagai orang-orang “yang menyembah sofis yang disalibkan itu sendiri dan hidup di bawah hukum-hukumnya.”
Cornelius Tacitus (55/56-sekitar 120) adalah seorang senator dan sejarawan Roma yang termasyur karena dua karya sejarahnya, Histories (sekitar 105-110) dan Annals (sekitar 116/117). Seperti dilaporkan Tacitus dalam Annals 15.38-44, untuk membelokkan kecurigaan dan dakwaan terhadap dirinya sendiri atas terbakarnya kota Roma selama sembilan hari dalam tahun 64, Kaisar Nero (54-68) menjadikan orang-orang Kristen di sana sebagai “kambing hitam.” Dalam konteks inilah Tacitus menyebut nama “Kristus” sebagai pendiri gerakan Kristen yang dihukum mati: “Karena itu, untuk menepis kabar angin itu, Nero menciptakan kambing hitam dan menganiaya orang-orang yang disebut ‘orang-orang Kristen’ [Chrestianos], yaitu sekelompok orang yang dibenci karena tindakan-tindakan kriminal mereka yang memuakkan. Kristus, dari mana nama itu berasal, telah dihukum mati (supplicio adfectus) dalam masa pemerintahan Tiberius [14-37] di tangan salah seorang prokurator kita, Pontius Pilatus [26-36], dan takhayul yang paling merusak itu karenanya untuk sementara dapat dikendalikan, tetapi kembali pecah bukan saja di Yudea, sumber pertama dari kejahatan ini, tetapi juga di Roma, di mana segala sesuatu yang buruk, menjengkelkan dan yang menimbukkan kebencian dari segala tempat di dunia ini bertemu dan menjadi populer.” (Annals 15.44).
Nah, beragam sumber independen yang telah dikutip di atas (sumber Kristen, dan sumber Yahudi maupun non-Yahudi) dengan bulat menyatakan bahwa Yesus dari Nazaret telah mati disalibkan oleh otoritas Roma, dengan juga melibatkan otoritas Yahudi. Tidak ada alasan lain yang masuk akal, selain alasan sejarah, kalau para penulis dokumen-dokumen di atas itu, secara independen, sampai melaporkan peristiwa penyaliban Yesus.
Tetapi ada satu pertanyaan penting yang masih harus dijawab: Dari mana datangnya tradisi yang melaporkan bahwa Yesus dari Nazaret tidak mati disalibkan, atau bahwa bukan Yesus, tetapi orang lain yang diserupakan dengannya, yang mati disalibkan? Dokumen tertua yang memuat tradisi semacam ini, sudah dikatakan di atas, bukan Alquran, melainkan beberapa dokumen kuno lain, yang jauh lebih tua dari Alquran.
Mendahului Alquran, gagasan tentang ada dua orang yang terlibat dalam penyaliban, dengan yang satu menggantikan atau menyubstitusi yang lain, dijumpai dalam dua dokumen Kristen gnostik dari abad kedua dan abad ketiga.
Sebuah dokumen Nag Hammadi yang berjudul Apokalipsis Petrus (NHC VII,3; dari abad ketiga), menyatakan bahwa Rasul Petrus melihat ada dua sosok yang terlibat dalam penyaliban: sosok yang satu sedang dipaku oleh para algojo pada tangan dan kakinya, sedangkan yang satunya lagi sedang berada di atas sebuah pohon, bergembira sambil menertawakan apa yang sedang berlangsung. Selanjutnya ditulis, “Sang Penyelamat berkata kepadaku, ‘Dia yang engkau lihat ada di atas sebuah pohon, bergembira dan tertawa, adalah Yesus yang hidup. Tetapi yang satunya lagi, yang kaki dan tangannya dipantek paku adalah bagian ragawi dari dirinya. Sosok yang ragawi ini, sosok yang lahir dengan memakai parasnya, sedang dipermalukan menggantikannya’” (81.7-25).
Dalam sebuah dokumen Nag Hammadi lainnya, yang berjudul Traktat Kedua Seth Agung (NHC VII,2; dari abad kedua), Yesus menyatakan bagaimana dia bisa ada di dalam dunia: “Aku mengunjungi suatu tempat kediaman ragawi. Aku menyingkirkan penghuni pertama yang ada di dalamnya, lalu aku masuk.... Dan Akulah yang sekarang berada di dalamnya, dan aku tidak sama dengan penghuni pertama yang ada di dalamnya. Sebab penghuni pertamanya adalah seorang manusia bumi, sedangkan Aku, Aku datang dari atas, dari surga” (51.20-52.3). Dengan demikian, bagi kalangan gnostik aliran Basilides yang menyusun traktat ini, ada dua Yesus, yakni Yesus yang ragawi, yang jasmaniah, dan Yesus surgawi atau Yesus rohani. Bahkan dalam dokumen ini dikatakan bahwa Yesus terus-menerus mengubah rupanya, berubah dari satu rupa ke rupa lainnya (56.20-24). Keadaan jati diri ganda Yesus yang semacam ini menimbulkan kebingungan pada diri orang yang berada di luar komunitas gnostik ini khususnya ketika mereka mau memahami kesengsaraan dan penyaliban Yesus.
Pada bagian 56.5-20 dari Traktat Kedua Seth Agung, Yesus berkata, “Mereka melihat aku; mereka menghukum aku. Namun orang lainlah, yakni bapak mereka, yang meminum anggur yang dicampur empedu; bukanlah aku... melainkan seorang lain, Simon, yang memikul salib di pundaknya. Orang lainlah yang mengenakan mahkota duri. Sedangkan aku berada di tempat yang maha tinggi, dan menertawakan semua hal berlebihan yang telah dilakukan para penguasa dan buah kekeliruan dan tipu daya mereka. Aku menertawakan kebodohan mereka.” Ketika seorang pemimpin gereja dari abad kedua yang bernama Irenaeus menulis (Adv. haer. 1.24.4) tentang seorang pemimpin Kristen gnostik yang bernama Basilides, dia menyatakan bahwa Basilides memandang bukan Yesus yang disengsarakan, “melainkan seorang yang bernama Simon dari Kirene dipaksa untuk memikul salib Yesus menggantikannya... dan karena ketidaktahuan dan kesalahan, yang disalibkan bukan Yesus tetapi Simon ini.” Jelas, Irenaeus di sini sedang mengacu secara tidak langsung pada dokumen Traktat Kedua Seth Agung. Jika tradisi tentang penyaliban Simon dari Kirene ini sudah beredar pada abad pertama, bisa jadi inilah alasannya mengapa penulis Injil Yohanes meniadakan Simon dari Kirene dalam tuturan injilnya dan Yesus digambarkan memikul salibnya sendiri (Yohanes 19:17), berbeda dari tuturan dalam injil-injil sinoptik bahwa Simonlah yang menggantikan Yesus memikul salibnya (Markus 15:21 dan par.).
Pertanyaan terakhir yang muncul adalah dari mana asal tradisi yang menyatakan bahwa Yesus memiliki “kembaran”, yang parasnya serupa dengan paras Yesus, sehingga terjadi kekeliruan dalam penyaliban Yesus: bukan Yesus yang disalibkan tetapi orang lain kembarannya itu.
Tradisi tentang “kembaran” Yesus ini muncul dari orang Kristen Syria, khususnya dari wilayah Edessa. Mereka keliru menyamakan Rasul Tomas, yang disebut tiga kali dalam Injil Yohanes sebagai “Kembaran” (Didimus) (Yohanes 11:16; 20:24; 21:2), dengan Yudas yang dalam Markus 6:3 dan Matius 13:55 disebut sebagai salah seorang dari empat saudara pria Yesus. Dari sinilah tercipta sosok Yudas Tomas, kembaran Yesus, sebuah potret yang populer di kalangan gnostik; lihat Kitab Tomas Si Petarung (NHC II,7; 138.2,4); Injil Tomas (NHC II,2; 32.11) dan Kisah Tomas 1. Potret ini jelas salah; sebab faktual historisnya Yesus tidak memiliki saudara kembar. Bunda Maria tidak pernah mengandung anak kembar; ketika dia melahirkan bayi Yesus, hanya satu bayi yang keluar dari rahimnya.
Gagasan kekristenan Tomas ini bahwa Yesus memiliki seorang kembaran adalah salah satu faktor penyebab munculnya kepercayaan bahwa seorang lain yang separas dengan Yesus telah disalibkan menggantikan dirinya. Dalam lingkungan Kristen gnostik, gagasan tentang kembaran Yesus ini melahirkan sebuah pemikiran teologis bahwa yang disalibkan itu adalah Yesus yang ragawi atau Yesus bumi, sedangkan Yesus yang sesungguhnya (Yesus yang sepenuhnya rohani, atau Yesus surgawi), junjungan kaum Kristen gnostik, tidak bisa disalibkan. Kepercayaan ini muncul karena bagi kalangan gnostik, Yesus yang sejati adalah Yesus yang rohani, Yesus surgawi, sehingga dia tidak bisa disalibkan. Tetapi, karena penyaliban sudah faktual terjadi, orang Kristen gnostik harus menyimpulkan bahwa yang telah disalibkan itu pastilah orang lain, orang yang parasnya serupa dengan paras Yesus, bukan Yesus junjungan mereka, Yesus surgawi.
Jadi, gagasan bahwa yang mati disalibkan bukan Yesus, tetapi kembarannya, adalah gagasan teologis yang dibuat untuk, pada satu pihak, menerima fakta penyaliban Yesus, sementara pada pihak lain untuk mempertahankan ketidakmungkinan Yesus gnostik, Yesus surgawi, mati disalibkan. Karena orang gnostik memandang rendah pada daging/raga (mentalitas sarkofobik), maka Yesus yang mereka sembah bukanlah Yesus ragawi, tetapi Yesus surgawi, Yesus rohani, yang tidak bisa disalibkan dan tidak bisa mati.
Kesimpulannya sudah jelas: pandangan Alquran bahwa bukan Yesus yang mati disalibkan, tetapi orang lain yang “serupa” (atau “diserupakan”) dengan dirinya, adalah kelanjutan dari tradisi Kristen gnostik abad kedua dan abad ketiga yang memegang pandangan yang sama, yang masuk ke dalam Alquran pada waktu Kitab Suci ini ditulis dan disusun oleh Nabi Muhammad (abad ketujuh). Pandangan Kristen gnostik ini bukan mau menyatakan bahwa secara historis Yesus dari Nazaret tidak mati disalibkan; tetapi justru karena Yesus benar-benar mati disalibkan, mereka perlu mencari seorang “korban pengganti” demi menyelamatkan dan mempertahankan keyakinan mereka bahwa Yesus yang mereka sembah adalah Yesus surgawi, Yesus rohani, yang tidak bisa mati disalibkan. Jika umat Islam mengubah sebuah pandangan teologis menjadi sebuah laporan sejarah, tentu saja pengubahan semacam ini adalah suatu kesalahan. Dengan demikian, harus ditegaskan kembali bahwa Yesus dari Nazaret sungguh-sungguh telah mati melalui penyaliban. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa soteriologi salib valid, sebab berdasarkan sejumlah argumen lainnya telah diperlihatkan bahwa soteriologi ini tidak valid.