Mengapa manusia, bahkan manusia yang sangat saleh, menderita dalam dunia ini kendatipun ada Allah yang dipercaya maha kasih, maha adil, dan maha kuasa? Jawaban yang keempat adalah: penderitaan itu dialami manusia sebagai suatu hukuman Allah atas dosa manusia. Karena manusia berdosa, maka Allah menghukum manusia dengan menimpakan kepadanya penderitaan dalam berbagai bentuk dan dalam berbagai tingkatan. Jadi di sini, penderitaan dipahami berasal dari suatu allah penghukum.
Kita semua tahu mitos tentang banjir besar atau air bah yang melanda seluruh bumi pada zaman Nabi Nuh. Bacalah sekali lagi Kejadian 7-9. Sebelum air bah ini didatangkan, Allah konon berkata kepada Nuh, demikian, “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi” (Kejadian 6:13). Bayangkan, semua makhluk telah melakukan tindakan dosa berupa kekerasan! Karena dosa berbuat kekerasan ini, semua makhluk mau dilenyapkan sang allah penghukum ini, bahkan sang Allah pemurka ini juga mau melenyapkan bumi! Penderitaan yang membinasakan ini ditimpakan oleh Allah kepada semua makhluk, bukan hanya kepada manusia, dan bahkan kepada bumi yang sebetulnya sebagai sebuah benda mati tidak bisa berbuat dosa. Di seluruh Alkitab, tidak ada kisah lain yang mendongengkan pembinasaan yang sekejam ini oleh Allah atau yang lebih kejam dari yang ditimpakan kepada generasi Nuh. Lupakan Nuh yang katanya sangat saleh; fokuskan pikiran pada segala makhluk dan bumi yang segera mau dibinasakan allah! Yang dibinasakan dan dihukum mati oleh allah jauh, jauh lebih banyak daripada yang diselamatkan!
Kita tidak boleh berkata, ya kan sudah pantas kalau Allah menghukum segenap manusia, bahkan segenap makhluk, karena semua makhluk ini, kecuali Nuh, sudah berbuat dosa! Mengapa kita tidak boleh berkata seperti itu? Mengapa kita tidak boleh mempertahankan teodise dengan memandang penderitaan manusia sebagai sesuatu yang timbul karena dosa manusia terhadap allah? Ada tiga alasannya.
Pertama, kalau Allah itu memang maha pengasih (seperti dipertahankan dalam teodise), maka Allah ini juga harus mengasihi manusia yang berdosa, bukan membinasakannya. Juga, kalau Allah maha adil, dia harus memberi peluang pada manusia berdosa untuk berubah menjadi baik, sebab keadilan Allah juga mengharuskan Allah menyelidiki segala penyebab yang membuat manusia berbuat dosa, dan menangani penyebab-penyebab ini sebagai akar yang menyebabkan manusia berbuat dosa.
Kedua, dengan berkata seperti itu, kita akan memandang semua orang yang terkena bencana dan penderitaan sebagai manusia berdosa atau manusia durhaka, padahal banyak penderitaan dan bencana dialami manusia di dunia ini bukan karena kesalahan manusia itu sendiri, melainkan karena sebab-sebab lain yang berada di luar kekuasaan mereka untuk mengelakkannya, misalnya karena kecelakaan atau bencana alam yang dahsyat yang menimpa baik orang yang saleh maupun orang yang tidak saleh, atau karena perbuatan jahat orang lain.
Ketiga, kalau kita berpandangan seperti itu, maka kita akan mempertahankan terus konsep tentang suatu allah yang kejam dan penghukum. Konsep tentang Allah yang kejam dan penghukum ini sudah tidak sesuai dengan filsafat pendidikan modern dan psikologi pembangunan mental manusia. Dalam pandangan modern, seorang yang bersalah atau berdosa, dalam peringkat relatif tinggi atau peringkat relatif rendah, bukan harus dibinasakan atau dibunuh melalui penghukuman mati, melainkan harus di-re-edukasi, di-re-formasi, lalu diresosialisasi. Kita dulu menyebut penjara, sekarang tidak lagi, melainkan menyebutnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus sebagai suatu tempat untuk reedukasi, reformasi dan resosialisasi manusia yang melanggar norma-norma umum hidup bermasyarakat yang beradab.
Jadi, mempertahankan teodise dengan mengasalkan penderitaan manusia pada diri suatu allah penghukum atas manusia yang berdosa, menimbulkan persoalan serius pada konsep manusia tentang allah. Dalam teodise yang semacam ini, allah menjadi allah penghukum, dan allah yang semacam ini jauh kalah baik jika dibandingkan manusia modern yang mau melakukan reedukasi, reformasi lalu resosialisasi terhadap warga masyarakat yang sudah menyimpang dari kaidah-kaidah bermasyarakat yang beradab.
Jelas, kita sulit menerima konsep tentang suatu allah penghukum dan pembinasa manusia yang berdosa. Allah yang semacam ini lebih banyak dikonsep oleh manusia primitif yang belum mengenal filsafat pendidikan humanistis dan psikologi modern pembangunan mental dan akhlak manusia.
Ioanes Rakhmat's blog founded on Feb 21, 2009
Even though it could destroy orthodoxy, let us think critically because being capable of thinking critically is the most precious gift for humankind given by nature to be used accountably for the goodness of all terrestrial and extraterrestrial beings now and forever
Die Wahrheit erleuchtet mich!
Kebenaran menerangi saya!
Saturday, April 17, 2010
Sunday, April 4, 2010
Problem Teodise (3):
Penderitaan sebagai "Kawah Candradimuka"
Problem ketiga teodise muncul ketika orang beragama menyatakan bahwa seorang mukmin mengalami penderitaan karena dia sedang mengalami ujian atau pencobaan allah lewat penderitaannya itu. Penderitaan berat ini bisa ditimpakan oleh allah sendiri langsung kepadanya atau bisa juga oleh suatu perantara lain yang dipakai allah untuk mengujinya.
Dalam sudut pandang ini, penderitaan berat dilihat sebagai suatu “Kawah Candradimuka” yang ke dalamnya seorang mukmin dilemparkan untuk menggodoknya menjadi seorang mukmin yang tangguh setelah dia lulus ujian dan penggodokan. Dalam kebudayaan berbagai suku bangsa ada banyak kisah sejenis kisah Kawah Candradimuka. Konon, menurut epik Mahabharata, Kawah Candradimuka adalah kawah tempat para dewa merebus Gatotkaca sampai dia jadi bak bertulang besi, berotot kawat, dan kebal terhadap segala senjata, bahkan bisa terbang pula seperti sebuah pesawat Jet. Dalam kisah-kisah tentang dunia persilatan dari negeri Tirai Bambu, sang suhu konon sengaja menggojlok calon muridnya dengan memberi tugas-tugas sangat berat yang semula kelihatannya tak ada hubungannya dengan ilmu silat yang sedang dicari si calon murid. Ternyata semua tugas berat yang sebetulnya sangat mendera si calon murid, mulai dari memikul dua tong air besar bolak-balik sekian puluh kali setiap hari dari sebuah sumur ke suatu tempat lain yang jauh, sampai makan hanya boleh satu kali sehari berupa segenggam nasi, adalah semacam Kawah Candradimuka tempat penggodokan mental dan jasmani si calon murid sebelum dia belajar ilmu silat yang sebenarnya.
Tentu kita sepakat bahwa di dalam Perjanjian Lama terdapat sebuah kitab yang seluruhnya sebenarnya adalah sebuah narasi fiktif tentang teodise, yang menggambarkan penderitaan sebagai suatu ujian terhadap kesalehan seseorang. Yakni Kitab Ayub. Konon Ayub adalah seorang yang “saleh, jujur, takut akan tuhan dan menjauhi kejahatan” (1:1,8; 2:3), dan tidak ada seorang lain pun di bumi yang seperti dia (1:8b; 2:3). Tuhan allah sangat memuji diri Ayub di hadapan Iblis. Tetapi Iblis berpendapat lain; menurutnya Ayub dapat sangat saleh karena dia mendapat banyak sekali berkat material dari allah dan karena allah juga selalu membentenginya. Iblis menantang allah untuk mengambil kembali semua berkat material ini dari Ayub, bahkan juga mengambil nyawa semua anaknya, yakni tujuh putera dan tiga puteri. Jikalau allah melakukan hal ini, maka, kata Iblis, Ayub akan pasti mengutuki allah (1:11).
Lalu allah mengizinkan Iblis untuk melenyapkan semua kepunyaan Ayub, kecualinya nyawanya sendiri. Ternyata allah benar, penderitaan berat kehilangan semua miliknya tidak membuat Ayub mengutuki allah. Ditulis bahwa “dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh allah berbuat yang kurang patut” terhadap dirinya (1:22). Jadi, Ayub lulus ujian berat, dan imannya semakin teruji dan tergodok. Dalam kedukaan dan perkabungannya, Ayub sanggup berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dan dengan telanjang pula aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan juga yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (1:21).
Iblis ternyata tidak berhenti di situ saja. Kali lain, ketika Iblis berada di hadapan allah dan allah kembali memuji-muji Ayub (2:3), Iblis menyatakan bahwa jika allah mengulurkan tangan dan menjamah tulang dan daging Ayub, maka Ayub akan pasti mengutuki allah (2:5). Kali ini kembali allah menyerahkan diri Ayub ke dalam kekuasaaan Iblis, kecuali nyawa Ayub. Maka Iblis pun menimpakan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batok kepalanya (2:7). Melihat keadaan yang menimpa Ayub ini, yang terus-menerus menggaruk-garuk badannya dengan sekeping beling sambil duduk di tengah-tengah abu, isteri Ayub berkata, “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah allahmu dan matilah!” (2:9). Dengan luar biasa Ayub menjawab isterinya, katanya, “Engkau berbicara seperti seorang perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10).
Tetapi setelah itu, ketika ketiga sahabatnya mendatangi Ayub dan membuka percakapan panjang dengannya, Ayub anehnya berubah total. Sahabat-sahabat Ayub mempertahankan bahwa allah selalu benar dan selalu adil dalam setiap tindakannya terhadap orang-orang yang saleh, karena allah selalu bermaksud mendidik mereka (5:17), dan bahwa tidak seorang pun dapat “menyelami batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa” (11:7; 37:23). Dalam pandangan mereka, allah akan membinasakan orang-orang fasik, dan bukan orang saleh, dan penderitaan yang menimpa Ayub terjadi karena dosa Ayub yang besar (22:1-10). Tetapi bagi Ayub, ketiga temannya ini adalah “tabib-tabib palsu” (13:4), para “penghibur sialan” (16:2) yang berkata-kata dengan “tipu daya” (21:34), yang sedang “menghina dan menyiksa dirinya” (19:3).
Di hadapan mereka, Ayub mulai mengutuki hari kelahirannya (3:1-12). Ayub meminta agar allah segera melepaskan tangannya dan menghabisi nyawanya (6:9). Ayub bertanya apa dosa yang telah diperbuatnya kepada allah sehingga allah menjadikan dirinya sasarannya (7:20). Kata Ayub, orang “yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan Allah” (9:22). Tetapi Ayub membantah allah, katanya, “Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beperkara dengan aku” (10:2, 7), dan menegaskan dengan yakin bahwa dirinya benar, tidak bersalah dan tidak berdosa (13:18, 23; 31:1-40). Ayub menyatakan allah bermaksud membunuh dirinya, tetapi dia menyatakan bahwa dia mau membela perilakunya di hadapan allah (13:15). Dalam penderitaannya Ayub melihat bahwa Allah sedang “menerkam dan memusuhinya” (16:9; 19:11) dan “merobek-robek dan menyerang dirinya” (16:14). Di hadapan para pembela allah itu, Ayub menegaskan bahwa “allah telah berlaku tidak adil dan telah menebarkan jala” terhadap dirinya (19:6; 27:2) dan telah meninggalkannya (29:5) serta telah menghancurkan dan membawanya kepada maut (30:22-23), sementara orang-orang fasik dibiarkan allah hidup dalam kemakmuran, kesenangan dan keamanan dan berumur panjang (21:1-15). Karena itu, Ayub menyatakan pemberontakannya terhadap Allah yang semacam ini (23:2).
Nah, sekarang kita perlu bertanya, apakah penderitaan berat yang dizinkan allah ditimpakan kepada Ayub oleh Iblis telah berfungsi sebagai Kawah Candradimuka, yang menggodok dan semakin mematangkan kesalehan Ayub kepada Allah? Apakah setiap penderitaan berat sebagai suatu ujian dan cobaan dari allah akan pasti dapat ditanggung seorang mukmin dalam batas-batas kekuatannya, seperti dikatakan oleh Rasul Paulus di dalam Perjanjian Baru bahwa “pencobaan-pencobaan yang kamu alami adalah pencobaan-pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab allah setia dan karena itu dia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu” (1 Korintus 10:13 )? Ternyata tidak!
Dalam penderitaannya, Ayub memberontak kepada allah! Iman dan kesalehannya hancur lebur ketika didapatinya allah begitu kejam terhadap dirinya. Bukankah Ayub memang berhak “berontak” dan “mengutuki” allah karena allah telah sampai hati menyebabkan sepuluh anak kandungnya tewas dengan mengerikan? (1:18-19). Allah yang mengizinkan Iblis menghancurkan seluruh kehidupan Ayub dirasakan oleh Ayub sendiri sebagai suatu allah yang telah menyerang dan menghancurkan dirinya. Baginya, allah yang semacam ini bukan lagi allah yang maha pengasih dan maha penyayang dan maha pelindung. Allah yang semacam ini adalah allah yang tidak bermoral, yang tidak tahu membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk; dan karena sifatnya yang tidak bermoral ini, allah yang semacam ini tidak bisa merasakan betapa buruk dan kejinya penderitaan berat yang dialami Ayub atas izin dan kehendaknya!
Kesimpulannya: memandang suatu penderitaan berat sebagai sebuah ujian iman dan kesalehan yang dikenakan allah terhadap seorang mukmin memerlukan suatu konsep tentang allah yang tidak bermoral dan suka bertindak sewenang-wenang. Betapa tidak! Ayub telah menjadi seorang korban dari allah yang suka bermain-main dengan Iblis sebagai simbolisasi kejahatan dan kondisi kehidupan tanpa moralitas! Tentu seorang mukmin bisa menjadi lebih dewasa lewat kesulitan-kesulitan yang dialami dalam kehidupannya. Kita tentu setuju dengan hal ini. Tetapi apa yang dialami Ayub bukanlah sekedar suatu kesulitan yang bisa makin mendewasakan dirinya, tetapi sebuah bencana, deraan dan kehancuran total kehidupan yang didatangkan allah yang semula disembahnya!
Anda yang mengenal Kitab Ayub mungkin akan berkeberatan terhadap kesimpulan di atas, dengan menyatakan bahwa pada akhirnya allah tokh memulihkan kesehatan Ayub dan mengembalikan dua kali lipat semua kekayaan yang pernah dimilikinya, termasuk memberikannya kembali sepuluh anak (42:7-17). Keberatan semacam ini dapat dijawab dengan dua poin berikut. Pertama, tuturan Ayub 42:7-17 ini tidak bisa dijadikan sebagai suatu alasan untuk mengabaikan dan menihilkan penderitaan berat Ayub dan perlawanannya sebelumnya kepada allah ketika dia menderita sakit luar biasa dan telah kehilangan segalanya. Sebuah tindak malpraktek seorang dokter tetap harus membuat dirinya dituntut secara hukum kendatipun si pasien yang menjadi korban kemudian tertolong! Kedua, penulis Kitab Ayub mau mempertahankan sebuah teodise bahwa allah yang maha kuasa, maha berdaulat dan maha perkasa atas segenap ciptaannya berhak menimpakan penderitaan kepada Ayub (38:1-41:25) karena penderitaan berat dari allah dimaksudkan allah untuk mendidik Ayub, dan Ayub dipaksa harus bisa menerima tindakan allah ini (42:1-7). Bagi si penulis Kitab Ayub, problem teodise tidak ada, sebab allah yang mahakuasa berhak berbuat apa saja, termasuk bertindak keji, terhadap semua ciptaannya, termasuk terhadap manusia yang beriman kepadanya. Jika memang demikian, ini adalah suatu teodise yang sangat mengerikan dan gagal mempertahankan sifat maha kasih allah, dan sebaiknya jika suatu agama mengajarkan teodise semacam ini, orang yang berpikiran sehat tidak perlu memeluk agama jenis ini.
Monday, March 29, 2010
Problem Teodise (2):
Penderitaan Muncul Karena Allah Bersembunyi!

Sebuah jalan keluar lain dari problem teodise dapat ditemukan dalam gambaran Alkitab tentang Allah yang menyembunyikan diri dari kehidupan orang saleh. Selama Allah masih bersama dengan orang saleh, Allah berfungsi sebagai suatu benteng atau sebuah perisai yang melindungi mereka dari segala penderitaan, penganiayaan dan semua musuh (lihat antara lain 2 Samuel 22:2-4; Mazmur 18:3-4; Yeremia 16:19a). Jika Allah menyingkir dari orang saleh, maka orang saleh ini rentan diserang oleh kekuatan-kekuatan jahat kodrati maupun adikodrati, yang membuat mereka tersiksa dan teraniaya.
Dari kisah fiktif dalam Perjanjian Lama tentang Ayub yang sangat saleh, kita tahu bahwa penderitaan menerpa Ayub tak habis-habisnya ketika Allah menyingkir dari kehidupan Ayub dan Setan dibiarkan Allah berkuasa atas dirinya (Ayub 1:12; 2:6). Selama Ayub masih dalam penjagaan dan perlindungan allah, Ayub sukses besar dan makmur dalam segala segi kehidupannya. Ketika Allah menarik diri dan menjauh dari Ayub, sekian azab menghancurkan seluruh kehidupan Ayub.
Penulis Mazmur 89:47-52 dengan berat mengeluh bahwa dia menerima berbagai macam penghinaan dari segala bangsa ketika Allah bersembunyi dari dirinya terus-menerus. Penulis Mazmur 10:1 bertanya kepada Allah, “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, Ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?”
Dalam suatu momen kegiatannya selaku seorang nabi Allah, nabi Yesaya sampai menyatakan bahwa Allah telah menyembunyikan diri-Nya (Yesaya 45:15), mungkin karena bangsa Israel tidak bisa melihat bagaimana Allah mereka bekerja, sehingga mereka tidak bisa melihat tangan Allah Yang Maha Esa (45:5, 14) sedang menggerakkan Koresh, Raja Persia, sebagai Mesias pilihan Allah sendiri (44:28; 45:1, 13).
Menurut penulis Injil Markus, ketika Yesus menanggung azab di kayu salib, di manakah Allah yang Yesus biasa panggil dengan akrab sebagai sang Abba, sang Bapa? Menurut penulis injil ini, ketika Yesus mengerang kesakitan di kayu salib, Allah telah meninggalkan dirinya, sehingga Yesus pun menderita sendirian. Dalam kesakitannya, Yesus berteriak keras kepada Allahnya ini, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, yang artinya, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Markus 15:34). Yesus sengsara di kayu salib karena Allah telah menyingkir darinya. Seandainya Allah masih bersama Yesus, dia tidak akan mati disalibkan. Yesus di sini, dalam tuturan Markus, terperangkap dalam sebuah problem teodise: Mengapa Allah meninggalkan orang yang saleh seperti dirinya ini sehingga dia menderita?
Pada waktu bangsa Yahudi dianiaya dan dibantai oleh rezim Hitler yang berkuasa atas negeri Jerman dari 1933 sampai 1945 selama Perang Dunia II, orang Yahudi bergumul amat sangat di mana Allah mereka berada. Sekian jawaban diberikan oleh bangsa Yahudi, oleh para ahli teologi mereka. Kita kenal Elie Wiesel. Dia adalah seorang Yahudi yang selamat dari Holokaus setelah masuk ke kamp-kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, Buna, Buchenwald dan Gleiwitz, yang kemudian termashyur di dunia melalui novel-novelnya, khususnya melalui satu novel pertamanya tentang Holokaus yang berjudul Night, dan seorang peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada 1986. Apa kata Wiesel tentang di mana Allah berada ketika jutaan orang Yahudi dianiaya, disengsarakan dan dibunuh oleh Nazi? Dalam suatu bagian novel Night ini, Wiesel bukan hanya menyatakan Allah tersembunyi, tetapi Allah sungguh-sungguh telah terbunuh. Tulisnya, “Tak kan pernah kulupakan momen-momen itu yang telah membunuh Allahku dan jiwaku dan mengubah mimpi-mimpiku menjadi debu.” Ya, bagi Wiesel, Allah telah tiada, karena terbunuh, sehingga bangsa Yahudi menderita azab besar tanpa penolong!
Dengan menyatakan bahwa Allah tidak hadir, bahwa Allah menjauh, bahwa Allah bersembunyi, bahwa Allah telah terbunuh, maka penderitaan yang menimpa orang-orang saleh jelas tidak dapat diasalkan pada diri Allah ini. Penderitaan dialami orang saleh bukan karena Allah yang menimpakannya kepada mereka. Bukan! Tetapi karena ada kekuatan-kekuatan lain yang dengan bebasnya menyengsarakan umat, tanpa bisa dihentikan oleh Allah karena Allah memang sedang tidak hadir di tempat ketika penderitaan menerjang umat Allah. Apakah argumen semacam ini berhasil mengatasi problem teodise, dan tidak menimbulkan sejumlah problem lain? Hemat saya, tidak, berdasarkan beberapa alasan berikut.
Pertama, kalau Allah bisa tersembunyi, bisa tidak hadir, bisa tiada, maka hilanglah sifat maha hadir dan maha penolong Allah yang sebetulnya ingin dipertahankan dengan kuat dalam teodise.
Kedua, kalau Allah bisa tidak hadir, dan sebagai ganti diri-Nya ada kekuatan-kekuatan lain yang jahat, yang sedang berkuasa atas diri umat Allah, maka hilanglah juga sifat maha kuasa Allah.
Ketiga, kalau karena Allah bersembunyi umat menjadi sengsara atau rentan terhadap serangan penderitaan, maka Allah yang semacam ini dapat diibaratkan sebagai seorang ayah yang tidak bertanggungjawab, tega hati dan pengecut, yang lari bersembunyi ketika anak-anaknya sedang atau akan dianiaya orang-orang jahat. Konsep tentang Allah yang semacam ini sama sekali tidak bisa diperdamaikan dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial yang mau ditegakkan dalam suatu masyarakat yang bertanggungjawab.
Keempat, orang ateis adalah orang yang menyatakan bahwa Allah tidak ada. Kalaupun para agamawan berpendapat bahwa Allah memang ada pada diri-Nya sendiri, orang ateis tidak memerlukan Allah ini sebagai sang pelindung maha kuasa mereka. Dari 6, 78 milyar penduduk dunia dalam dekade pertama abad XXI ini, 1,1 milyar adalah orang ateis. Apakah semua orang ateis dalam jumlah sangat besar ini dengan demikian tidak terlindung dan karenanya akan selalu didera kekuatan-kekuatan jahat sehingga mereka sengsara? Kenyataannya tokh tidak demikian! Artinya: ketidakhadiran Allah tidak otomatis akan menimbulkan penderitaan bagi manusia. Manusia pada dirinya sendiri dan melalui sains dan teknologi dapat melindungi diri dari banyak bentuk penderitaan. Ketidakhadiran Allah malah bisa membuat orang makin mandiri, makin dewasa dan makin tegar dalam menjalani kehidupan dalam dunia ini.
Kelima, jika seorang saleh menginginkan kehidupannya terbebas dari segala bentuk penderitaan dengan terus-menerus meminta Allah tetap hadir untuk melindungi dirinya, maka bisa terjadi si orang saleh ini akan menolak semua bentuk perlindungan dan pertolongan yang dapat diupayakan manusia melalui sains dan teknologi modern. Banyak sekali orang saleh di dunia ini dengan fanatik (baca: dengan bodoh) menolak pertolongan medis apapun karena mereka hanya bergantung pada Allah mereka melalui doa-doa dan ritual-ritual mereka untuk kesembuhan penyakit mereka atau penyakit sanak famili mereka. Akibatnya, ya dari antara mereka atau dari antara sanak famili mereka banyak yang mati karena “iman” yang bodoh dan tidak cerdas! Supaya hal buruk ini tidak terjadi, orang beriman perlu menyadari dan menerima bahwa “iman kepada Tuhan” itu memiliki batas-batas yang tidak boleh dilewati, jika mereka menginginkan kehidupan yang sehat.
Keenam, ihwal hadir atau tidak hadirnya Allah sebetulnya bukan ditentukan oleh diri Allah itu sendiri, tetapi ditentukan sendiri oleh manusia secara subjektif dalam teologi yang dikonsepnya sendiri. Bisa terjadi dalam suatu bencana dahsyat, seorang mukmin akan mengklaim bahwa dia merasa Allah ada di tengah kehidupannya, sementara seorang mukmin lainnya akan menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan dirinya. Jadi, hemat saya, daripada memperdebatkan apakah Allah hadir atau Allah absen di dalam suatu kesulitan yang sedang menimpa manusia, jauh lebih konstruktif jika kita semua mau bertindak secara rasional untuk mengatasi berbagai macam penderitaan yang sedang menimpa umat manusia melalui berbagai macam kerja nyata kita di dalam masyarakat.
Ketujuh, jika kehadiran dan penyertaan Allah dipercaya sebagai sumber semua kemakmuran, kesenangan dan keberhasilan, maka konsep teologis semacam ini bisa berbahaya buat kehidupan etis manusia. Bahayanya di mana? Bahayanya: orang bisa berpura-pura melupakan bahwa harta kekayaan yang mereka miliki sebenarnya bersumber dari tindak pidana korupsi atau perbuatan melanggar hukum lainnya; lalu, sebagai gantinya, mereka akan mengklaim bahwa semua harta kekayaan dan sukses mereka itu diperoleh sebagai berkat-berkat Allah yang maha baik dan maha hadir dalam kehidupan mereka. Jadi, di sini teologi dibuat untuk melegitimasi perbuatan tidak bermoral.
Itulah tujuh masalah yang muncul jika problem teodise mau diselesaikan dengan konsep tentang Allah yang tersembunyi atau tidak hadir.
Sunday, March 21, 2010
Problem Teodise (1):
Penderitaan Berasal dari Setan
Saya mau menyoroti teodise dalam beberapa tulisan. Saya mulai dengan pengertian teodise. Istilah “teodise” dibentuk dari dua kata Yunani: theos (allah) dan dikē (keadilan). Jadi, teodise adalah doktrin tentang keadilan allah.
Orang yang menganut teodise mempercayai bahwa allah yang mahakuasa, maha pengasih dan maha penyayang dan maha adil, akan senantiasa berbuat adil dan penuh cinta kepada kaum mukmin yang percaya total kepadanya. Bagi mereka, menyembah allah yang semacam ini akan menyebabkan mereka terhindar dari keburukan, nestapa, penderitaan dan bencana.
Tetapi... keyakinan mereka ini bertabrakan dengan kenyataan kehidupan yang mereka lihat di sekitar mereka dan di dalam kehidupan mereka sendiri. Ternyata ada banyak penderitaan dialami orang saleh. Malah orang jahat bertambah makmur dalam kehidupan mereka. Kenyataan kehidupan yang semacam ini membuat mereka bergumul, dan lahirlah dari pergumulan mereka ini apa yang disebut the theodicy problem, problem teodise: Bagaimana allah masih tetap bisa dipercayai sebagai allah yang maha pengasih dan penyayang, maha kuasa dan maha adil, sementara kenyataan kehidupan sangat bertentangan dengan apa yang mereka harapkan diberikan allah ini kepada dunia dan khususnya kepada orang-orang saleh.
Problem teodise hanya muncul dalam agama-agama monoteistik yang tidak memberi tempat kepada satu (atau lebih) hakikat adikodrati lainnya di samping allah yang maha esa dan maha kuasa. Konsep keesaan allah atau tawhid ini dipertahankan kuat-kuat ketika suatu umat beragama monoteistik tidak sedang menghadapi penganiayaan atau penderitaan berat yang ditimpakan oleh suatu pemerintahan dunia yang jahat dan kejam.
Tetapi konsep keesaan tuhan atau tawhid semacam ini diubah secara radikal ketika umat sedang menghadapi suatu penganiayaan dan deraan berat yang tak tertahankan, yang ditimpakan atas mereka oleh suatu pemerintahan lalim yang sedang berkuasa di dunia. Konsep keesaan allah atau tawhid ini, dalam situasi penderitaan berat semacam ini, diubah oleh umat minimal menjadi konsep diteisme dualistik kosmik. Dalam konsep ini dibayangkan ada suatu kekuatan lain adikodrati, di samping allah yang maha esa, yang sedang berkuasa di dalam dunia ini, yang sedang melawan allah yang maha esa. Dengan demikian, ada dua penguasa adikodrati dalam kosmos yang sedang bertarung satu sama lain, penguasa jahat melawan penguasa baik. Konsep ini disebut diteisme dualistik kosmik.
Berbagai umat beragama memberi nama berbeda-beda kepada penguasa adikodrati jahat lainnya ini yang sedang melawan tuhan yang maha kuasa. Umat agama-agama monoteistik umumnya memberi nama Setan atau Iblis kepada hakikat adikodrati tandingan allah yang maha kuasa ini. Umat Hindu memberinya nama Siva. Para penganut Zoroastrianisme memberinya nama Ahriman, yang terpersonifikasi sebagai Angra Mainyu, sang ilah jahat yang sedang melawan sang ilah baik yang diberi nama Spenta Mainyu (mediator allah yang maha kuasa, yang diberi nama Ahura Mazda). Dalam tradisi biblis Kristen, dikenal nama Antikristus sebagai sang penguasa jahat yang sedang melawan Yesus Kristus.
Nah, dengan diajukannya konsep diteisme dualistik kosmik ini (bahwa di dalam kosmos atau jagat raya ini terdapat dua kekuatan adikodrati yang sedang bertarung satu sama lain) sebagian problem teodise dipecahkan. Ketika orang bertanya, mengapa ada penderitaan dalam dunia ini, mengapa orang saleh dianiaya, sebuah jawaban sudah tersedia: penderitaan itu ada karena ada sang penguasa jahat di dalam kosmos ini yang menjadi sumber semua penderitaan manusia.
Jadi, penderitaan dan kesengsaraan timbul bukan karena perbuatan allah yang maha kuasa, maha kasih dan maha penyayang, melainkan karena perbuatan keji sang penguasa jahat tandingan allah yang maha baik. Dengan demikian, sifat maha baik dan maha kasih allah berhasil dipertahankan. Tetapi, pada pihak lainnya, muncul sebuah problem lain: jika memang ada satu (atau lebih) penguasa jahat dalam kosmos ini, yang bisa melawan dan menandingi allah, maka tawhid dan sifat maha kuasa allah terongrong bahkan ditiadakan. Ya, itulah memang akibat dari diajukannya konsep diteisme dualistik kosmik. Masalah ini tentu sudah dipikirkan oleh para pencetus konsep diteisme dualistik kosmik ini. Mereka sudah memiliki jalan keluarnya.
Dalam keyakinan para pendukung diteisme dualistik kosmik, sang penguasa supernatural jahat itu hanya berkuasa sementara dalam dunia ini. Sang penguasa adikodrati yang kejam ini tidak dibiarkan allah yang maha kuasa dan maha baik untuk berkuasa selamanya dalam kosmos ini. Pada akhir zaman, ketika dunia dan sejarah manusia berakhir, sang penguasa jahat ini akan dikalahkan oleh allah yang maha kuasa dan maha baik dalam suatu pertempuran kosmik di kawasan adikodrati. Bukan hanya dikalahkan, tetapi juga sang penguasa jahat ini beserta segenap antek insaninya dalam dunia, akan mengalami pembalasan allah habis-habisan, minimal setimpal dengan kejahatan dan kekejian yang mereka pernah lakukan terhadap umat allah. Mereka akan dibelenggu, dirantai dan dipenjarakan dalam neraka kekal sampai selamanya. Pada sisi lain, suatu dunia baru diciptakan allah yang maha baik dan maha adil untuk umat yang pernah disengsarakan dan didera sang penguasa jahat dan antek-antek insaninya.
Para pengonsep diteisme dualistik kosmik berbeda pandangan ketika mereka membayangkan bentuk dunia baru ini. Ada yang membayangkan dunia baru ini berada di luar sejarah, di kawasan supernatural, dan sama sekali tidak ada kaitannya lagi dengan dunia lama. Pandangan ini paling umum dipegang.
Namun ada juga yang memandang dunia baru ini sebagai suatu kelanjutan dan penyempurnaan dunia lama di kawasan kodrati, dunia baru yang sudah dibersihkan dari segala kejahatan dan penderitaan yang pernah dilakukan dan didatangkan sang penguasa jahat yang kini sudah dikalahkan dan sedang dihukum selamanya di kawasan adikodrati.
Bagaimanapun juga, kedua sudut pandang ini sama-sama meyakini bahwa dunia yang sekarang didiami manusia sudah tidak bisa diharapkan lagi, sehingga harus diganti dengan dunia yang sempurna sepenuhnya, yang akan didatangkan allah yang maha kuasa dan maha pengasih.
Nah, semua konsep yang sudah diulas di atas disebut apokaliptisisme. Kata ini berasal dari kata Yunani “apokalipsis”, yang artinya “wahyu” atau “penyingkapan ilahi”. Disebut demikian karena semua hal yang akan terjadi di akhir zaman, mulai dari ihwal kapan akhir zaman tiba, ihwal dikalahkannya segala penguasa jahat di dalam suatu pertempuran kosmik sampai pada ihwal pembalasan allah dan kedatangan dunia baru, diketahui umat hanya lewat wahyu atau penyingkapan ilahi yang disampaikan oleh allah sendiri atau oleh seorang malaikat perantara kepada seorang nabi yang berasal dari antara umat.
Ya, apokaliptisisme bisa menyelesaikan problem teodise dengan memunculkan figur Setan atau Iblis atau Antikristus atau Ahriman atau Angra Mainyu sebagai biang keladi semua penderitaan dalam dunia ini, sambil tetap mempertahankan sifat maha adil dan maha baik allah, dan juga dengan memulihkan kembali kemahakuasaan allah pada akhir zaman. Tetapi sekian problem lainnya juga muncul, sebagai berikut.
Pertama, diteisme dualistik kosmik atau apokaliptisisme muncul dari pesimisme atau rasa putus asa manusia terhadap keadaan dunia masa kini. Menurut pandangan apokaliptis, dunia sekarang ini, karena sedang dikuasai Setan atau Iblis melalui antek-antek insaninya, sudah sedemikian jahat tak tertolong, sehingga harus dilenyapkan sama sekali dan diganti dengan suatu dunia baru di luar sejarah atau pun di dalam sejarah. Pesimisme atau rasa putus asa umat beragama semacam ini bertentangan dengan usaha sebagian besar umat manusia lainnya, yang terus bekerja dengan penuh pengharapan untuk membuat dunia kita sekarang ini makin lebih baik lagi dari waktu ke waktu melalui kerja keras dan kerja cerdas di dunia sains dan teknologi dan melalui berbagai usaha global lainnya untuk menjadikan planet Bumi ini tempat yang makin baik untuk semua makhluk hidup.
Kedua, apokaliptisisme mendambakan dan menjanjikan suatu kehidupan yang seluruhnya adil, baik dan sempurna bagi manusia, entah kehidupan semacam ini dialami dalam dunia ini ataupun akan dialami nanti ketika akhir zaman tiba. Jelas, ini adalah suatu visi yang utopis dan tidak realistik. Dunia yang sempurna semacam ini tidak akan pernah ada bagi manusia kapanpun juga. Dalam realitas kehidupan, kapanpun juga manusia tetap akan hidup dalam kenyataan-kenyataan gabungan antara kebaikan dan kejahatan, keberhasilan dan kegagalan, suka dan duka, cinta dan kebencian, dan seterusnya. Kenyataan-kenyataan gabungan ini adalah kenyataan-kenyataan kodrati, yang terstruktur dalam tata kosmik, dan akan tetap ada sampai selamanya. Ketimbang terhanyut dalam suatu visi eskapisme yang utopis dan tidak realistik, jauh lebih baik jika kita membina diri kita dan diri manusia umumnya untuk dapat hidup dengan lebih baik, lebih berhasil, lebih bersukacita dan lebih menyayangi, dari saat ke saat, sambil tetap tabah ketika menghadapi kenyataan-kenyataan lain yang membuat manusia menderita.
Ketiga, apokaliptisisme mendorong kaum mukmin untuk cepat-cepat masuk ke dalam suatu dunia sempurna yang didalamnya Iblis atau Setan atau Antikristus sudah tidak ada atau sudah dikalahkan total, karena mereka sudah tidak tahan hidup dalam dunia sekarang ini, yang tidak memenuhi visi ideologis atau angan-angan utopis religius mereka sendiri. Dorongan ini, kita tahu, banyak kali memunculkan tindakan-tindakan kekerasan seperti terorisme yang bertujuan, pada titik ekstrimnya, untuk melalui perang nuklir sejagat melenyapkan planet Bumi ini yang mereka bayangkan sedang dikuasai si Setan Besar Amerika Serikat atau si Setan Besar Arab Saudi, misalnya.
Keempat, apokaliptisisme sebetulnya mengajarkan kaum mukmin untuk terus membenci orang-orang lain yang menyengsarakan mereka, dan terus menyumpahi mereka untuk segera mati dan masuk neraka sebagai bentuk penghukuman allah atas mereka yang seadil-adilnya. Tentu kita bisa memaklumi kalau orang tidak bisa menyetujui atau membenci orang-orang yang berlaku jahat kepada mereka. Kita juga bisa memahami kalau orang menginginkan orang jahat dihukum seberat-beratnya demi keadilan dan demi menimbulkan efek jera pada semua kriminal. Tetapi, suatu ajaran agama yang terus-menerus membuahkan kebencian dan amarah dalam diri kaum mukmin bukanlah ajaran agama yang baik dan sehat, apalagi jika ajaran agama ini membentuk kaum mukmin untuk baru terpuaskan jika dendam mereka kepada orang lain terbalaskan di akhirat, yakni ketika orang jahat dimasukkan ke dalam neraka dan mereka, sebagai orang baik, dimasukkan ke dalam surga.
Bukankah ajaran agama yang baik dan sehat adalah ajaran yang membentuk kaum mukmin untuk bisa memaafkan orang-orang yang bersalah sekalipun orang-orang yang bersalah ini telah berlaku sangat jahat terhadap mereka? Selain itu, hati yang terus diisi dengan amarah dan dendam dan sumpah akan membuat manusia tidak pernah bisa hidup sejahtera di dalam dunia ini, dan malah sebaliknya akan membuatnya sakit jiwa dan sakit pikiran terus-menerus.
Kelima, para penganut apokaliptisisme melihat Setan atau Iblis, sebagai makhluk rohani yang tidak kasat mata, sebagai sumber semua kejahatan dan penderitaan manusia. Sudut pandang semacam ini membuat mereka gagal atau tidak mau melihat bahwa semua penderitaan dalam dunia ini dapat dicari sebab-sebabnya pada hal-hal duniawi, kodrati dan manusiawi, misalnya karena cara hidup yang salah, karena kondisi alam yang buruk, karena bencana alam, atau karena sistem keamanan masyarakat yang tidak dapat diandalkan, atau karena sistem hukum dan sistem ekonomi serta sistem politik yang tidak baik dan tidak adil dalam suatu negara. Apokaliptisisme mencari keselamatan di dalam dunia yang kiamat, bukan di dalam dunia sekarang ini, yang di dalamnya semua sistem penyelenggara kehidupan perlu diperbaiki sehingga menjadi lebih baik bagi semua orang.
Terakhir, keenam, apokaliptisisme menjanjikan penyelesaian suatu perkara kejahatan duniawi di luar sejarah dan di luar dunia yang belum tentu akan pernah ada. Karena terus-menerus menunggu akhir zaman yang diberitakan akan segera terjadi, namun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, kaum mukmin yang dibesarkan dalam pemikiran apokaliptisisme menjadi lupa bahwa sebetulnya penyelesaian atas masalah kejahatan dan penderitaan dalam dunia ini dapat diperoleh dalam dunia ini sekarang ini dengan adil, misalnya melalui pengadilan negara atau pengadilan internasional yang sekarang ini berpusat di Den Haag, Belanda. Apokaliptisisme lahir dalam zaman kuno ketika sistem hukum internasional belum ada, lembaga pengadilan internasional atas kejahatan kemanusiaan di aras global belum dibangun, dan PBB belum didirikan, ketika ada sangat banyak penyakit yang belum dapat diobati, ketika sains dan teknologi belum semaju sekarang ini yang telah terbukti banyak membantu manusia dalam meringankan atau malah mengalahkan penderitaan.
Wednesday, March 10, 2010
Manajemen Pikiran (8)
Dalam tulisan tentang manajemen pikiran ini, baiklah perhatian kita arahkan pada dua orang tua zaman dulu yang umumnya sudah kita kenal, yakni Eleazar dan Sokrates. Dari keduanya kita dapat menarik pelajaran bagaimana kita dapat bertahan dengan kesatria ketika kita menghadapi ancaman penderitaan dan kematian, melalui suatu manajemen pikiran.
Kita mulai dengan dua kitab yang ada dalam Deuterokanonika Gereja Katolik Roma, yakni kitab 2 dan 4 Makabe. Kitab 2 Makabe adalah sebuah dokumen martirologi Yahudi yang ditulis sekitar tahun 125 atau 124 SM, dengan mengambil Pemberontakan Makabe (167-142 SM) melawan raja lalim dari Siria, Antiokhus IV Epifanes, sebagai latar historisnya.
Dalam 2 Makabe 6:18-7:42, dan juga dalam 4 Makabe 5-18, dikisahkan tentang kegigihan seorang tua bijaksana dari kalangan imamat yang bernama Eleazar dan tujuh lelaki bersaudara bersama ibu mereka yang sudah tua dalam melawan sang raja yang sedang melancarkan helenisasi besar-besaran terhadap bangsa Yahudi dan agama serta kebudayaan mereka. Sang raja lalim ini ingin memaksa orang Yahudi meninggalkan kesetiaan mereka terhadap Taurat Yahudi, dan mengadopsi kebudayaan dan gaya hidup Yunani, antara lain ikut makan daging babi dan segala persembahan yang telah diberikan kepada berhala-berhala Yunani serta menyembah sujud pada patung Dewa Dyonisus atau Zeus. Jika mereka melawan kemauan sang raja, mereka akan disiksa dengan sangat kejam sampai mati.
Pada kesempatan ini baik kalau kita mengetahui apa sebabnya Eleazar (90 tahun) dapat dengan gigih sampai akhir hayatnya, di hari tuanya, melawan Antiokhus IV Epifanes. Filosofi apa yang dia pegang sehingga dia begitu tangguh? Bagaimana dia me-manage pikirannya sendiri?
Dalam 2 Makabe 6:18-7:42, Eleazar dengan sangat mengesankan memberi penjelasan tentang keputusannya untuk menerima kematian sebagai akibat perlawanannya yang gigih terhadap kemauan raja lalim itu (6:23-28). Keputusan Eleazar ini disebut sebagai suatu logismos asteios atau “nalar kesatria” (6:23); dan dalam 4 Makabe (1:1; 6:31; 7:4, 16, 21; 13:1; 16:1; 18:1) keputusan ini diistilahkan sebagai eusebēs logismos atau “nalar saleh”. Ditegaskan di situ bahwa nalar semacam ini harus mengatur dan mengendalikan baik emosi maupun penderitaan fisik dan keadaan sekarat, sebab, seperti ditulis dalam 4 Makabe 13:3, nalar semacam inilah yang dipuji di hadapan Allah. Jadi, kita paham bahwa untuk mencapai suatu kehidupan yang gigih di tengah penderitaan, nalar atau logismos harus memegang kendali terhadap emosi, rasa takut dan kecengengan manusia.
Bukan kebetulan juga kalau penulis 2 Makkabe menyejajarkan Eleazar dengan Sokrates (70 tahun) yang juga dengan kesatria menerima kematian dengan meminum racun sebagai hukuman baginya yang ditetapkan pengadilan negara yang digelar di Atena pada tahun 399 SM. Sejumlah pakar melihat ada kesejajaran yang disengaja dalam 2 Makabe 6:18-31 antara Sokrates dan Eleazar. Menurut Jonathan A Goldstein, “Tidak ada orang Yunani terpelajar yang akan luput memperhatikan keserupaan antara Eleazar dan Sokrates.”
Dua hero ini, Sokrates dan Eleazar, keduanya sudah gaek, dan mereka memandang sisa kehidupan mereka dapat dengan mudah diambil dari mereka (Apologi 38c; 2 Makabe 6:18, 23-25). Karena itu, rasa takut terhadap kematian tidak dapat membuat mereka menyangkali pendapat dan tindakan mereka (Apologi 28b-d). Sikap mereka ini sejalan dengan sikap mereka dalam kehidupan mereka sebelumnya, sehingga kalau mereka menolak melawan kelaliman akan tampaklah bahwa mereka mengkhianati diri mereka sendiri (Apologi 28d-30c, 34b-35b; 2 Makabe 6:22). Karena itu keduanya menolak alternatif “yang lebih mudah” ketika mereka berhadapan dengan ancaman hukuman mati (Apologi 36b-38b; Krito; 2 Makabe 6:21-28). Keduanya berpandangan bahwa adalah lebih baik jika mereka pergi ke dunia orang mati demi membela hukum (Krito 54b-d; 2 Makabe 6:23). Keduanya berpendapat bahwa meskipun orang dapat luput dari penghukuman oleh manusia, orang tidak dapat luput dari penghukuman ilahi atas perbuatan tidak adil dan jahat yang dilakukannya (Apologi 39a-b; 2 Makabe 6:26). Baik Sokrates maupun Eleazar percaya penuh pada hakim-hakim adikodrati yang akan mereka temui setelah kematian (Apologi 41a; 2 Makabe 6:26). Orang-orang lalim yang mengendalikan nasib mereka merasa diserang oleh pembelaan diri keduanya lalu menjatuhkan hukuman mati bagi keduanya (Apologi 38c; 2 Makabe 6:29), dan kematian mereka dimaksudkan oleh keduanya sebagai peringatan dan contoh agung bagi orang lain, baik pada masa kehidupan mereka maupun bagi generasi selanjutnya (Faedo 118; 2 Makabe 6:31).
Itulah sekelumit filosofi Eleazar dan Sokrates, yang lebih memilih hidup berprinsip daripada menyerah pada kelaliman karena rasa takut pada kematian. Nalar yang benar membuat orang tidak takut menghadapi penderitaan dan kematian. Dengan me-manage pikiran kita, kita dapat menempatkan nalar di atas emosi, rasa takut dan kecengengan manusia, sehingga nalar memegang kendali dan, dengan demikian, kita sanggup berperilaku kesatria ketika sedang menghadapi suatu situasi yang dapat membuat kita pengecut dan ketakutan. Nalar kesatria semacam ini hanya ada pada orang-orang besar pembuat sejarah, bukan pada para pelaku terorisme yang ingin mengakhiri sejarah dunia dengan jalan kekerasan.
Friday, February 26, 2010
Manajemen Pikiran (7)
Orang beragama umumnya berpendapat bahwa mereka harus hidup suci sepenuhnya di dalam dunia ini. Dalam keyakinan mereka, mereka harus hidup suci seratus persen di dunia ini supaya nanti menerima pahala surga di alam baka setelah kematian. Atau, mereka mau menjalani suatu kehidupan tak bercacat secara moral di dunia ini karena mereka mau menyenangkan tuhan mereka atau mau menghormati perintah-perintah dan ajaran-ajaran sang nabi junjungan mereka yang dulu telah mendirikan agama yang mereka anut sekarang. Bisa juga, mereka mau menjalani kehidupan tanpa noda dan tanpa kesalahan karena kehidupan semacam ini menjadi suatu citra kehidupan ideal yang serius dikejar untuk dicapai oleh setiap mukmin yang menganut agama yang mereka anut, atau karena mereka ingin menjadi bagian dari kelompok elitis para santo dan santa yang disembah dalam agama mereka.
Tentu keinginan orang beragama untuk menjalani suatu kehidupan yang sepenuhnya suci di dalam dunia ini karena alasan-alasan di atas patut dihargai dan dihormati oleh siapapun. Tetapi, masalahnya adalah ketika seorang beragama manapun yang memiliki cita-cita moral tinggi untuk hidup suci seratus persen dalam dunia ini mendapati dirinya gagal hidup suci sepenuhnya, orang ini bisa tidak mau mengampuni dirinya sendiri dan bisa terus-menerus mempersalahkan dirinya sendiri. Para ahli ilmu jiwa menyatakan bahwa orang yang terus-menerus mempersalahkan dirinya sendiri akan menjadi orang yang tidak pernah bisa berbahagia selama kehidupannya, dan akan menjadi orang yang tidak bisa menghasilkan hal-hal yang baik apapun baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakatnya. Bahkan jika perasaan bersalah ini dibiarkan menumpuk dan akhirnya mendera batin dan pikiran orang ini dengan sangat kuat, orang ini akan bisa sakit jiwa.
Dampak negatif dan menghancurkan semacam ini, yang bisa menimpa seseorang yang memiliki cita-cita moral tinggi untuk menjadi seorang manusia suci sempurna dalam dunia ini, dapat dihindari jika orang ini mau berpikir bahwa hidup suci seratus persen, dengan tanpa cacat moral, adalah sesuatu yang mustahil diwujudkan dan memang tidak diperlukan terjadi. Mengapa demikian? Minimal ada dua alasan.
Pertama, kriteria suci atau tidak sucinya suatu tindakan moral itu relatif, sangat bergantung pada nilai religius dan nilai budaya yang dianut, zaman kehidupan si penganut dan konteks sosial kehidupannya. Agama dan budaya yang berbeda, zaman yang berganti, konteks sosial kehidupan yang berubah, akan menyebabkan kriteria suci dan tidak sucinya suatu perbuatan bergeser, berubah dan berganti. Etika dan moralitas itu selalu kontekstual. “Lain lubuk, lain ikannya”, itu kata peribahasa. Dan juga, “Di mana kita berdiri, di situ langit dijunjung.” Di era globalisasi sekarang ini, dengan ancaman-ancaman global yang harus dihadapi bersama oleh seluruh penduduk dunia, orang di mana-mana mengupayakan dicapainya suatu kesepakatan global mengenai nilai-nilai etis moral yang perlu dipertahankan dan diwujudkan oleh umat manusia sedunia. Kendatipun demikian, nyatanya globalisasi sekarang ini menimbulkan banyak reaksi dan perlawanan dari masyarakat lokal, berupa makin menguatnya nilai-nilai religius dan budaya lokal.
Kedua, manusia itu sejak dulu, beragama atau tidak beragama, selalu harus belajar ketika mau mencapai kemajuan. Ketika manusia belajar, manusia harus melakukan uji coba ini dan itu. Ketika melakukan uji coba, manusia kerap mengalami kegagalan. Nah, dari kegagalan ini, manusia dapat belajar sesuatu yang berharga untuk dia dapat melangkah lebih jauh dengan lebih arif dan dengan pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Jadi, kesalahan atau kegagalan adalah juga guru yang baik bagi manusia yang mau terus belajar dan berkembang.
Melalui kesalahan moral yang direnungkan, manusia belajar sesuatu dan ini akan bisa membuatnya maju lebih jauh lagi dalam prestasi moralnya. Begitu juga, melalui percobaan ilmiah yang gagal, manusia juga bisa melangkah lebih maju lagi dalam pengembangan teori sains dan teknologi ketika kegagalan percobaan ini dipelajari lebih lanjut dengan saksama.
Jadi, kegagalan moral untuk hidup suci atau kegagalan percobaan di bidang sains dan teknologi adalah pengalaman-pengalaman berharga yang perlu diterima dengan lega, wajar dan terbuka oleh manusia yang mau belajar. Kesalahan dan kegagalan ini harus dijadikan sebagai sebuah pelajaran untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, berapapun besarnya ongkos yang harus dibayar untuknya.
Jadi perlu ditegaskan bahwa orang yang berpikir benar dan terbuka pada kehidupan akan melihat setiap kegagalan sebagai bagian yang wajar dari kehidupannya dan malah sebagai sesuatu yang edukatif, dan karenanya orang itu tidak akan menangisi kegagalannya dalam rasa sesal yang tidak pernah berakhir. Jika demikian halnya, demi kesehatan jiwanya, orang beragama apapun tidak perlu bercita-cita untuk menjadi tokoh moral teragung tanpa noda di antara umatnya, melainkan perlu bersedia sepenuh hati untuk terus belajar baik dari keberhasilannya maupun dari kegagalannya, dan lewat proses pembelajaran ini dapat menjadi manusia yang semakin bijak dan dewasa dalam berpikir dan bertindak. Insan kamil adalah manusia yang dengan rendah hati mau terus belajar.
Subscribe to:
Posts (Atom)