Ada orang berupaya kuat mencari dan mendapatkan kesucian hidup (holy life) dengan jalan menyiksa diri, mengekang bahkan mematikan semua keinginan dan hasrat ragawi. Ini dilakukan dengan suatu pengharapan bahwa melalui penderaan serta pendisiplinan keras tubuh yang terus-menerus orang itu akan tiba pada pencerahan dan kesucian, ketika segala dorongan ragawi dikalahkan dan tidak lagi berkuasa atas dirinya.
Untuk tujuan yang sama, ada juga orang yang menarik diri dari dunia nyata dan segala pergumulannya, lalu mengasingkan diri ke hutan-hutan rimba, gunung-gunung tinggi, goa-goa yang gelap, gurun-gurun pasir yang gersang, untuk bersemedi dengan makan hanya sedikit atau malah tanpa makan apapun. Ini dilakukan dengan suatu pengharapan bahwa dia, di dalam kesunyian yang dalam dan kelam, akan menerima suatu bisikan ilahi yang akan menjadikannya seorang suci pembawa wahyu supernatural ke dalam dunia.
Kalangan keagamaan legalistik (atau nomistik) percaya bahwa kesucian hidup hanya dapat dicapai dengan menaati sekuat dan sebisa mungkin, tanpa kegagalan, semua tuntutan hukum keagamaan. Seolah hukum keagamaan, Taurat atau Syariat misalnya, akan menjadi semacam perisai baginya yang selalu melindunginya dari semua serangan gencar kenajisan, kecemaran, noda, dosa dan kekeliruan serta tipu daya kehidupan dunia.
Bagaimana dengan Yesus dari Nazaret? Yesus menghindari ketiga cara di atas. Bacalah teks Markus 7:1-8, 14-23 (bdk Lukas 6:45). Kata Yesus, “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Markus 7:20). Maksud Yesus, hati (hē kardia) atau, lebih tepat, pikiran (ho dialogismos) seseorang menentukan apakah orang itu najis (koinos), atau apakah orang itu suci (hagios). Jadi, bagi Yesus, kesucian hidup didapat dan dipertahankan melalui pengendalian pikiran dari dalam, from within, atau melalui apa yang saya dapat namakan “manajemen pikiran” (thought management), yaitu upaya menata, menggunakan, mengendalikan, mengasah dan mengembangkan serta mengonsentrasikan pikiran untuk menghasilkan kebaikan bagi dunia ini.
Pikiran seseorang secara kongkret dikeluarkan atau diekspresikan atau diungkap dengan terang sedikitnya melalui tiga medium. Pertama, melalui perkataan atau lidah; kedua, melalui pena atau tulisan, dan, ketiga, melalui tindakan. Dengan lidah, orang bisa mencaci, mendamprat, menyakiti dan mengutuk orang lain, tetapi bisa juga dengan lidah yang sama memuji, menghibur, menguatkan dan memberkati orang lain. Dengan pena, orang bisa membuat orang lain bertambah bodoh melalui penulisan buku-buku sampah yang memuat informasi sains yang dangkal, usang dan keliru, tetapi juga bisa mencerdaskan dan mencerahkan orang lain melalui penulisan buku-buku ilmu pengetahuan mutakhir yang valid. Dengan tindakan, orang bisa membangun dan membarui dunia, tetapi bisa juga menghancurkan dan melenyapkan planet Bumi ini.
Nah, jika orang mampu melakukan manajemen pikiran, melalui pengendalian lidah, pena dan tindakan, kehidupan orang itu akan dari waktu ke waktu bertambah suci, kendatipun dia bukan seorang nabi atau seorang imam atau seorang nazir atau seorang yogi atau seorang pertapa. Melalui manajemen pikiran, setiap orang, laki-laki dan perempuan, potensial menjadi seorang suci, a holy human being, yang tetap aktif dalam dunia ini dengan segala tantangan dan persoalannya, dan melalui kesuciannya membawa perubahan dan perbaikan ke dalam dunia ini untuk kebaikan segenap makhluk. (Bersambung)