Ioanes Rakhmat's blog founded on Feb 21, 2009
Even though it could destroy orthodoxy, let us think critically because being capable of thinking critically is the most precious gift for humankind given by nature to be used accountably for the goodness of all terrestrial and extraterrestrial beings now and forever
Die Wahrheit erleuchtet mich!
Kebenaran menerangi saya!
Wednesday, March 10, 2010
Manajemen Pikiran (8)
Dalam tulisan tentang manajemen pikiran ini, baiklah perhatian kita arahkan pada dua orang tua zaman dulu yang umumnya sudah kita kenal, yakni Eleazar dan Sokrates. Dari keduanya kita dapat menarik pelajaran bagaimana kita dapat bertahan dengan kesatria ketika kita menghadapi ancaman penderitaan dan kematian, melalui suatu manajemen pikiran.
Kita mulai dengan dua kitab yang ada dalam Deuterokanonika Gereja Katolik Roma, yakni kitab 2 dan 4 Makabe. Kitab 2 Makabe adalah sebuah dokumen martirologi Yahudi yang ditulis sekitar tahun 125 atau 124 SM, dengan mengambil Pemberontakan Makabe (167-142 SM) melawan raja lalim dari Siria, Antiokhus IV Epifanes, sebagai latar historisnya.
Dalam 2 Makabe 6:18-7:42, dan juga dalam 4 Makabe 5-18, dikisahkan tentang kegigihan seorang tua bijaksana dari kalangan imamat yang bernama Eleazar dan tujuh lelaki bersaudara bersama ibu mereka yang sudah tua dalam melawan sang raja yang sedang melancarkan helenisasi besar-besaran terhadap bangsa Yahudi dan agama serta kebudayaan mereka. Sang raja lalim ini ingin memaksa orang Yahudi meninggalkan kesetiaan mereka terhadap Taurat Yahudi, dan mengadopsi kebudayaan dan gaya hidup Yunani, antara lain ikut makan daging babi dan segala persembahan yang telah diberikan kepada berhala-berhala Yunani serta menyembah sujud pada patung Dewa Dyonisus atau Zeus. Jika mereka melawan kemauan sang raja, mereka akan disiksa dengan sangat kejam sampai mati.
Pada kesempatan ini baik kalau kita mengetahui apa sebabnya Eleazar (90 tahun) dapat dengan gigih sampai akhir hayatnya, di hari tuanya, melawan Antiokhus IV Epifanes. Filosofi apa yang dia pegang sehingga dia begitu tangguh? Bagaimana dia me-manage pikirannya sendiri?
Dalam 2 Makabe 6:18-7:42, Eleazar dengan sangat mengesankan memberi penjelasan tentang keputusannya untuk menerima kematian sebagai akibat perlawanannya yang gigih terhadap kemauan raja lalim itu (6:23-28). Keputusan Eleazar ini disebut sebagai suatu logismos asteios atau “nalar kesatria” (6:23); dan dalam 4 Makabe (1:1; 6:31; 7:4, 16, 21; 13:1; 16:1; 18:1) keputusan ini diistilahkan sebagai eusebēs logismos atau “nalar saleh”. Ditegaskan di situ bahwa nalar semacam ini harus mengatur dan mengendalikan baik emosi maupun penderitaan fisik dan keadaan sekarat, sebab, seperti ditulis dalam 4 Makabe 13:3, nalar semacam inilah yang dipuji di hadapan Allah. Jadi, kita paham bahwa untuk mencapai suatu kehidupan yang gigih di tengah penderitaan, nalar atau logismos harus memegang kendali terhadap emosi, rasa takut dan kecengengan manusia.
Bukan kebetulan juga kalau penulis 2 Makkabe menyejajarkan Eleazar dengan Sokrates (70 tahun) yang juga dengan kesatria menerima kematian dengan meminum racun sebagai hukuman baginya yang ditetapkan pengadilan negara yang digelar di Atena pada tahun 399 SM. Sejumlah pakar melihat ada kesejajaran yang disengaja dalam 2 Makabe 6:18-31 antara Sokrates dan Eleazar. Menurut Jonathan A Goldstein, “Tidak ada orang Yunani terpelajar yang akan luput memperhatikan keserupaan antara Eleazar dan Sokrates.”
Dua hero ini, Sokrates dan Eleazar, keduanya sudah gaek, dan mereka memandang sisa kehidupan mereka dapat dengan mudah diambil dari mereka (Apologi 38c; 2 Makabe 6:18, 23-25). Karena itu, rasa takut terhadap kematian tidak dapat membuat mereka menyangkali pendapat dan tindakan mereka (Apologi 28b-d). Sikap mereka ini sejalan dengan sikap mereka dalam kehidupan mereka sebelumnya, sehingga kalau mereka menolak melawan kelaliman akan tampaklah bahwa mereka mengkhianati diri mereka sendiri (Apologi 28d-30c, 34b-35b; 2 Makabe 6:22). Karena itu keduanya menolak alternatif “yang lebih mudah” ketika mereka berhadapan dengan ancaman hukuman mati (Apologi 36b-38b; Krito; 2 Makabe 6:21-28). Keduanya berpandangan bahwa adalah lebih baik jika mereka pergi ke dunia orang mati demi membela hukum (Krito 54b-d; 2 Makabe 6:23). Keduanya berpendapat bahwa meskipun orang dapat luput dari penghukuman oleh manusia, orang tidak dapat luput dari penghukuman ilahi atas perbuatan tidak adil dan jahat yang dilakukannya (Apologi 39a-b; 2 Makabe 6:26). Baik Sokrates maupun Eleazar percaya penuh pada hakim-hakim adikodrati yang akan mereka temui setelah kematian (Apologi 41a; 2 Makabe 6:26). Orang-orang lalim yang mengendalikan nasib mereka merasa diserang oleh pembelaan diri keduanya lalu menjatuhkan hukuman mati bagi keduanya (Apologi 38c; 2 Makabe 6:29), dan kematian mereka dimaksudkan oleh keduanya sebagai peringatan dan contoh agung bagi orang lain, baik pada masa kehidupan mereka maupun bagi generasi selanjutnya (Faedo 118; 2 Makabe 6:31).
Itulah sekelumit filosofi Eleazar dan Sokrates, yang lebih memilih hidup berprinsip daripada menyerah pada kelaliman karena rasa takut pada kematian. Nalar yang benar membuat orang tidak takut menghadapi penderitaan dan kematian. Dengan me-manage pikiran kita, kita dapat menempatkan nalar di atas emosi, rasa takut dan kecengengan manusia, sehingga nalar memegang kendali dan, dengan demikian, kita sanggup berperilaku kesatria ketika sedang menghadapi suatu situasi yang dapat membuat kita pengecut dan ketakutan. Nalar kesatria semacam ini hanya ada pada orang-orang besar pembuat sejarah, bukan pada para pelaku terorisme yang ingin mengakhiri sejarah dunia dengan jalan kekerasan.